Nah! Benar saja. Apa yang diperkirakan oleh Marshanda langsung terjawab. Marshanda tidak dapat memastikan bagaimana reaksi yang ditampilkannya, begitu akhirnya Bu Grizelle menyoal tentang keadaan Devanno. Tepatnya, dia sudah pasrah, andaipun rahasia hatinya dapat terkuak melalui perubahan pada mimik mukanya. Dia tahu, seorang ibu tentu memiliki kepekaan luar biasa.
'Ah. Sudahlah. Toh sudah kepalang tanggung. Mau lari kemana lagi? Mendadak mencari alasan dengan mengatakan teringat ada janji mendadak dengan teman supaya bisa secepatnya pergi dari hadapan Tante Grizelle? Itu nggak mungkin, kan? Bukan cuma nggak sopan, aku malah khawatir Tante Grizelle bakal salah paham padaku,’ pikir Marshanda.
“Sejak satu setengah tahun lalu, Devanno mulai mengurangi keterlibatannya membantu bisnisnya Om. Dia tambah menikmati menjalankan bisnis rintisan nya, Sha,” ujar Bu Grizelle.
Di luar kendalinya, Marshanda menahan napas.
“Mengapa mendengar namanya disebut saja, masih membuat hatiku bergetar begini? Aku pikir..., waktu sekian tahun yang kuhabiskan tanpa dirinya, tanpa kehadirannya di hari-hariku, sudah lebih dari cukup untuk memupus segala rasaku padanya. Ternyata...? Ah, semuanya semu! Belum genap satu jam aku bersama Tante Grizelle, rasanya aku udah berada di masa itu lagi,” nyaris keluhan ini terucap dari bibir Marshanda. Untung saja, akal sehatnya masih berfungsi dengan baik.
“Marsha?” Bu Grizelle spontan menggoyangkan telapak tangannya di depan wajah Marshanda.
Hampir saja Marshanda tidak sanggup untuk menutupi rasa gugupnya, karena terpergok tengah terbengong di tengah percakapan. Sungguh bukan perilaku yang etis.
Karenanya, ia segera menarik napas panjang, menguasai dirinya.
“Oh, bisnis rintisan ya, Tante? Makin berkembang dan jadi primadona sih sekarang ini. Memang sudah jamannya untuk sekarang dan ke depan nanti.” Sesingkat mungkin Marshanda menanggapinya. Dalam hatinya terselip harapan, agar Bu Grizelle tak membahas tentang Devanno lebih jauh.
Siapa sangka, kalimatnya ringannya justru membuat Bu Grizelle tertegun sesaat. Ada waktu sekian detik yang dihabiskan oleh wanita paruh baya itu untuk mencermati air muka Marshanda, sampai-sampai Marshanda merasa rikuh.
Namun, Bu Grizelle terlihat enggan membiarkan kesempatan pertemuan yang tak terencana ini berlalu begitu saja. Sepertinya pantangan bagi Bu Grizelle untuk membiarkan peluang emas ini mengalir bak air, yang tak mungkin mengaliri tempat yang sama untuk kedua kalinya. Menyadari betapa berharganya momen ini, jelas Bu Grizelle ogah menyia-nyiakannya. Percakapan tentang usaha yang dijalankan oleh Devanno pun terus mengalir. Sejauh itu, Marshanda yang mulai salah tingkah, memilih mendengarkan saja atau menanggapi secara singkat, tidak lebih dari dua atau tiga kata.
“Oh, begitu ya?” ini komentar Marshanda yang pertama.
“Prospeknya bagus, Tante,” ini kalimat kedua dari Marshanda.
“Solusi cerdas, itu,” kata Marshanda ringan.
“Betul, Tante,” ini tanggapan lainnya dari Marshanda.
Agak janggal.
Semua ucapan yang terlontar dari mulut Marshanda, jelas-jelas tertuju kepada bisnis yang dijalankan Devanno, sama sekali bukan sang pelaku bisnis.
Bu Grizelle bukan tidak merasakan perbedaan sikap Marshanda yang berubah secepat ini. Sejatinya, dirinya sendri juga tengah berusaha untuk mengorek perasaan Marshanda terhadap Devanno. Dan secepat itu pula dia menyadari, taktiknya barusan keliru.
Hingga pada akhirnya, secara spesifik Bu Grizelle menyinggung tentang keadaan Devanno. Mulanya Marshanda ingin menahan diri, tetapi di detik ini dia tak dapat lagi mengelak dari kenyataan, bahwa seseungguhnya dia masih menyimpan rasa cinta pada Devanno. Dia sudah tidak memikirkan lagi, apakah itu tersirat di parasnya ataukah tidak.
“Marsha, maaf, seandainya apa yang Tante sampaikan ini salah. Ini versi yang Tante lihat dan perkirakan saat mengamati dan merangkai penuturan singkat dari Devanno. Tante mengira, kamu dan Devanno telah mengakhiri hubungan kalian bahkan sebelum kamu mendapatkan kepastian soal beasiswa yang kamu dapatkan itu. Mendadak kamu pindah tempt kost. Seakan itu belum cukup, kabarnya kamu mengundurkan diri pula dari tempatmu bekerja. Nggak ada seorangpun yang bisa ditanyai perihal keberadaanmu. Teman-temanmu seperti kompak tutup mulut, nggak mau memberitahu informasi menyangkut diri kamu,” ujar Bu Grizelle.
Marshanda terdiam mendengarnya. Ingin benar dia mengatakan tiada satu pun yang salah dari apa yang disampaikan Bu Grizelle barusan. Demi menghindari Devanno, dia memang sengaja mengambil jeda waktu yang cukup demi mengurus kelengkapan dokumen yang ia perlukan. Dia ingat, betapa dia langsung memutuskan untuk pindah kost ke tempat yang lebih murah dan menerima lagi tawaran menjadi kontributor tetap di sebuah majalah asing, selain berperan sebagai ilustrator lepas di beberapa media lokal. Ya, Marshanda begitu berkeras mau memastikan keadaan finansialnya aman agar bisa bertahan dengan mengandalkan pekerjaan paruh waktu lainnya selama menempuh pendidikan nanti. Ia serius menyiapkan hatinya dengan kemungkinan perubahan apapun yang harus ia jelang. Walau pun kenyataaannya, dia tidak segera terbang ke Singapura.
“Secara nggak sengaja Devanno ketemu Octaviani, adik angkatmu yang ikut bersamamu setelah panti asuhan kalian tutup. Setelah Devanno mendesaknya terus, akhirnya Octaviani mau berterus terang. Dia bilang ke Devanno, bahwa kamu mendapatkan beasiswa untuk kuliah lagi. Hanya saja, Octaviani nggak mau menyebutkan di mana biarpun Devanno sudah memakai semua jurus membujuk dan memaksa yang dia punya,” Bu Grizelle mengambil jeda sesaat. Seolah ini merupakan bagian yang terpenting sebelum dia meneruskan penuturannya tentang putra kesayangannya, dia mengamati dengan saksama, adakah perubahan ekspresi di wajah Marshanda.
Namun Marshanda masih diam saja. Ia membiarkan Bu Grizelle melanjutkan kalimatnya.
Sebenarnyalah, Marshanda merasa suaranya bagai tersekat di tenggorokannya, takmau dikeluarkan dari sana.
“Saat itu Octaviano dan seorang lelaki yang diperkenalkannya ke Devanno sebagai tunangannya, terburu-buru meninggalkan Devanno. Devanno lalu mengingat-ingat dan mengecek waktu mulainya perkuliahan. Dia yakin, kamu pasti masih berada di Jakarta,” ucapan Bu Grizelle ini membuat Marshanda diserang sesak napas secara mendadak.
Namun gadis itu menahan diri, tetap didengarkannya penuturan dari Bu Grizelle.
“Berbekal keyakinannya itu, Devanno mencari alamat Ibu Estherlita di Wonosobo. Dia sempat datang ke sana, berpikir kalaupun nggak ketemu kamu di sana, setidaknya bisa bertanya kepada Ibu Estherlita kamu di mana, sebetulnya. Sayangnya, Ibu Estherlita dan anak-anaknya sedang mengunjungi adiknya di Ambon ketika itu. Pantang menyerah, Devanno kembali menelusuri jejakmu di Jakarta, mendatangi satu per satu temanmu yang kebetulan ia kenal. Hasilnya tetap nihil. Nggak satu informasi pun yang mengarah padamu. Kamu tahu tidak, Sha, pencarian Devanno terpaksa terhenti saat dia mengalami kecelakaan? Dia nyaris kehilangan dua jari kaki kirinya karena tergencet lama di dalam kendaraan yang dikemudikannya,” papar Bu Grizelle lancar.
Marshanda tersekat. Matanya memejam sesaat. Tidak sadar, ia menggigit bagian dalam pipinya. Tak sanggup ia membayangkan orang yang dicintainya menderita. Tanpa dikehendakinya, Marshanda merasakan dadanya bergemuruh. Tak pelak, hatinya bertanya-tanya, apakah melalui kisahnya barusan, Bu Grizelle tengah menyalahkannya atas kecelakaan yang menimpa sang putra kesayangan? Namun secepat kilat, Marshanda menyingkirkan prasangka itu, menyadari betapa nada suara Bu Grizelle amat rendah, nyaris berbisik dan terkesan penuh penyesalan. Sungguh mirip dengan seseorang yang tengah mengakui kesalahan yang telah ia perbuat.
