CHAPTER ENAM : Unexpected things (3)

1706 Kata
            Kali ini Marshanda memaksakan sebuah senyum.              “Kamu masih sakit hati pada Tante, Sha? Atau, kamu sudah mempunyai tambatan hati sekarang ini? Atau, jangan-jangan kamu telah menikah? Iya, Sha, kamu sudah menemukan penggantinya Devanno?” berondong Bu Grizelle dengan ketakutan yang nyata terlihat membayangi parasnya.             Tatapan mata Bu Grizelle segera menyapu jemari Marshanda. Ulah spontan Bu Grizelle itu menyulut gerakan refleks Marshanda yang menumpukan sebelah tangannya ke punggung tangannya yang lain.             Bu Grizelle tampak menelisik dalam diam dan dengan hati yang berdebar. Meski ia belum menemukan cincin yang dapat dicurigainya sebagai cincin pertunangan atau bahkan cincin pernikahan di jemari Marshanda, toh hati Bu Grizelle tidak seketika tenang. Pasalnya, Marshanda tetap bungkam, diam seribu bahasa. Dan gerakan grogi Marshanda yang menutup sebelah tangannya, tentu saja mengganggu di mata Bu Grizelle.              Sementara itu, Marshanda dengan bibir terkunci membayangkan, betapa melupakan Devanno bukanlah perkara yang mudah baginya. Pernah, Marshanda mencibir kegagalannya sendiri dalam memenuhi tekadnya ‘membuka lembaran baru’, merelakan kisah cintanya yang kandas dan bersiap membuka hati untuk orang lain. Apa daya, hal yang dialaminya justru membuatnya meragukan kata mutiara yang berbunyi : ‘waktu akan memulihkan’. Kalau saja sang pembuat kata mutiara itu dapat ditemuinya secara personal, mungkin Marshanda tidak akan ragu untuk menanyakan kejelasannya, sebagai berikut, “Oke. Kita anggap benar, bahwa seiring perjalanan waktu, hal-hal pahit di belakang itu bisa memulihkan. Lantas ukurannya bagaimana? Berapa lama? Bagaimana cara mempercepatnya? Langkah apa saja yang bisa aku tempuh?”             Ya, sebagai seseorang yang setiap hari bergelut dengan deretan angka, tentu saja wajar apabila Marshanda merasa bahwa segala sesuatu yang memang bisa diukur, sebaiknya diukur, jangan dibiarkan masuk ke wilayah blur dan abu-abu. Malangnya, jangankan menemukan sang pembuat kata mutiara, baru memikirkan secara mandiri jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya saja, hati Marshanda sudah terlampau lelah.             Terkenang olehnya kesukaran besar ketika dirinya berusaha keras memupus  perasaannya kepada Devanno seorang. Benar, dia berkeras mengabaikan rasa sepi dan perih itu dengan berfokus penuh pada belajar, belajar serta belajar. Hanya itu yang dapat dilakukannya saat itu. Marshanda memang  hendak menyelesaikan pendidikannya dengan hasil terbaik, dan itu cukup menyemangati hari-harinya. Pun berbagai pekerjaan paruh waktu yang dilakukannya untuk membuat dirinya super sibuk, membiarkan badan, otak dan hatinya lelah mengalokasikan waktu dan tenaga yang dipunyainya, hingga kehabisan waktu untuk memikirkan Devanno dan menyesali kisah cinta mereka yang berakhir ambyar, membuat hari-harinya tanpa Devanno terasa sedikit lebih ringan.             Dengan segala kegiatannya itu, Marshanda berusaha mengajari dirinya sendiri untuk berdamai dengan masa lalu. Tampaknya, dia cukup berhasil. Kecuali satu hal, melupakan Devanno. Nyatanya itu masih menjadi pekerjaan rumah yang belum jua terselesaikan. Bahkan jika dia mau jujur dan terbuka, hingga detik ini!               “Marsha, benar? Kamu ...tengah menjalin hubungan sama seseorang saat ini? Atau, jangan-jangan, kamu malah sudah berumah tangga?” ulang Bu Grizelle nada khawatir yang kian mencuat. Didetik ini, wanita anggun itu tampaknya mulai tergoda untuk menarik tangan Marshanda dan memastikan tidak ada cincin pengikat di jari manis gadis itu. Untung saja, hati kecilnya keburu menegurnya untuk menjaga sikap. Mana mungkin seseorang yang terhormat sekelas dirinya melakukan hal rendah macam itu?              Marshanda tak tahan lagi. Kalau mau jujur, dia malas menjawab pertanyaan yang teramat personal ini. Akan tetapi, hatinya luluh mendapati tatapan lembut Bu Grizelle. Jelas sekali wanita itu tengah menanti sebuah kepastian darinya. Tatapan seorang ibu. Ah! Berhadapan dengan seorang ibu selalu saja membuat Marshanda merasa dirinya kerdil. Dia iri kepada Devanno, kekasihnya sendiri, yang mempunyai surga bernama ‘ibu’. Ah, tidak, bukan hanya kepada Devanno, tapi kepada semua orang lain yang begitu terberkati, diberi kepercayaan oleh Yang Maha Kuasa dengan pemberian berupa sosok terhormat yang dapat dipanggil ‘ibu’. Hampir saja Marshanda terlarut dalam perasaan. Matanya hampir memanas.              ‘Kamu nggak boleh begini. Marsha! Angkat kepala kamu! Pandang Tuhanmu! Kurang apa yang DIA beri kepadamu? Ibu? Memangnya belum cukup kamu diberi lebih dari satu orang yang dapat kamu panggil ‘Ibu’ di panti asuhan dulu!’ hati kecilnya mengingatkan Marshanda. Gadis itu terlecut kesadarannya.             Perlahan Marshanda pun menggeleng. Gerakan yang sebenarnya enggan dilakukannya.             Sebaliknya, seringai kelegaan justru terulas di bibir Bu Grizelle melihat gelengan kepala Marshanda.             “Aaah! Syukurlah!” ucap bu Grizelle dengan wajah semringah. Kelegaan terpancar di wajahnya.             “Tante berharap kamu bisa memaafkan Tante, Sha. Lalu, membuka hati lagi buat Devanno. Tante janji, nggak akan mengganggu hubungan kalian lagi ke depannya. Biar kalian berdua bisa menjalaninya dengan baik. Tante merestui hubungan kalian,” ucap Bu Grizelle beruntun.              “Tante Grizelle, sudahlah. Jangan diingat-ingat lagi yang dulu-dulu. Lagi pula, nggak ada yang perlu dimaafkan, kok. Apa yang Tante lakukan itu sangat wajar,” kata Marshanda sehati-hati mungkin             Lantas hening menyergap.              “Sha, tahu nggak? Tante ingin sekali kamu dan Devanno segera bertemu. Dia pasti senang kalau tahu hari ini Tante ketemu kamu. Seribu persen Tante jamin, dia nggak bakalan menyangka, bahwa Tante lebih dulu menemukan kamu ketimbang dia, yang sudah berusaha begitu lama mencarimu. Tapi sayangnya, sekarang ini dia sedang berada di Tarakan. Biasalah, ketemu sama teman-teman baru. Pasti ujung-ujungnya mencari peluang usaha. Yang jelas, dia pasti bakal mempercepat kepulangannya kalau tahu kamu sudah ada di Jakarta,” ungkap Bu Grizelle.              Marshanda tak bereaksi. Gadis itu terlalu bingung harus menampilkan reaksi macam apa. Di dalam diamnya, dia masih menyangsikan, sungguhkah apa yang dikatakan oleh Bu Grizelle, dan apakah dia tidak sedang bermimpi sekarang ini? Andaikan ini sebuah mimpi yang segera akan menghilang hanya sebatas satu kali kerjapan mata, Marshanda sudah memutuskan, tetap akan bersyukur untuk momen yang demikian indah ini. Momen yang tidak pernah berani diharapkannya.              Bu Grizelle pun mengernyitkan alisnya.             “Marsha, ada apa? Maaf kalau kamu merasa Tante mendesakmu. Tante hanya heran saja memperhatikan reaksimu sedari tadi. Sepertinya kamu itu tidak antusias,” gumam Bu Grizelle lirih. Rasa kecewa terbersit dalam gumaman bu Grizelle.              “Emm... bukan begitu Tante, saya.. ” Marshanda jadi salah tingkah.             Mendengar perkataan Bu Grizelle barusan, Marshanda menangkap kesan dominan dari wanita anggun di hadapannya itu, di samping sikap ekspresifnya. Mau tak mau, hatinya tergelitik dan bertanya-tanya, kegentarankah yang detik ini menyapa dirinya, atau kah dia telah siap menghadapi resiko bahwa Bu Grizelle tetap akan terlalu mengatur Devanno seperti dahulu, apabila kesempatan kedua bagi hubungannya dengan Devanno itu nyata ada?              Bu Grizelle sabar menanti Marshanda melanjutkan kalimat, namun bibir Marshanda malah terkatup rapat.               Akhirnya, kembali Bu Grizelle yang mengambil inisiatif. Bagi Bu Grizelle, sudah cukup hatinya dibuat bertanya-tanya, ada apa dengan Marshanda sebenarnya, apakah merasa segan kepadanya, ataukah banyak kata-katanya dulu yang menyingung perasaan Marshanda, sehingga gadis itu khawatir?              “Marsha, tadi kamu sendiri bilang tidak sedang menjalin hubungan degan siapapun saat ini. Jujur, Tante merasa lega dan sangat berharap, itu merupakan pertanda yang baik. Maaf, seumuran kamu dengan Devanno, menurut Tante merupakan usia yang terbilang cukup untuk berumah tangga. Mengingat, kamu dan Devanno juga pasti sudah cukup mapan dan memiliki karir yang baik. Kamu cantik dan baik. Mustahil nggak ada yang mendekatimu. Tapi nyatanya, kamu dan Devanno masih sama-sama melajang saat ini. Bukannya itu berarti, jauh di lubuk hati kalian sebenarnya masih saling mencintai? Bisa jadi, kamu tak kunjung ketemu dengan orang seperti Devanno, sebagaimana Devanno pun gagal membina hubungan dengan gadis lain karena nggak bisa melupakanmu dan menggantikanmu dengan yang lainnya?” desak Bu Grizelle lagi.              Kali ini Marshanda merasa tertohok. Sekaligus jengah. Sekuat hati marshanda menolak godaan untuk melontarkan keluhan, mendapati dirinya terperangkap dalam percakapan sepersonal ini dengan Ibu dari sang mantan kekasih yang telah sekian lama tak berjumpa. Terpikir akan pernah terlibat dalam percakapan seintens ini saja tidak!              Marshanda berusaha mengalihkan pembicaraan dan melambaikan tangan pada pelayan.             “Maaf, Tante Grizelle mau tambah orderan apa? Saya mau pesan lagi,” tanya Marshanda.             Demi sesuatu bernama ‘sopan santun’, ingin dijaganya perasaan wanita di hadapannya. Di sisi lain, dia sendiri tak ingin terlalu dalam membahas sesuatu yang bersifat cukup pribadi baginya. Dan menurutnya, ini sangat terburu-buru.             ‘Pembicaraan seberat ini di pertemuan pertama setelah sekian lama nggak ketemu? Oh! Aku nggak yakin bisa mengimbangi, terlebih Devanno sendiri juga nggak ada di sini. Bukannya dia, yang semestinya menjadi tokoh utamanya?’ pikir Marshanda.             Dia merasa tengah terjebak pada situasi yang tak diharapkannya.              Walau tahu bahwa tindakan Marshanda hanyalah untuk sedikit mengalihkan perhatiannya, Bu Grizelle toh merespons dengan baik. Tanpa berpikir panjang, Bu Grizelle segera memesan Tea Milk dan Baked Pottato. Ia memperhatikan Marshanda yang memesan Hot Cappuccino serta puding buah. Dia sungguh berharap sang pelayan segera berlalu dari hadapan mereka, lalu kembali dengan membawa pesanan mereka. Dia ingin percakapannya tak terganggu hal-hal lainnya. Maka begitu minuman mereka diantarkan, Bu Grizelle menarik napas lega. Itu sama saja sebuah peluang baginya untuk melanjutkan bahasan yang terputus barusan.               “Marsha, kamu tahu apa yang pertama diucapkan Devanno sekeluarnya dari rumah sakit? Dia mengingatkan Tante. Katanya, Tante ini kerap berkata bahwa kita semua lahir di dunia tanpa dapat memilih siapa orangtua kita. Maka Devanno bertanya, apa bedanya denganmu? Menurut Devanno, saat kamu lahir, kamu nggak bisa memilih menjadi anak seorang yang terpandang, berada, terhormat maupun populer. Perkataan Devanno itu sungguh menyadarkan Tante, betapa Tante telah semena-mena pada kalian berdua. Kamu tahu  dan sangat mengenal Devanno, kan? Dia itu nggak pernah mau berkonfrontasi secara langsung dengan Tante. Devanno selalu menjaga perasaan Tante. Dan, sebetulnya Tante menyesal, jangan-jangan karena itu pula, kamu berpikir bahwa dia nggak memperjuangkan hubungan kalian,” ujar Bu Grizelle.             Marshanda menghela napas panjang. Kemudian dihembuskannya dengan berat.             “Tante, saya enggak pernah menyangka, bisa-bisanya Devanno sampai hati mengatakan itu pada Tante. Semoga Tante bisa memaafkan Devanno. Juga memaafkan saya, bila Tante berpikir sayalah yang menjadi penyebab sampai Devanno sefrontal itu ke Tante,” ucap Marshanda, seperti ingin meralat ucapan Bu Grizelle.             Bu Grizelle menggoyangkan telapak tangannya.             “Enggak Sha! Tante nggak pernah kepikiran bahwa kamu yang membuat Devanno tega mengatkaan hal itu. Tante tahu, itu luapan akumulasi kekecewaannya Devanno. Tante memang seharusnya mengintrospeksi sikap Tante,” sela Bu Grizelle.             Marshanda menelan ludah yang terasa pahit.             “Tante, jangan begini. Tante itu orang yang sangat saya hormati, jauh sebelum saya mengenal dan akhirnya dekat dengan Devanno. Nggak pernah sekalipun saya berpikir Devanno harus memperjuangkan hubungan kami dengan menyakiti perasaan Tante seperti itu. Tante, Devanno yang saya ingat itu, hatinya baik sekali, lembut. Dia enggak akan tega menyakiti hati seorang wanita, terutama Mama yang melahirkan serta membesarkannya. Jadi tolong, jangan disimpan di hati perkataan Devanno itu. Ya Tante?” pinta Marshanda serius.                                                                                                                                                                                                 - Lucy Liestiyo -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN