1. Berpisah
"Ada yang mau kubicarakan." Suara sendu Tiara itu menyapa gendang telinga Harris setelah sejak beberapa saat lalu mereka hanya terdiam, menatap hamparan lautan luas dan mendengarkan deburan ombak yang tercipta. Bergemuruh, seperti hati dua insan yang duduk di tepi pantainya.
"Ya?"
"Apa kamu nggak bisa melamar aku lebih cepat?" Tiara menatap Harris, penuh harap. "Sebab kalau tidak...." Ucapannya tersendat, lalu digantikan oleh air mata yang mengalir begitu saja menyusuri pipi lembutnya.
Harris menoleh, menatap sosok gadis yang duduk di sisinya. Permintaan Tiara bukanlah permintaan yang muluk, apalagi kisah kasih mereka telah tercipta sejak mereka bersekolah di bangku SMA. Terhitung sejak hari itu, mereka sudah delapan tahun bersama. Satu windu, adalah waktu yang bisa dibilang cukup untuk saling mengenal lalu melangkah ke pelaminan. Sayangnya, keinginan setiap insan yang memadu cinta itu tidak bisa terlaksana.
Pasalnya, keluarga Tiara menginginkan agar tahun ini Harris harus segera melamar Tiara dan menjadikannya istri, tapi, malang tak dapat diraih, untung tak dapat ditolak, Harris tidak bisa memenuhi keinginan itu.
Musibah tak terelakkan menghampiri keluarga Harris. Usaha tembakau milik ayahnya bangkrut, tertipu milyaran rupiah akibat investasi bodong. Hampir seluruh aset dijual untuk menutup hutang. Tidak berhenti sampai di sana, ibu Harris mengalami shock hebat dan masuk rumah sakit selama satu bulan dan tidak tertolong. Dalam adat budayanya, dia tidak bisa menikah sebelum satu tahun kematian ibunya, karenanya, jika keluarga Tiara meminta pernikahan secepatnya, Harris tidak bisa memenuhinya.
Jujur saja, Harris tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk membawa Tiara menjadi istrinya. Sekarang, fokus utamanya adalah menyelamatkan keluarganya dari puing-puing kebangkrutan. Sebagai anak tertua, di pundaknya ada beban yang harus ditanggungnya, membiayai ayah dan adiknya, memastikan keluarganya tidak kelaparan.
Harris takut, hanya membawa Tiara dalam kesedihan karena ekonomi yang tidak siap dan carut marut. Lagipula, Harris tidak akan bisa memberikan Tiara pernikahan yang diidamkan gadis itu, sebuah pernikahan yang meriah yang sejak dulu sering dibicarakan gadis itu dengan mata berbinar.
Tiara tidak pernah menuntut, baginya pernikahan sah saja sudah cukup, tapi Harris merasa itu tidak cukup. Jika dia mencintai Tiara, maka, dia harus membuat Tiara bahagia dan tidak hidup dalam kekurangan. Sayangnya, saat ini, dia tidak bisa menjamin kesejahteraan Tiara jika menjadi istrinya.
"Tiana mau menikah, jadi, sebagai kakaknya, aku harus lebih dulu menikah. Jika tidak, aku akan sial."
Harris menghela napas, menggenggam tangan Tiara. Dia tahu, ada mitos seperti itu dalam masyarakat, meski terasa tidak logis, tapi masih dipegang teguh oleh masyarakat. Harris memahami hal itu, tapi bagaimanapun juga, permintaan Tiara untuk menikah secepatnya tidak bisa dikabulkannya.
"Maaf...." Harris berkata pelan, hampir tak terdengar, tenggelam oleh suara gemuruh ombak.
"Maaf?" Tiara mengulangi kata-kata Harris, hatinya tahu pasti bahwa Harris tidak bisa mengabulkan apa yang diinginkannya.
"Aku tidak bisa mengabulkan permintaan kamu tahun ini. Keluargaku sedang berada dalam musibah, ibuku baru saja berpulang."
Tiara terisak. Dia bukannya tidak mau mengerti, tapi jika Harris tidak melamar dan menikahinya, maka dia harus menikah dengan Dikta, anak dari teman ayahnya yang menurut orangtuanya telah mapan dan bekerja di Jakarta sebagai jaksa. Tiara tidak peduli pada pangkat, jabatan dan kekayaan, dia hanya mencintai Harris dan tidak pernah membayangkan seperti apa hidupnya jika dia menikah dengan orang lain.
"Kamu jahat!" Tiara menatap Harris dengan rasa kesal dan marah yang terasa memuncak. Apa lah arti delapan tahun bersama jika pada akhirnya sia-sia belaka. Semua mimpi, angan-angan dan cita-cita kini hanya sebatas halusinasi semata yang tidak berharga. Tiara merasa waktu dan cintanya sia-sia belaka. Jika tahu akan begini jadinya, sudah lama dia memutuskan akhir kisahnya bersama Harris. Akan tetapi, cinta adalah entitas yang sulit dielakkan, terutama, dia tidak pernah tahu bahwa pada akhirnya dia dan Harris akan kesulitan untuk melangkah ke jenjang pernikahan, dan yang tersisa sekarang hanya penyesalan.
"Maaf." Harris mengusap air mata Tiara yang jatuh, namun dielakkan gadis itu. Seribu kata maaf tidak ada artinya dan tidak memberikan penyelesaian apa-apa.
"Aku tahu aku jahat dan tidak ada maaf untuk aku. Meski begitu, aku minta maaf Tiara. Maaf karena telah membuang waktumu bertahun-tahun. Maaf telah membuatmu penuh harapan yang akhirnya aku hancurkan. Maaf, karena tidak bisa berada di sisimu."
"Omong kosong!" Tiara menyentak emosi dan Harris tidak lagi berkata apa pun. Dia tahu dia tidak berhak menjelaskan, karena penjelasan apa pun hanya meninggalkan luka mendalam bagi Tiara. Perpisahan yang akan dicanangkannya ini sudah pahit, dia tidak ingin menambah kepahitan ini dengan rasa pedih. Biarlah, jika harus terjadi, setidaknya, ada rasa cinta yang tersimpan meski semua terasa sia-sia. Ya...untuk apa menyimpan cinta usang yang tidak lebih dari barang rongsokan?
"Tega-teganya kamu seperti ini! Aku sangka selama ini kita saling mencintai dan akan bersama-sama hingga tua, merencanakan masa depan, tapi ternyata kamu hanya mengecewakan!"
"Aku memang pecundang, Tiara. Aku tidak bisa memberikan pernikahan indah untukmu, aku tidak bisa meminangmu secepat yang kamu mau, aku bersumpah, aku hanya membuatmu terluka."
"b******k!" Sebuah lontaran kasar terucap dari bibir merah muda Tiara. Dia tidak menyangka kekasih yang dicintai dan selama sewindu bersamanya, memberikan luka. Gadis itu berdiri, dan meninggalkan Harris tanpa pamit. Menyusuri pantai berpasir putih, dan menahan tangis, berjalan bergegas menuju parkiran. Dia tidak tahu bagaimana caranya kembali ke rumah, tapi dia tidak sudi kembali bersama Harris.
Cukup sudah kebersamaannya bersama Harris, dan Tiara memutuskan untuk menerima pinangan Dikta, karena Harris yang diperjuangkannya, ternyata melepaskannya begitu saja, tanpa ada daya. Hanya penyesalan, kemarahan, kekecewaan dan kegundahan yang ada memenuhi diri Tiara. Benar, kata orang, jika luka itu dibawa oleh orang asing, atau musuh, maka hal itu tidak akan membunuh, tapi, jika luka itu diberikan oleh orang dekat, atau setidaknya seseorang yang memiliki kedekatan rasa sayang, maka rasanya, separuh dunia akan runtuh.
"Tiara!" Harris mengejar Tiara, mencekal lengan gadis itu. Terpaksa, Tiara menghentikan langkah, lalu menatap Harris dengan tatapan terluka.
"Apa lagi? Apa kamu belum cukup meninggalkan luka?" tanya Tiara sendu.
Demi mendengar ucapan Tiara, cekalan Harris mengendur, dia melepaskan cekalannya pada lengan Tiara. Dia sadar, dia tidak lagi berhak menghentikan langkah kekasihnya, dan tidak lagi berhak mengatakan pembelaan apa pun. Satu hal yang bisa dia lakukan untuk Tiara, gadis yang dicintainya adalah, merelakannya pergi menyongsong kebahagiaannya bersama lelaki yang pantas untuknya.
Melihat Harris yang hanya terdiam, membuat luka Tiara semakin menganga. Terseok, dia meneruskan langkahnya, melupakan sosok Harris, lelaki yang dicintainya dan bersamanya bertahun- tahun lamanya. Raganya terasa sangat lelah, jiwanya pun rapuh, tidak pernah terbayangkan bahwa dirinya dan Harris harus melewati perpisahan seperti ini. Harris menolak menikahinya, tanpa alasan jelas dan dia pada akhirnya merasa hanya berjuang sendirian memperjuangkan cinta ini. Sekarang, yang bisa dilakukannya hanyalah, menuruti perintah orang tua untuk menikah dengan Dikta, pria yang dinilai mapan dan calon suami sempurna meski cinta tidak ada sedikit pun dalam hati Tiara.
Pernikahan tanpa cinta jelas tidak pernah Tiara bayangkan sebelumnya. Dia pikir, dia akan bersama Harris, duduk bahagia di pelaminan lalu menjalani kehidupan pernikahan sampai maut memisahkan, nyatanya segalanya jauh panggang dari api, dia harus menelan kecewa dan rasa sakit hati karena kekasih hatinya, memilih meninggalkannya.
Semburat kemerahan turun mengecup lautan, memperlihatkan peralihan, siang menjadi malam, terang menjadi gelap dan perjumpaan menjadi perpisahan. Harris menatap siluet Tiara yang semakin menjauh dan membuat rasa sakit makin menusuk batinnya. Dia mengulurkan tangannya, berharap bisa memeluk gadis kesayangannya untuk terakhir kali, meski hanya sebatas bayang.