Bu Grizelle menatap Marshanda dengan bingung. Mencoba mencari-cari sebab, mengapa Marshanda belum mengucap satu kata pun untuk menanyakan keadaan Devanno.
“Sha, Tante minta maaf, ya. Penyebab putusnya hubungan kalian dulu itu, semata karena Tante. Tante kurang bijak. Tante egois, seenaknya menempatkan Devanno di posisi sulit, harus memilih antara Tante dengan wanita yang ia cintai, wanita yang ia harapkan akan menjadi masa depannya,” ucap Bu Grizelle.
Marshanda masih terdiam, belum menemukan kata yang tepat untuk menimpali ucapan ibu dari mantan kekasihnya ini.
Bu Grizelle menggelengkan kepala dan mendesah perlahan.
“Tante ini benar-benar bukan Ibu yang baik. Saat itu Tante selalu mempermasalahkan latar belakangmu. Sehingga suatu saat sampai juga ke telingamu. Tetapi, begitu Devanno kecelakaan, Tante tersadar, Devanno sangat mencintaimu. Sekarang ini, yang terpenting buat Tante adalah kebahagiaan Devanno. Kebahagiaan kalian berdua. Tante berharap masih ada kesempatan yang kamu berikan untuk Devanno,” kata Bu Grizelle sungguh-sungguh.
‘Ini maksudnya apa, Tante? Kesempatan kedua? Jadi maksudnya, Devanno juga masih melajang sampai sekarang? Ataukah yang Tante maksud kesempatan kedua itu, sekadar kami berdua berbaikan?’ pertanyaan-pertanyaan yang hinggap di kepala Marshanda ini tak ubahnya pertanyaan bodoh namun terlalu sulit untuk dijawab oleh Marshanda. Oh bukan, ini bukanlah perkara sulit. Marshanda hanya terlalu takut berharap. Dia tak mau terhempas lagi ke dalam kekecewaan yang dalam. Dia takut, tidak akan punya daya sebesar dulu untuk bangkit jika telanjur terpuruk lagi.
Marshanda meneguk tuntas minumannya, mencoba meredakan secuil kisruh yang terjadi di dalam hatinya. Bagaimana pun, pertemuan dengan Bu Grizelle ini terlalu mendadak baginya. Lebih dari itu, ternyata pertemuan ini sanggup menguak banyak kisah yang luput dari pengetahuannya setelah memutus komunikasi dengan Devanno secara sepihak, mengganti nomor telepon, sengaja mengabaikan semua pesan dari Devanno yang dikirimkan lewat email dan semua akun medsos miliknya, hingga meminta teman-temannya merahasiakan tentang keberadaannya. Terutama Octaviani, adik angkatnya yang kala itu hampir dipersunting oleh Erwan sang tunangan dan akan segera tinggal di Lampung setelah menikah.
“Waktu itu, aku pikir apa yang aku lakukan adalah yang terbaik buat kami. Andai komunikasi terus berlanjut, kisah kami nggak akan pernah usai. Aku tahu akan seperti apa ujungnya. Aku nggak mau aku sama Devanno terluka lagi, atau melukai hati orang-orang di sekitar kami. Enggak. Kami enggak seegois itu. Perasaan mereka juga penting, bukan hanya perasaan kami,” hampir saja kalimat ini terlontar dari celah bibir Marshanda. Menurut pemikirannya, dia telah mengambil jalan terbaik demi kebaikan semuanya. Dalam pedih hati lantaran perpisahannya dengan lelaki yang dicintainya, Marshanda berusaha meyakini, pasti ada seseorang yang lain buatnya, dan seseorang yang lain untuk Devanno. Suatu keyakinan yang jika dia mau jujur, mempunyai ukuran tidak pernah mencapai angka 7 dari sepuluh.
Hati Marshanda masih diliputi rasa ragu untuk melontarkan kalimat agar tak menyinggung perasaan wanita yang dihormatinya itu. Tetapi, bagi Bu Grizelle keterdiamannya justru menerbitkan prasangka yang lain.
“Sha, apa kamu menyangka, Tante berbicara seperti ini semata karena melihat penampilanmu yang sekarang? Jangan salah paham, Sha. Bukan itu yang Tante lihat. Tante hanya ingin memastikan, yang tadi tante lihat benar adalah Marshanda yang sama. Sebab Tante sudah sempat berpikir, jangan-jangan kamu nggak akan pernah lagi mau kembali ke kota ini,” sambung Bu Grizelle.
Alangkah anehnya. Kali ini Marshanda bahkan menangkap ada getir yang terbersit dalam kalimat yang dilontarkan oleh Bu Grizelle. Tak urung, hati Marshanda mencelos.
- Lucy Liestiyo -