CHAPTER EMPAT BELAS : The Masterplan

2265 Kata
            “Telepon dari siapa, tuh Pa?” sapa Devanno pada papanya yang duduk di sofa ruang keluarga. Ia meneguk tuntas minuman dingin yang baru diambilnya dari dalam kulkas.             Melihat tayangan yang kurang menarik di layar tv, Devanno tergerak mencari remote tv.  Papanya  yang semula berbicara di telepon terlihat gugup saat mendengar suaranya, tapi segera dapat menguasai keadaan.             “Oke, kalau begitu Ma. Ya sudah, hati-hati di jalan.”             Pak Mathhias pun menutup pembicaraan via telepon.             “Mama yang telepon tadi,” jawab Pak Matthias kepada putra bungsunya itu.             Kening Devanno berkerut mendengarnya.             “Lho, memangnya Papa nggak berangkat sama-sama Mama? Kirain, Mama lagi istirahat di kamar,” tanya Devanno bingung.             Pak Matthias menggeleng.             “Enggak, Dev. Tadi Papa ada rapat sama klien di Bogor, jadi Mama bilang langsung saja berangkat duluan,” sahut Papanya.             Devanno manggut-manggut.             “Oh, jadi Mama nyusul? Jalan jam berapa dari rumah, Pa? Kalau kemalaman, apa nggak makin macet jalur kemarinya?” tanya Devanno.          “Nah, itu dia masalahnya, Dev. Barusan Mama ngasih tahu ke Papa. Katanya, belum tentu jadi kemari hari ini. Kemungkinan besar baru besok pagi. Mama pasti agak menyesal tuh, enggak ada dekat anak kesayangannya pas detik-detik pertambahan umurnya nanti malam,” olok Pak Matthias.              Devanno tersenyum kecut.              “Apa sih, Pa. Anak kesayangan, ulang tahun, apa sih? Sudah setua ini Pa, ulang tahun sudah enggak sespesial itu, lagi! Lagian, kita kemari bukannya mau refreshing sekeluarga, mumpung sama-sama lagi sempat?” elak Devanno enggan.              Pak Matthias menggeleng sambil menggoyangkan telunjuknya.              “Eh! Enggak boleh bilang ulang tahun nggak spesial. Siapa tahu tahun ini ada yang spesial. Memperkenalkan calon menantu ke Ibu Suri, misalnya,” olok Pak Matthias lagi.              Devanno langsng memalingkan wajah ke arah lain, berpura-pura tidak mendengar ucapan sang Papa.              “Memangnya Mbak Kassandra sama keluarganya bisa kemari juga, Pa? Bukannya sekarang dia lagi di Surabaya, menemani mertuanya yang baru diperbolehkan rawat jalan? Tadi pas mau ke atas, aku lihat Bu Romlah sibuk banget bersih-bersih. Sampai kamar-kamar depan yang biasa dipakai tamu juga diganti spreinya,” Devanno mengalihkan pembicaraan.              Sang Papa diam sejenak, seperti berpikir. Dan secepat itu pula dia mendapatkan gagasan.             “Ya, mungkin sekalian dibersihkan supaya segar. Mungkin juga kamarnya buat Pak Rahmat sama Pak Farid. Nggak mungkin kan, dua-duanya bermalam di rumah Pak Gilang dan Bu Romlah? Atau, nemenin Pak Gilang begadang di pos depan sampai pagi? Eh, ngomong-ngomong, memangnya kamu sudah lama, sampai di sini?” tanya Pak Matthias. Sedikit rasa cemas menyelip di hati sang Papa, takut Devanno sempat mencuri dengar isi pembicaraan dengan istrinya melalui telepon tadi.              Deva memperhatikan arlojinya sebelum menjawab.             “Sekitar 10-15 menit, deh. Tadi aku lihat Papa lagi asyik telepon, jadi langsung masuk bawa tas ke kamar atas. Nah, sewaktu papasan sama Bu Romlah, aku tanya ngapain kok kelihatan sibuk sekali. Bilangnya sih, dia hanya dikasih pesan agar membersihkan semua kamar dan masak agak banyak,” jelas Devanno.              “Berhubung kamu sudah sampai, temani Papa makan saja yuk. Lapar nih!” ajak Pak Matthias, menghindari putranya bertanyamacam-macam.              “Sama. Aku juga sudah lapar berat. Memang sudah sedikit terlewat dari waktunya makan malam sih. Ayo, deh Pa!” sambut Devanno.              Pak Matthias dan Devanno melangkah beriringan menuju meja makan.             Bu Romlah yang melihat kedua majikannya, segera mendahului dan menyiapkan peralatan makan. Langkah Devanno kian mendekat ke meja makan. Saat membuka tudung saji, matanya terbelalak.             “Eh busyet! Mama sudah matang bener rencananya. Ini masakan sebanyak ini biar kita berdua enggak kelayapan keluar sampai besok Mama nyusul kali, ya Pa?” Devanno menggeleng-gelengkan kepalanya.              “Jadi sarapan pagi dan makan siang, makanan yang dihangatkan semua? Begitu maksudmu? Ha ha ha!” Pak Matthias terbahak.              “Mungkin Bu Romlah disuruh masak banyak sebagai kompensasi, kan malam ini kita batal barbeque-an. Nah Bu, antar makanan juga ke depan nih. Biar Pak Rahmat sekalian makan sama Pak Gilang,” kata Pak Matthias menyebut nama supirnya.              “Baik, Pak, ini sekalian saya siapkan kok. Mas Devanno tenang saja, Ibu sudah pesan ke saya supaya membeli semua keperluan buat besok. Jadi besok pasti sempat kalau mau bakar-bakar sate di halaman depan. Saya akan menyiapkan lontong dan sambal kacang juga biar komplit,” ucap Bu Romlah yang telah lama mengurus villa keluarga Pak Matthias.              Devanno menimpali dengan mengangkat bahu saja.             Pak Matthias terusik.             “Kok nggak semangat begitu sih, Dev? Kamu kecewa banget Mama baru datang besok?” selidik Pak Matthias.              “Enggak gitu juga, Pa. Bilang saja ke Mama deh, supaya Mama bawa makanan yang enak-enak dari rumah besok pagi. Kan Mama paham, begitu sampai di sini kita sudah malas mau kemana-mana. Mau keluar sampai jalan besar di depan sana saja sudah enggak kepikir. Villa ini memang ada aura malasnya,” kata Devanno.              “Aura rileks, yang aku maksudkan, Pa. Jadi sesampainya di sini, selalu bawaannya kepengen doing nothing. Padahal aku mau review sedikit kerjaan dan mempelajari usulan proyek barunya si Austin. Tadi pas aku di jalan, dia telepon dan bilang, mau email ke aku selambatnya malam ini,” ralat Devanno secepatnya, begitu mendapati Papanya mendelik protes mendengar ia menyebut kata ‘malas’.               Pak Matthias tergelak dan berkata, “Katanya datang ke sini itu mau quality time, santai-santai, eh, nyatanya masih saja mikir kerjaan melulu! Kamu w******p sendiri sana, selagi Mama masih di jalan. Siapa tahu masih sempat untuk beli-beli cemilan.”              Kening Devanno sontak berkerut.             “Di jalan, Pa? Di jalan mana, maksudnya Papa?” tanya Devanno terkejut.              Pak Matthias tergeragap menyadari salah ucapnya.             “Eng,.. itu... maksudnya, tadi pas Papa teleponan, Mama bilang masih di jalan. Ya, mungkin mau ke supermarket atau dari mana. Atau, bisa juga mau mempersiapkan hadiah spesial buatmu. Bisa jadi lho,” sahut Pak Matthias pula.              “Ooo..,” ucap Devanno singkat.             Ia mengenyahkan sebersit rasa curiga yang menyapanya. Faktanya, semenjak usianya melewati angka 17 tahun, dia tidak terlalu excited lagi dengan yang namanya hadiah ulang tahun. Ya meskipun, sang Mama masih kerap menanyainya apa yang dia inginkan sebagai hadiah ulang tahun, bahkan di beberapa tahun terakhir ini. Hanya saja, kali ini sang Mama memang tidak bertanya sama sekali kepadanya.              “Bu Romlah, besok pagi tolong panggil tukang pijit yang biasa, ya. Tadi itu... haduuh!  Macetnya minta ampun, kaki rasanya sampai kesemutan,” kata Devanno saat melihat Bu Romlah hendak berlalu membawa makanan untuk suami serta supir majikannya.              Bu Romlah menganggukinya.             “Baik, Mas. Besok siangan saya panggilkan ya. Saya permisi mau ke depan dulu,” katanya patuh sembari pamit meninggalkan ruang makan.             “Iya, terima kasih Bu,” kata Devanno.             “Sama-sama, Mas,” ucap Bu Romlah.              “Makanya, lekas-lekas punya istri saja Dev. Biar ada yang mijitin kalau badan lagi pegal. Lagian, kok nggak kepikir sih, untuk ganti mobil yang matic aja!” kata Pak Matthias.              “Opsi kedua lebih gampang tuh, Pa. Dua bulanan lagi deh, kalau aliran kas masuk selancar saat ini, ganti mobil baru, deh!” sambar Devanno pendek, menganggap sepi olokan sang Papa.              Papanya tersenyum lebar melihat wajah Devanno yang disetel sok ‘cool’ itu. Selalu saja begitu. Ketika disinggung mengenai pendamping, Devanno tak mau terlalu ambil pusing menanggapinya. Apalagi jika Papanya yang bertanya. Akan berbeda reaksinya bila Bu Grizelle yang mengusiknya. Tetapi untungnya, semenjak hubungannya dengan Marshanda berakhir, Mamanya jarang mempermasalahkan perihal kesendiriannya. Terutama ketika kedekatannya dengan Sesil yang hanya bertahan beberapa bulan saja.              Waktu sudah menunjukkan pukul 23.30 sewaktu Pak Matthias berpura-pura menguap. Tanpa beranjak dari sofa tempatnya membaringkan diri sembari menonton tayangan televisi di ruang keluarga, diliriknya Devanno yang duduk tak jauh darinya.              “Dev, ngerjain apa, sih? Sudah dari tadi loh, Papa lihat kamu tuh serius sekali. Lagian, kalau urusan proyek, memangnya sudah terima emailnya? Nggak harus langsung digeber juga, kan?” tegur Pak Matthias melihat Devanno masih begitu asyik memelototi layar laptop di depannya.             Devanno mengalihkan pandangannya dari layar laptop ke wajah sang Papa.              “Oh, emailnya belum masuk. Ada revisi kecil kata Austin. Besok pagi baru dia kirim. Ini aku nyicil kerjaan, Pa. Sebentar lagi juga bakal selesai. Jadi besok bisa bangun tidur siang, pijat kaki, mandi, makan, cek emailnya Austin, terus tidur lagi seharian. Sorenya baru bangun buat siap-siap mau barbeque-an. Lusanya, bolehlah berenang sebentar terus nyempatin meremin mata lagi. Hitung-hitung pemanasan sekaligus nabung istirahat, karena sorenya bakal macet-macetan lagi,” jawab Devanno ringan.              Pak Matthias tersenyum miring.              “Intinya, kamu kemari itu sebenarnya sekadar pindah tidur, ya? Sudah, cepat beresin terus istirahat sana! Katanya capek habis kena macet di jalan, eh malahan kerja melulu,” sahut Pak Matthias.              Ponsel Pak Matthias berbunyi. Sebuah pesan text masuk. Segera Pak Matthias membacanya. Pak Matthias segera membukanya.              From : Mama             Sudah dekat nih, Pa. Paling lama 10 menit lagi sampai. Tadi sengaja agak lama nunggu di bawah. Sekalian ngasih kesempatan ke Pak Farid makan dan istirahat dulu. Kan, besok pagi Pak Farid langsung balik ke Jakarta. Devanno masih belum tahu apa-apa kan, Pa?              Pak Matthias tersenyum membaca pesan teks yang dikirim oleh Bu Grizelle. Kemudian ia melirik Devanno yang masih asyik meneruskan pekerjaannya.              Ibu jarinya menari di atas layar telepon genggam, mengetikkan huruf demi huruf.              To : Mama             Pas kalau begitu. Ma Hati-hati, ya! Bawa banyak makanan kecil, kan? Devanno masih kerja tuh, di depanku. Pasti dia kelaparan kalau sudah asyik di depan laptop begitu.              Secepat pesan itu usai diketik, seepat itu pula Pak Matthias mengirimkannya kepada istrinya.              “Nah! Selesai! Mau ke dapur dulu ah, buat bikin coklat hangat. Papa mau nggak, biar sekalian aku buatin?” Devanno menutup layar laptopnya lantas menggerak-gerakkan kedua telapak tangan serta kepalanya, mencoba sedikit melakukan peregangan otot.              “Bolehlah. Bu Romlah sudah istirahat di pondok belakang, memangnya?” tanya Pak Matthias.              “Kelihatannya sih begitu. Nggak apalah, cuma nyeduh coklat, kok. Gampang. Pak Gilang sama Pak Rahmat kedengaran masih seru deh ngobrolnya. Bisa-bisa bergadang itu,” komentar Devanno seraya bangkit dari duduknya.              “Biarin deh. Sekali-kalilah mereka puasin ngobrol. Sehari-hari kan, Pak Gilang cuma berduaan sama Bu Romlah. Kan anak mereka jauh di Samarinda sana, jarang bisa datang kemari. Nanti kalau ngantuk juga mereka bakal tidur,” sahut Pak Matthias ringan.             Devanno tidak menyahut lagi.             Ia segera meninggalkan sang papa sendirian di ruang keluarga dan bergegas menuju dapur. Devanno mencari-cari toples berisi bubuk coklat dan menuangkannya pada dua buah cangkir. Sewaktu kembali ke ruang keluarga, Devanno mendengar bunyi mesin kendaraan mendekat ke villa mereka.              “Lho, itu ada bunyi mobil di luar. Memangnya Mama jadi datang malam ini, Pa?” tanya Devanno yang segera meletakkan cangkir di meja, menyorongkan salah satunya ke sisi meja yang dekat dengan sang Papa.              “Mungkin,” sahut Papanya pendek, seakan kurang peduli.             “Aku cek ke depan dulu deh Pa,” kata Devanno kemudian.             "Ya, sana deh," sahut Pak Matthias, acuh tak acuh.              Devanno pun berjalan menuju pintu depan, membuka membuka pintu utama tersebut dan langsung melihat mobil Mamanya yang sedang diparkirkan tepat di sebelah mobilnya.              “Pa! Ternyata Mama yang datang! Selarut ini pula!” seru Devanno.              Mobil telah terparkir sempurna. Terlihat Pak Farid membukakan pintu tengah. Anehnya, Mamanya tidak segera turun, terkesan tengah melakukan sesuatu hal. Entah apa. Sekitar semenit kemudian barulah Bu Grizelle turun. Sementara itu, Pak Farid membuka pintu belakang dan mengambil tas pakaiannya. Devanno bergegas menuruni tangga depan, menyongsong Mamanya.              “Mama! Katanya mau datang besok pagi? Mana tas Mama, sini aku yang bawakan,” sambut Devanno setelah mencium pipi kanan dan kiri Mamanya.              “Eh, nggak usah Dev! Biar Pak Farid saja!” cegah Bu Grizelle.              Devanno mengedikkan bahu. Ia menggandeng tangan Bu Grizelle menaiki tangga menuju pintu utama villa. Devanno tak tahu, ada seseorang tersenyum mengamatinya, salut menyaksikan kedekatan serta sikap hormatnya pada Mamanya.             ‘Benar-benar family man,’ batin orang yang mengamati Devanno.              “Ma, baru sampai? Macet nggak?” tanya Pak Matthias ketika mereka berpapasan di pintu utama.              “Lumayan lancar sih Pa. Pak Farid, tas yang biru tolong taruh di kamar depan. Tas satunya di kamar saya. Terus barang-barang lainnya taruh di dapur saja, Pak,” suruh Bu Grizelle melihat Pak Farid telah berdiri di belakang mereka.              “Lho, kenapa Ma? Memangnya tas yang biru punya siapa kok harus ditaruh di kamar depan?” tanya Devanno.              Pak Matthias melirik arlojinya dan memberi kode pada Bu Grizelle.             “Mama enggak lupa bawa cemilan banyak, kan? Anak bungsumu ini sudah berniat mau makan tidur saja selama di sini. Selingannya dia itu. Mantengin laptop sambil ngemil. Dia belum tahu saja, kalau keseringan begitu, badannya bisa bengkak. Dan, cewek-cewek bakal malas buat sekadar ngelihat,” kata Pak Matthias untuk mengalihkan pembicaraan.              Manjur, candaan Pak Matthias berhasil membuat Devanno mendelik tanda protes. Papanya pun berlagak tak peduli, padahal dalam hatinya bersorak karena upayanya mendistraksi sang putra, menuai sukses besar.              Sedangkan Bu Grizelle, menatap sedikit iri akan kedekatan putra kesayangannya pada suaminya. Benar, diantara di antara ketiga anaknya, Devanno memang yang paling dekat dengannya. Namun, ada kalanya Bu Grizelle merasakan betapa Devanno sangat berhati-hati menjaga perasaannya sebagai ibu. Malah kerap terlintas segan. Berbeda dengan kedekatannya pada sang ayah yang tampak lebih natural, bak hubungan dua sahabat saja.             Bu Grizzelle menatap keduanya bergantian.              Mencermati bagaimana suami serta anak-anaknya berkomunikasi memang seringkali membuatnya dirundung perasaan cemburu. Di matanya, mereka tampak demikian nge-blend. Bagaikan hubungan kakak beradik saja. Benar semua anaknya amat sangat menghormati dirinya. Hanya Kassandra seorang, yang gemar berdebat panjang dengannya. Juna sesekali. Tapi Devanno? Kapan Devanno mendebatnya? Seingatnya, tak pernah. Sayangnya, itu bukan lantaran Devanno takut. Bu Grizelle merasakan betapa Devanno menyayanginya dan tak ragu mengekspresikan rasa sayang itu lewat kata serta perbuatan nyata. Namun dia tak dapat menampik, terselip rasa iri mengenang betapa seringnya dia melihat senda gurau anak-anaknya selagi bersama suaminya. Bagaimana mereka saling mengolok, tertawa lepas dan melempar istilah kekinian. Mana bisa dia tidak terusik dan iri karenanya? Serasa menjadi penonton saja, sulit untuk berperan serta.                                                                                                                                                                   - Lucy Liestiyo –
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN