CHAPTER ENAM BELAS : First Slice of Birthday Cake

1642 Kata
             “Apa Ma?” tanya Pak Matthias sambil menggelengkan kepala.             “Ya kan mereka itu... sudah lama sekali nggak ketemu, Pa... Mama nggak mau kalau sampai..,” Bu Grizelle menggantung ucapan lirihnya.              “Mama ini! Seperti nggak pernah muda saja. Lagian, bisa-bisanya nggak percaya sama anak sendiri. Anak kesayangan lho,” Pak Matthias balas membisiki istrinya dan meminta istrinya mempercepat langkah. Tak lupa, ia memelankan kalimat terakhirnya sehingga mirip bisikan yang ditujukan kepada dirinya seorang.             “Kita masuk ke dalam, yuk Sha,” bisik Devanno pada Marshanda, akhirnya.             Devannopun mengecup punggung tangan Marshanda. Lantas, tangan kekarnya merengkuh bahu gadis itu dengan protektif, mengajak Marshanda menaiki tangga menuju pintu utama villa.              Baru saja mereka melewati pintu tersebut, suara Pak Matthias telah terdengar dari arah ruang keluarga.              “Hm, yang ulang tahun masih ingat masuk rupanya? Papa kirain mau ngelepas kangen di luar sampai pagi, sok-sokan menikmati angin malam sambil sepuasnya ngegombal. Kamunya sih nggak masalah, Dev. Yang kasihan tuh Marshanda, sudah capek-capek dari kantor dia kemari. Kamu nggak pikirin juga apa, Papa sama Mama yang mulai ngantuk? Nah, sini, cepetan potong kuenya!” olok Pak Matthias, menyuruh agar selekasnya dua insan yang baru melepas rindu itu bergabung dengan dirinya dan Bu Grizelle di ruang keluarga.             Devanno dan Marshanda mempercepat langkah mereka.             Devanno segera mendekati sang Papa, dan mencondongkan badannya kepada Papanya.             “Apa sih, Pa! Puas-puasin ngeledek deh!” bisik Devanno di telinga Pak Matthias, berpura-pura tak suka. Padahal kalau dia mau jujur, dia ingin mengklaim diri sebagai orang yang paling bahagia di seantero jagat raya, malam ini.              “Besok pagi, bilang sama Bu Romlah, nggak perlu panggil tukang pijit. Minta tolong sama Marshanda saja. Pasti dia enggak keberatan,” lagi-lagi Pak Matthias iseng, balas membisiki Devanno.              Devanno mendelik menanggapinya.              “Sudah nggak terasa pegal lagi, kok. Sedikit pun. Hampir lupa malah, kalau tadi itu sempat macet-macetan,” ucap Devanno kalem.             Pak Matthias tersenyum mengejek.              “Ciyee... ciye! The Power Of  Love tuh, judulnya! Ehm! … Yang lagi kasmaran!” goda Pak Matthias pula.             Wajah bapak dari tiga anak yang semuanya telah dewasa itu sumringah, menemukan sorot suka cita berpadu bara cinta di mata Devanno. Hal yang telah cukup lama tak dilihatnya. Ya, bagaimanapun rapinya Devanno menyembunyikan rasa sepinya, menguburnya melalui kepadatan pekerjaan dengan dalih memenuhi ambisi untuk menyaingi kesuksesan sang Papa suatu saat kelak, Pak Matthias tetap yakin, Devanno masih mendambakan kembalinya Marshanda. Sesuatu yang menghalangi Devanno untuk membuka hati dan mencintai wanita lain.              Melihat Pak Matthias tersenyum simpul, Devanno berlagak tak terpengaruh. Padahal, inilah yang disukainya dari sang papa. Berkomunikasi dengan papanya yang termasuk humoris serta hangat, tak ubahnya seperti berkomunikasi pada Juna kakak tertuanya. Demikian cair dan terlihat ‘nyambung’ satu sama lain. Seakan berasal dari generasi yang sama.             Alangkah berbedanya jika dibandingkan dengan Mamanya yang mempunyai segudang aturan tak tertulis bagi anak-anaknya. Salah satu penyebab yang mungkin meneguhkan keputusan Juna memutuskan tinggal dan berkarier di Belgia. Tujuannya, agar sang Mama tak terlalu mencampuri urusan ‘dalam negeri’nya. Sebuah win win solution demi keharmonisan keluarga yang ia bina dengan Michelle, gadis pilihan hatinya yang ditentang keras sang Mama pada awalnya. Perbedaan budaya, gaya hidup sampai asal-usul Michelle sebagai gadis berkewarganegaraan Perancis sering benar diungkit mamanya sebagai penghalang untuk masuk ke dalam keluarga mereka. Tetapi toh, akhirnya mamanya menyerah juga, melihat bagaimana kesungguhan Juna dan Michelle yang gigih memperjuangkan cinta mereka hingga berlabuh ke pelaminan.              Mengenang kakak tertuanya, Devanno tersenyum samar.             Ia pun mulai memotong kue tart-nya. Memindahkan potongan itu ke sebuah piring kecil.             Lalu, Devanno mengangkat piring kue berisi potongan pertama kue tartnya. Segera, Devanno menghampiri sang mama.              “Ini khusus buat Mama. Terima kasih banyak Ma, atas hadiah istimewa dari Mama. Benar-benar tak ternilai buat Devanno. Devanno yakin, pasti usaha Mama nggak mudah sampai bisa mengajak Marshanda kemari. Tepat di hari ini, lagi. I love you, Mom!” ujar Devanno tulus, sambil sekali lagi mengecup pipi sang Mama.             Dan kembali hati Marshanda tersentuh. Begitu dalam, bahkan mungkin sampai ke dasarnya.             ‘Indah sekali. Andai aku mempunyai seorang ibu kandung. Enggak, enggak, bukan berarti aku nggak bersyukur dilimpahi kasih sayang sama triple E. Tapi ... entahlah! Rasanya aku masih mempunyai kerinduan macam itu, yang anehnya, kerap kali muncul kalau melihat interaksi antara seorang anak dengan ibunya. Oh, bukan, juga bukan berarti aku nggak merindukan seorang ayah. Tapi aku rasa, alangkah serakahnya kalau satu yang aku inginkan saja belum terpenuhi, sudah menginginkan yang lain,’ batin Marshanda.              Bu Grizelle menerima piring yang diulurkan oleh Devanno, lalu menatap wajah Devanno sesaat. Di kejap berikutnya, Bu Grizelle telah bergerak mendekati Marshanda.             Marshanda tak hendak membantah, hatinya sungguh berdebar. Dia tidak tahu dan tidak berani menerka, apa yang bakal dilakukan oleh Bu Grizelle kepadanya.             Semakin mendekati posisi Marshanda, senyum segar Bu Grizelle semakin terkembang sebebasnya, bersama rasa bahagia yang membuncah di hatinya. Hari ini, dia sungguh merasa menjadi Ibu yang paling bahagia di dunia. Menyaksikan sendiri raut wajah Devanno yang bersemangat, kebahagiaan yang terpancar di paras sang putra, serta keharuan yang tampak ditahan-tahan, hati Bu Grizelle tersanjung. Di dalam diam Bu Grizelle berdoa, agar Devanno dan Marshanda sungguh memafkan serta melupakan semua sikap kerasnya di masa lalu.             Kini dengan mata berbinar, Bu Grizelle mengangsuran piring kue di tangannya kepada Marshanda. Senyum tulus terukir di bibir wanita itu.              “Ini buat Marshanda saja. Mama kan sudah sering menerima potongan pertama kue ulang tahunmu, Dev,” kata Bu Grizelle serius.              Marshanda merasa ragu untuk menerimanya. Ketika Devanno tersenyum dan mengangguk, mendorongnya untuk menerimanya, barulah rasa sungkan Marshanda terusir.              “Terima kasih, Tante Grizelle. Ini, agak berlebihan, sebetulnya,” ucap Marshanda sungguh-sungguh dari lubuk hatinya yang terdalam.              Elusan lembut tangan Bu Grizelle di pundak Marshanda serta gelengan kepalanya adalah jawabannya.             Devanno sampai menatap momen itu dengan takjub.              “Pa, Papa berhutang penjelasan, bagaimana ceritanya bisa sampai ketemu Marshanda? Termasuk puncak konspirasi kejutan hari ini. Firasat Devanno, nggak mungkin Mama baru ketemu dua tiga hari buat merencanakan semua ini. Pasti sebelum ini, Papa, Mama dan Marshanda sudah ketemu juga. Buktinya, tadi Marshanda nggak terlihat canggung sama sekali ke Papa, nggak seperti orang yang sudah lama nggak ketemu,” bisik Devanno lagi ke telinga Papanya.              Pak Matthias hanya tertawa kecil.              “Kamu kan punya waktu sampai Minggu sore di sini. Itu lebih dari  24 jam. Tanyakan saja ke Mama. Atau, tanya langsung sama Marshanda. Kalian pasti satu kendaraan kan, saat pulang ke Jakarta? Besok pagi Pak Farid turun duluan soalnya. Mama pulangnya sama Papa,” sahut Pak Matthias.              Marshanda memperhatikan kedua lelaki berbeda generasi di depannya. Ia mengagumi dalam hati, bahasa tubuh, ekspresi serta gaya bicara yang sungguh menggambarkan kedekatan di antara ayah dan anak tersebut. Berbagai perasaan berkecamuk di benaknya.              Menyaksikan lagi secara langsung interaksi Devanno serta kedua orang tuanya, Marshanda terseret dalam ketermenungan.             Terbayanglah oleh Marshanda, figur Juna dan Kassandra, kedua kakak Devanno. Di mata Marshanda, keluarga Devanno merupakan paduan lengkap yang sempurna, serta tak ragu menunjukkan kehangatan. Sosok Pak Matthias dinilainya selalu apa adanya, sedangkan Bu Grizelle kentara paling dominan dalam keluarga ini. Juna, si sulung, dikenalnya sebagai pribadi yang enggan berkonfrontasi secara terbuka dengan sang Mama, menghindari meributkan detail-detail yang menurutnya kurang penting. Sewaktu membayangkan Kassandra, putri satu-satunya keluarga Bagaskara itu, Marshanda menahan senyum geli. Pasalnya, sikap dan pembawaan Kassandra sejatinya mirip dengan Bu Grizelle, tetapi lebih dekat dan manja ke Pak Matthias. Kassandra memang tidak ragu berargumen sengit dengan sang Mama, demi membuktikan pendapatnyalah yang paling benar. Kassandra juga tak ragu menunjukkan secara frontal, ketidaksetujuannya bila merasa dirinya terlalu diatur oleh sang mama. Akhirnya Devanno, yang sedikit berbeda dibandingkan dengan dua orang kakaknya.              “Dev, untungnya Marshanda datang malam ini, ya? Sudah begitu, masih mau, pula, sama kamu. Setidaknya, itu membebaskanmu dari kemungkinan menjadi seorang jomblo akut, buat selamanya. Serius lho, Papa sudah takut sebetulnya dan sudah hampir terpikir untuk mulai menawar-nawarkankamu ke para kenalan Papa yang mempunyai anak gadis. Hanya saja Papa juga agak ragu, apa mereka juga mau, sama kamu,” Pak Matthias berlagak berbisik di telinga Devanno, padahal jelas, suaranya sengaja diperkeras.              Sementara Marshanda tersipu mendengarnya, Devanno menatap Papanya dengan pandangan gemas. Ia menggeleng-gelengkannya kepalanya.              “Pa, please, deh ! Harus banget, ya, melecehkan harga diriku sampai sebegitunya di momen ulang tahunku begini? Enak saja ditawar-tawarkan, memangnya aku ini barang, apa? Biarpun jomblo begini, aku ini high quality jomblo, tahu!” protes Devanno.             "He he he..., high quality jomblo  atau jomblo ngenes, sebetulnya Dev?" olok Pak Matthias lagi.             Terlihat Devanno menekuk wajahnya saking sebal dengan olokan Pak Matthias.             Pak Matthias terkekeh mendapati anaknya kehabisan kata-kata untuk menimpalinya.             Kemudian ia melirik kepada istrinya dan Marshanda bergantian.              Marshanda tersenyum saja, sementara Bu Grizelle menggelengkan kepala.             Ia menatap sang suami, mengisyaratkan agar suaminya itu berhenti mengolok Devanno. Namun rupanya Pak Matthias mengabaikan isyarat Bu Grizelle.              “Belum sampai beberapa jam lalu, eh, salah, sudah kemarin, ya, hitungannya, kamu bilang sendiri sudah tua. Kamu bilang juga bahwa  ulang tahun, tuh, sudah nggak spesial. Kamu yang amnesia, atau Papa yang salah dengar?” goda Pak Matthias kemudian.              Sontak wajah Devanno memerah mendengarnya. Dia kehabisan kata-kata untuk menyahuti Papanya. Hanya tatapan protesnya yang diarahkan pada sang papa gara-gara dibuat mati gaya begini. Devanno tak tahu saja, mamanya menatap dengan cemburu pada dirinya serta papanya.              “Sudah, Pa, tega amat sih ngeledekin Devanno melulu!” bela Bu Grizelle.              “Mereka berdua baru saja ketemu, pasti masih ada canggung-canggungnya,” imbuh Bu Grizelle lirih.              Pak Matthias tersenyum simpul mendengarnya, sedangkan Devanno menarik napas lega, menangkap gelagat bahwa Papanya takkan mengolok-oloknya lagi.             ‘Mama benar Pa. Tolong deh, kita sambung lagi sesi ledek-ledekannya besok-besok saja, ya. Aku masih rada grogi, di depan Marsha,’ kata Devanno dalam hati.              Marshanda tertawa kecil jadinya, merasakan suasana yang begitu cair. Ia mendapatkan kesan betapa seimbangnya keluarga Bagaskara ini. Benar-benar gambaran sebuah keluarga yang hangat dan saling melengkapi satu sama lain. Karakter masing-masing dari mereka saja berbeda-beda. Tak urung, sebersit tanya menyelinap di dalam hati Marshanda, mengusiknya, terngiang-ngiang di telinganya, apakah dia sanggup masuk ke keluarga ini kelak?                                                                                                                                                          -          Lucy Liestiyo –
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN