Bab 13. Sahabat Atau Kekasih? 4

1165 Kata
# Maura menerima pesan dari Tante Yen dan tersenyum saat melihat wajah Max yang tengah tidur siang. Tante Yen adalah pengasuh Max sekaligus orang yang Maura percaya untuk mengurus apartemen. Meski sebenarnya dia mampu untuk pindah ke perumahan, untuk saat ini Maura lebih memilih apartemen untuk tinggal bersama dengan putranya, Max dan Tante Yen yang berperan sebagai penjaga serta pengasuh Max kalau Maura sedang sangat sibuk. Sebenarnya kedua orang tua Maura meminta agar Max bisa kembali dia tinggal bersama mereka di Bali tapi Maura merasa kalau akan lebih baik jika Max tinggal bersama dengannya di Jakarta semenjak Max yang meminta hal tersebut kepadanya karena anak itu tidak ingin jauh dari Maura. "Putramu?" Pertanyaan Dania membuat Maura sedikit tersentak kaget dan akhirnya menyimpan ponselnya lagi. Dia baru sadar kalau di meja ini ada orang lain selain dirinya. Sebenarnya Maura tidak sengaja bertemu dengan Dania saat akan makan siang dan berakhir makan siang secara terpaksa bersama gadis itu karena Dania yang terus memaksa. "Iya, Max.," balas Maura sambil tersenyum kecil. "Omong-omong, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Maura pada Dania Tempat mereka makan siang sekarang adalah sebuah mall yang dekat dengan kantor Maura tapi cukup jauh dari mall tempat restoran milik Dania berada. Selain itu dia bisa memastikan kalau Dania memang tidak tinggal di sekitar tempat itu. "Aku bermaksud untuk menemui dirimu, tapi aku tahu kan kalau aku pasti akan sulit bertemu denganmu karena aku tidak memiliki kepentingan bisnis. Aku sudah pasti akan ditolak atau disuruh menunggu sebelum akhirnya hanya akan berakhir bertemu dengan sekuriti perusahaanmu yang akan menendangku keluar gedung. Beruntungnya aku saat sedang berpikir keras bagaimana caranya bertemu denganmu eh, kau malah akan makan siang, jadi yah anggap saja semesta berpihak kepadaku," jelas Dania. Maura mengerutkan dahinya mendengar ucapan Dania. "Tidak ada yang akan melakukan hal seperti yang kau bayangkan itu. Kalau kau memang ingin menemuiku, kau bisa mengatakannya pada resepsionis di lantai bawah yang akan memberitahu asistenku yang juga sekretarisku tentang hal itu dan kemudian meneruskannya kepadaku. Kalau aku tidak sibuk dan ada di kantor maka kita bisa langsung bertemu meski sejujurnya aku tidak akan bisa lama-lama kalau itu di jam kerja," ujar Maura. "Oh, aku tidak akan di usir karena datang tanpa janji dan pemberitahuan lebih dulu?" tanya Dania. Maura tertawa. "Kau terlalu banyak menonton adegan tidak penting di sinetron dan drama. Itu tidak akan terjadi," jawab Maura. Dania ikut tertawa. "Tidak, aku serius. Aku pernah di usir dari salah satu anak perusahaan keluarga Pangestu karena aku datang tanpa pemberitahuan untuk bertemu dengan Arga," ucap Dania. Maura menatap Dania prihatin. Dia tahu kalau sebenarnya keluarga Dania tidak seberapa diakui di dalam keluarga Pangestu semenjak mereka menolak untuk terlibat dalam bisnis dan persaingan keluarga. "Tapi Arga bukan tipe orang yang akan mengabaikanmu. Dia cukup banyak memperlakukan dirimu dan dari yang aku tahu, kau mungkin satu-satunya anggota keluarga Pangestu yang dekat dengannya," balas Maura. Dania mengangguk. "Ya, kau benar, setidaknya aku cukup puas karena bawahannya yang memperlakukan aku seperti itu sudah dia pecat di hari yang sama hahaha." Dania tertawa senang. "Di pikir lagi, kenapa kau ingin bertemu denganku?" Maura kini teringat kalau sebelumya Dania mengaku memang datang untuk bertemu dengannya. Dania kemudian melirik Maura. "Ah ada yang sangat menggangguku dan kau tahu kan kalau aku bukan tipe orang yang bisa tenang kalau merasa penasaran akan sesuatu," jawab Dania. Maura kembali mengernyit. Sesungguhnya dia tidak seberapa dekat dengan Dania, baik itu dulu maupun sekarang jadi dia tidak tahu kalau Dania memang seperti itu. "Aku tidak tahu, kita tidak sedekat itu," balas Maura jujur. "Duh, kau ini memang tidak bisa pura-pura saja kalau kau tahu banyak tentangku? Dipikir-pikir kau ini agak mirip dengan Arga terkadang," ucap Dania. "Yah mau bagaimana lagi, mungkin ada beberapa hal di antara aku dan Arga yang memang sangat mirip karena kami sudah lama bersahabat," ujar Maura. "He eh, bisa jadi. Mungkin karena itulah sampai-sampai kemarin saat bertemu denganmu dan Max, aku malah merasa kalau Max tidak hanya mirip denganmu tapi juga sangat mirip dengan Arga." Kali ini Dania mengamati reaksi Maura. "Uhuk." Maura malah tersedak mendengar ucapan Dania. "Kau tidak apa-apa?" tanya Dania. Dia langsung mengambil air mineral dan menyodorkannya ke arah Maura. Maura meneguk air minumnya dengan buru-buru. "Tidak lucu Dania." Maura menatap Dania dengan tatapan berbeda. "Aku tidak bercanda Maura. Kau mungkin tidak tahu kalau semenjak kau menjauh dan memutuskan hubungan dengan kami, beberapa anggota keluarga sempat bergosip kalau anak yang kau lahirkan, Max adalah anak dari Kak Rayan karena kalian memang sempat dekat saat bekerja bersama di Moroko. Namun berbeda dengan mereka, aku lebih condong akan berpikir kalau Max adalah anak Arga." Dania menjelaskan. Maura sempat menegang mendengar penjelasan dan kecurigaan Dania tapi dia dengan segera mengatur ekspresi wajahnya. "Kalian terlalu sering mencurigai sesuatu yang tidak mungkin. Putraku tidak ada hubungannya dengan siapapun terlebih kalau yang kau maksud adalah Arga dan Rayan. Aku tidak seceroboh itu untuk menjalin hubungan dengan anggota keluarga Pangestu. Kau juga tahu kan kalau aku menolak perjodohan dengan Arga dan terang-terangan menolak Rayan saat dia melamarku. Lagi pula kalau Max adalah anak salah satu dari mereka, mana mungkin Tuan besar Pangestu tinggal diam bukan? Aku pasti sudah diseret untuk menikah dengan salah satunya," balas Maura. Dia berusaha keras untuk tetap terlihat santai di hadapan Dania meski sejujurnya dia saat ini mendadak merasa gugup. Dania menarik napas panjang. "Apa kau tidak tahu kalau Kakekku jatuh sakit tidak lama setelah kau menyelesaikan kontrak kerjamu di Moroko?" tanya Dania. Maura menggeleng pelan. "Aku tidak tahu," balas Maura. Dania kemudian kembali menatap Maura dengan tatapan menyelidik. "Kau benar. Andai Kakekku tahu, dia pasti akan langsung menyeretmu untuk menikah dengan salah satu cucunya. Bagaimanapun dirimu adalah orang yang sangat disukai Kakek," ujar Dania. Maura mengangguk. Dia kini hanya mengacak-acak makannya dengan sendok dan garpu. Nafsu makannya sudah menghilang seketika setelah Dania berbicara tentang kecurigaannya. "Aku tidak ada hubungan apa pun dengan Arga selain sahabat dan aku lebih tidak ada hubungannya dengan Rayan. Jadi sekarang kau bisa berhenti mencurigai hal yang tidak penting Dania. Tidak ada satupun dari mereka yang adalah ayah kandung Max dan aku tidak pernah menjalin hubungan romantis dengan Arga maupun Rayan," tegas Maura. "Kau yakin?" Dania kembali bertanya. Sikapnya menunjukkan kalau dia serius sekarang. Maura menatap Dania tajam. Dia tidak mengerti apa sebenarnya yang di inginkan Dania dengan bersikap seperti ini. Sekalipun Max memang anak Arga, tapi itu tidak ada hubungannya dengan Dania sejak Dania sendiri tidak benar-benar terlibat dengan keluarga Pangestu. Jadi Maura lebih tidak mengerti dengan sikap Dania sekarang. "Aku yakin," jawab Maura. Dia kemudian meletakkan peralatan makannya. "Aku minta maaf tapi aku harus kembali ke kantor sekarang. Terima kasih sudah menemaniku makan siang," lanjut Maura. Dania tersenyum ramah. "Baiklah. Aku yang seharusnya berterima kasih karena kau bersedia aku temani. Maura kita akan sering bertemu," ujar Dania ramah. Dia terlihat bercanda tapi juga serius. Maura hanya tersenyum kecut dan langsung berbalik meninggalkan tempat itu. Tidak seharusnya dia menerima ajakan Dania untuk makan siang. Tidak. Maura merasa kalau seharusnya dia tidak pernah menerima ajakan Dania untuk makan di restoran milik Dania beberapa hari lalu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN