Sang Cowok tidak segera bereaksi. Seolah, ada sebuah peperangan yang sedang bergolak di dalam hatinya. Dia paham sepenuhnya, betapa dia kecewa dan tersinggung pada tindakan gadisnya yang dinilainya terlalu terburu-buru mengambil keputusan, walau bukan berarti ia marah.
Tidak, dia amat mengenal dirinya sendiri. Dia paham bahwa dia tak sanggup menyalahkan apalagi memarahi kekasih tercintanya ini. Dia terlalu sayang, dan itu membuatnya mengerti kemandirian dari gadis tercintanya itu. Masih terpateri dalam ingatannya, bahkan dalam keadaan susahpun, sang Kekasih telah terbiasa menangani sendiri urusannya dan pantang menjadi beban bagi orang lain. Devanno masih ingat benar, bagaimana gadisnya ini mati-matian menolak bantuannya untuk membiayai kuliah Octaviani, adik angkatnya. Sang kekasih begitu ngotot menyokong biaya kuliah Octaviani yang mengikuti jejaknya, bekerja sambil kuliah. Dan jelas, jenis pekerjaan yang dilakukan kekasihnya saat itu bukan satu macam. Kekasihnya ini masih menyempatkan diri bekerja paruh waktu di hari Sabtu, mengerjakan accounting service di toko buah, sementara dari hari Senin hingga Jumat tetap menjalankan pekerjaan purna waktunya di kantor. Bagaimana Devanno tidak mengkhawatirkan kesehatan kekasihnya yang begitu rajin mengejar pendapatan demi memenuhi kebutuhan dirinya dan adik angkatnya, sementara pada saat itu, Devanno sudah mempunyai penghasilan lumayan?
Cowok itu menatap lekat-lekat wajah gadisnya. Spontan ia menggelengkan kepalanya dan menghela napas panjang lantas mengembuskannya perlahan, ketika membandingkan situasi saat itu dengan kondisi sekarang.
Dulu, dia dapat menerima dengan hati lapang kemandirian kekasih hatinya. Beda ceritanya dengan saat ini, dia merasa keberadaan serta perasaannya terabaikan. Pasalnya, semenjak Mamanya mempertemukan mereka berdua lagi, ada kesepakatan yang terucap dari bibir mereka berdua. Ya, mereka berjanji akan selalu merawat hubungan mereka sebaik mungkin, tidak menyembunyikan rahasia satu sama lain, juga memutuskan bersama apa pun yang bakal berefek kepada hubungan mereka.
‘Tapi kenyataannya? Tanpa mendiskusikan atau meminta pendapat dariku terlebih dahulu perihal penugasannya ke Penang, tahu-tahu kamu sudah memutuskan sendiri, Sha! Aku nggak berlebihan kan, kalau bertanya, what am I to you, actually?’ batin Devanno dengan perasaan kecewa yang nyaris tak dapat ia tahan.
'Tapi mana mungkin aku sanggup melontarkan kalimat itu padamu dan sengaja menyakiti perasaanmu, sementara dari uraianmu tadi, terlihat kamu sendiri juga terdesak, harus memutuskan semuanya secara cepat?’ pikir Devanno pula. Ada kegamangan yang menggodanya.
“Deva?” panggil Marshanda dengan nada rendah. Marshanda menatap secara intens wajah Lelaki di hadapannya. Wajah yang datar, yang ia tahu, pastinya sedang berjuang menyembunyikan rasa kesal dan tersinggung yang mengamuk.
‘He’s hurt. I am so sorry, Devanno. Sorry, terkadang aku masih sering lupa bahwa kita sudah bersama lagi dan harus membicarakan dulu hal-hal macam ini padamu. Tolong Dev, aku nggak keberatan kamu ingatkan. Tapi nggak begini juga caranya,’ batin Marshanda di antara rasa sedih dan sesal yang berpadu jadi satu.
“Hei..., semarah itu ya? Maaf, aku ngaku salah, Dev. Tapi jujur, aku sudah nggak bisa mengubah hal ini. Sudah nggak mungkin Dev. Aku sudah membuat jadwal kerja. Lagi pula, ini bukan hanya tentang aku. Tapi juga tim aku, dan tim lain yang terkait. Maaf, Dev. Yang bisa aku lakukan adalah, mengusahan agar pekerjaan di sana bisa selesai secepat mungkin. Sementara itu saja yang bisa aku janjikan. Tolong, dukung aku, Dev,” Marshanda menggenggam tangan Devanno.
Devanno menahan napas. Dia paham, hatinya sudah mulai goyah saat ini.
