"Mas...?" Raisha menunggu jawaban Harris. "Kamu mau maafin aku kan?"
Harris menghela napas. "Jujur saja, aku merasa terganggu karena perasaan kamu. Seperti yang aku pernah bilang, aku nggak punya perasaan yang sama buat kamu. Saat ini, fokusku hanya bekerja. Tidak ada yang perlu dimaafkan, kamu nggak salah, aku rasa, kita hanya kurang berkomunikasi dengan baik. Itu saja."
"Mas Harris nggak marah lagi sama aku?"
"Untuk apa aku marah?"
Raisha menarik bibirnya, sedikit tersenyum. "Kita bisa berteman?"
"Berteman?"
"Iya..., kamu nggak mau ya?"
"Tentu, kita bisa berteman." Harris tersenyum, membuat Raisha bernapas lega.
"Kalau begitu kita teman." Raisha mengulurkan tangan, yang disambut Harris.
"Aku lega, Mas Harris udah maafin aku dan mau berteman sama aku. Aku janji nggak bakalan bertingkah, dan ngebuat jengkel Mas Harris." Raisha berkata dengan nada yang sangat mudah dipercaya oleh lelaki gentle seperti Harris.
"Um...udah malam, aku pamit dulu deh ya?" Raisha berkata sembari menoleh keluar kamar. Suasana di luar mulai terlihat gelap.
"Kamu kesini tadi naik apa?" tanya Harris pada Raisha.
"Ojeg."
Mendengar jawaban Raisha, timbul rasa khawatir dan kasihan pada diri Harris. Dia tidak pernah membiarkan seorang perempuan yang dia kenal pulanh sendirian malam-malam.
"Udah malem, aku anterin aja," ucap Harris sambil mengambil kunci mobil. Harris memang tipe lelaki yang segampang itu memaafkan dan melupakan kekesalannya. Dia tidak lagi menyisakan rasa terganggu atas keberadaan Raisha. Baginya sekarang, Raisha adalah teman, setelah perempuan itu menyadari cinta yang dimilikinya tidak bisa dipaksakan menjadi sebuah hubungan.
"Nggak usah, Mas. Aku bisa pulang sendiri kok." Raisha menolak, suatu perubahan yang cukup drastis. Biasanya, Raisha akan langsung berwajah sumringah saat Harris mengantarnya.
"Udah malam, aku anter ya?" Harris memaksa. Dia tidak bisa membiarkan seorang wanita pulang sendirian.
"Ayo!" ajak Harris saat Raisha tampak diam.
"Mas Harris nggak usah repot...."
"Aku nggak repot kok. Ayo, Sha, kita kan teman."
"Oh...oke. Makasih ya Mas!" Raisha akhirnya berkata, meski terlihat enggan.
Harris mengangguk cepat dan mengajak Raisha keluar dari kamar messnya.
"Sudah makan?" tanya Harris saat mobil melaju di jalan.
"Belum sih...."
"Mau makan dulu?"
"Nggak usah, makasih."
Sikap Raisha benar-benar berubah menjadi lebih kalem dan tidak secentil biasanya. Hal ini membuat Harris merasa tidak enak, apakah sikapnya terlalu keras dan membuat Raisha berubah? Meski kalau dipikir, perubahan itu lebih baik.
"Makan dulu ya, nanti kamu sakit. Mau makan apa?"
"Nggak usah, Mas." Raisha kembali menolak. "Aku pulang aja, nggak enak ngrepotin Mas Harris."
"Nggak repot kok. Kita ke Befo ya?" Harris menyebutkan nama sebuah tempat makan, dan mengarahkan laju mobil kesana.
"Terserah Mas Harris aja." Raisha menjawab seadanya, cenderung terdengar sungkan, hingga Harris merasa jangan-jangan, dia terlalu berlebihan menghindari Raisha sampai wanita itu berubah.
Perubahan sikap Raisha itu membuat Harris penasaran dan sedikit banyak merasa bersalah, karena itu, dia mencoba bersikap baik pada Raisha. Kadang, Harris lebih dulu mengirim pesan lewat w******p menanyakan bagaimana kabar wanita itu, hingga hubungan mereka lebih akrab, meski Harris tetap tidak memiliki perasaan apa pun terhadap Raisha. Dia hanya menganggap Raisha teman.
Semua terasa baik-baik saja, dan Harris fokus bekerja untuk membiayai kehidupan ayah dan adiknya di Jogja. Meski di tengah kesibukannya, dia terkadang masih mengingat Tiara, seseorang yang meski telah berpisah jarak, waktu dan ketidakmungkinan, masih terus dia kenang dalam batinnya dan juga terus berada dalam korteks serebri otaknya.
Malam itu, Harris berada dalam kamar messnya, jam di dinding, sudah menunjukkan jam sepuluh malam, tapi dia belum juga merasa mengantuk. Karena itu, dia mengambil gitar dan mulai memainkan satu dua nada, sampai akhirnya menyanyikan lagu Love of My Life milik Queen, yang terasa mewakili perasaan hampa dan sepinya mengenang Tiara. Tengah asyik memainkan lagu menghayati perasaan patah hatinya, ponsel Harris berdering nyaring, nama Raisha ada di layar, membuat Harris mengernyit, ada apa Raisha menelponnya malam-malam karena belakangan Raisha terlihat tidak terlalu mengejarnya lagi, dan itu hal yang disyukuri oleh Harris. Wanita itu, belakangan ini hanya mengirimkan chat w******p seperlunya saja.
Harris tidak berprasangka apa-apa, dia mengangkat panggilan telpon dari Raisha.
"Ya?"
"Mas...bisa minta tolong?" Suara Raisha terdengar serak di seberang sana.
"Kenapa Sha?"
"Aku...nggak enak badan. Demam, pusing, kos sepi, temen kos lagi pada pulang, aku perlu obat atau ke dokter."
Jam sebelas malam di daerah kabupaten seperti ini, tidak ada praktek dokter dan apotek buka, paling, IGD rumah sakit daerah.
"Oke aku kesitu, kamu sabar sebentar ya! Aku bakalan cepet datang." Harris menyambar kunci mobil dan dompet, lalu bergegas pergi keluar mess. Dia melajukan mobilnya secepat yang dia bisa menuju kos Raisha.
Apa yang dikatakan Raisha nampaknya benar, kos huniannya nampak sepi saat Harris sampai di sana. Harris melangkahkan kaki ke kamar kos Raisha, lantas mengetuk pelan.
"Sha...Raisha...."
"Ya...Mas...." Raisha menyahut dengan suara serak. "Masuk aja, nggak dikunci kok."
Perlahan, Harris membuka pintu kamar Raisha, menemukan wanita itu tiduran berselimut di kasur, wajahnya nampak pucat.
"Gimana Sha, masih sakit?"
Raisha mengangguk. "Masih pusing."
"Apa mau ke IGD aja?"
"Nggak usah. Aku ada obat pusing, cuma aku belum makan."
"Kalau gitu, aku beliin makan ya? Mau makan apa?"
"Apa aja yang seger."
Makanan segar pada jam sebelas malam cukup sulit ditemukan, tapi Harris mengiyakan permintaan Raisha. Dia akan mencoba mencari makanan yang Raisha pesan.
"Aku coba cari dulu ya...."
"Kamu nggak apa-apa sendirian?"
Raisha mengangguk.
"Kalau ada apa-apa telpon aja. Aku nggak lama kok!" janji Harris sambil keluar dari kamar kos Raisha dan berpikir makanan segar apa yang cocok untuk Raisha yang bisa dia temukan selarut ini.
Harris mengendarai mobilnya ke arah barat, berpikir bahwa di sana ada warung soto Lamongan yang berkuah segar. Dia berharap warung soto itu masih buka, dan dia bisa segera membawakan makanan untuk Raisha yang sakit.
Harapan Harris terkabul. Warung soto itu masih buka, meski pemiliknya sudah membereskan meja-meja. Lebih beruntung lagi, masih ada porsi soto yang bisa Harris beli. Harris bernapas lega, setidaknya, dia tidak harus berputar-putar mengitari kabupaten ini untuk membawakan Raisha makan malam.
Setelah soto dibungkus, Harris segera kembali ke kos Raisha. Saat dia berjalan dari parkiran menuju kamar Raisha, Harris melihat bahwa kamar itu sedikit terbuka, di dalamnya, Raisha tertidur. Mungkin rasa sakit yang dideritanya membuat Raisha jatuh tertidur.
Hati-hati, Harris meletakkan kantong plastik berisi soto, lantas duduk di sisi tempat tidur Raisha. "Sha...makan dulu yuk...." Harris berkata lembut, berusaha membangunkan Raisha, tapi wanita itu tetap terlelap.
"Sha...bangun dulu...." Harris mengeraskan suaranya, tapi nihil, Raisha tak juga bangun.
"Sha...." Kali ini, Harris menggerakkan tubuh Raisha yang ditutupi selimut.
"Em...." Raisha membuka mata dan mengerang kecil. "Mas Harris...," ucapnya saat melihat Harris di sisi ranjangnya.
"Makan dulu yuk. Aku habis beli soto Lamongan. Katanya, kamu mau yang seger."
"Ah...oh iya...." Raisha menatap kantong plastik berisi soto yang ada di meja.
"Mas Harris baik banget...."
"Nggak, bukan apa-apa kok."
"Tapi...jujur, ini bikin aku jadi baper, Mas."
"Hah?" Harris kaget, karena dia melakukan semua ini semata karena menganggap Raisha teman, apalagi mereka berasal dari Provinsi yang sama, tetapi, jika hal ini membuat Raisha baper alias terbawa perasaan atau dianggap memberi harapan, Harris tidak pernah bermaksud begitu.
"Sorry, aku cuma takut kamu sakit parah dan sendirian di kos."
Raisha beranjak dari posisi tidurannya. "Iya...aku tahu kok. Nggak mungkin Mas Harris datang ke sini karena sayang sama aku kan. Cintaku kan ditolak mentah-mentah." Raisha mendesau pelan.
"Bukan begitu...." Harris hendak bicara, karena merasa tidak enak hati, apa dia terlihat memberi harapan palsu? Demi Tuhan, dia tidak bermaksud begitu. Dia hanya ingin menolong Raisha yang dianggapnya teman. Namun Harris membatalkannya, tidak jadi bicara. Karena, membicarakan soal perasaan Raisha dan perasaannya yang tidak sama hanya akan membuat Raisha sedih, apalagi dia sedang sakit. Harris tidak ingin kondisi Raisha semakin buruk karena pembicaraan yang sesungguhnya tidak perlu. Sekali lagi, dia ada di tempat ini karena peduli pada Raisha sebagai teman.
"Kamu makan dulu aja. Aku siapin makanannya."
"Aku bisa sendiri kok." Raisha membuka selimut yang menyelubunginya dan beranjak dari tempat tidurnya. Saat Raisha keluar dari selubung selimutnya, Harris baru melihat, bahwa Raisha mengenakan daster yang menerawang, memperlihatkan lekuk tubuhnya. Buru-buru Harris mengalihkan pandangannya, dan berpikir mungkin karena sakit, Raisha mengenakan pakaian yang dianggapnya nyaman, toh, dia berada di kos sendirian.