Di salah satu ruangan yang dijadikan markas RedHole, Andreas nampak memperhatikan seorang pria yang tengah duduk, mengetik sederetan angka-angka dan abjad yang terangkai sangat rumit pada laptop di hadapannya.
"Kau sudah dapat meretasnya, Betran?" tanya Andreas.
Pria itu menggelengkan kepala. "Dekarsa Grup mempunyai tingkat keamanan sangat rumit dan sulit ditembus. Aku sangat yakin, mereka memakai Orang yang sangat handal dalam menanamkan security system pada data mereka." Jelas Betran.
"Sebenarnya ... apa yang kau cari, Tuan?" tanya Andreas pada seorang pria yang sedang bertumpang kaki di atas kursi putarnya.
Pria setengah paruh baya itu, terlihat sedang memikirkan sesuatu. Dahinya berkerut dengan tangan kanan yang terus menyentuh dagunya.
"Mereka sepertinya mulai mencium sesuatu," gumamnya lebih terdengar seperti bisikan, namun masih dapat terdengar oleh Andreas dan Betran.
"Mereka? Siapa maksud anda, Tuan?" tanya Andreas penasaran.
"Bagaimana jika kita harus berurusan dengan BlackNorth?" tanya pria yang tak lain adalah Rafael.
"BlackNorth? Jangan pernah berurusan dengan mereka, Tuan. Arlan berada di belakang mereka. BlackNorth sangat di segani di seluruh Amerika Serikat karena predikatnya sebagai Mafia yang bekerja sama dengan
Central Intelligence Agency, CIA. Kita akan kalah," ujar Andreas.
"Kalah? Aku tidak suka kekalahan. Aku akan melakukan apapun demi mencapai suatu kemenangan. Bahkan dengan cara yang tak pernah dipikirkan oleh siapapun," jawab Rafael dengan nada sinis.
Andreas dan Betran saling melempar tatap satu sama lain, pandangan tak yakin, namun mereka hanya punya satu pilihan, yaitu percaya pada pimpinan mereka.
"Dengan beratus-ratus anak buahku, aku yakin ... kita akan menang. Jika saja ternyata benar Atthala mengincar apa yang sedang kita incar, aku akan bertindak tanpa memandang siapa mereka," ujar Rafael dengan yakin.
"Kami semua percaya padamu, Tuan besar," ucap Andreas dan Betran bersamaan.
***
"Kau mau ke mana?" tanya Atthala saat melihat Ara turun dari lantai dua dengan pakaian lengkap.
"Aku harus berangkat bekerja," jawab Ara, santai.
"Aku akan mengantarmu," cetus Atthala sembari menyambar kunci dan jaket kulitnya di atas sofa.
"Aku bi ...."
"Aku tidak suka ditolak dan tidak menerima penolakan," potong Atthala.
Ara hanya terdiam dan menuruti, apa yang dikatakan Atthala. Dia berjalan mengekor di belakang pria berwajah Asia itu, sambil sesekali menatap punggung Atthala. Namun, tanpa terduga, pria yang ia tatap secara tiba-tiba berbalik dan memandang wajahnya. Atthala merogoh sakunya lalu memberikan sebuah ponsel berwarna putih pada Ara.
"Ini ponsel untukmu, di dalamnya sudah ku simpan nomor teleponku. Hubungi aku, jika kau berada dalam keadaam darurat!" ujar Atthala.
Ara meraih ponsel tersebut, laku menggenggamnya.
"Ah dan satu lagi. Jika suatu saat nanti, kau merasa mendapat ancaman, atau merasa dalam bahaya, segera hubungi aku," lanjut Atthala.
Ara mengerutkan keningnya. "Apa ... akan ada sesuatu yang terjadi padaku?"
Atthala berjalan mendekatkan wajahnya pada Ara.
"Suatu saat nanti, entah kapan tepatnya, kau akan menghadapi sesuatu yang mungkin dapat mengancam keselamatanmu. Jika boleh aku jujur, saat ini ada beberapa orang yang sedang mencarimu karena sesuatu yang kau miliki. Mereka mafia berdarah dingin. Mereka tak akan segan membunuh orang lain demi tercapainya misi mereka. Maka dari itu, tempat yang paling aman untukmu adalah mansion ku. Ada puluhan anak buah terlatihku yang menjaga mansion ini dari siapapun di luar sana. Tak akan ada yang bisa menyusup ke dalam mansionku bahkan melalui jalur air sekalipun," ujar Atthala berusaha menjelaskan dengan perlahan pada Ara.
Ara membelalakkan matanya mendengar yang Atthala ucapkan. Dia bingung, dan berusaha mencerna satu persatu kata demi kata yang terlontar dari mulut Atthala.
"Kenapa, Atthala? Ada apa denganku? Apa yang akan terjadi padaku?" tanya Ara hati-hati.
Atthala semakin mendekat, lalu memegang lengan Ara dan menatap manik hazel milik gadis itu.
"Karena Ayahmu, dengan tega menyeret putrinya hingga berada dalam bahaya besar," jawab Atthala.
Ara menatap balik iris mata Atthala, meminta sebuah penjelasan yang lebih mendetail.
"Apa semua itu ada sangkut pautnya dengan memorycard yang mereka cari saat itu?" Tanya Ara.
Atthala mengangguk. "Dan kau memilikinya, Aradea. Aku tak dapat memberitahumu lebih jauh lagi. Yang jelas, aku akan melindungimu, bagaimanapun caranya," jelas Atthala.
"Lalu, apa yang harus aku lakukan?" Lirih Ara berusaha meminta pertolongan.
"Kau hanya harus mengikuti apa yang aku katakan. Hanya itu. Dan aku bisa menjamin keselamatanmu."
"Siapa kau sebenarnya?" Tanya Ara.
"Aku, orang yang dikirim Tuhan untuk melindungimu. Dan kau, yang Tuhan kirimkan untuk membantuku mengungkap segalanya," jawab Atthala pasti.
***
Setelah gadis itu tiba di NightClub, Ara bergegas berganti pakaian dalam ruang loker. Ia menaruh baju yang dikenakannya dan bergegas keluar menuju table pemesanan.
Hari ini, seluruh pelayan sedang sangat disibukan dengan para pengunjung yang sangat berjejalan. Termasuk para tamu vvip.
Dan tanpa Ara sadari, para anak buah Atthala rupanya tersebar disetiap penjuru malam itu, dan sangat mendominan di dalam sana. Sedangkan Atthala, Roy, James dan Kevin melihat semua yang terjadi di dalam van yang Atthala modifikasi menjadi ruang mata-mata milik BlackNorth. Semua terekam sangat jelas melalui kamera mini yang di rancang dalam sebuah kacamata yang digunakan oleh para anak buah BlackNorth, dilengkapi dengan earpiece di telinga masing-masing yang saling terhubung dengan Atthala dan yang lainnya.
Dan saat salah seorang anak buah BlackNorth memutar kepalanya ke sebelah utara, di sana Atthala dapat melihat dengan jelas, salah satu anak buah RedHole yang sangat Atthala kenal, Frans. Pria yang dahulunya berteman dekat dengan Atthala, kini menjadi pria yang sangat di benci, karena Frans yang sudah berhianat pada BlackNorth.
Roy melirik pada pria di sampingnya, yang tengah menatap lekat-lekat pada layar monitor di hadapannya.
"Penghianat itu kini bergabung dengan RedHole," gumam Atthala.
"Penghianat?" Tanya Kevin yang tak tahu apa-apa.
"Frans ... dahulu dia sangay dekat dengan Aku dan Atthala, bekerja sama mengelola BlackNorth. Namun, saat kita sedang menjalankan tugas untuk penangkapan Ketua GhostFire, seluruh rencana yang sudah kita rencanakan dengan FBI dihancurkan olehnya. Dia beberkan segalanya pada Anak buah GhostFire dan disampaikan kembali pada ketua mereka, Johan " jelas Roy.
"Lalu, rencana kalian gagal?" tanya Kevin.
"Rencana awal kita gagal total. Hingga kita mengambil Plan B, tanpa sepengetahuan siapapun. Hanya Aku, Atthala, dan Tim FBI yang mengetahuinya," jelas Roy.
"Apa kalian berhasil?" tanya James, semakin penasaran.
"Tentu saja! Dan kita juga berhasil menjebloskan Johan dengan hukuman mati," jawab Roy.
"Kejahatan apa yang sudah mereka lakukan?" tanya Kevin.
"Mereka menculik anak-anak, dan membunuh mereka untuk mengambil serta menjual organ tubuhnya," jawab Roy.
"Astaga, biadab sekali mereka," gerutu Kevin.
Roy kembali menatap layar yang sedang diperhatikan oleh Atthala.
Sedangkan pria itu, kini membelalakkan matanya, ketika Frans mulai mendekat menghampiri gadis, yang sedang membawa nampan pesanan. Atthala bergegas menekan tombol earpiece di telinganya.
"Freddy, arah jam sebelas," ujar Atthala.
Dari layar monitor ia bisa melihat, Freddy hendak berjalan mendekati Ara. Namun sayangnya, Frans sudah lebih dulu tiba dan menyapa gadia itu.
Rahang Atthala terkatup rapat, lalu ia pun kembali menekan tombol earpiece di telinganya.
"Diam-diam dengarkan, apa yang mereka bicarakan!" Titah Atthala.
Pada layar monitor, Freddy mulai terlihat mendekat dan duduk di kursi yang tak jauh dari Ara dan Frans yang tengah berbincang serius, kemudian menekan tombol Earpiece di telinganya. Atthala memperhatikan layar tersebut dengan seksama, dan mendengar apa yang Mereka bicarakan. Terdengar samar, namun cukup jelas.
"Kalian terus awasi dari sini! Aku harus ke dalam," ujar Atthala dan langsung bergegas keluar dari van menuju nightclub.
Pria itu bisa mendengar melalu mini earpiecenya, jika, Frans mulai menanyakan nama Ara. Namun ... belum sempat Ara menjawab, Atthala yang nampaknya sudah lebih dulu masuk, segera menghampiri Ara. Ia rengkuh pinggang gadis itu, sambil menatap intens pada Ara.
"Sayang, berapa kali aku katakan, kau harus berhenti bekerja. Uangku takkan pernah habis walau kau berfoya-foya setiap hari. Ayo kita pulang, aku sangat merindukanmu," ujar Atthala, kemudian mengecup bibir gadis itu.
Mata Ara seketika membelalak tak percaya. Jalan pikirannya seketika buntu. Tetapi, sentuhan di pinggang Ara tiba-tiba mengerat, membuat Ara tersadar dan mengingat apa yang dikatakan Atthala tadi sore.
Ara mengangguk dengan mata yang masih terus menatap Atthala.
Sedangkan pria itu, menoleh pada Frans yang sedang mengerutkan dahinya, berusaha mencerna situasi yang tengah terjadi saat ini.
Atthala berpura-pura baru melihat Frans dan tersenyum palsu.
"Frans? Sejak kapan kau ada di situ? Aku benar-benar tak menyadarinya."
Frans mengangkat dalah satu sudut bibirnya. "Atthala," gumamnya pelan.
***