Lantas Marshanda membawa tangan itu ke pipinya. Marshanda mengecup sekilas tangan Devanno, seiring pandangan matanya yang lembut. Tatapan yang seketika membuat hati Devanno luluh.
“Deva.., Devanno Bagaskara, betah amat sih, marahnya?” bujuk Marshanda seraya menelengkan kepalanya. Marshanda mulai menyungingkan senyum kecil, menggoda Devanno.
Apalagi di detik ini, ganjalan di hati Devanno rasanya seperti sedang diangkat saja.
Sementara itu, Stella didera rasa bersalah mendengar percakapan sepasang insan itu. Biarpun dia hanya melihat dari belakang, sekarang dia kian yakin yang wanita pastinya Marshanda. Dia amat mengenal suara Marshanda. Timbul rasa ibanya mendengar perselisihan Marshanda dengan pacarnya.
‘Gara-gara aku, Mbak Marshanda jadi bertengkar sama pacarnya. Ya, aku yang menjadi penyebabnya. Aku ini memang hanya menjadi beban bagi Mbak Marshanda, persis seperti perkataan teman-teman sekantorku,’ sesal Stella dalam diam. Walau berat hati, toh dia terpaksa mengakui, dirinyalah si penyulut masalah.
“Ya?” Marshanda menganggukkan kepala, menanti jawaban Devanno.
Kali ini, dengan iseng Marshanda membentangkan jari telunjuk serta ibu jarinya, menyentuhkannya di kedua sudut bibir Devanno, demi memancaing senyum Devanno.
“Mahal banget sih, senyumnya,” cetus Marshanda.
Devanno tak dapat mengatakan apa-apa lagi. Rasa kesalnya seakan menguap. Dia pun mengangguk dengan matanya, seolah ganti pernyataan bahwa dirinya mendukung keputusan Marshanda. Ya, meski dengan hati berat.
Marshanda mencermati ekspresi wajah Devanno.
“Kok, nggak ada senyum sama sekali? Belum, maksudku?” tanya Marshanda pelan.
“Marsha, kamu tuuuh... paling bisa, deh!” menelusuri wajah kekasihnya dengan pandangan sayang, mendengar suaranya, hati Devanno bagai sebatang coklat yang terkena suhu tinggi. Perlahan lumer.
Devanno tertawa kecil. Sekilas ia mencubit pipi Marshanda dengan tangannya yang bebas. Saat itulah, tak sengaja Marshanda menoleh ke arah samping belakang. Tatapnya tertaur dengan tatap mata Stella yang tertuju kepadanya.
“Mbak Marshanda?” ucap Stella.
Marshanda tersentak dan buru-buru melepaskan genggaman tangannya pada tangan Devanno.
“Aduh!” goda Devanno. Ia berlagak meringis kesakitan karena tangannya terbentur meja. Dengan super berlebihan diusap-usapnya lalu ditiupinya tangannya itu.
“Deva!” meski setengah berbisik mngucapkannya, Marshanda memelotkan juga matanya, memberi kode agar Devanno diam.
“Eit, sori. Jadi ganggu,” kata Stella, yang hampir memutuskan untuk pergi meninggalkan sepasang kekasih itu. Namun Marshanda juga melambaikan tangan kepadanya, memintanya mendekat.
Stella menurutinya.
“Enggak kok, Stella. Kamu, lagi makan di sini juga?” tanya Marshanda.
Stella menggeleng.
“Lagi nengok gerai Papa. Tuh, yang itu, Mbak,” kata Stella. Telunjuknya terarah ke gerai makanan cepat saji milik Papanya.
Marshanda manggut-manggut.
“Oh, almarhum Papamu ada gerai di sini juga ya Stella? Nanti kapan-kapan kita singgah, deh!” kata Marshanda.
“Eh iya., Dev, kenalin, ini Stella, teman sekantor aku. Stella, ini Devanno. Atau... jangan-jangan kalian berdua sudah saling kenal, ya? Karena seingatku, Tante Grizelle pernah bilang bahwa almarhum Om Wijayantha itu kenalannya Om Matthias. Iya kan Dev?” Marshanda memperkenalkan mereka berdua.
Stella dan Devanno saling berjabat tangan sembari menyebutkan nama masing-masing.
“Oh, ini anaknya Om Wijayantha? Belum pernah ketemu muka, sih. Mbak Kassandra sama Mama mungkin ya, yang pernah ketemu,” ucap Devanno.
Stella membenarkannya.
“Iya, saya pernah ketemu sama Mbak Kassandra waktu peresmian kedai kopi dulu. Kalau Om Matthias, sempat beberapa kali ketemu, sih,” balas Stella.
“Oh ya, turut berduka cita, ya Stella, atas berpulangnya Om Wijayantha. Maaf, waktu Om Wijayantha meninggal, saya lagi di luar kota,jadi nggak bisa datang langsung ke rumah duka,” kata Devanno kemudian.
“Terima kasih Mas Devanno.. Enggak apa Mas Devanno, waktu itu Tante Grizelle dan Om Matthias sudah datang melawat kok,” sahut Stella maklum.
“Saya tinggal dulu ya Mbak Marshanda, Mas Devanno,” enggan mengganggu mereka berdua lebih lama lagi, Stella pun berpamitan.
“Oh, iya Stella, silakan,” sahut Marshanda dan Devanno serempak.
Langkah Stella meninggalkan mereka diikuti oleh pandangan mata keduanya.
“Itu Stella yang pernah kamu bilang awalnya agak sulit menyesuaikan diri di lingkungan kerja, Sha? Ternyata Stella yang sama dengan anaknya Om Wijayantha. Nggak nyangka. Dunia begitu sempit, ya,” kata Devanno.
Marshanda mengangguk.
“Iya, kami juga baru tahu bahwa Stella merupakan anak dari pengusaha terkenal yang punya usaha media sewaktu Pak Pangerstu Wijayantha, Papanya Stella meninggal. Aku belum sempat bilang sama kamu, ya, soal itu,” kata Marshanda sembari mengingat-ingat.
Devanno mengangkat bahunya.
“Gimana mau cerita soal Stella? Soal Pak Hartono-mu saja baru hari ini kan, kamu berterus terang? Padahal setiap hari kalian berdua bekerja satu kantor,” kata Devanno datar.
Marshanda bagai tersengat lebah mendengar ucapan Devanno yang tidak terduga itu.
“Heh! Enak saja, Pak Hartono-ku! Pak Hartono, nggak pakai embel-embel ‘ku’. Ya, gimana mau cerita soal dia ke kamu, Dev? Enggak penting juga. Selama ini biasa saja kok, sikapnya. Profesional. Cuma tadi siang aja, aku ngerasa heran. Caranya ngelihat ke aku. Cara ngomongnya. Terus, yang rada aneh, aku sempat dengar dia itu sampai telepon sendiri ke Rheinara, Manager Keuangan yang di Penang, untuk sediain akomodasi dekat kantor. Itu kan, semestinya tugasnya Merliani,” kata Marshanda pelan.
Devanno mengernyitkan dahinya. Apa yang diucapkan oleh Marshanda ini sungguh mengusik ketentraman hatinya.
“Serius baru tadi siang, Sha? Atau..., kamu pura-pura nggak tahu selama ini?” selidik Devanno.
Marshanda menggeleng.
“Dev, sudah dong. Jangan mulai lagi, deh! Memang begitu adanya, kok! Itu juga baru pemikiran dariku aja. Ya mungkin dia mau memastikan timnya bekerja dengan nyaman dan cepat. Kan ujung-ujungnya masalah anggaran dan kinerja juga Dev. Kalau aku ngomong ke kamu dari dulu, namanya aku yang gede rasa. Ya kan?” sahut Marshanda, membela diri.
Dlam diam, Devanno mencoba meresapi kata-kata Marshanda.
“Ya sudah, aku percaya kok, kamu bisa menjaga hati. Tapi, kalau sekali aja kamu berselingkuh sama atasanmu itu, aku langsung obrak-abrik tuh, kantor kalian,” ucap Devanno datar sesaat setelahnya.
Marshanda tertawa geli.
“Ngawur deh kamu tuh!” balas Marshanda.
“Kenapa enggak? Yang bakal aku obrak-abrik kan, cuma tempat kerja kalian, bukan seluruh kantor. Biar salah satu keluar dari perusahaan itu,” tambah Devanno gemas.
“Dev, please deh! Sama aja kamu mau membunuh karirku kalau begitu. Tega banget!" cetus Marshanda.
Devanno mengembangkan kedua tangannya, memasang ekspresi datar pada wajahnya. Marshanda gemas dibuatnya.
"Sudah ah, bercandanya Dev! Kita pulang sekarang, yuk? Lewat depan gerai Stella sekalian, pamit sama dia,” ajak Marshanda.
Devanno memaksakan sebuah senyum.
Masih sulit baginya untuk menyangkal, dia merasa insecure saat ini, betapapun ia mencoba untuk menekan perasaan itu agar tidak terbaca oleh Marshanda.
“Ayolah,” sambut Devanno akhirnya.
Dengan mesra Devanno melingkarkan tangannya ke pinggang Marshanda, tak mengacuhkan sedikitpun isyarat protes dari tatapan Marshanda yang memang tak terlalu suka mengumbar kemesraan di depan umum.
- Lucy Liestiyo –