"Berhenti! Aku mau turun!" rengek Raisha.
"Aku antar sampai kos kamu. Di mana alamatnya?"
"Nggak! Nggak usah!" Raisha berteriak sambil menangis.
"Sha, jangan kayak anak-anak. Kamu sudah dewasa, tolong hargai aku yang ingin fokus kerja!" Suara Harris agak tinggi, karena jengkel dengan kelakuan Raisha yang merengek seperti anak-anak tatkala keinginannya tidak terpenuhi.
"Mas Harris kok bentak aku? Hiks...." Raisha semakin keras menangis membuat Harris kelabakan mencoba menenangkan wanita itu. Baru kali ini dia menghadapi wanita yang sangat manja, bahkan lebih parah daripada Sonya, adiknya.
"Sha...sssh...tenang...tenang...."
"Mas Harris jahat!" Raisha semakin meraung-raung, membuat Harris menepikan mobil di depan sebuah mini market.
"Sha...tenang dulu." Harris membujuk. "Kita bisa bicara baik-baik."
"Kamu jahat. Kamu bilang aku jelek, nggak layak buat kamu. Hati aku tuh sakit!"
"Sha, aku nggak pernah bilang gitu! Kamu jangan mengada-ada!" Harris kembali terpancing emosi karena Raisha mengatakan hal yang tidak-tidak.
"Secara langsung emang nggak bilang, tapi Mas Harris nolak aku pasti karena aku jelek dan Mas Harris anggep aku nggak layak gantiin mantan di hati kamu kan?"
Harris mengusak wajahnya. "Sha...serius, aku nggak mikir soal itu. Aku cuma mau kerja sebaik-baiknya di sini!"
"Justru aku tuh mau bantuin kamu, biar bisa kerja baik, biar nggak keinget-inget mantan. Tapi Mas Harris nggak mau!"
"Sha...makasih banget sama kepedulian kamu, tapi aku sementara pengen sendiri dulu aja."
"Aku harus apa biar Mas Harris nerima perasaanku?"
"Nggak ada, Sha. Makasih karena kamu punya perasaan buat aku, tapi maaf, aku nggak bisa bales."
"Jahat."
"Sori, bikin kamu kecewa, Sha."
Raisha tidak menjawab, dia keluar dari mobil dan duduk di kursi yang berada di depan mini market. Di sana, beberapa anak muda yang tengah nongkrong sambil meminum kopi menatap Raisha kaget, pasalnya, wanita itu tiba-tiba datang dan menangis tersedu-sedu seolah ada peristiwa memilukan baru saja terjadi dalam hidupnya.
Jika menuruti logika, lebih baik Harris pergi secepatnya dari mini market ini. Biarkan saja Raisha dengan dramanya entah akan berakhir bagaimana , toh wanita itu sudah dewasa. Tapi, perasaan Harris tidak tega, lagipula, bagaimana jika Raisha mengarang cerita, dia bisa kena masalah pula. Akhirnya, Harris turun dari mobil, menyusul Raisha, dan orang-orang yang ada di situ menatapnya.
"Sha...ayo pulang." Harris menyambangi Raisha dan membujuk wanita itu. Tetapi, Raisha semakin keras menangis, dia bahkan tidak malu menjadi tontonan orang yang nongkrong dan berbelanja di situ.
"Sha...." Harris berkata sambil berusaha menarik Raisha kembali ke mobil.
"Mas Harris jahat! Mas Harris bikin aku sedih! Aku tuh kurang apa Mas? Sampai Mas Harris nggak bisa ngelupain dia?"
Orang-orang semakin banyak menatap mereka, dan sebagian berbisik-bisik, berasumsi, Harris dan Raisha bertengkar karena perselingkuhan.
"Sha! Ayo kita bicara, tapi nggak di sini!" Harris benar-benar merasa malu. Dia tidak menyangka kehadiran Raisha akan membawa masalah dalam kehidupannya.
"Nggak mau! Mas Harris jahat!"
"Sha!" Harris mencoba menarik Raisha, tapi wanita itu bersikeras.
"Oke. Kalau kamu nggak mau, ya udah. Silahkan di sini aja!" Harris sudah kepalang kesal dan merasa malu, terutama karena semakin banyak orang menonton mereka. Dia memilih hengkang dari depan mini market, terserah apa yang akan Raisha lakukan.
Harris masuk ke mobil dan melajukan mobilnya, tepat saat itu, barulah Raisha bergerak. Dia berlari dari tempatnya duduk, mengejar mobil Harris yang mulai bergerak dan berteriak histeris. Suasana sungguh dramatis, Raisha membahayakan dirinya karena dia berlari mengejar mobil yang sudah setengah berada di jalan raya. Salah-salah, dia bisa tersambar motor atau mobil lain, karena tindakan Raisha yang begitu nekat, beberapa orang sampai mengejar mobil Harris dan mengetuk-ngetuk kacanya, meminta Harris menghentikan mobil. Harris benar-benar merasa tidak nyaman, di sini, dia seperti kriminal yang hendak dihakimi massa.
Harris menghentikan mobil, dari spion, Harris melihat Raisha terjatuh, entah benar-benar terjatuh, atau akting semata. Harris merasa Raisha adalah sosok yang begitu manipulatif, segala sesuatu bisa dijadikannya drama.
"Pak, kalau ada masalah, selesaikan baik-baik lah, kasian istrinya." Seorang lelaki, berpakaian tentara berkata pada Harris saat dia keluar dari mobil. Entah apa yang Raisha katakan sampai tentara itu menyangka Harris dan Raisha adalah suami istri.
"Mas Harris!" Raisha menjerit histeris, berjalan tertatih dengan dipapah beberapa orang yang terlihat iba dengan kondisi Raisha padahal sebenarnya, itu semua hanyalah drama.
"Ini istrinya mau dibawa ke rumah sakit apa gimana? Tadi jatuh waktu mau ngejar Bapak." Salah seorang yang memapah Raisha berkata.
"Nggak...nggak usah, bukan luka yang besar kok...." Raisha buru-buru menolak, menambah iba orang-orang yang ada di situ. Tetapi Harris tahu, Raisha menolak, karena tidak ada sakit di tubuhnya, dia hanya berpura-pura.
"Aku mau pulang aja. Aku boleh pulang ke rumah kan Mas?" Raisha menatap Harris dengan tatapan sendu, membuat Harris terpojok oleh tatapan menghakimi dari orang-orang yang terlanjur yakin jika Harris adalah tipe suami yang dzolim terhadap istri.
"Ayo pulang!" Harris menjawab singkat. Dia merasa kemarahan sudah berada di ubun-ubun kepala, tapi melepaskan kemarahan hanya akan menjadikan suasana semakin panas, terutama karena orang-orang yang mengerumuni mereka tidak tahu duduk permasalahan yang sebenarnya. Mereka sudah terlanjur menduga-duga dari drama yang Raisha tampilkan, menilai Harris adalah antagonis yang menyiksa Raisha dan Harris juga tidak ingin menjelaskan apa-apa kepada orang-orang yang ada di sana karena dia tahu tidak ada faedahnya menjelaskan kepada orang yang tidak berkepentingan.
Untung saja, Raisha tidak berulah lagi. Dia masuk ke mobil tanpa drama dan Harris bisa mengemudikan mobilnya dengan tenang.
"Aku antar kamu balik ke kos." Suara Harris memecah keheningan.
"Makasih, Mas."
"Aku harap, lain kali kamu nggak melakukan hal seperti tadi." Suara Harris terdengar berat, digelayuti kemarahan yang tertahan.
"Maaf, Mas. Aku hanya merasa emosional. Aku cinta banget sama kamu, Mas." Raisha menatap Harris. "Tapi kamu nolak aku. Aku kecewa."
"Kamu berhak mencintai tapi aku juga berhak untuk tidak membalas perasaan kamu. Kamu pasti tahu, cinta bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Aku hanya ingin fokus kerja, jadi tolong, jangan memaksa aku, apalagi dengan kejadian seperti tadi."
"Aku minta maaf, Mas. Tadi aku bener-bener ngerasa sedih dan super kecewa karena Mas Harris meremehkan aku, menganggap aku nggak bakalan bisa gantiin mantan pacar kamu. Tapi aku nggak bakalan menyerah, Mas. Sampai kamu jadi nerima cinta aku dan jadi milikku, aku bakalan terus berusaha, ngeyakinin kamu. Aku bakalan bikin kamu moveon dari mantan pacar kamu yang sekarang udah jadi istri orang itu. Jangan berpikir untuk tetap mencintai istri orang, Mas. Itu nggak baik."
Ucapan Raisha memang ada benarnya, mencintai istri orang bukanlah hal yang patut dilakukan. Harris tahu itu dan meski masih ada sisa perasaan cinta untuk Tiara yang sudah menikah dengan Dikta, tapi Harris tahu diri. Dia tidak akan membiarkan sisa cinta ini berkeliaran tanpa arah, dia akan menyimpan rapat dalam hatinya dan tidak akan pernah menganggu Tiara lagi, bahkan jika dia merasa rindu mendera. Juga, jujur saja, ucapan Raisha membuat Harris merasa merinding. Baru kali ini dia bertemu wanita yang begitu menggebu-gebu mengejarnya, memastikan bahwa Harris akan jatuh ke pelukannya. Ya memang, jodoh siapa yang tahu, tapi melihat kenekatan dan drama yang Raisha bisa lakukan, Harris merasa tidak tenang.
"Terserah," balas Harris sambil lalu, padahal dalam hati dia merasa khawatir dan takut pada Raisha. Dia perlahan menginjak pedal gas lebih dalam agar mobil melaju semakin cepat sampai di kos Raisha. Harris merasa bahwa dia harus menjauhi Raisha, karena wanita itu memiliki obsesi yang menakutkan.