CHAPTER LIMA BELAS : Reunion

2195 Kata
                Mendapati ekspresi wajah suaminya yang terkesan hendak melancarkan ejekan lagi, diam-diam Bu Grizelle teringat putri tengahnya, si manja Kassandra yang perajuk tingkat tinggi itu. Terpikir olehnya, kehangatan sikap suaminya membuat Kassandra tak malu merengek, bahkan di saat usianya sudah lima belas tahun dan mulai mengenal cinta lawan jenis. Bu Grizelle ingat benar, betapa Kassandra memuja sosok Papanya, menjadikannya panutan dalam mencari pria idaman bagi masa depannya. Tak sadar, kepala Bu Grizelle menggeleng pelan selagi berpikir dan mengira-ngira, adakah Juna menjadikan dirinya sebagai patokan dalam mencari pasangan hidup.                Suara dalam hatinya seolah berbisik, “Itu jelas mustahil.”                Tentu saja. Seingatnya, dia dan Michelle, menantu perempuannya itu berbeda nyaris di segala hal.                Bu Grizelle menatap putra bungsunya.                ‘Lalu Devanno? Ah, entahlah!’ Batin Bu Grizelle sambil mengamati bahasa tubuh Pak Matthias dan Devanno yang santai.                “Ma, kok diam? Ada apa?” pertanyaan Pak Matthias mengejutkan Bu Grizelle.                 Bu Grizelle tergeragap, namun segera dapat menguasai keadaan.                    “Eh? Sudah kok, Pa. Itu, sebagian sudah diturunkan sama Pak Farid. Tapi, Mama baru ingat deh. Itu lho Dev, hadiah ulang tahun buat kamu ketinggalan di mobil. Deva, bisa tolong ambilkan?” pinta Bu Grizelle kemudian.                 Devanno tak terlalu antusias mendengarnya. Buatnya, bukan waktunya lagi bagi sang Mama memberinya hadiah ulang tahun, mengingat umurnya yang telah sebanyak sekarang ini. Tak semestinya pula, setiap kali pertambahan usianya, sang Mama menyibukkan diri berpikir lalu memilihkan hadiah ulang tahun yang dirasa tepat baginya.                ‘Kirain sudah aman. Lha kemarin-kemarin juga nggak tanya aku mau minta apa,’ pikir Devanno jemu.                 “Besok saja ya Ma? Sama saja, toh. Lagian, ngapain pakai repot bawa-bawa hadiah segala,” elak Devanno.                 “Kamu bakal menyesal seumur hidup kalau nggak ngambil hadiahnya sekarang!” desak Bu Grizelle.                 Devanno mengerutkan kening mendengarnya. Ulu hatinya serasa tertohok ketika meresapkan pilihan kata dari Mamanya. Ada kesan ancaman dalam kalimat itu.                Jelas saja Devanno tak mau menyesal seumur hidup,  dia sungguh tak ingin mengecewakan Mamanya dengan memperlihatkan reaksi kurang tertarik. Pantang baginya untuk menyakiti hati sang Mama, terlebih di hari jadinya begini. Lantas dibayangkannya, tepat di tanggal yang sama, bertahun silam, Mamanya tercinta berjuang sekuat tenaga, merasakan kesakitan tak terperi, mempertaruhkan nyawa, demi mengantarkan dirinya dengan selamat  ke dunia ini.                “Sudah, sana ambil! Lagian, hargai sedikitlah pemberian Mamamu,” tambah Pak Matthias.                Devanno menghela napas.                “Iya, iya,” kata Devanno dengan ekspresi pasrah.                Cowok itu segera membalikkan badannya, kembali melewati pintu utama dan secepatnya menuruni anak tangga. Di belakangnya, kedua orang tuanya mengikuti tanpa setahunya.                “Benar-benar pas, Ma. Kurang dari dua menit lagi. Kira-kira, lilinnya sudah sempat dinyalakan belum ya, Ma?” bisik Pak Matthias kepada sang istri.                “Mustinya sih sudah, Pa. Pas Mama turun, kuenya sudah dikeluarkan dari kotaknya. Mama langsung suruh Pak Farid mematikan mesin mobil. Terus bilang ke Marshanda agar secepatnya sembunyi di belakang mobil selagi Mama mengalihkan perhatian Devanno, mengulur waktu dan masuk ke villa,” Bu Grizelle balas berbisik.                 “Papa benar-benar bangga sama Mama,” ucap Pak Matthias. Tatapan penuh cintanya menyapu wajah istrinya. Dikecupnya dahi sang istri sepenuh hati.                Selintas, terngiang di telinga Pak Matthias, perkataan sang istri yang selalu meributkan asal-usul Marshanda.                Ia lekas menggoyangkan kepalanya.               ‘Ah. Tapi itu kan dulu. Kini segalanya berubah,’ pikir Pak Matthias, mensyukuri perubahan sikap istrinya. Dia percaya, ini hadiah terindah buat Devanno, putra bungsu mereka di hari jadinya.               “Kenapa Pa? Kok kepalanya digoyangin begitu?” tanya Bu Grizelle yang memergoki ulah suaminya.                “Eng..., ada nyamuk, Ma,” Pak Matthias sedikit berbohong, memberi alasan.                Dilingkupi rasa bahagia, Pak Matthias mengecup lagi dahi istrinya.                Sementara itu, Devanno bergegas membuka pintu bagian tengah mobil sang Mama.                “Ampun, deh! Pakai langsung dimatiin pula mesinnya. Gimana mau kelihatan coba! Lagian, panas banget nih!” Keluh Devanno gemas.                Tiba-tiba Devanno mendengar langkah kaki seseorang dari arah belakang badan mobil. Sekelebat bayangan menyertainya, terus melewati bagian samping mobil dan menuju ke depan. Devanno terusik dan secepatnya keluar dari  mobil sang Mama. Saking penasaran, Devanno bergerak cepat. Dan, langkah kaki Devanno terhenti seketika. Dia menatap tak percaya.               “Marshanda?” ucap Devanno dengan perasaan tak menentu.                Dia takut, dirinya tengah berhalusinasi saat ini.                Tangannya bergerak, mengucek matanya.                Tetapi gadis itu tetap di sana, menatapnya.                “Sha, is it really you? Now tell me, I’m not dreaming, right?” tanya Devanno sambil mendekati Marshanda.                 “Happy 28th birthday, Devanno. All the best for you. You can make a wish right now,” ucap Marshanda diiringi senyum manisnya. Tak sanggup dibantahnya, hatinya tergetar menatap sosok di depannya. Demi meredakan debaran kencang di dadanya, diangsurkannya kue tart yang ia bawa. Kue tart yang khusus dipesannya untuk Devanno itu didekatkannya pada Devanno. Padahal, Marshanda sulit membantah, tangannya pun bak terkena tremor, gemetaran secara konstan. Sekian lama tak bersua, ternyata dia tak mampu menafikan betapa dalam perasaan cintanya pada Devanno, dan rasa itu tetap ada. Barangkali dengan kadar yang lebih tinggi ketimbang dulu. Jantungnya berdetak begitu kencang ketika menatap tambatan hatinya itu.                  Devanno yang berdiri di depan Marshanda terpana. Ia masih berada di batas antara percaya dan tidak percaya dengan penglihatannya. Seraya menahan gemuruh di dadanya, Devanno membatin, sungguhkah Marshanda yang hadir di hadapannya kini, yang datang untuknya tepat di momen spesialnya. Meski telah mendengar ucapan Marshanda, Devanno masih curiga bahwa dirinya tengah bermimpi atau berhalusinasi saat ini. Karenanya Devanno tergoda mengerjapkan matanya barang sesaat, hendak memastikan apakah sosok Marshanda masih tetap ada ataukah menghilang begitu saja dalam gelapnya malam. Betapa ingin diguncangkannya kedua pundak Marshanda saat ini, lantas menuntut penjelasan dari gadis yang menghuni tempat teristimewa di hatinya ini.                  “Jangan kelamaan dong bengongnya! Nanti lilinnya keburu meleleh! Lagian, memangnya kamu nggak kasihan sama Marshanda? Tangannya juga pegal itu, kelamaan pegang kue tartnya,” olokan Pak Matthias yang menyusul mendatangi mereka berdua, ampuh membuyarkan keterdiman Marshanda dan Devanno. Pak Matthias sempat memergoki betapa tangan Marshanda gemetaran.                  Mendengar suara Papanya yang diiringi tawa kecil, Devanno pantang membiarkan dirinya salah tingkah lebih lama lagi. Dia mengambil waktu sesaat untuk mengucapkan harapannya dalam diam. Harapan yang tampaknya mulai menemui jalannya. Apalagi kalau bukan kelangsungan hubungannya dengan Marshanda? Lantas, ditiupnya lilin yang menyala di atas kue tart.                 “Thanks, Sha! Sini, aku saja yang bawa! Yuk, kita masuk!” Devanno ingin mengambil kue tart dari tangan Marshanda, tetapi Marshanda memberi isyarat bahwa Pak Matthias mendekati Devanno.                 Marshanda menganggukkan kepalanya.                 “Selamat malam, Om Matthias,” sapa Marshanda santun.                 “Selamat malam, Marshanda. Selamat datang di villa kami, jangan sungkan ya. Anggap seperti tempatmu sendiri,” sahutan Pak Matthias diangguki kembali oleh Marshanda disertai dengan ucapan terima kasih.                  “Happy birthday, Devanno! Semoga semakin sukses dan bahagia,” bisik Pak Matthias sembari memeluk Devanno.                  Dalam pekatnya malam, Marshanda dapat melihat tatap bangga Pak Matthias pada putra bungsunya itu manakala menepuk-nepuk bahunya.                 “Thanks, Pa!” ucap Devanno dalam haru yang menyentak.                 Pak Matthias melepaskan pelukannya saat menyadari istrinya mendekat ke sisinya. Ia segera memberikan kesempatan kepada sang istri untuk memeluk putra kesayangannya itu. Pak Matthias mahfum, bisa jadi istrinyalah orang yang paling punya kepentingan terhadap Devanno saat ini.                “Dev, happy birthday! Wish you all the best ya! Semoga, suksesmu di dunia usaha disempurnakan dengan kelancaran perjalanan cintamu dengan Marshanda,” bisik Bu Grizelle. Terlihat matanya berkaca-kaca. Hati Devanno yang lembut tersentuh.                 “Ma, thanks so much! It’s means a lot for me!” Tanpa ragu Devanno menghujani pipi Mamanya dengan ciuman sayang.                 Bu Grizelle mengelus-elus punggung Devanno.                “Many thanks, Ma. I love you, Ma,” ucap Devanno berkali-kali. Dirasakannya matanya mulai memanas.                 “Ma…, ini… ini.. Devanno nggak tahu harus bagaimana ngucapin terima kasih ke mama. Ma… I love you so much!” ulang Devanno dalam kalimat yang terbata-bata.                 Keharuan merebak dengan bebas, tiada dapat tercegah lagi.                 Mata Devanno menatap dalam-dalam wajah Bu Grizelle. Terheran sekaligus terkagum mengira-ngira besarnya pengorbanan Mamanya hingga berbesar hati mempertemukannya dengan Marshanda tanpa dimintanya. Ah! Sekadar memimpikannya sajapun dia tidak berani. Tak ayal, hati Devanno tergugah, tersadar betapa lembutnya hati sang Mama. Demikian romantis, bahkan cenderung melankolis. Senyum kecil Devanno terulas begitu saja, mendapati sisi lain  dari sang Mama, yang selama ini disembunyikan dengan begitu rapi, di balik sikap dominan dan tegas yang ditampilkan sehari-hari.                 Maka, Devanno pun membiarkan tangan lembut Bu Grizelle, Mamanya menepuk-nepuk pipinya.                      Marshanda yang menyaksikan itu terharu luar biasa. Hampir saja air matanya bergulir di pipi.                 ‘Laki-laki yang menghargai Mamanya, sudah pasti memperlakukan wanita dengan baik. Aku nggak pernah ragu tentang itu, Dev,’ batin Marshanda.                  Lantas, kala mengamati bahasa tubuh Devannodengan Bu Grizelle, sebuah perasaan lain membersit di benak Marshanda. Tak terhindar, Marshanda membatin, kemungkinan seperti itu rasanya pelukan, kasih sayang dan perhatian seorang ibu kandung.                  “Mama minta maaf ya, dulu itu gara-gara Mama kalian berdua jadi putus dan membuat kalian berdua menderita,” ucap Bu Grizelle.                  “Ah, Mama,” kata Devanno.                  “Yang penting, sekarang Mama merestui hubungan kalian sepenuhnya. Tinggal bagaimana kalian berdua menjalaninya. Kalau bisa, usahakan jangan terlalu banyak membuang waktu lagi, ya. Kalian sudah sama-sama dewasa,” kata Bu Grizelle. Pelan, serius, dan penuh ketegasan bak perintah tak terbantah.                 “Terima kasih banyak, Ma! Devanno sampai speechless,” Devanno mempererat pelukannya pada Mamanya. Diciuminya punggung tangan Mamanya dengan penuh rasa hormat dan sayang.                  Bila tak memperhitungkan keberadaan Marshanda tak jauh darinya, mungkin dia tak kan malu membiarkan airmatanya menetes.                  ‘Ini, ini terlalu indah. It is really the best birthday gift i’ve ever had,’ bisik hati Devanno.                  “Sini Marsha, Om yang bawakan kuenya. Biar saja itu, Devanno masih shock dan nggak nyangka Mamanya punya hadiah spesial buat dia.” Pak Matthias mengambil kue tart dari tangan Marshanda.                  Marshanda tersipu mendengarnya.                  “Ma, jangan kelamaan dong! Sudah pelukannya! Memangnya Mama nggak mau kasih kesempatan sama dua anak muda ini buat melepas rindu? Kasihan loh, mereka berdua, sudah bertahun-tahun nggak ketemu,” goda Pak Matthias.                  Tak urung ucapan Pak Matthias membuat Marshanda sedikit jengah. Untung saja, rona merah yang menjalar di pipinya tersamar berkat suasana sekitar yang gelap.                  “Ajak Marshanda masuk, dia pasti capek sekali. Tadi dia menolak waktu Mama mau menjemput dia dari kantornya. Akhirnya kami sepakat ketemu di apartemennya. Ternyata Marshanda sengaja mengambil kue tart pesanannya dulu sepulang dari kantor,” bisik Bu Grizelle dan melepaskan pelukan Devanno.                   Devanno terperanjat mendengarnya. Dia langsung merasa bahwa dirinya adalah orang paling bodoh. Pasalnya untuk informasi sepenting itu tentang Marshanda-nya tercinta, bukannya dirinya yang tahu, malah mamanya.                   “Marshanda kerja di Jakarta? Mama tahu kantor dan tempat tinggalnya? Sejak kapan? Mama pakai jasa detektif mana sampai bisa menelusuri keberadaan Marshanda? Diam-diam pula, tanpa setahuku!” bisik Devanno berlagak protes.                   “Ayo, ngobrolnya dilanjutkan di dalam saja.” Pak Matthias menghampiri Devanno dan Bu Grizelle.                   Tak berkata apa-apa lagi,Pak Matthias menggandeng tangan istrinya.                   “Ayo, Ma,” ajak Pak Matthias.                   Sang istri mengangguk.                  Selekasnya keduanya menapaki anak tangga, bermaksud memberi peluang pada Marshanda dan Devanno agar lebih leluasa, tanpa keberadaan mereka.              “Thankyou so much, Ma!” Devanno merasa perlu mengucapkannya sekali lagi, biarpun sang Mama telah berjalan menjauh.                Kini tinggal dia dan Marshanda di halaman.                Devanno tidak menghiraukan Pak Farid yang cepat-cepat bergabung dengan Pak Gilang dan Pak Rahmat di pos jaga. Mereka bertiga sepertinya tahu diri. Lihat saja, betapa mereka sengaja duduk dengan posisi memunggungi dia dan Marshanda.                “Marsha..., where have you been? I’ve been looking for you every where, you know!” cetus Devanno seraya meraih kedua tangan Marshanda, menggenggam jari-jemari Marshanda dan mengecupnya. Kehangatan mengalir, mengusir hawa sejuk kawasan Puncak, dimana villa keluarganya berada.                 Marshanda membalas tatapan Devanno yang penuh cinta. Devanno membalas tatapannya sehingga mereka saling berpandangan satu sama lain. Marshanda terhanyut dalam gelombang perasaan. Rasanya nyaman sekali. Betapa dia mengagumi mata Devanno. Mata yang bagaikan kolam nan jernih dan tenang dimana dia dapat berenang di sana sepanjang waktu.               “Aku di sini, Devanno,” jawab Marshanda dengan bibir bergetar, semata ingin menegaskan, yang penting dia ada di depan Devanno sekarang dan tak perlu lagi bagi Devanno untuk mempermasalahkan ada di mana dirinya selama ini. Setidaknya, untuk saat ini.               “Andai kamu tahu, aku kangen banget sama kamu!” entah siapa yang memulai, mendadak saja keduanya telah saling berpelukan. Saking eratnya pelukan mereka, Devanno dapat merasakan detak-detak jantung Marshanda. Begitu juga sebaliknya.                Segenap rindu yang selama ini mereka timbun, kini mereka biarkan menggelegak dengan sempurna. Bagaikan lava yang mendesak keluar.                Jika menuruti kata hati, alangkah inginnya Devanno mengecup bibir Marshanda, melumatnya sesaat, demi membayar lunas segala kerindua yang selama ini ditanggungnya. Untung saja, sisi hatinya yang lain menegur keras. Akhirnya, Devanno pun memejamkan matanya dan mencium dahi Marshanda sepenuh hati. Jemarinya bergerak lembut, menjamah bibir Marshanda, menyentuh pipinya gadis itu, membelai dan mencium rambut Marshanda yang dibiarkan tergerai melewati bahu. Itu pun, sudah membuat perasaan Marshanda melayang bak terbawa ke masa-masa indah mereka dulu.                “Mereka berdua pelukan, Pa. Papa sudah pastikan Devanno nempatin kamarnya di lantai atas, kan? Bahaya kalau dia berubah pikiran dan mau pindah tidur di kamar bawah yang biasa dipakai sama Kassandra. Kan, letak kamar itu nggak terlalu jauh itu dari kamar depan. Mama nggak mau terjadi sesuatu ya, Pa. Jangan sampai mereka..,” bisik Bu Grizelle serius pada suaminya. Rasa khawatir yang besar tersirat di wajah wanita itu.                                                                                                                                                                     - Lucy Liestiyo -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN