#
Devan mengejar-ngejar Maura.
"Bu Bos!" panggilnya dengan nada putus asa.
Namun Maura tetap melangkah cepat menuju ke ruangannya.
"Sudah kubilang biar aku pikirkan dulu," ujar Maura. Dia melemparkan tubuhnya ke atas kursi kerjanya.
Ada begitu banyak perusahaan lain yang bergerak di bidang yang sama yang bisa menjadi partner perusahaannya selain perusahaan milik keluarga Pangestu. Ada lebih banyak lagi tender yang seharusnya bisa menyelamatkan mereka dari posisi sulit seperti sekarang.
Hanya saja kenapa keadaan seakan memaksa mereka untuk berhubungan dengan keluarga mengerikan itu?
Dua tahun bekerja di perusahaan yang dikelola oleh keluarga Pangestu di Moroko tidak hanya memberi Maura pengalaman luar biasa tapi juga rasa enggan luar biasa untuk kembali berurusan dengan semua yang ada kaitannya dengan perusahaan itu. Atau lebih tepatnya dengan keluarga Pangestu.
Devan kemudian mengeluarkan tabletnya.
"Dengar Maura ... maksudku Bu Maura." Devan terkadang lupa kalau sekarang Maura adalah atasannya dan bukan lagi sekedar rekan kerja biasa. Lebih dari itu, Maura adalah pemilik perusahaan ini dan bukan lagi sekedar anak Bos.
"Kau harus melihat analisis bagian keuangan dan marketing yang terbaru. Kita benar-benar membutuhkan proyek ini kalau kita ingin bertahan dan mencapai target. Ini kesempatan bagus bagi perusahaan kita. Tidak selamanya perusahaan besar seperti PT. Pangestu Jati Tbk. Dan Mc & D Corp akan mempertimbangkan perusahan yang baru mencoba melebarkan sayap seperti perusahaan kita. Kita mungkin tidak akan merugi banyak kalau memilih perusahaan lain tapi akan butuh kesempatan lebih lama bagi kita untuk bisa mencapai target. Sepuluh tahun, lima belas tahun, siapa yang tahu?!" Devan bersikeras.
Dia tidak mengerti bagaimana bisa Maura yang sebelumnya selalu berbisnis dengan sikap yang dingin dan kritis, kali ini malah terlihat ragu-ragu dalam mengambil keputusan. Padahal ini adalah kesempatan yang bagus untuk perusahaan mereka ditambah dia tahu kalau Arga Pangestu yang sekarang mengendalikan sebagian besar perusahaan Pangestu Jati Tbk adalah sahabat Maura.
Maura tidak pernah ragu untuk meminta bantuan Cakra tapi dia sekarang ragu untuk meminta bantuan Arga. Apa tiga sekawan yang dulu terkenal di seantero kampus sudah tidak lagi bersahabat lekat?
"Bu Maura?" Devan masih menunggu keputusan Maura.
Selama beberapa saat Maura tampak terpaku pada semua data yang tersaji di tablet yang ada di depannya sebelum dia akhirnya menarik napas panjang.
"Kapan rencananya pertemuan dengan Pangestu Jati Tbk akan di adakan dan siapa perwakilan mereka yang ditunjuk?" tanya Maura akhirnya.
Devan tersenyum lega mendengar pertanyaan Maura.
"Besok, jam sebelas siang. Kita akan sekalian makan siang saat jeda rapat dan dilanjutkan hingga jam dua siang kalau misalnya kesepakatan belum tercapai. Mereka akan mengirimkan wakil CEO dan manager areanya untuk diskusi karena ini bukan proyek kecil," jawab Devan.
Maura manarik napas panjang sambil menatap asistennya tersebut.
"Devan, sudah aku bilang. Jangan menyetujui sesuatu lebih dulu sebelum aku memberi persetujuan. Aku tahu kalau kau memikirkan tentang perusahaan tapi di sini akulah atasannya. Apa yang akan kau lakukan kalau ternyata aku bersikeras untuk melewatkan proyek ini?" Kini Maura menatap Devan tegas. Keramahan yang tadi dia tunjukkan kini menghilang.
Biasanya Maura memang tipe atasan yang santai, terlebih terhadap orang kepercayaannya seperti Devan, namun ketika bawahannya melakukan kesalahan, dia tidak akan segan untuk menegur meraka dengan keras hingga memecat karyawan yang dengan berani melanggar aturan perusahaan.
Saat itu Devan yang biasanya tampak percaya diri di depan Maura kini menyeka dahinya pelan.
"Maaf Bu Maura, ini tidak akan terjadi lagi," jawab Devan.
"Kesabaranku ada batasnya Devan. Kau sudah bersamaku semenjak aku mulai terlibat aktif dalam manajemen perusahaan tapi bukan berarti kau bisa mendahuluiku terutama untuk keputusan sepenting ini. Kau paham kan?" tanya Maura sambil menatap Devan tajam.
"Baik Bu," ujar Devan dengan wajah gugup.
Devan sebenarnya adalah jenis karyawan yang loyal dan pekerja keras. Dia juga pintar dan mampu memahami pemikiran Maura sehingga mereka sangat sinkron sebagai atasan dan bawahan. Akan tetapi kelebihan Devan adalah juga kekurangannya.
Jika Maura selalu bertindak dengan hati-hati dan memikirkan setiap langkah yang dia ambil dengan detail maka Devan adalah tipe yang akan menyambar setiap kesempatan yang dilihatnya, apa pun resikonya.
"Keluarlah," perintah Maura akhirnya.
Meski memperingatkan Devan, Maura juga merasa kalau dia tidak sepenuhnya berhak dengan tindakan Devan. Dalam hal ini Devan berpikir dengan logika yang jernih untuk perusahaan sementara Maura sendiri malah tanpa sengaja mencampuradukkan urusan pribadinya dengan urusan perusahaan.
Dia hampir melepaskan proyek yang sangat penting untuk perkembangan perusahaan yang dia pimpin sekarang hanya karena dia ingin menghindari pertemuan dengan Arga ataupun anggota keluarga Pangestu lainnya.
Bisnis seharusnya tetaplah bisnis dan urusan pribadi seharisnya tidak boleh mempengaruhi penilaian bisnis manapun. Dia tidak akan layak berada di posisi sekarang jika dia tidak mampu memisahkan urusan pribadinya dengan urusan bisnis.
#
Seperti biasa, dibandingkan bermain dengan anak-anak sekelasnya, Citra malah memilih untuk ke halaman anak TK dan mencari Max.
Dia tersenyum senang saat melihat Max dari kejauhan.
Citra kemudian mendekati Max yang sedang duduk meringkuk sendirian di sudut taman.
"Max? Adek Max?" panggil Citra.
Max masih diam, jadi Citra menyentuh bahu Max.
Max yang tadinya masih duduk meringkuk, perlahan berbalik menatap Citra dan saat itu Citra hampir saja berteriak saat melihat darah di sudut hidung Max.
"Sstt." Max memberi isyarat pada Citra dengan meletakkan jari di bibirnya.
Dengan buru-buru Citra ikut berjongkok di samping Max dan mengambil tisu.
Dia memilin tisu itu seperti yang pernah dilihatnya dilakukan oleh Maura saat Max mimisan dulu.
"Jangan bilang siapa-siapa ya Kak Citra," pinta Max.
Citra menopang dagu Max dan membantunya bersandar di dekat pohon.
Matanya tampak berkaca-kaca kini.
"Kalau sakit, Max harusnya bilang ke semua orang. Kalau tidak bilang ke siapa pun nanti semua orang sedih. Mama selalu bilang kalau kita ini anak kecil jadi tidak apa-apa untuk berteriak kalau marah, untuk menangis kalau sakit dan sedih," ujar Citra pelan.
Dia kemudian meraih air minumnya, menumpahkan sedikit ke tisu dan mengelap hidung Max.
"Tapi ini tidak sakit," balas Max.
"Beneran?" tanya Citra memastikan.
Dia menatap iba ke arah Max.
Perlahan Max berhenti mendongak dan meraba hidungnya yang sudah bersih dan sekarang di sumbat dengan tisu. Beruntung hari ini hanya satu hidungnya yang mengeluarkan darah dan itu pun tidak banyak. Dia hanya merasa agak pusing saja tadi dan tidak ada rasa sakit lainnya.
"Benar-benar tidak sakit," jawab Max jujur.
Citra kemudian memeluk Max erat.
"Aku tidak mau Max sakit," ujar Citra.
"Iya. Kak Citra tenang saja. Aku tidak akan sakit karena akan membuat Mama dan Kak Citra sedih. Aku akan sehat dan cepat besar agar semua orang senang," ucap Max. Masih terbayang dalam ingatannya wajah sedih ibunya. Dia benar-benar tidak ingin membuat Citra atau semua orang merasa sedih kalau dia sakit dan terlebih dia tidak ingin Maura sedih karena dia sakit.
"Kak, janji yah. Jangan bilang pada Mamaku dan jangan bilang pada Paman dan Tante juga. Soalnya kalau Paman dan Tante Luna tahu nanti Mama juga tahu," pinta Max dengan wajah sendu.
Citra kembali terdiam. Dia merasa kalau ini tidak boleh karena ibunya bilang anak-anak tidak boleh memiliki rahasia, tapi di sisi lain dia juga tidak tega menolak permintaan Max.
"Baiklah, tapi kalau sudah mulai terasa sakit, Max tidak boleh bilang tidak sakit dan kalau sudah sakit sekali, Max harus bilang." Citra memberi syarat.
Max mengangguk pelan.
"Iya." Dia kemudian bersandar ke Citra yang ada di sebelahnya karena kepalanya masih terasa pusing.
Citra kemudian mengambil kotak bekal Max yang belum tersentuh sama sekali.
"Aku suapi saja ya? Max kan belum makan kan?" tanya Citra.
Sekali lagi Max mengangguk.
Meski kenyataannya Citra jauh lebih tua dan terkadang menindas Max kalau suasana hatinya sedang buruk tapi ketika Max membutuhkannya seperti sekarang, dia akan berubah menjadi sangat lembut dan perhatian.
Mereka tumbuh layaknya saudara karena Max yang dulu sangat sering dititipkan oleh Maura di rumah Citra.
Dua anak itu sama sekali tidak tahu kalau di masa depan persahabatan dan kedekatan yang mereka jalin sekarang akan di uji dengan amat sangat menyakitkan.
#
Arga menatap proposal yang saat ini ada ditangannya dan tersenyum saat mendapati nama perusahaan milik keluarga Maura.
"Siapa yang akan datang sebagai perwakilan perusahaannya?" tanya Arga pada asisten barunya.
Dulu dia memiliki asisten pemberian Kakeknya tapi semenjak beberapa bulan lalu, orang kepercayaan Kakeknya tersebut lebih memilih untuk mengambil pensiun. Terutama setelah Tuan besar Pangestu, Kakeknya Arga jatuh sakit.
"Direktur pelaksananya yang akan datang ke rapat besok karena bagaimana pun ini adalah proyek yang penting untuk mereka," jawab Asisten Arga.
Sebuah senyuman terbentuk di sudut bibir Arga.
"Masukkan rapatnya ke dalam jadwalku dan geser agenda lainnya. Aku akan menghadiri rapat besok dan melihat sendiri keutungan yang mereka tawarkan kalau kerjasama ini berjalan dengan mereka," ucap Arga.
Asisten Arga tampak terkejut dengan keputusan bosnya itu.
"Tapi Pak, mereka bukan perusahaan yang benar-benar penting. Meski mereka salah satu yang terbaik di dalam negeri tapi bagi perusahaan mereka, ini bidang yang baru dan ...."
"Inilah kenapa aku tidak suka dengan orang baru, asistenku yang lama akan langsung mengerti kenapa aku ingin menghadiri langsung rapat kali ini," potong Arga sebelum Asistennya tersebut bahkan bisa menyelesaikan kalimatnya.
"Maura Dennis, bukan hanya sekedar Direktur Pelaksana di perusahaan itu. Dia adalah CEO dari perusahaan F & B yang masih dimiliki oleh keluarganya. Kau mungkin tidak tahu tapi dia adalah orang yang berhasil membuat jaringan hotel kita yang ada di Moroko menjadi seperti sekarang hanya dalam waktu dua tahun setelah dia bergabung. Dia seorang hotelier sejati sejak lahir." Arga menambahkan.
Asisten Arga tertegun selama beberapa saat setelah mendengar penjelasan atasannya tersebut. Dia kemudian tampak menyesal.
"Maaf Pak, saya akan segera melakukan penyesuaian pada jadwal Bapak dan memberitahu hal ini pada wakil CEO," ucapnya.
Tapi Arga menggeleng.
"Tidak. Jangan beritahu siapa-siapa. Biarkan perwakilan kita menjalankan tugasnya. Aku hanya akan menjadi pengamat," perintah Arga.
Dia sesungguhnya sudah merasa tidak sabar.
Benar sekali. Di balik semua alasan yang dikemukakannya, sesungguhnya dia hanya ingin melihat Maura lagi.