CHAPTER TUJUH BELAS : IN BETWEEN (1)

2150 Kata
               Hari-hari bagai berlari. Tak terasa, lima setengah bulan berlalu begitu cepat.                Semenjak pertemuan di villa keluarga Pak Matthias, hubungan Devanno dengan Marshanda kembali terjalin. Satu dua kali, tetap dibayang-bayangi oleh campur tangan Bu Grizelle. Hanya saja, kali ini dalam bentuk yang baru. Bu Grizelle mulai usil mempertanyakan kapan keduanya akan meresmikan hubungan mereka ke jenjang pernikahan, atau minimal ikatan pertunangan. Sebuah pertanyaan yang tak berlebihan dan tak terelakkan. Orangtua mana yang tak ingin anaknya segera bersanding dengan pasangan tulang rusuknya bukan? Tambahan pula, masih tersisa rasa bersalahnya lantaran pernah membuat sang anak begitu terpuruk, dahulu. Dan boleh jadi, Bu Grizelle takut kalau terjadi sesuatu terhadap hubungan percintaan mereka yang menyebabkan mereka putus untuk kedua kalinya.                Sejauh ini, Devanno dan Marshanda kian kompak saja membelokkan bahasan, setiap kali Bu Grizelle mulai menyinggung perihal pernikahan. Pasalnya, mereka tengah menikmati kembali hari-hari manis yang menjadi penyemangat di antara kesibukan pekerjaan mereka masing-masing. Tentu saja, sembari menjuntai kembali mimpi mereka berdua. Karenanya, mereka tidak ingin terburu-buru melangkah.                Pagi itu Devanno sengaja menyempatkan untuk menjemput Marshanda dari apartemen serta mengantarkan gadis itu ke kantornya.               “Selamat bekerja ya Sayang, aku langsung, nih, ke Cikarang,” Devanno mengecup pipi Marshanda kala mereka tiba di jalanan depan gedung kantor Marshanda. Marshanda sendiri yang meminta agar Devanno melipir di sisi jalan saja, bukan di lobby gedung kantor, dan Devanno menurutinya tanpa harus berdebat. Maklum, resiko memacari gadis independen!               “Kamu juga Dev. Mau nengok bakal pabriknya Om, yang baru ya? Ya sudah, hati-hati di jalan,” sahut Marshanda yang mengelus lembut pipi sang kekasih.                Devanno tersenyum.               “Iya. Hitung-hitung sedikit bantuin Papa. Mumpung kerjaanku sendiri lagi agak senggang. Pulangnya usahakan jangan terlalu malam ya Sha, kerjaan kalau kamu turuti terus enggak ada habisnya, lho” pinta Devanno.                Marshanda mengangguk dengan matanya.               “Iya. Thanks sudah diantar ya Dev. Aku langsung masuk, ya, daagh!” kata Marshanda.               “Eeeh..., nggak usah!” cegah Marshanda, sewaktu menangkap gelagat bahwa sang kekasih akan turun dari mobil untuk membukakan pintu baginya. Dia segera membuka sendiri pintu mobil dan turun.                Devanno mengedikkan bahu. Sekali lagi, menerima kenyataan bahwa dirinya memacari gadis mandiri yang tidak menye-menye!               “Ya, sudah, entar malam aku telepon kamu, ya, Sha!” kata Devanno.               “Oke,” sahut Marshanda sembari melambaikan tangannya.               Setelah Devanno membunyikan klakson dan berlalu, Marshanda bergegas memasuki lobby gedung kantornya, terus mengarah ke galery lift.               “Selamat pagi, Bu Marshanda,” sapa Diandra, staf bagian supply chain yang berpapasan dengannya di depan lift.               “Selamat pagi, Diandra,” balas Marshanda sambil mengembangkan senyum segarnya.               Ketika Marshanda dan Diandra akan memasuki lift, telepon genggamnya berbunyi. Marshanda merogoh benda mungil tersebut dari dalam saku blazer-nya dan mendapati nama Pak Hartono tertera di layar yang menyala.                