CHAPTER TIGA BELAS : The Orphanage (2)

1935 Kata
                  Terdorong sebuah empati, Marshanda kecil memegang refleks lengan Ibu Evelyn. Eratnya pegangan tangan mungil Marshanda pada lengannya, seolah mengirimkasebuah kekuatan kepada Ibu Evelyn untuk melanjutkan kisahnya. Andaikan Marshanda telah berusia dewasa, pasti melalui pegangan tangannya hendak menyampaikan, betapa mereka berdua sebetulnya senasib dan dapat saling mengisi. Hati Ibu Evelyn tersentuh karenanya.                  “Saat itu, Ibu sedang sibuk mengurus panti asuhan ini. Karenanya Ibu nggak bisa mendampingi anak-anak Ibu yang minta diajak berlibur keluar kota. Mendiang suami Ibu yang kemudian mengajukan diri mengantar kedua anak Ibu. Alangkah menyesalnya Ibu ketika tahu, ternyata nggak ada lagi kesempatan bertemu mereka semua dalam keadaan hidup. Mereka bertiga tewas dalam kecelakaan tersebut,” tutur Ibu Evelyn.                   Marshanda menempelkan kepalanya ke lengan ibu Evelyn.                  Ibu Evelyn mengecup puncak kepala Marshanda.                  Bila saja Marshanda sudah lebih besar dari sekarang, tentu Ibu Evelyn dapat mengatakan, “Sayang, kamu berpisah dengan teman-temanmu, tapi untuk sementara saja. Suatu saat kalian masih bisa bertemu lagi. Beda dengan Ibu. Ibu sudah tidak mungkin lagi bertemu dengan mendiang suami dan anak-anak Ibu.”                  Tapi mana mungkin, dia melontarkan hal macam itu kepada seorang anak kecil? Belum tentu dia dapat memahaminya dengan baik, bukan                   “Sayang, hati Ibu benar-benar hancur saat itu. Ibu nyaris limbung. Setiap hari Ibu menangis dan meratap. Hampir terpikir oleh Ibu untuk menutup panti asuhan ini karena Ibu merasa tidak mungkin sanggup mengurus anak-anak asuh yang ada. Ibu takut mereka terlantar. Untung saja, ada Ibu Estherlita. Beliau berkeras mempertahankan panti asuhan ini, sekaligus menggantikan tugas-tugas Ibu selama masa berkabung yang panjang dan terasa amat berat itu,” tutur Ibu Evelyn sambil membelai rambut Marshanda kecil.                   Marshanda kecil menangis tersedu, mendengar kisah sedih Ibu Evelyn.                   “Kalau saat itu Ibu jadi menutup panti asuhan ini, Marsha nggak akan pernah ketemu sama Ibu. Marsha nggak nyangka, kalau Ibu pernah mengalami kejadian sesedih itu,” isak Marshanda.                   Ibu Evelyn pun langsung memeluk Marshanda.                  Ia menenangkan Marshanda dan berbisik lirih, “Marsha Sayang, yang penting sekarang kita bersama-sama, kan? Lagi pula, Ibu juga telah bisa menerima semua kejadian itu secara ikhlas. Kan ada kalian, yang menemani Ibu, sehingga Ibu nggak merasa kesepian.”                   “Benar Marshanda, maksud Ibu Evelyn bercerita tadi, semata mau menegaskan, Marsha itu nggak sendirian, sayang. Begini saja, intinya, Marsha jangan sedih lagi, ya. Relakan Krizia dan Felia sahabatmu, yang hari ini dijemput sama orangtua angkat mereka. Marsha justru harus mendoakan supaya Krizia dan Felia selalu sehat dan bahagia. Seperti kami juga selalu mendoakan supaya Marsha dan semua teman-temanmu di sini selalu sehat dan bahagia,” mendadak terdengar suara Mbak Edgina dari arah pintu kamar. Entah sejak kapan Mbak Edgina berdiri di ambang pintu yang terbuka itu.                   “Tuh, Mbak Edgina benar. Pokoknya, kami semaua mendoakan supaya Marsha selalu bahagia, di mana pun dan dengan siapapun Marsha berada,” tambah Ibu Evelyn.                   Mbak Edgina tersenyum lalu menghampiri Ibu Evelyn serta Marshanda. Ia mengulurkan tangannya kepada Marshanda.                  Nah, khusus malam ini Marsha tidur di kamar Mbak Edgina saja, ya. Ayo,” ujar Mbak Edgina yang membujuknya tidur di kamar depan, kamar yang ditempati olehnya.                   Marshanda menatap ragu kepada Ibu Evelyn, seolah meminta pertimbangan.                  Ibu Evelyn mengangguk.                  “Marsha tinggal Ibu dulu ya. Nggak apa, kan? Ibu nggak boleh sedih lagi. Kan ada Marsha. Marsha mau menemani Ibu,” ucap Marshanda lirih.                  Ucapan yang sungguh polos. Mata Ibu Evelyn sampai berkaca-kaca mendengarnya. Dipeluknya sekali lagi gadis kecil itu sebelum melepasnya pergi bersama Mabak Edgina yang notabene adalah adik kandung dari Ibu Estherlita, sepupunya.                   Namun, karena umur Ibu Estherlita dan Mbak Edgina terpaut jauh, Mbak Edgina menolak dipanggil ‘Ibu” oleh anak-anak panti asuhan. Maklum, dia masih duduk di bangku kuliah, baru semester dua, pula! Masih terlalu muda untuk dipanggil ‘Ibu’.                   Keesokan harinya, sepulang dari sekolah, Marshanda mendapati sebuah boneka panda yang lucu di atas kasurnya. Hadiah dari Ibu Estherlita. Kontan saja hati Marshanda dilanda suka cita. Dia merasa sangat bersyukur mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari ‘tiga malaikat tak bersayap’ yang ia yakini, telah ditempatkan oleh Tuhan untuk menjaganya. Keadaan yang demikian membuat Marshanda perlahan-lahan melupakan kesepian dan kesedihannya.                   Maka akhirnya, saat usia Marshanda hampir menginjak 11 tahun, Marshanda mengungkapkan keinginannya untuk selamanya tinggal di panti asuhan. Seperti orang dewasa, dia meminta waktu khusus kepada mereka bertiga untuk membicarakan hal tersebut. Ketiga ‘malaikat penolong’nya hanya mesem-mesem menanggapinya tanpa mengucapkan apa-apa kepadanya.                  Marshanda tak pernah tahu isi hati mereka bertiga. Jauh di lubuk hati mereka bertiga, mereka tetap mengharapkan Marshanda mendapatkan penghidupan dan masa depan yang jauh lebih baik ketimbang kehidupan sederhana dan seadanya di panti asuhan ‘Karunia Bersaudara’.                  Sebaliknya, Marshanda justru membuktikan niatnya dengan menolak dua keluarga yang ingin mengadopsinya dua bulan kemudian. Demikian pula dengan keluarga yang ketiga. Dia menyampaikan kepada calon keluarga angkatnya bahwa dia ingin selamanya tinggal di panti asuhan.                   Setiap kali pulang dari sekolah, Marshanda sibuk membantu pekerjaan apa saja yang ada di panti asuhan. Ia membantu membersihkan kamar dan halaman, menata ruangan kerja Ibu Estherlita dan Ibu Evelyn, menyirami tanaman kesayangan Ibu Evelyn, membantu Mbak Edgina memasak dan menyiapkan makanan untuk adik-adik. Ia juga mengajarkan adik-adik yang lebih kecil keterampilan tangan seperti keset, taplak meja, tas belanja hingga tatakan gelas dan kipas kertas kemudian menitipkannya ke toko-toko. Hal-hal yang sungguh membuat hati ketiga ‘malaikat penolong’nya meleleh dan bertambah sayang saja pada dirinya.                   “Marsha janji nggak akan menjadi beban buat Ibu Evelyn, Ibu Estherlita, sama Mbak Edgina. Marsha janji selalu rajin belajar. Marsha harus mendapatkan beasiswa terus, supaya bisa kuliah nantinya. Marsha juga janji akan membantu apa saja supaya Marshanda boleh tetap tinggal di sini. Boleh kan Bu Evelyn, Bu Estherlita, Mbak Edgina,” demikian tekad yang kerap Marshanda ucapkan di depan tiga orang saudara sepupu yang mempunyai kekerabatan amat erat itu.                   Dan, jika sudah begitu, mereka tak dapat mengatakan apa-apa lagi. Ketiganya bergantian memeluk Marshanda dan membelai-belai rambutnya dengan sepenuh hati.                  “Sha, kamu nggak pernah jadi beban. Kamu itu anugerah besar bagi kami, kehadiranmu di sini senantiasa menceriakan suasana. Kami bahkan sering trenyuh melihat sikapmu yang jauh lebih dewasa dan bertanggung jawab melebihi usiamu yang sesungguhnya,” bisik Ibu Estherlita sejujurnya.                   -          Akhir Dari Kilas Balik –                   Teringat potongan-potongan kenangan masa kecilnya, Marshanda merasa seakan semua itu baru saja terjadi kemarin. Tak terelakkan, selintas kerinduan menyapanya.                   Lalu di menit berikutnya, terkenang pula olehnya ucapan Bu Grizelle dua hari lalu, ketika lagi-lagi dia berterima kasih atas kontribusi besar Bu Grizelle dalam mendukung keberlangsungan panti asuhan tempatnya tinggal, terutama pada masa-masa sulit mereka.                    “Ah, kamu itu berlebihan, Marsha. Saya tahu kok, kamu juga banyak melakukan pekerjaan paruh waktu di usia semuda itu. Malah, adik-adik kamu juga Tante dengar membuat banyak kerajinan tangan untuk dijual di berbagai bazaar, kan?” tepis Bu Grizelle kala itu.                   Marshanda hanya mampu memejam mata mendengar ucapan Bu Grizelle yang bagaikan jangkar yang mengait kenangannya ke  masa-masa yang berat itu. Masa di mana dia merasa tak berdaya, karena sebanyak apapun usaha yang dilakukan oleh dirinya serta adik-adiknya di panti, tak sanggup berkontribusi untuk membiayai pengobatan Ibu Evelyn. Bahkan, sekadar berperan meringankan biaya operasional panti asuhan saja mustahil. Malangnya lagi, saat itu Mbak Edgina dan anaknya sudah pindah ke Ambon, dimana suaminya ditempatkan.                   Tak pelak hati Marshanda diliputi kesedihan, terbayang betapa saat itu Ibu Estherlita berjuang keras mempertahankan agar panti asuhan tetap berdiri. Dibantu oleh beberapa penghuni panti asuhan yang sudah besar, Ibu Estherlita berjualan aneka sarapan pagi di ujung gang dan sering mengikuti bazaar kuliner. Tak ketinggalan, dia juga berusaha keras mencari donatur-donatur baru sembari menawarkan kue-kue kering buatannya ke toko kue dan cafe.                   Saat itu Marshanda juga tak tinggal diam. Selain turut membantu mempersiapkan dan menawarkan kue kering buatan Ibu Estherlita kepada teman-temannya baik di kampus maupun di toko, dia juga berinisiatif menyisihkan upah yang ia peroleh dari menjaga toko sepulang sekolah. Aldo dan Samudi diam-diam menjadi pencuci motor di bengkel dekat sekolah mereka demi mendapatkan penghasilan. Kristi, Octaviani, dan Lila bahu-membahu membuat es buah serta gorengan untuk dijual keliling kampung. Semua yang telah memasuki usia belasan mau tak mau mengerti kesulitan yang tengah dihadapi oleh induk semang mereka. Semua tergerak ambil bagian membantu semampu mereka.                   Marshanda teringat pula, saat itu mereka mulai kesulitan membayar uang sewa bangunan panti asuhan yang mereka tempati. Sampai-sampai rumah peninggalan suami Ibu Evelyn yang menjadi tempat tinggal Ibu Evelyn, Ibu Estherlita, dan Mbak Edgina terpaksa digadaikan demi menutup biaya operasional yang bagaimanapun, tetap harus dibayar. Tergambar jelas di memori Marshanda, bagaimana Ibu Estherlita dengan berat hati menolak orang yang hendak menyerahkan bayi atau anak kecil dalam pengasuhan panti asuhan yang dihuninya.                   Dan melihat Marshanda terdiam, dengan akrab Bu Grizelle menepuk punggung tangannya.                   “Kamu nggak boleh sedih lagi, ya Sha. Relakan masa-masa itu. Tante  percaya, Devanno pasti akan membahagiakanmu. Tante bahkan berani berjanji, kalau soal itu. Devanno nggak akan mengecewakanmu, Sha,” kata Tante Grizelle.                   Tiada yang dapat dilakukan oleh Marshanda selain menyenyumi Bu Grizelle di ujung percakapannya dengan wanita itu dua hari silam.                   “Apa yang akan terjadi besok? Ah. Sudahlah. Aku nggak mau terlalu memikirkannya. Aku hadapi saja. Lagi pula, besok jadwal kerjaku juga padat. Kantuk, cepatlah datang,” gumam Marshanda.                   Lantaran kantuk tak jua menyapanya, Marshanda memutuskan keluar dari kamar dan membuat coklat hangat bagi dirinya. Setahunya, coklat hangat itu ampuh untuk mengundang rasa rileks, yang ia harap dapat mengundang rasa kantuk pula. Ya, dia benar-benar membutuhkan kedua hal tersebut sekarang, sebab besok merupakan hari yang dinilainya akan sangat panjang. Dia tahu sepenuhnya, dia butuh energi lebih untuk menunjang segala aktivitasnya seharian besok, bahkan juga mempersiapkan hati untuk sesuatu hal yang istimewa, yang ia sendiri juga belum tahu, akan berjalan seperti apa.                                                                                                                                                       -          Lucy Liestiyo –
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN