Bab 14. Sahabat Atau Kekasih? 5

1508 Kata
# Citra tampak termenung memperhatikan adik dan sepupunya yang sedang bermain dengan pengasuh mereka masing-masing. Luna yang melihat putri sulungnya tersebut tampak begitu serius akhirnya memutuskan untuk mendekati Citra. "Kau tidak menyentuh kue kesukaanmu? Apa kau ingin kue yang lain?" tanya Luna. Citra menoleh menatap ibunya dan kemudian beringsut masuk dalam pelukan Luna. "Mama, kalau aku sakit, apa Mama akan merasa sangat sedih?" tanya Citra. Luna yang mendengar pertanyaan putrinya tersebut langsung meraih wajah Citra dan memeriksa suhu tubuh Citra dengan menempelkan tangannya di dahi putrinya tersebut. Dia merasa sedikit lega karena suhu tubuh Citra normal. "Apa kau merasa sakit?" tanya Luna memastikan. Citra menggeleng pelan. "Hanya ingin tahu. Jika aku sakit, apa Mama akan sedih?" Citra kembali mengulang pertanyaannya. "Bukan hanya sedih. Mama akan sangat sedih kalau dirimu atau Chandra sakit. Tante Cindy juga akan sedih kalau sepupumu sakit. Tante Maura juga pasti sedih kalau Max sakit. Semua orang tua akan sedih kalau anaknya sakit." Luna memberi penjelasan. Citra diam. Dia kini kembali memeluk Luna erat saat teringat ucapan Max. "Mamaku akan sangat sedih karena aku tidak punya Papa dan Mama hanya punya aku. Kalau aku sakit, Mama akan amat sangat sedih dan tidak punya siapa-siapa lagi." Citra mendadak menangis sambil memeluk Luna erat. "Citra, kau kenapa? Apa ada yang sakit? Atau kau merasa sakit?" tanya Luna bingung. "Mama ... aku senang karena aku punya Papa. Jadi Mama tidak akan sedih sendirian kalau aku atau Chandra sakit." Citra menangis hingga tersedu-sedu. Dia menjaga janjinya pada Max tapi dia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menangis ketika dia memikirkan apa yang dikatakan oleh Max kepadanya. Luna tersenyum. Dia tidak mengerti kenapa Citra bisa bersikap seperti ini tapi dia sekarang mengerti kalau keputusannya untuk kembali bersama dengan Cakra adalah keputusan yang tepat setelah mendengar ucapan Citra. "Citra, kau ini benar-benar lucu. Entah kenapa kau bisa berpikir seperti ini tapi Mama terharu. Terima kasih karena sudah memikirkan tentang Mama. Jadi berhentilah menangis, oke?" bujuk Luna. Citra menghapus air matanya dengan dibantu oeh Luna. "Aku sayang Mama," ucap Citra sambil kembali memeluk Luna erat. # Arga termenung sendirian di dalam mobilnya yang sekarang terparkir di parkiran apartemen Maura. Dia sendiri tidak mengerti kenapa dia datang ke tempat ini dan lebih penting lagi, kenapa dia mencari tahu tentang tempat tinggal Maura. "Bagaimana kalau dia ternyata belum pulang?" gumamnya. Dia seakan sedang berbicara pada dirinya sendiri. Arga merasa bodoh karena dia seharusnya datang ke kantor Maura terlebih dahulu untuk memastikan. Dia kemudian meraih ponselnya dan menatap nomor kontak Maura selama beberapa saat. Ada dorongan kuat di dalam dirinya untuk menghubungi Maura. "Hubungi atau jangan." Arga menimbang-nimbang selama beberapa saat. Dulu Maura adalah sahabat yang selalu ada saat dia berada di dalam masalah. Maura bahkan akan datang saat dia memintanya. Arga mendadak merasa kalau dia begitu merindukan masa-masa ketika dirinya, Maura dan juga Cakra masih selalu menyediakan waktu bersama demi memelihara persahabatan mereka. Perlahan jari Arga akhirnya menyentuh nomor kontak Maura. "Halo." Suara Maura kini terdengar di seberang setelah sekali nada panggil. Arga tersenyum menyadari kalau Maura langsung mengangkat panggilannya tanpa menunggu lama. "Sudah tidur?" tanya Arga. "Tidak. Aku baru saja tiba malah," jawab Maura. "Tiba? Di mana?" tanya Arga sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling parkiran. Meski dia tahu kalau Maura mungkin memarkir mobilnya di lantai parkiran yang berbeda tapi siapa yang tahu kalau memang Tuhan berpihak kepadanya maka mereka akan berada di parkiran yang sama. "Aku masih di tempat parkir. Bisakah kau menelepon lagi nanti? Aku sedikit kerepotan karena tadi aku singgah berbelanja dahulu," ucap Maura. Arga kemudian melangkah cepat sambil memperhatikan setiap mobil yang mirip dengan mobil yang dia ingat selalu digunakan oleh Maura. Meski ada kemungkinan Maura mengganti mobilnya seperti ketika mereka ada di Moroko tapi Arga paham benar kalau Maura ada di Indonesia, dia pasti akan tetap memilih mobil yang sama dengan dulu untuk dia kendarai. Dugaan Arga terbukti benar saat dia akhirnya menemukan mobil BMW keluaran lama milik Maura. Seperti yang dikatakan Maura, dia terlihat kesulitan dengan barang belanjaannya sendiri kali ini. "Sudah kuduga kalau kau pasti masih menggunakan mobil yang sama dengan dulu. Dan juga, sepertinya kau memang kesulitan. Harusnya kau membawa pembantu atau meminta bantuan di saat seperti ini," ujar Arga sambil menutup panggilannya. Maura malah menatap Arga heran. Bagaimana bisa pria itu kini berada di parkiran apartemennya? "Kau? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Maura. Dia menatap Arga curiga. Tadi siang dia bertemu dengan Dania yang mengaku sengaja datang mencarinya dan sekarang dia bertemu dengan Arga. Mau tidak mau dia merasa curiga kalau Arga juga datang mencarinya dengan sengaja. "Apa lagi? Tentu saja aku mencarimu," ucap Arga terus terang. Maura menegang mendengar pernyataan Arga. Dia takut kalau ternyata Arga sama seperti Dania yang curiga tentang Max. "Aku berpikir kalau kita sudah lama tidak berbicara dan berkumpul satu sama lain sebagai sahabat. Bukankah ini waktu yang pas bagi kita untuk memperbaiki hubungan persahabatan kita yang merenggang?" tanya Arga penuh percaya diri. Maura masih menatap Arga selama beberapa saat sebelum akhirnya dia menyadari kalau Arga tidak seperti Dania. Bagaimana pun Arga adalah orang terakhir di muka bumi ini yang mungkin mencurigai dirinya sendiri sebagai ayah kandung Max. "Arga, ini jam delapan malam dan kau mengajakku memperbaiki hubungan persahabatan kita? Bahkan Cakra akan lebih memilih untuk memeluk istri dan anaknya di rumah dari pada berkumpul dengan kita berdua," balas Maura. Dia ingin menolak Arga tapi lagi-lagi ada rasa tidak tega di dalam dirinya ketika dia meliaht ekspresi wajah Arga. Sejak dulu, Arga adalah yang paling kesepian di antara mereka bertiga, terlebih setelah ibu kandung Arga meninggal dan ayahnya menikah lagi. Keluarganya yang problematik membuat Arga tanpa sadar tumbuh menjadi pria dengan sosok yang juga problematik. Dia gampang merajuk meski sudah dewasa dan sangat mudah merasa terpuruk ketika di hadapkan dengan kehilangan akan sesuatu yang membuatnya terobsesi. Seperti ketika Arga kehilangan Luna dulu. "Makanya aku tidak datang menemui Cakra. Aku datang menemuimu karena kau kan tidak punya siapa-siapa, sama sepertiku," ujar Arga. Maura meraih tas belanjaannya dari dalam mobil dan dia membiarkan Arga yang malah berinisiatif untuk membawa tas belanjanya yang satu lagi. "Aku punya anak sekarang dan dia mungkin sedang menungguku untuk makan malam bersama. Lalu kau sendiri punya istri dan anak yang sekarang sedang menunggumu juga. Sebagai seorang kepala keluarga, tempatmu ada di samping keluargamu. Dalam hal ini, istri dan anakmu," ujar Maura yang lebih terdengar seperti ceramah. Keduanya kemudian melangkah masuk ke dalam lift yang akan langsung menuju ke unit apartemen Maura. Saat itu hanya ada mereka berdua di dalam lift. "Kalau aku bilang bahwa istriku tidur dengan pria lain dan Agni itu kemungkinan besar bukanlah anakku, apa kau akan percaya?" tanya Arga kemudian. Wajahnya terlihat datar saat itu meski nada suaranya terdengar penuh kekecewaan. Maura tertegun mendengar ucapan Arga. Rasanya dia sulit untuk mempercayai apa yang dikatakan oleh Arga. Mungkinkah Arga saat ini hanya sedang mencoba untuk mengambil simpatinya dengan mengarang cerita tidak masuk akal itu? Bagaimana mungkin Arga yang dia kenal bisa sebodoh itu menikahi wanita yang mengkhianatinya dengan pria lain dan bahkan mengakui anak yang bukan anaknya. Bahkan Cakra sekalipun akan mengambil keputusan yang jauh lebih tegas dan pintar seperti yan dilakukan Cakra kepada Fenny, kakak tiri Luna dulu. Pintu lift terbuka di lantai tempat apartemen Maura berada tapi Maura masih tetap terdiam menatap Arga. "Kita sudah sampai. Kau tidak keluar?" tanya Arga yang sudah lebih dulu keluar dari lift. Dia menahan pintu lift dengan satu tangannya karena tangannya yang lain masih memegang belanjaan Maura. Maura menarik napas panjang dan kemudian melangkah keluar dari dalam lift. "Kalau memang demikian, berarti kau benar-benar bodoh. Bahkan Cakra tidak akan pernah mau mengakui anak yang bukan anaknya dan tidak akan pernah mau menikahi wanita yang berselingkuh darinya. Tapi ...." Maura mendadak teringat wajah Agni yang polos dan tidak berdosa. Sekalipun misalnya Agni memang bukan anak kandung Arga, sepertinya anak itu benar-benar menganggap Arga sebagai ayahnya dan Maura bisa melihat dengan jelas kalau Arga juga menyayangi anak perempuan itu. "Tapi apa?" tanya Arga yang sekarang berada di samping Maura. "Tapi sebesar apa pun kesalahan ibunya, Agni tidak bersalah," lanjut Maura. Arga tersenyum melihat betapa seriusnya Maura sekarang. Inilah yang dia suka dari Maura sejak dulu. Maura selalu peduli dengan sungguh-sungguh pada masalah yang dihadapinya. Saat dia patah hati setelah tahu kalau Luna menikah dengan Cakra, Mauralah yang selalu berusaha menghiburnya. Saat ibunya meninggal dulu, Mauralah yang menangis bersamanya dan menemaninya. Saat dia bertengkar hebat dengan ayahnya karena ayahnya menikah lagi dengan wanita lain, Mauralah yang menemaninya. Bukan berarti Cakra mengabaikan Arga. Masalahnya Maura selalu ada di level yang berbeda dalam menunjukkan kepeduliannya pada Arga meski Arga sendiri juga tahu kalau Maira menunjukkan kepeduliannya dengan cara yang sama pada Cakra dan bahkan mungkin pada Luna juga. "Karena itu Maura, aku membutuhkanmu. Aku butuh teman bicara," ujar Arga. Dia menyentuh bahu Maura. Hal yang seharusnya merupakan hal biasa yang sering mereka lakukan dulu. "Arga, itu masalah rumah tanggamu. Aku tidak mau mendengarnya. Kau harus mencari cara sendiri untuk ...." Maura tidak bisa melanjutkan kalimatnya saat Arga mendadak meletakkan tangannya di pintu dan mengurungnya. "Kenapa? Memangnya apa yang berbeda hanya karena aku sudah menikah? Apa kau takut?" tanya Arga tiba-tiba.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN