Semakin dekat dengan ruangan yang ia tuju, langkah Stella semakin melambat saja. Hatinya berdebar-debar. Sejarak dua langkah dari pintu ruangan, langkah Stella benar-benar berhenti sepenuhnya.
Gadis itu menarik napas dan memejamkan mata sekian detik.
‘Yakin. Yakin. Ini yang terbaik. Ini jalan keluar yang sempurna,’ kata Stella dalam hati, menyemangati dirinya sendiri.
Ia pun melangkah lagi, lalu mengetuk pintu yang berada tepat di hadapannya.
“Masuk!” kata Marshanda ketika mendengar ketukan di pintu ruangannya. Secepat ia mengucapkannya, secepat itu pula reaksi orang yang ada di sisi luar pintu. Pintu kaca ruangan Marshanda pun terkuak.
Marshanda mengangkat wajahnya, menatap ke pintu yang terbuka itu.
“Pagi, Mbak Marshanda!” Stella masuk dan segera menutup kembali pintu ruangan, lantas menghampiri Marshanda.
Marshanda tersenyum, terkenang perjumpaam dan percakapan singkatnya dengan Stella tadi malam.
“Pagi, Stella! Duduk dulu, ya! Sebentar, aku sambil kirim satu email. Sudah setengah tadi ngetiknya,” kata Marshanda lantas meneruskan pekerjaannya yang terjeda.
Stella mengangguk.
“Baik, Mbak,” ucapnya patuh, persis murid baru yang masih segan dengan gurunya. Ia berjuang keras meredakan debar-debar di dadanya, yang bukannya mereda begitu dia berhadapan dengan Marshanda, tetapi justru kian kencang saja. Dengan sadar, Stella menyembunyikan tangannya yang berkeringat di bawah daun meja kerja Marshanda.
“Oke. Ada apa, Stella?” tanya Marshanda usai menekan tombol ‘send’ pada keyboard laptop-nya. Ditatapnya kedua bola mata Marshanda.
Stella merasa lehernya seperti tercekik saja. Ia pun menelan ludah sebelum mulai membuka mulutnya untuk menyampaikan sesuatu hal kepada Marshanda.
“Mbak, maaf pagi-pagi aku sudah ganggu Mbak. Eng... aku cuma mau kasih ini,” tangan Stella gemetar ketika mengangsurkan amplop berisi surat yang telah disiapkannya dari tadi malam. Surat yang diketiknya larut malam, setelah mempertimbangkan segala rentetan kejadian yang dia alami semenjak pagi di kantor hingga malam harinya bertemu dengan Marshanda di area foodcourt.
Marshanda mengangkat alis. Tanpa harus membukanya saja, dia sudah langsung dapat mereka apa isi surat itu. Itu tak lain adalah ‘surat cinta’ seorang bawahan kepada atasan langsungnya, kata lain untuk surat pengunduran diri dari pekerjaan.
“Kamu kenapa, Stella? Kemarin kamu masih biasa-biasa saja,” selidik Marshanda sabar.
Dan demi alasan profesionalisme, Marshanda tetap membuka amplop surat, lantas membacanya sambil lalu. Sebagaimana surat pengunduran diri lainnya, isi surat pengunduran diri yang diserahkan Stella juga berisi alasan standar : mengundurkan diri karena alasan personal.
“Stella?” panggil Marshanda kemudian.
“Ya, Mbak,” sahut Stella, bersiap seakan dirinya tengah menghadapi sebuah exit interview, sebuah proses sahih yang berlaku di perusahaan, ketika seseorang menyerahkan surat pengunduran diri dari pekerjaan. Umumnya, exit interview dilakukan oleh atasan langsung terlebih dahulu, untuk mengorek persoalan apa yang terjadi apakah yang bersangkutan masih dapat dipertahankan atau tidak, tentunya dengan mencarikan solusi dari masalah yang dikemukakannya. Apabila sang atasan langsung sudah tidak dapat mempertahankan keberadaannya, biasanya exit interview juga dilanjutkan oleh bagian human resources departement.
“Bilang saja, ada apa?” Marshanda mengulang pertanyaannya.
Belum sempat Stella menjawab pertanyaan Marshanda, terdengar ketukan di pintu. Kepala Merliani menyembul dari celah pintu, bahkan sebelum Marshanda memberikan pertanda bahwa dia boleh masuk.
“Ups, maaf, Mbak. Kirain nggak ada siapa-siapa. Boleh saya ganggu sebentar?” tanya Merliani tak enak hati, karena melihat ada Stella di ruangan tersebut.
Marshanda mengisyaratkan agar Merliani masuk.
“Soal apa, Mer? Urgent, nggak?” tanya Marshanda.
Merliani mendekat, menatap pada Marshanda dan Stella bergantian sebelum berbicara.
“Maaf interupsi sedikit ya, Stella. Saya singkat aja Mbak Marshanda. Ada dua hal yang mau saya kabarkan. Pertama, soal tiket. Saya nggak bisa mendapatkan tiket untuk hari Senin pagi. Seat yang tersedia tinggal Senin sore. Kedua, soal akomodasi di sana. Rheinara sudah emailkan dua pilihannya. Dia mau booking-in. Apa Mbak Marshanda mau lihat dulu?” tanya Merliani sambil menyerahkan dua lembar kertas hasil print out.
Marshanda menerima print out itu, mengamati foto ruangan dan membaca keterangan fasilitasnya sekilas.
“Mer, untuk tiket, Senin sore nggak masalah. Aku berangkat dari kantor. Paginya masih ngantor di sini. Tanya Barry, mau berangkat dari kantor atau ketemu di Bandara, terserah dia. Yang kedua, ditunda dulu. Lagian aku kan cuma seminggu di sana, terus balik kemari,” jawab Marshanda.
“Ini bukan untuk yang seminggu pertama, Mbak. Yang seminggu pertama kan, memang sudah dipesankan hotel. Yang saya maksud adalah akomodasi ke depannya,” jelas Merliani.
Marshanda terkejut mendengarnya.
“Hotel? Seminggu penuh? Nggak boros, tuh? Coba tanya ke Rheinara, di apartemen fasilitas dari kantor untuk dia dan beberapa manager lain yang enggak berdomisili di Penang itu, masih tersisa kamar kosong, nggak? Atau, unit yang lebih kecil, yang mungkin sedang kosong? Masa nggak ada yang sewa mingguan, orang di Jakarta saja yang sewa harian banyak, kok,” Marshanda mengernyitkan alis.
“Tapi, kata Pak Hartono...,” Merliani menggantung kalimatnya. Keraguan membayang di paras Merliani.
Mendengar nama Pak Hartono disebut, ditingkahi dengan sikap Merliani yang macam itu, Marshanda merasakan ada yang menyenak di dadanya. Menengarai perlakukan istimewa Pak Hartono atasnya, hatinya mendadak ciut. Sungguh, kali ini sulit baginya untuk menepis rasa takut, bahwa kecurigaan Devanno terbukti. Ya, kecurigaan bahwa Pak Hartono mempunyai intensi khusus padanya. Marshanda tak dapat menafikan gelagat Pak Hartono yang menunjukkan betapa atasannya itu mengistimewakannya. Maka, Marshanda memperingatkan dirinya sendiri tentang prinsip kerjanya yang pantang terlibat hubungan pribadi dengan atasan dan berfokus pada tantangan seputar pekerjaan semata. Di otaknya langsung timbul ancang-ancang untuk mulai menjaga jarak dengan Pak Hartono. Caranya, hanya membicarakan urusan kerja. Tanpa basa-basi. Titik. Tanpa koma.
“Akomodasi untuk ke depannya, Mer? Secepatnya akan kukabari. Thanks ya,” pungkas Marshanda.
“Sama-sama, Mbak. Mari,” kata Merliani sembari melirik Stella yang tampak resah menantinya berlalu. Sedetik tadi, Merliani sempat melirik lipatan surat di atas amplop. Merliani bertanya-tanya dalam hati, surat apakah gerangan, yang berada di meja kerja Marshanda? Otaknya bekerja cepat, menghubungkan surat itu dengan keresahan yang membayang di wajah Stella.
“Nah, Stella, bilang ada apa?” tanya Marshanda begitu pintu kembali tertutup.
Stella menarik napas panjang panjang sebelum menjawab.
“Mbak Marshanda, aku nggak mau lebih lama lagi menjadi bebannya Mbak,” ujar Stella.
Alis Marshanda terangkat, ditatapnya Stella lekat-lekat.
“Yang bilang kamu jadi beban siapa?” tanyanya datar.
“Hampir semua teman di sini, Mbak. Aku mendengar sendiri kok, mereka membicarakanku di belakangku,” kata Stella sambil menundukkan wajahnya, membuat Marshanda langsung berdecak.
“Ck! Ck! Hanya gara-gara omongan orang lalu kamu ingin mengundurkan diri? Stella, tolong pertimbangkan lagi untuk tetap bekerja di sini. Tanyai dirimu sendiri. Seorang Stella, lulusan universitas ternama di luar negeri, yang berhasil membuktikan dirinya mandiri dengan menempuh pendidikan di tempat yang berjauhan dari orang tuanya. Yang memilih bekerja di luar lingkaran usaha orang tuanya. Masa mentalmu selemah ini? Kalah menghadapi omongan-omongan semacam itu?” tanya Marshanda.
“Mbak..., masalahnya...,” Stella menggantung kalimatnya.
Marshanda tak membuang waktu, dimanfaatkannya hal itu sebagai celah.
“Apa masalahnya, Stella? Sebaik apa pun diri kita, kita nggak bisa mengharap semua orang bisa menyukai kita. Masa, kamu menyerah menghadapi hal seremeh itu? Prospekmu terbilang bagus di sini. Justru dengan keberangkatanku, akan terlihat bagaimana kualitasmu. Nggak lama lagi, kamu itu sudah hampir setara sama Mathilda,” nasehat Marshanda sungguh-sungguh.
Stella terdiam. Mengambil waktu untuk meresapkan perkataan Marshanda.
“Aku nggak enak hati, gara-gara aku, Mbak Marshanda terkondisi mengambil tanggung jawab ini. Aku nyusahin Mbak Marshanda. Maaf Mbak, kemarin aku nggak sengaja mendengar perselisihan antara Mbak Marshanda dan Mas Devanno,” ujar Stella kemudian.
Marshanda tersenyum tipis mendengarnya.
‘Stella, Stella, mana ada hubungan yang selalu berjalan mulus manis bak jalan bebas hambatan? Hubungan apa pun, pasti ada dinamikanya. Mau hubungan kerja, hubungan persahabatan, hubungan keluarga, atau hubungan percintaan,’ sahut Marshanda. Tentu saja dalam hati.
“Mbak Marshanda, aku benar-benar nggak enak hati. Aku nggak mau menambah bebannya Mbak,” sambung Stella.
Mendengar itu, Marshanda menatap wajah Stella dengan saksama. Meneliti ekspresi di raut wajah Stella.
“Stella, kalau kamu merasa tak enak hati, bukannya seharusnya kamu nggak membuatku bertambah repot? Dengan rencana pengunduran dirimu, sama saja menambah bebanku. Aku harus secepatnya mencari pengganti kamu. Kemudian, berpacu dengan waktu, supaya pekerjaan dan suasana di tim ini stabil kembali. Kalaupun mendapatkan kandidat yang tepat, tetap saja... aku butuh untuk membagi fokusku dalam masa-masa transisi itu. Padahal kamu tahu kan, apa yang sedang dihadapi tim kita?” ucap Marshanda pelan, namun tegas.
Stella merasa bak tertampar. Disadarinya kebernaran di dalam uapan Marshanda.
“Maafkan aku, Mbak,” sesal Stella yang tersentuh dengan keterusterangan Marshanda.
Marshanda menatap Stella dengan lembut. Untuk alasan yang tidak dimengertinya, hatinya selalu lumer setiap kali menghadapi Stella. Stella yang kurang disukai oleh teman-teman satu tim maupun bagian lainnya. Stella yang dikatakan amat jinak dan penurut terhadapnya. Pelan, tangan Marshanda menyentuh pundak Stella.
“Stella, masih ingat rumusan umumnya, kan? Putuskan sesuatu pada saat hatimu sedang gembira. Bukan di saat tertekan,” tegur Marshanda.
Stella menunduk makin dalam. Lidahnya terasa kelu. Menghadapi Marshanda, entah mengapa dia selalu merasa dirinya bukan tengah dimarahi atau ditegur. Dia justru merasa, Marshanda selalu melindunginya. Dia juga merasa, Marshanda senantiasa mengarahkan dirinya menjadi pribadi yang lebih baik. Minimal, selama menyangkut pekerjaan.
“Baiklah. Aku akan berusaha untuk bertahan, Mbak,” kata Stella akhirnya.
“Bagus, Stella. Aku hargai itu. Just do your best, ok?,” timpal Marshanda sembari mengacungkan ibu jari.
Stella hanya mengangguk.
“Mbak, mengenai alasanku nggak bisa meninggalkan Mamaku sendirian untuk jangka waktu lama. Maaf sekiranya terkesan nggak profesional,” kata Stella hati-hati.
Marshanda menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan amat perlahan.
“Stella, kita ini bukan robot tanpa perasaan,” ucap Marshanda tenang.
Stella sangat ingin mengangkat wajahnya dan memberanikan diri menatap langsung wajah atasan langsungnya ini. Namun entah mengapa, dia masih ingin mendengarkan secara tuntas ucapan Marshanda.
“Stella, kamu nggak salah-salah amat, kok. Jaga baik-baik Mamamu. Kasih waktu dan perhatianmu untuk orang-orang yang kamu sayangi selagi bisa. Nah, sekarang, kalau sudah nggak ada lagi yang mengganjal pikiranmu, balik kerja, ya? Kamu juga tahu, sudah banyak antrian pekerjaanku, kan? Semangat, ya!” sambung Marshanda.
“Mbak Marshanda, terima kasih,” ucap Stella. Kini dia mengangkat wajahnya. Dan, Marshanda melihat, mata Stella berkaca-kaca. Ingin benar Stella memeluk Marshanda demi mengungkapkan rasa terima kasihnya, tetapi rasa segannya keburu menghalangi.
“Sama-sama. Hei, hapus dulu airmatanya sebelum keluar dari sini. Jangan sampai orang-orang di luar berprasangka macam-macam dan mengarang drama ala sinetron atau ftv, Dik Stella!” kata Marshanda ringan.
Spontan, tangan Marshanda menepuk pipi Stella dengan sayang, lalu mengulurkan kertas tisu.
Stella tertegun disentuh seperti itu. Dirasakannya aliran hangat mengalir di pipinya. Betapa dia ingin berlama-lama disentuh oleh Marshanda seperti itu. Rasanya begitu damai dan nyaman. Stella terbuai, nyaris dia tak memercayai apa yang barusan dilakukan Marshanda padanya. Sapaan ‘Dik Stella’ itu terdengar bak senandung merdu di telinganya, menjawab kerinduannya akan kehadiran seorang saudari kandung, apalagi kala teringat perkataan Mathilda bahwa Marshanda sebatang kara. Dia langsung berandai-andai, Marshanda bersedia menjadi saudari angkatnya. Alangkah akan tersanjungnya dirinya bila dijadikan sebagai adik Marshanda. Lagi pula, dia pun yakin sepenuhnya, Almarhum papanya pasti tidak keberatan menyematkan nama Wijayantha di belakang nama Marshanda.
‘Marshanda Ayunindya Wijayantha, lumayan keren, kan Mbak? Marshanda Ayunindya Wijayantha, kakak angkat dari Auristella Maheswari Wijayantha. Kedengarannya juga klop di kupingku. Ah, sayangnya bukan cuma aku, Mathilda saja kentara sekali terobsesi menjadi adikmu juga,’ batin Stella.
“Hmmm... sori, ‘baper’ Mbak, kebawa perasaan. Saya permisi Mbak, terima kasih.” Stella tersipu.
Marshanda tersenyum dan menepuk-nepuk pundak Stella.
Dan sekali lagi, hati Stella terasa menghangat, diperlakukan macam itu.
^* Lucy Liestiyo *^