Anita menjawab dengan anggukan kepala.
“Masa sih? Serius, Nit?” tanya Ardiansyah lagi, tampak tidak semudah itu percaya.
“Iya. Benar kok. Dia cuma tulis Auristella. Kami bagian human resources department saat itu cuma berpikir, nama ‘Pangestu’ yang ditulis di data karyawan hanyalah salah satu di antara sekian banyak orang yang bernama Pangestu. Bukan Pangestu Wijayantha sang pengusaha terkenal itu. Jujur, di mata aku pribadi, itu merupakan suatu nilai tambah. Aku mempunyai penilaian yang positif soal itu. Artinya, Stella adalah pribadi yang nggak mau nebeng kebesaran nama orang tuanya. Ya dia mau setara sama kita, sama-sama meniti karir dari awal,” terang Anita, netral.
Stella sedikit terhibur mendengar Anita mengucapkan hal ini.
“Ya biarpun, pada akhirnya, toh semua orang tahu dia siapa,” imbuh Anita dengan nada rendah.
Sampai di sini, Stella tetap merasakan Anita cukup fair dalam menilai dirinya. Dari tempatnya berada, Stella tetap mencuri dengar kelanjutan obrolan kawan-kawannya.
“Ah! Tapi tetap saja Nit. Itu nggak bisa menutupi kekurangan dia yang lain. Taruhlah itu hal baik, perbandingannya itu, hal baiknya satu, hal buruknya seratus. Aku heran banget, sama Mbak Marshanda. Si Stella itu kan nyebelin banget. Kok, dia bisa sabar ngebimbing Stella. Kalau aku yang jadi Mbak Marshanda, sudah kutendang jauh-jauh dia, sebelum tiga bulan kerja di sini,” kata Ardiansyah secara mengejutkan.
Telinga Stella memerah mendengar kasak-kusuk itu. Hatinya bagai ditusuk-tusuk saja rasanya.
Diam-diam dia menyesal mengapa harus melewati kantin saat akan pulang begini. Seharusnya dia bisa lewat arah lain untuk menuju ke pelataran parkir. Hati Stella jadi bertanya-tanya, “Kebetulankah ini?”
Ya, mungkin saja ini kebetulan, yang justru membuat dirinya mengerti bahwa teman-teman sekantornya ternyata hanya bersikap pura-pur baik di depannya saja selama ini. Stella menengarai, pasti itu pun disebabkan rasa tak enak hati pada Marshanda. Buktinya, lihat saja apa yang dilakukan teman-teman sekantornya sekarang, yang tidak menyadari bahwa Stella mencuri dengar pembicaraan mereka?
‘Di depanku seolah sudah welcome. Menganggapku sebagai teman, menerima sepenuhnya bahwa aku adalah bagian dari perusahaan ini. Sementara di belakangku, mereka masih sering membicarakan diriku. Persis sebagaimana yang aku pergoki saat ini,’ pikir Stella masygul. Sulit bagi Stella, membayangkan bakal seperti apa keadaannya bila nanti tak ada Marshanda bersamanya. Diliputi perasaan kecewa yang besar, Stella tergoda untuk mulai menimbang, masih layakkah pekerjaan yang dijalaninya kini. Masih perlukah dia menjalaninya, menempuhnya, dibandingkan dengan hasil yang ia dapatkan dari sini.
‘Bukan. Bukan masalah gaji dan tunjangan. Dari awal juga bukan itu yang membawa langkahku ke perusahaan ini. Tetapi soal peluang berkarir, pemenuhan rasa puas di batinku. Ya itu. Tetapi sekarang dan ke depannya, seimbangkah, dengan semua ucapan miring tentang diriku yang barusan aku dengar sendiri dari mulut kawan-kawanku? Bukan dari pihak ketiga, yang tentu sudah dibumbui dengan hasutan?’ tanya Stella dalam hati.
Stella menarik napas dalam-dalam, menahannya beberapa saat sebelum mengembuskannya dengan amat perlahan. Ia sampai memerlukan melakukan hal itu beberapa kali, demi mengusir rasa sesak yang menyenak di dadanya.
Setelah merasa suasana hatinya sedikit lebih baik, dia pun cepat-cepat melangkah ke tempat parkir. Dipencetnya remote mobilnya dan segera membuka pintu mobil. Stella yang sudah merasa gerah berada di lingkungan kantornya, langsung menstarter dan melajukan mobilnya. Saat ia melirik arlojinya, dia mengira-ngira keberadaan Mamanya saat ini, masih di jalankah, mengunjungi yayasannya yang menampung anak-anak yatim piatu, tengah singgah ke salah satu dari empat kedai kopi peninggalan Papanya, melihat sebentar gerai makanan cepat saji milik keluarganya yang terdekat letaknya dari rumah, ataukah malah menghabiskan waktu di toko roti yang terletak di seberang rumah mereka?
Mengingat bahwa Mamanya justru hanya beberapa kali saja menengok toko rotinya itu sejak Papanya meninggal, cepat-cepat Stella menepis kemungkinan terakhir. Stella tahu alasannya dan dia pun setuju, untuk sementara waktu ini, lebih baik memang Mamanya berada di luar rumah sebelum dia kembali ke rumah. Sebab, berada di rumah terlalu lama senantiasa membuat Mamanya teringat, rindu pada Papanya dan tersapa nelangsa. Wajar saja, setiap sudut dari rumah tempat kediaman mereka itu, penuh kenangan manis dengan almarhum suami tercinta. kalau bagi dirinya yang 'hanya' seorang anak saja rasanya hampir, kehilangan seorang ayah, apalagi Mamanya, bukan?
Diam-diam, Stella sering memergoki Mamanya menangis. Dalam hati Stella berharap, masa penyangkalan ini segera berlalu, meski dirinya sendiri juga masih kerap menangis di malam hari, meratapi kepergian sang Papa. Ia pun memacu kendaraannya, mengarah ke area foodcourt.
Stella memasang head set dan menghubungi nomor telepon genggam sang Mama. Terdengar nada tunggu. Satu kali. Dua kali. Stella menanti dengan sabar.
“Hallo, Sayang, lagi di mana? Masih di kantor, ya? Lembur lagi?” terdengar sapaan sang Mama menjawab panggilan teleponnya.
“Hai Ma, baru saja keluar dari kantor nih. Tapi Stella nggak langsung pulang. Stella mampir ke gerai Papa yang di foodcourt sebentar, ya. Mama sendiri, apakah sudah di rumah sekarng?” tanya Stella kemudian.
“Mama sedang dalam perjalanan pulang, Sayang. Tapi Mama juga mau mampir sebentar ke gerai makanan cepat saji Papa yang searah rumah. Kamu jangan terlalu malam pulangnya ya, nanti kecapekan. Besok pagi kan masih harus ke kantor,” pesan Mamanya.
“Iya, Ma. Beres. Stella mampirnya sebentar saja, kok. Mama hati-hati di jalan ya, daagh…,!” kata Stella.
“Kamu juga hati-hati di jalan ya Stella sayang! Daagh!” balas Mamanya.
Komunikasi via sambungan telepon itupun berakhir.
- Akhir Dari Kilas Balik –
”Mbak Stella, bagaimana es jeruknya? Oke, nggak?” kru yang tadi melayani Stella, mendekat dan membuyarkan lamunan Stella.
Stella memalingkan muka, mengacungkan jempol dan berkata, “Pas.”
Kru yang tadi mengantarkan es jeruk nipis pesanannya, tersenyum.
“Wah, terima kasih, Mbak. Saya tinggal dulu ke dapur, ya,” kata kru itu.
“Oke,” sahut Stella ringan.
“Mbak Stella, Mbak Stella sungguhan nggak mau makan apa-apa? Pasti Mbak belum makan malam, kan? Sudah jam segini lho! Mungkin kalau Mbak lagi enggak mau makanan berat, makanan ringan atau apa gitu? Kan banyak pilihan,” pertanyaan Rara sang kasir yang ikut mendekati Stella, membuat Stella menggeleng. Sang kasir memang sedang agak senggang sekarang ini, karena tidak ada antrian pengunjung yang akan membayar pesanan mereka.
“Oh, iya, terima kasih. Eh ngomong-ngomong Ra, itu sebelah jual apa, sih? Kok, saya perhatikan antriannya ramai terus dari tadi,” tanya Stella penasaran. Tadi sewaktu dirinya baru tiba hingga selama dirinya merenungi percakapan teman-temannya di kantin, sesekali memang dia melayangkan pandang ke gerai sebelah.
Rara tersenyum.
“Oh, itu. Bakso bakar. Baru itu Mbak, dan masih banyak promo makanya ramai. Mbak Stella mau coba? Saya orderkan ya!” Rara menawarkan.
Stella menimbang-nimbang dalam diam.
“Mau, Mbak?” tanya Rara lagi.
“Eng.., nggak usah deh Ra, nanti saya lihat-lihat sendiri aja deh,” tolak Stella akhirnya.
“Baik, Mbak. Kalau Mbak Stella perlu apa-apa lagi, bilang saya saja,” sahut Rara pula.
Stella segera menghabiskan es jeruk nipisnya dan beranjak dari duduknya.
“Ra, saya ma ke sebelah dulu. Titip tas saya ya,” kata Stella sambil menyodorkan tas kerjanya.
Rara segera menerima tas yang disodorkan oleh Stella dan menyimpannya baik-baik di bawah meja kasir.
“Iya, silakan Mbak,” sahut Rara kemudian.
“Thanks ya Ra,” ucap Stella yang bersahut anggukan dan senyum manis sang kasir.
Stella langsung mendekati outlet sebelah. Melihat antriannya yang panjang, dia memilih berkeliling sesaat di segenap area foodcourt tersebut. Ia sekaligus memperhatikan dan mengukur, sejauh mana minat beli para pengunjung pada jam makan malam begini. Dari salah satu meja, terkirimlah perdebatan khas sepasang kekasih ke telinganya.
“Bukan cuma kamu. Aku yang melihat sekali saja langsung paham, dia itu ada hati sama kamu. Caranya dia ngelihat ke aku seperti niat banget mau menyingkirkan aku,” kata si cowok. Jelas suara itu ditekan agar tak terdengar kemana-mana. Celakanya, di saat orang-orang sedang makan, biasanya mereka tidak mengobrol karena sibuk mengunyah makanan dimulut mereka. Karenanya, suara Cowok itu cukup keras terdengar.
“Deva...,” Cewek yang duduk di depannya menggelengkan kepala, pertanda tak ingin memperpanjang masalah lagi.
Yang dipanggil diam saja, tidak menyahut.
“Deva, Devanno, ayolah jangan begini,” pinta Cewek itu pelan. Ada nada membujuk dalam kalimatnya.
Beruntung. Sekali ini, ucapannya bersambut.
“Marsha, sampai kapan kamu mau menghindari dia dengan cara seperti ini? Kamu nggak sadar, dengan berkantor di sana, sama saja tantangan besar buat hubungan kita. Menjalani Long Distance Relationship? Buat berapa lama? Kita belum lama sama-sama lagi, Marsha,” keluh si cowok dengan pikiran yang mendadak terasa penat.
Stella ingin sekali segera berlalu dari situ. Dia sama sekali tidak berminat untuk mendengarkan pertengkaran sepasang kekasih macam ini. Tetapi entah mengapa, langkahnya justru terasa tertahan. Stella berdiri mematung.
“Dev, aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf ke kamu. Aku tahu kamu marah karena aku memutuskan semuanya sendiri tanpa meminta pendapatmu dulu. Maaf.,” lamat-lamat Stella mendengar suara si cewek. Dan semakin dia memfokuskan indra pendengarannya, rasanya dia semakin mengenali suara itu. Dia mulai menebak-nebak dalam diam, siapa gerangan sang empunya suara? Sungguhkah orang yang ia kenal?
‘Tapi kan banyak suara yang mirip? Wajah saja banyak yang mirip. Bisa jadi bukan dia,’ pikir Stella ragu. Berpikir demikian, pada akhirnya ia memutuskan untuk mengamati saja dari tempatnya berdiri. Toh, jaraknya juga tidak seberapa jauh dari meja sepasang kekasih itu sehingga masih sangat memungkinkan dirinya mendengar apa yang mereka percakapkan.
'Sebetulnya aku jadi geli pada diriku. Mengapa ya, kok hari ini aku mendadak terkondisi menjadi penguping begini sih? Tadi di kantin, mencuri dengar obrolan teman-teman, yang yach.., memang mau nggak mau harus asku akui, ada manfaatnya juga aku mendengar langsung. Terus sekarang, aku kepengen dengar obrolan Cowok dan Cewek yang lagi bertengkar, padahal kenal saja enggak. Atau jangan-jangan, ini pertanda buat aku?' tanya Stella dalam hati, seiring rasa heran yang muncul. Heran pada sikapnya sendiri.
- Lucy Liestiyo -