Marshanda mengisyaratkan agar Diandra masuk saja duluan. Tindakan antisipasi, sebab dia khawatir signal teleponnya akan kurang stabil selama dia berada di dalam lift nanti, belum lagi kalau isi pembicaraannya termasuk pribadi dan rahasia. Diandra mengangguki Marshanda sebelum meninggalkan gadis itu.                “Hallo. Selamat pagi Pak Hartono,” sapa Marshanda, menjawab panggilan telepon dari atasan langsungnya itu.                “Selamat pagi, Marshanda. Tolong nanti kamu kumpulkan tim inti kamu. Kita ada rapat mendadak jam 10.30 wib,” kata Pak Hartono.                “Siap, Pak. Bapak perlu data apa untuk kami siapkan?” tanya Marshanda.                Terdengar sebuah helaan napas berat dari ujung telepon.                Hati Marshanda seketika berdebar.                Firasat Marshanda langsung mengatakan, pasti ada sesuatu hal yang tak beres. Tapi, ia juga yakin, ini jelas bukan tentang timnya, khususnya Stella. Berkat kesabarannya membimbing serta mengarahkan Stella, Marshanda sudah mulai bisa bernapas lega. Hari demi hari, sikap Stella semakin bersahabat pada anggota tim yang lainnya. Sepertinya Marshanda telah berhasil menularkan sikap profesionalnya kepada Stella. Dan, mau tak mau, bukan hanya anggota timnya, tetapi hampir seluruh karyawan, berangsur-angsur memberikan penilaian positif kepada Stella.                Sekitar tiga setengah bulan lalu, Stella menunjukkan betapa dirinya dapat bersikap profesional. Saat itu, Papanya tercinta, Bapak Pangestu Wijayantha, mengembuskan napas terakhir. Stella luar biasa  terpukul, dan nyaris seisi kantor terhenyak, menyadari ternyata Stella merupakan putri tunggal  pengusaha media ternama yang juga menekuni dunia kuliner, Pangestu Wijayantha. Sama halnya dengan Marshanda.                Dan saat itu, mengingat cerita Stella yang sering menyebut bagaimana dia sangat dekat dan dimanjakan oleh Papanya, Marshanda sempat menawarkan agar Stella menambah jatah cuti berkabungnya.                “Bila perlu, kamu boleh kok, mengambil tambahan cuti tak berbayar, Stella,” kata marshanda waktu itu, demi memberikan pada Stella waktu berkabung yang cukup. Tetapi sungguh di luar dugaan, Stella hanya mengambil sesuai jatah yang diberikan oleh perusahaan, yakni dua hari cuti untuk masa berkabung. Ya meskipun setiap kali ada yang memberinya ucapan turut berbelasungkawa, mata gadis itu kembali berkaca-kaca. Bagaimana Marshanda tidak tersentuh, menyaksikan semua itu dari ruang kerjanya?                Meski dirinya tak pernah tahu seperti apa rasanya memiliki seorang Papa, namun Marshanda paham beratnya kehilangan orang yang dicintai. Dia merasakannya saat Ibu Evelyn kalah bertarung melawan penyakitnya, dan pergi untuk selamanya. Kepergian Ibu Evelyn meninggalkan banyak duka, juga mengubah segalanya. Salah satunya, mendorong Ibu Estherlita untuk menutup Panti Asuhan. Ibu Esterlita yang seolah kehilangan nergi selepas kepergian Ibu Evelyn memutuskan pulang ke Wonosobo, memilih berdekatan dengan anak-anaknya.                 Masih teramat segar dalam ingatan Marshanda, momen yang berat itu, dimana dia menemani Ibu Estherlita, mengantarkan adik-adik ke beberapa panti asuhan yang lebih besar, yang mau menampung mereka. Marshanda merasakan betapa pilu hatinya, terkenang bagaimana dia dan Octaviani harus keluar dari tempat yang selama bertahun-tahun menjadi tempat mereka berteduh. Inilah yang membuatnya berempati pada Stella.                “Tidak, ada Sha. Justru ada yang harus saya sampaikan kepada kalian. Sampai nanti di ruang rapat, ya,” ucapan Pak Hartono membuyarkan lamunan singkat Marshanda.                “Oh, baik Pak. Terima kasih,” pungkas Marshanda kemudian.                Marshanda lekas memencet tombol lift. Hatinya bertanya-tanya, ada berita apakah sebenarnya?                Dan sedari pagi hingga menjelang tibanya waktu yang telah disebutkan oleh Pak Hartono, tak urung Marshanda disapa rasa resah. Sudah begitu, di saat begini, tugas-tugas hariannya malah demikian lancar, tanpa kendala. Nyaris tidak ada pending issue serta hal yang mendesak untuk diselesaikan olehnya. Akibatnya, pikiran Marshanda melayang ke masa silam, masa remajanya.               Marshanda menggoyangkan kepalanya, berusaha menghalau gambaran kisah duka di masa remajanya tersebut. Sayangnya, potongan kisah pahit di masa lampau itu tetap bermain-main di pelupuk matanya. Pada akhirnya Marshanda menyerah dan memilih membiarkannya. Matanya hampir terpejam menahan perih yang mengamuk di dadanya tanpa permisi.                -          Kilas Balik –                Meski Ibu Evelyn cukup lama sakit, tetap saja kepergiannya menggoreskan luka di hati orang-orang tercintanya. Siapa orangnya yang pernah merasa siap untuk ditinggalkan orang terkasih? Memangnya ada?               “Ibu Evelyn, istirahat yang tenang. Setidaknya sekarang Ibu sudah nggak kesakitan lagi. Ibu sudah bahagia bersama Bapa di surga. Jemput saya pada waktuNya, Ibu. Marsha syang sama Ibu. Marsha berterima kasih atas kasih sayang yang Ibu berikan ke Marsha. Marsha juga berterima kasih, karena Ibu sudah berjuang luar biasa, melawan penyakit Ibu, untuk dapat tinggal lebih lama bersama kami semua,” ucap Marshanda di depan pusara Ibu Evelyn yang masih basah.                Roda kehidupan yang dirasanya berputar teramat cepat semenjak kepergian Ibu Evelyn. Marshanda terpaksa mengambil kelas sore, sebab dia harus menerima pekerjaan kantoran dengan jam kerja yang panjang ketimbang hanya mengandalkan penghasilan sebagai kasir di supermarket serta sesekali mengirimkan tulisan ke berbagai media.               Jelas, pendapatan berlipat-lipat yang Marshanda dapatkan itu membuatnya mampu untuk menyokong biaya sekolah Octaviani yang hampir lulus SMU. Tidak tinggal diam melihat duka yang menimpa Marshanda, Bu Grizelle menyarankan supaya mereka berdua tinggal gratis di salah satu rumah milik keluarga Bagaskara yang dijadikan kos-kosan eksklusif.                Tidak keringgalan, Pak Matthias juga menawari Marshanda pekerjaan di salah satu anak perusahaannya. Pertimbangan Pak Matthias, bila bekerja di situ, tentu Marshanda akan mendapatkan sejumlah privilege. Marshanda akan lebih mempunyai keleluasaan waktu juga, sehingga dapat lebih berfokus pada kuliahnya.                Namun, secara santun Marshanda menolaknya. Marshanda mengucapkan terima kasih dan menjelaskan mengapa mereka tidak mungkin menerimanya.  Beruntung, Pak Matthias dan Bu Grizelle mau mengerti walaupun tetap cemas memikirkan nasib mereka berdua. Sementara di pihak Marshanda dan Octaviani, ada kelegaan tersendiri begitu mereka tak didesak lagi untuk menerima bantuan dari keluarga Pak Matthias Bagaskara. Satu-satunya yang mereka miliki saat itu hanyalah harga diri, dan mereka bersyukur dapat menjaganya dengan baik.                “Aku nggak tahu gimana kalau aku nggak punya Mbak Marshanda. Mbak Marshanda itu merupakan berkat yang diberikan Tuhan kepadaku. Aku ini menjadi beban Mbak Marshanda saja,” cetus Octaviani.                 Marshanda menggeleng.                 “Jangan pernah bilang begitu, Vi. Kita ini sama-sama menjadi saluran berkat Tuhan. Kehadiran kamu itu juga membuat aku kuat, Vi. Kita harus banyak bersyukur atas pemeliharaan Tuhan dan terus memohon penyertaannya untuk membimbing kita berdua melalui masa-masa sulit ini,” tepis Marshanda.                 Octaviani segera menghambur memeluk Marshanda. Tidak ada satu kata pun yang dapat diucapkannya sebagai ungkapan rasa bersyukur serta rasa berterima kasihnya.                 Sementara di dalam hatinya, Marshanda berdoa sungguh-sungguh.                ‘Tuhan yang telah membimbing aku, menyertaik aku di masa aku terbenam dalam rasa galau dan cemas tetapi harus tampak tegar di depan Octaviani, Ibu Estherlita dan adik-adikku yang lain saat menyaksikan penderitaan Ibu Evelyn menanggung penyakitnya, adalah Tuhan yang sama, dengan Tuhan yang akan memulihkan hidupku sepenuhnya. Dia pasti akan membukakan jalan bagiku. Tuhan pasti menuntunku melalui semua ini,’ bisik Marshanda dalam hati, sepenuh iman dan harapan.                Ya, bagaimana mungkin Marshanda akan mendustakan pertolongan Tuhan yang demikian nyata? Tuhan yang telah memberikannya kekuatan yang bahkan dia sendiri saja tidak tahu, bahwa ternyata kekuatan sebesar itu ada pada dirinya?                Dirinya hanyalah seorang mahasiswi yang baru duduk di semester empat ketika Ibu Evelyn meninggal. Bagaimana dia tidak dirundung duka mendalam atas berpulangnya Ibu Evelyn pada sang Pencipta?                Bila saja kuliahnya tidak dibiayai beasiswa, pasti dia langsung memutuskan untuk berhenti kuliah pada saat itu juga. Dan jikalau tabungannya tidak cukup untuk membayar biaya kos-nya serta biaya kos Octaviani di dekat kampus, amat sulit baginya memikirkan seperti apa harus menjalani kehidupannya.                 -          Akhir Dari Kilas Balik –                Pesawat telepon di meja Marshanda berbunyi. Marshanda menatap layar kecil dan tombol ‘icm’ yang menyala, memastikan bahwa itu sebuah panggilan internal. Lamunan Marshanda buyar.                “Hallo, Mbak Marsha, jadi kan, meeting-nya?” terdengar suara Mathilda menjawab sapaan ‘Hallo’ dari Marshanda.                 “Jadi, Da. Kamu sudah pesan ruang rapat?” Marshanda balik bertanya.                 “Ruang rapat 2 sudah siap Mbak. Bahkan saya sudah informasikan juga ke Pak Hartono,” jawab Mathilda.                 Marshanda menatap arlojinya.                “Oke, bagus Da. minta ke teman-teman yang lain untuk bersiap-siap, ya. Lima belas menit lagi saya ke sana,” sahut Marshanda.                “Baik, Mbak. Terima kasih,” ucap Mathilda.                “Terima kasih, Ilda,” sahut Marshanda pula.                 Marshanda meletakkan gagang telepon dan menarik napas panjang.                Jemari gadis itu bergerak cekatan, menari lincah di atas keyboard laptop. Marshanda menyempatkan membalas beberapa email sebelum bersiap menuju ruang rapat.                                                                                                                                                                 - Lucy Liestiyo -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN