CHAPTER TUJUH : Unexpected things (4)

2036 Kata
             Betapa ingin Marshanda berkata, “Andai saja Tante tahu, aku terlalu mencintainya. Mana mungkin aku tega untuk membiarkan Devanno berada di posisi harus memilih antara aku dan Mamanya sendiri? Memangnya aku sudah gila? Justru aku yang selalu mengingatkan Devanno agar lebih mengutamakan Tante. Aku yang selalu menekankan kepadanya betapa dia harus bersyukur mempunyai orangtua yang lengkap. Memiliki orangtua kandung yang dapat ditemuinya, dipeluknya, dimintai pandangan atau berdebat ringan sesekali.”              Namun ditelannya kembali keinginannya itu. Bukankah kalau dia sampai mengucapkannya, itu sama saja artinya bahwa dia tengah membanggakan diri ke depan Bu Grizelle? Sungguh tidak elok.             Pada akhirnya Marshanda membujuk hatinya, dengan hal senada, yang kerap dia lakukan dulu.             Hati Marshanda berbisik, “Kalau ada yang perlu disalahkan soal putusnya hubungan kami dulu, sudah jelas aku orangnya, Tante. Aku sudah terbiasa mandiri, memutuskan apa pun berdasarkan pertimbanganku sendiri. Karena apa-apa yang aku buat, aku putuskan, tidak akan berdampak langsung kepada orang di sekitarku. Beda dengan Devanno. Sampai kapan pun aku sulit untuk menempatkan diriku di posisinya. Aku nggak mau melihat Devanno lebih tertekan lagi. Itu sama sekali bukan perkara ketegasan. Jika gadis yang menjalin hubungan dengannya bukan aku, pasti hubungannya akan lancar-lancar saja.”              Bu Grizelle masih menatap Marshanda secara intens.             “Pantas Devanno sangat mencintaimu, Sha. Kamu begitu baik, hati kamu tulus,” gumam Bu Grizelle sepenuh hati. Di ujung gumamannya, tangannya terulur, meraih meraih tangan Marshanda.              Gerakan yang tiba-tiba, membuat Marshanda tak sempat lagi menghindar. Dibiarkannya tangan halus Bu Grizelle yang pasti senantiasa dirawat dengan perawatan nomor wahid itu menggenggam tangannya, menepuk-nepuk punggung tangannya dengan lembut. Dan sekejap saja, ada rasa nyaman yang menyapa Marshanda. Marshanda merasa hatinya menghangat. Serasa jarak antara dirinya dengan Bu Grizelle telah terengkuh, dan ajaibnya, Bu Grizelle, lah, yang mengambil langkah pertamanya, bukan dirinya. Oh, betapa Marshanda merasa amat tersanjung.              “Oh iya Marsha, ada yang mau Tante ceritakan,” ucap Bu Grizelle kemudian, seakan dia baru teringat sesuatu hal yang penting dan tak ingin terlupa untuk menyampaikannya.             “Iya, Tante?” sahut Marshanda.              “Tante ingat waktu itu. Setelah keadaan Devanno pulih, dia langsung berusaha mencari jejakmu lagi. Sayangnya, tetap saja nggak ketemu. Sha, Devanno sempat beberapa kali ke Singapura, loh. Dia juga berusaha menghubungi kawan-kawannya yang tinggal di sana. Dia mencari tahu universitas mana yang kira-kira memberimu beasiswa. Dia juga secara acak berkeliling ke tempat-tempat wisata dan keramaian. Memang, dia menolak saat Oom menawarkan untuk menyuruh orang mencarimu. Devanno berkeras mau menemukanmu sendiri. Dia berharap, siapa tahu secara nggak sengaja berpapasan sama kamu. Apa boleh buat, pencariannya juga nggak membuahkan hasil,” kisah Bu Grizelle.              “Ke.. Singapura, Tante?” tanya Marshanda tersendat.              Bu Grizelle mengangguk, dan siap melanjutkan ceriteranya.              “Setahun setelah keadaannya pulih, eng.., dia berusaha membuka hati pada orang lain. Tetapi, hubungan mereka nggak bertahan lama, kandas begitu saja. Tante hanya tahu mereka dekat dan memang pernah diperkenalkan ke Tante lantaran kami nggak sengaja bertemu di sebuah pusat perbelanjaan, waktu itu. Tapi sebatas itu saja. Setelahnya, Tante nggak pernah melihat Devanno bersama gadis itu lagi. Membicarakan tentang gadis itu saja nggak pernah lagi. Tante mengamati semua meski diam-diam. Dan, Tante tahu, sejak itu dia berusaha untuk mencarimu lagi. Devanno sampai nggak percaya saat akhirnya Tante mengatakan, dia nggak boleh lagi membuang-buang waktu dan harus segera menemukan kamu,” urai Bu Grizelle.              