"Jangan bilang kalau aku yang memberitahu kamu semuanya! Termasuk di mana mess baru Harris." Sheila berpesan pada Raisha saat mereka bertemu di Yota.
"Oke, aku pasti akan tutup mulut. Nggak bakalan bilang kalau kamu yang ngasih tahu."
"Soalnya Mas Jenar pasti marah kalau tahu aku ngasih tahu kamu soal Mas Harris." Sheila berkata pelan sedikit mengeluh. Sebenarnya, dia juga tahu kemungkinan besar Raisha akan membawa masalah buat Harris, tapi, demi hutang yang terbayarkan, Sheila memilih tutup mata. Toh, Harris bukan sanak familynya yang harus dia bela.
"Kenapa sih Mas Jenar nggak suka kalau aku sama Mas Harris?"
Sheila mendecih, meminum juice melonnya. "Entah lah. Biasa pria suka punya pikiran aneh." Sheila berkata seadanya, menutupi alasan sesungguhnya bahwa Jenar tidak setuju jika Raisha menjadi calon istri Harris karena sifat Raisha yang dianggap buruk, red flag, kalau kata anak jaman sekarang. Tapi tidak mungkin dia mengatakan terus terang di hadapan Raisha bukan? Juga, bagi Sheila, yang terpenting dari semuanya adalah hutang yang dibayar, tambahan emas lima gram, kalau memang Harris jodohnya Raisha, soal red flag atau tidak itu bukan urusannya. Toh pernikahan kan tidak ada yang semulus kulit bayi, pasti ada saja masalahnya siapa pun pasangannya.
"Kalau Mas Harris nolak kamu, gimana?"
"Ya nggak gimana-gimana sih, terus berusaha aja." Raisha menjawab santai.
"Emangnya kenapa kamu suka sama Mas Harris?"
"Kan udah dibilang, dia itu cami idaman. Aku udah mantep banget milih dia jadi calon suami." Raisha berkata penuh percaya diri, meski Harris saja malah terindikasi alergi terhadap keberadaannya.
"Terus, ini kan Mas Harris sebenarnya ngehindarin kamu, gimana caranya kamu ngeyakinin dia?" Sheila bertanya penasaran, karena, sebagai perempuan, dia juga baru bertemu seorang perempuan yang begitu agresif seperti Raisha, yang meski sudah ditolak tetap saja penuh percaya diri mengejar pria idamannya.
"Pokoknya, ada deh!" Raisha mengibaskan rambutnya penuh percaya diri.
Meski penasaran, tapi Sheila tidak bertanya lagi, dia tidak ambil pusing dengan apa yang akan Raisha lakukan, toh, itu bukan urusannya. Biarkan saja Raisha melakukan apa pun yang dia inginkan, asal, hutang-hutangnya dilunaskan.
***
Suara ketukan perlahan di pintu membuat Harris yang tengah sibuk mengerjakan laporan marketing menoleh, bertanya-tanya siapa yang datang, sebab, mess yang baru ini tidak ada sekuriti, bentuk bangunannya hanyalah kamar berderet seperti kos pada umumnya, dan jika ada tamu, tidak perlu melewati sekuriti. Sebenarnya, jika dibandingkan dengan mess sebelumnya, dari segi keamanan dan kenyamanan, Harris merasa mess lama lebih baik, tetapi, Harris memilih meninggalkan mess lama karena Raisha sudah mengetahui mess itu dan sering datang berkunjung, membuat Harris merasa tidak nyaman.
Ketukan kembali terdengar, membuat Harris menjawab seadanya, meminta seseorang yang mengetuk pintu masuk ke dalam ruangannya, dia pikir itu salah satu teman messnya yang bosan di kamar dan memilih berkunjung ke kamar lain.
"Mas Harris...." Suara centil dan mendayu terdengar seiring dengan pintu yang dibuka, membuat Harris segera menoleh dan kaget mendapati Raisha ada di hadapannya.
Perempuan itu memakai make up yang cukup tebal, t-shirt putih yang membuat pakaian dalam hitam-nya terlihat jelas, meski Harris tidak berniat menatap atau berpikiran kurang ajar. Short skirt jeans mini dan ketat menjadi padanan t-shirt putih itu. Penampilan Raisha benar-benar seksi, tapi Harris justru merasa kesal dengan kehadiran Raisha. Niatnya untuk menghindari wanita itu gagal total dalam hitungan hari karena tempat tinggalnya kembali diketahui Raisha.
"Ada apa ya?" Harris berkata datar, menahan rasa jengkel, tapi dia tahu bahwa seorang lelaki tidak sepatutnya bersikap kasar.
"Mas Harris kok kayak sebel gitu sih sama aku!" Raisha berkata manja.
Kalau mau jujur, Harris ingin menjawab bahwa dia memang sebal, kesal, jengkel karena Raisha mengejarnya kemana pun dia pergi, terus menempel seperti permen karet bekas, tapi dia hanya diam, tidak mengungkapkan apa yang dirasakannya, karena tipe seperti Raisha tidak akan peduli dengan perasaan orang lain, dia akan terus memaksakan kehendaknya.
"Kamu tahu dari mana aku tinggal di sini?"
"Ih! Mas Harris kenapa sih kayak nggak suka gitu aku dateng! Padahal aku kan kangen!" Raisha menutup pintu kamar Harris lalu mendekati Harris, menggamit manja lengan lelaki itu.
"Eh! Ngapain ditutup!" Harris berkata panik, menuju ke pintu, dan membuka pintu lebar-lebar. Dia tidak ingin terjadi salah paham, saat pintu kamar ditutup dan dia berduaan bersama Raisha.
"Aku pengen ngobrol, Mas!"
"Ya nggak usah pakai tutup pintu!" Harris berkata lumayan ketus. Dia beneran pusing dengan keberadaan Raisha yang pantang menyerah terus menerus berada di sekitarnya.
"Maaf Mas...." Raisha langsung memasang wajah sendu karena bentakan Harris.
"Aku tahu, aku emang salah, bikin Mas Harris nggak nyaman, aku datang ke sini cuma mau minta maaf, aku emang nggak layak buat Mas Harris, aku nggak secantik mantan pacar Mas. Bagi Mas Harris, aku cuma polusi mata kan?"
Harris adalah tipe lelaki gentle. Dia bersikap lembut dan manis pada perempuan, jadi, kalau dia sampai melemparkan bentakan pada perempuan, artinya kesabarannya sudah habis beneran. Meski begitu, waktu melihat wajah sendu Raisha, Harris ujung-ujungnya merasa tidak tega.
"Siapa bilang begitu? Aku nggak pernah bilang kamu polusi mata."
"Tapi Mas Harris menolak keberadaanku. Sampai pindah mess segala biar nggak ketemu aku kan? Kenapa Mas Harris segitunya benci aku."
Sebenarnya, Harris tidak membenci Raisha, hanya saja, sikap agresif Raisha membuatnya risih dan membuatnya merasa bahwa lebih baik membatasi pertemuan dengan perempuan itu.
"Aku nggak benci kamu." Harris membalas datar.
"Beneran?"
"Iya."
"Kalau gitu, kita bisa dong pacaran?"
Harris mendengkus. Baru saja dia merasa agak kasian dan mengira Raisha menyadari kesalahan, ternyata, Raisha tetap pada pendirian untuk menjadi pacarnya.
"Aku udah bilang, kalau aku sibuk kerja, Sha."
"Oh...."
"Paham ya? Maaf banget, tapi aku nggak bisa. Oke?"
"...Oke." Raisha menjawab tanpa bantahan, membuat Harris sedikit curiga, mengapa Raisha mengiyakan saja tanpa drama? Berbeda dengan sebelumnya, di mana sampai mereka dikerubuti massa di depan mini market dan membuat kehebohan, lalu datang ke kantor dan menimbulkan keributan.
Lagi, jika menilik keberadaan Raisha di mess ini pastinya dia sudah berusaha keras untuk mendapatkan info kemana Harris pindah. Tidak diragukan, Raisha memang tidak mudah menyerah, tapi kali ini, wanita itu mengiyakan saja apa yang Harris katakan tanpa bantahan. Apa Raisha sudah menyerah? Harris bertanya-tanya dalam hati namun dia menyimpannya.
"Kalau gitu, ada hal lainnya yang mau kamu bicarakan?"
"Enggak sih. Aku cuma mau bilang kalau aku sayang sama Mas Harris meski Mas Harris
nggak punya perasaan yang sama." Raisha berkata lirih."Mungkin bagi Mas Harris aku tuh menganggu kehidupan Mas, dan cuma bikin kamu muak, aku ngerti kok. Lagian, cinta kan nggak bisa dipaksakan. Aku cuma berharap, Mas Harris nggak memusuhi aku. Aku tahu, aku pernah bikin Mas Harris malu di muka orang banyak. Aku salah, tapi setelah aku nggak bisa ngehubungin Mas Harris dan juga nggak bisa ketemu, aku akhirnya sadar kalau pernyataan cintaku itu terlalu berlebihan. Aku datang, cuma pengen ketemu Mas Harris dan pengen kita bisa berteman."
Wajah memelas Raisha dan ucapannya, membuat Harris tidak tega. Harris memang merasa kesal dan terganggu oleh kehadiran Raisha, tapi setelah wanita itu datang, meminta maaf dan menyadari kesalahannya, Harris merasa bahwa itu semua sudah cukup tidak ada lagi alasan baginya untuk membenci Raisha secara berlebihan. Lagipula, apa yang salah dengan rasa jatuh cinta?
"Mas mau maafin aku kan?" Raisha menatap Harris dengan mata berkaca-kaca, dan membuat Harris mengangguk, baginya, permasalahan ini tidak perlu diperpanjang. Raisha sudah tahu bahwa cinta yang dimilikinya tidak bisa dipaksakan dan dirinya, juga harus mengerti bahwa cinta tidak bisa begitu saja dihapuskan.