Marshanda tertegun mendengar penuturan Bu Grizelle. Dalam diam, ia berusaha menggali kedalaman dan kebenaran cerita yang disampaikan oleh wanita itu.             “Dia pasti amat bahagia kalau tahu, Tante sudah ketemu kamu terlebih dulu ketimbang dia. Marshanda, kamu mau kan, kembali sama Devanno? Tante janji nggak akan mencampuri hubungan kalian lagi.” Bu Grizelle kembali mengulang kalimatnya yang tadi. Seakan-akan, dia sedang memberikan jaminan kepada Marshanda agar tidak ragu lagi kepadanya.              Kali ini, hati Marshanda sungguh tersentuh, jauh hingga mencapai ke dasarnya.             Rasanya sungguh lucu, ibu dari sang mantan kekasih meminta dirinya untuk kembali kepada sang mantan. Lebih menggelitik lagi, adalah fakta bahwa dulu sosok inilahyang teramat menentang hubungannya dengan sang mantan.              “Tante, tapi kan.... saya ini cuma...” dalam keraguan, Marshanda menggantung kalimatnya.             Di luar dugaan Marshanda, mendadak Bu Grizelle berdiri dan menghampiri Marshanda. Dan entah atas dorongan apa, Marshanda seperti terhipnotis lantas turut berdiri pula.              Lantas dalam hitungan detik, Bu Grizelle menghambur memeluknya tanpa ragu. Pelayan yang membawakan baked pottatto pesanannya enggan merusak momen unik yang dilihatnya. Sang pelayan buru-buru meletakkan piring berukuran medium itu dan mengangguk santun. Sesaat kemudian pelayan itu segera pergi tanpa mengikuti SOP yang berlaku, menanyakan apakah ada pesanan lainnya lagi. Tidak, kali ini sisi kemanusiaannya lebih bicara ketimbang pesan dan didikan komersil dari sang atasan yang telah dihafalnya di luar kepala dan senantiasa dipraktekkannya.               “Marsha, tolong jangan sebut-sebut itu lagi. Mengingatnya saja membuat hati Tante terasa perih,” kata Bu Grizelle sungguh-sungguh. Bu Grizelle tahu ke mana arah pembicaraan Marshanda.              Bak es krim yang terkena suhu tinggi secara konstan, kini hati Marshanda serasa lumer. Perkataan Bu Grizelle seperti keluar dari lubuk hati terdalam.             Bu Grizelle mengurai pelukannya kepada Marshanda. Dia menatap paras Marshanda.             “Marsha, kamu... masih sendirian kan, sekarang ini? Mau kan, memberikan kesempatan lagi pada Devanno?” tanya Bu Grizelle. Terkesan tulus, namun sesungguhnya  berbalut desakan agar permintaannya dihiraukan.             Perasaan Marshanda tersentuh lagi. Lebih dalam dari sebelumnya.              Kata sendirian yang ditegaskan Ibu dari sang mantan kekasih mengena tepat di hati Marshanda. Diksi yang ganjil. Bila teman seumurannya yang bicara, tentu dengan mudah akan memakai kata : ‘single and available’. Ya tapi mana mungkin dia mengharap Bu Grizelle memakai diksi serupa? Bisa saja Bu Grizelle juga kehabisan kata-kata sehingga memilih kata ‘sendirian.’              Nyaris keluh Marshanda terucap, mengenang kembali apa yang membuatnya tetap dalam keadaan melajang hingga detik ini. Bagaimana tidak sendirian dan tetap melajang? Fokusnya tertuju untuk menyelesaikan pendidikannya lebih cepat dari jadwal supaya lekas mendapatkan pekerjaan permanen yang menjanjikan, mengambil mengambil sekian banyak pekerjaan paruh waktu demi mengamankan keuangannya merupakan faktor penyebab yang tak bisa dipandang remeh.              Tambahan pula, begitu bergabung ke grup perusahaan Modern Electronics, banyak peluang untuk mengeksplor kemampuan yang dimilikinya. Lalu seiring pendapatannya yang meningkat cukup signifikan semenjak bulan keempat, timbul niat lain di hatinya. Dia ingin tinggal di tempat yang lebih nyaman. Terlintas pula keinginan menelusuri latar belakangnya. Dia merasa sudah memiliki dana dan waktu yang dapat disesuaikan. Dan sambil mencari tahu tentang itu semua, timbul hasrat yang lainnya lagi. Apalagi selain ingin bekerja sekeras dan sebanyak mungkin, supaya suatu saat ia dapat mempunyai tempat untuk menampung anak-anak jalanan dan mereka yang kurang beruntung? Persis impiannya dengan Devanno di masa lampau!               “Marsha, kok kamu diam saja? Kamu masih meragukan kesungguhan Tante? Tante benar-benar menyesali sikap Tante yang dulu, lho! Seandainya dulu Tante tak menghalang-halangi hubungan kalian, pasti sekarang ini kalian sudah menikah,” ucap Bu Grizelle.              Marshanda tersentak mendengarnya.             ‘Menikah?’ tanya Marshanda dalam diam.              Kalau saja dia tengah minum saat ini, dia yakin, dia pasti langsung tersedak mendengarnya. Tersirat dalam ingatannya, dulu pun dia dan Devanno belum berpikir untuk cepat-cepat menikah. Mereka sempat mencetuskan sebuah impian yang hendak diwujudkan bersama. Bukan, bukan impian untuk selekasnya mengakhiri masa lajang dan berumahtangga.             Ada sebuah impian lain, impian bersama yang mereka pandang lebih mendesak sifatnya.             “Sha, aku tuh kepengen bekerja sekeras mngkin, memncari peluang usaha sebanyak mungkin, supaya bisamendapatkan penghasilan setinggi mungkin. Kalau aku sudah memiliki banyak pos penghasilan, kan pastinya bisa menjadi donatur tetap sebuah panti asuhan sebagaimana yang Mama lakukan,” perkataan Devanno yang dulu diucapkan kepadanya, kini tengiang kembali di telinga Marshanda.              “Tapi Sha, kalaupun menunggu sampai aku mempunyai sekian banyak pos penghasilan itu telampau lama, ya mending aku mulai dengan membiayai beberapa anak asuh dulu saja, ya? Menurutmu bagaimana, Sha?” perkataan Devanno yang ini juga terngiang di telinga Marshanda.             Marshanda mendesah lirih.              ‘Barangkali kamu sudah melupakan impian bersama kita itu, begitu hubungan kita berakhir,’ pikir Marshanda.             “Sha,” panggil Bu Grizelle lembut.             ‘Ya Tante, menikah cepat-cepat bukanlah tujuan utama hubungan kami saat itu,’ ucap Marshanda. Tentu saja dalam hati.             “Marsha..,” panggil Bu Grizelle lagi. Kali ini sukses membuyarkan keterdiaman Marshanda.             Bila semenjak masuk ke kedai kopi ‘Taste It’ mereka duduk berhadapan, kini Bu Grizelle mengambil inisiatif untuk duduk di sebelah Marshanda.              “Ya, Tante. Sudahlah Tante, kita nggak usah membicarakan yang dulu-dulu. Saya nggak pernah menganggap Tante bersalah. Sungguh, apa yang Tante lakukan itu adalah sesuatu yang wajar. Mungkin, bila saatnya saya menjadi seorang ibu, saya pun akan mempertanyakan latar belakang gadis atau pemuda yang dicintai oleh anak saya,” kata Marshanda lirih.              Bu Grizelle membeku mendengarnya.             “Oh... maaf kalau ucapan saya salah, Tante,” sambung Marshanda secepatnya, melihat air muka Bu Grizelle sedikit berubah. Seketika rasa sesal mengintip.             “Tidak. Tidak ada yang salah,” tegas Bu Grizelle seraya menggeleng.             Marshanda menarik napas lega.             “Marsha?” panggil Bu Grizelle kemudian.             “Ya, Tante?” sahut Marshanda.             “Boleh Tante minta nomor telepon kamu?” tanya Bu Grizelle.             “Tentu saja boleh, Tante,” sahut Marshanda yang merasa tidak mempunyai alasan untuk menolak.             “Tadi Tante begitu menggebu-gebu, ingin supaya Devanno segera menemuimu. Tapi, sekarang Tante berpikir lain,” ujar Bu Grizelle.              Lalu Bu Grizelle tersenyum penuh misteri.             Marshanda bertindak pasif, hanya menunggu saja.             ‘Bisa saja Tante berubah pikiran. Nggak ada masalah. Untung saja saya belum melambungkan harapan saya tinggi-tinggi. Jadi saya pastikan, saya nggak akan terlalu sakit karenanya,’ ucap Marshanda dalam hati.              “Marsha, mau kan, bantu Tante untuk mempersiapkan sesuatu? Semoga nggak terlalu mengganggu kesibukanmu. Hm, begini... Bagaimana kalau...,” mendadak Bu Grizelle mendekat dan membisiki sesuatu ke telinga Marshanda. Marshanda pun mendengarkan dengan saksama. Sesaat kemudian, dia tersenyum kecil membayangkan bagaimana suasana pertemuan pertamanya dengan Devanno kelak.              Benaknya diliputi sejumlah tanya, adakah kecanggungan akan mewarnainya? Sesuatu tak terduga lainnya? Atau, apa?              Tak segera menjawab, Marshanda mengecek agenda kerjanya.             “Kebetulan akhir pekan, Sha. Bisa, kan?” tanya Bu Grizelle penuh harap.             Enggan mengecewakan hati Bu Grizelle, Marshanda pun mengangguk.             “Terima kasih, Sha. Nanti pas harinya, biar  Tante jemput kamu di kantor, ya. Boleh, kan?” pinta Bu Grizelle.             “Oh, nggak usah Tante,” tolak Marshanda sungkan.             “Ayolah. Biar kita juga bisa ngobrol banyak selama di perjalanan. Nggak keberatan ngobrol dengan             Tante, kan?” tanya Bu Grizelle lagi.             “Baiklah, Tante,” sahut Marshanda akhirnya.             “Terima kasih, Sha.” Bu Grizelle menepuk-nepuk punggung tangan Marshanda lagi.             Rasa nyaman mengalir begitu saja memenuhi benak Marshanda. Dia pun mengangguk dengan matanya.             “Engg... Marsha, kamu enggak keberatan kalau sekali-kali Tante telepon kamu, kan? Untuk membahas yang tadi? Atau begini, Tante sms kamu dulu deh, sebelum telepon, takutnya kamu lagi sibuk,” sambung Bu Grizelle.              “Iya, Tante, nggak masalah,” sahut Marshanda singkat. Sekuat hati dia menahan senyum gelinya, betapapun sesungguhnya hatinya tergelitik demikian hebat.             “Oh, satu hal lagi. Hampir saja Tante lupa menanyakannya kepadamu,” kata Bu Grizelle yang memasang mimik muka serius.             Hati Marshanda langsung kebat-kebit. Tiada sempat terelakkan.             “Apa, Tante?” Marshanda memberanikan diri untuk bertanya.             “Marsha.., kamu... masih bisa, kan, menahan rasa kangen kamu ke Devanno, sampai dua minggu ke depan?” goda Bu Grizelle. Senyum geli terbentuk di bibir wanita itu, di penghujung kalimatnya.             Mendengarnya,  Marshanda tak dapat menahan tertawanya.             Ia merasakan kedua pipinya yang memanas.             “Tante ini ada-ada saja,” ucap Marshanda kemudian. Terpikir olehnya, barangkali wajahnya telah memerah lantaran menahan rasa malu yang mencuat, gambaran kerinduan yang menyentak menuntut dibebaskan, setelah tertindas sekian lamanya.             Bu Grizelle mengusap-usap punggung Marshanda. Matanya nyaris berkaca-kaca lantaran haru bercampur sukacita yang membuncah di saat yang bersamaan. Perlahan, dirasakannya betapa sesungguhnya dia sangat sayang pada gadis pujaan anak lelakinya ini.             “Devanno itu sebenarnya pintar memilih gadis yang tepat buat dia,” kata Bu Grizelle pelan.             Saking canggung, Marshanda berlagak tidak mendengar.              Dan, bermula dari hari itulah, dua pertemuan lain di antara dua wanita berbeda generasi itu terulang kembali. Di pertemuan keduanya, Bu Grizelle mengajak serta Pak Matthias suaminya, pula.              Sejumlah panggilan teleponpun kerap diterima Marshanda dari Bu Grizelle menjelang malam hari. Awalnya Marshanda merasa canggung mendapati ibu dari seseorang yang dicintainya bertanya kegiatannya hari itu. Bukankah itu hal yang biasa ditanyakan oleh seorang kekasih, terutama di awal-awal mereka ‘jadian’? Akan tetapi seiring berjalannya waktu, toh akhirnya keakraban di antara mereka berdua mengalir. Marshanda merasakan sisi berbeda dari Bu Grizelle. Sikapnya jauh lebih hangat dan bersahabat ketimbang dulu. Teramat jauh!  Jika diumpamakan, bak langit dengan bumi saja.                                                                                                                                                                 ^* Lucy Liestiyo *^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN