Darel begitu gelisah, tumpukan pekerjaan di mejanya sama sekali tidak ia sentuh. Semalam memang dia begitu kesal hingga tak mau peduli lagi dengan apa pun yang berkaitan dengan Clarissa. Namun, ketika hatinya sudah tenang, dia sadar kalau tak semudah itu menyingkirkan Clarissa dari hidupnya.
Darel terlalu peduli dengan reputasinya untuk mengabaikan taruhan di tengah jalan. Alasan kedua adalah karena kata-kata Clarissa mengganggu pikirannya. Mereka putus baik-baik karena merasa hubungan jarak jauh terlalu sulit. Itulah yang Darel ingat selama ini, tapi dari cara Clarissa berbicara ... seakan-akan dia pergi begitu saja tanpa mengakhiri hubungan mereka.
Darel tak mengerti di masalahnya. Dia ingin bertanya pada Clarissa, tapi takutnya semua itu hanyalah akal-akalan saja. Wanita yang ditidurinya semalam bukan Clarissa yang dia kenal, melainkan seorang yang benar-benar terasa asing. Jadi sulit bagi Darel untuk bisa menerka apa yang sebenarnya ada di benak wanita itu.
Tok ... tok ....
Pintu ruangan Darel terbuka setelah suara ketukan, dan satu-satunya orang yang selalu masuk ke ruangannya tanpa menunggu jawaban hanyalah Dinda. “Bos, dokumennya udah?” Cewek itu bertanya, menghampiri Darel meminta kembali dokumen yang ia serahkan tadi pagi.
“Kamu itu, bicaranya jangan dicampur. Formal ya formal semua, santai ya santai semua.” Kalau karyawan lain mungkin sudah Darel pecat, tapi Dinda tidak. Cewek ini selalu ia beri kelonggaran demi menghargai kenangan masa lalu.
“Ya, kan nggak ada orang lain. Kalau di depan karyawan lain aku pakai bahasa formal deh.” Karena kelunakan Darel itulah, Dinda merasa dirinya masih dicintai. Dia jadi agak seenaknya, memanfaatkan perhatian Darel untuk menjalani kehidupan karier yang nyaman.
“Jadi gimana, udah kelar?” Kalau kerja di tempat lain mana bisa bicara begini sama bosnya.
“Belum. Besok-besok sajalah kukerjakan. Lagi banyak pikiran nih.” Dan Darel juga hanya bisa secuek ini memberikan jawaban pada Dinda. Kalau sama karyawan lain cara bicaranya berbeda, biar dihormati.
“Tumben? Biasanya juga masalah kamu hanya bingung mau pilih cewek yang mana.” Dinda mengajak bercanda, sudah paham sekali dengan sifat Darel.
“Iya, ini juga kepikiran soal cewek. Kamu masih ada kontak sama Clarissa?” Begitu nama Clarissa keluar, Dinda tersentak. Dia diam selama beberapa detik, kemudian menggelengkan kepalanya.
“Kan aku kuliah bareng kamu habis lulus SMA. Setelah balik ke Jakarta kontak dengan teman lama pada hilang, gimana masih bisa berhubungan.” Dinda agak cemas, mengingat apa yang telah dia lakukan dulu. Takutnya, Clarissa mengadu pada Darel dan merusak hubungan mereka saat ini.
“Memang kenapa? Kok tiba-tiba bahas tentang Clarissa. Kalian ada ketemu?” Untuk jaga-jaga, dia bertanya.
“Beberapa kali,” jawab Darel. Masih juga belum menyadari gelagat aneh Dinda. Pikirannya terlalu penuh hingga apa yang di depan mata tak lagi menarik minatnya.
“Terus?” Dinda menelan ludah, semakin gelisah menerka-nerka apa yang terjadi di tiap pertemuan tersebut.
“Clarissa berubah. Jadi tipe cewek yang paling aku benci.” Tipe cewek yang paling Darel benci menurut pengetahuan Dinda adalah cewek berkepribadian kuat, memiliki kepercayaan diri tinggi, keras kepala dan tak punya keraguan untuk membuang apa pun yang dia rasa tak pantas diperjuangkan. Dengan kata lain adalah kebalikan dari kepribadian Clarissa yang dia kenal. Rasanya agak lega. Bila begitu, maka kecil kemungkinannya mereka akan kembali berpacaran. Tak akan ada kemungkinan Darel mempertemukannya dengan Clarissa.
“Kalau begitu ya udah. Nggak usah ketemuan lagi. Toh udah nggak ada rasa, kan?”
“Itu yang bikin aku pusing, Dinda.” Kalau bisa seenteng itu, pikiran Darel tak akan terbebani. Dia tahu Clarissa sudah berubah, bukan sosok yang bisa dia cintai kembali. Namun, nyatanya masih ada yang mengganjal di antara mereka.
Darel tak puas. Dia tak bisa membayangkan perpisahan untuk kedua kalinya. “Mungkin karena gengsi aku gede, jadi terbawa perasaan pengen menjatuhkan Clarissa. Udah terlanjut taruhan sama Bobby.” Akhirnya semua yang dia katakan hanya terdengar seperti alasan yang dibuat-buat.
Bagi Dinda ini adalah pertanda buruk. Yang namanya taruhan selalu membuat Darel terobsesi ingin memenangkannya. Tak peduli berapa lama, atau berapa banyak yang harus dia lakukan untuk mendapatkan kemenangan konyol itu.
“Jangan, Rel. Taruhan boleh aja, tapi jangan pakai Clarissa. Dia cewek pertama yang kamu cintai, masa setelah lama jadi mantan malah mau dijadikan bahan taruhan? Hati nurani kamu udah nggak ada sisa?” Mulut manis Dinda berkoar, mengucapkan hal-hal yang tak pantas dia ucapkan. Dialah yang membuang hati nuraninya demi ego masa muda yang segera padam begitu didapatkan.
“Itu dulu, sekarang lain cerita. Lagian Clarissa yang duluan melukai harga diriku. Mana bisa aku diam aja!” Darel tak mau mendengarkan apa pun perkataan Dinda atau siapa pun juga. Dia hanya ingin sebuah alasan untuk membuat Clarissa menangis memohon cintanya.
“Memangnya apa yang dia lakukan?” Darel tak menjawab. Dia keburu emosi, pergi meninggalkan pekerjaannya untuk mencari kesempatan pertemuan berikutnya dengan Clarissa.
Memang Darel tahu tempat kerja dan tempat tinggal Clarissa, tapi dia tak mau jadi orang pertama yang datang menemui. Itu seperti dialah yang membutuhkan Clarissa. Gengsi Darel tak akan bisa terima. Pertemuan secara kebetulan yang dia butuhkan dan orang yang bisa menghubungkan mereka adalah Aran.
Jadi inilah yang Darel lakukan. Datang ke tempat kerja Clarissa, tapi pakai alasan mengajak Aran makan siang bersama. Dia ingin melihat ekspresi terkejut Clarissa saat melihatnya. Lebih bagus lagi bila mangsanya salah paham dan berbicara seolah Darel datang untuk mencarinya.
Sayangnya siang itu merupakan hari keberuntungan Clarissa. Baru sampai di lobby, Darel telah bertemu dengannya. Akan tetapi Clarissa tidak sendirian, dia menggandeng seorang laki-laki muda dengan penampilan yang menarik.
Bagi Darel, dia lebih menarik, tapi rasa kesal itu tetap saja ada. Apalagi ketika mata mereka tak sengaja bertemu, Clarissa tersenyum padanya. Jenis senyuman seperti tengah memamerkan, seakan berkata ‘aku bisa mendapatkan pria mana pun yang kuinginkan’ padanya.
Kedua tangan Darel terkepal erat, menahan kemarahan yang tak mau dia akui sebagai sebuah kecemburuan. Kenyataan kalau dia bahkan tak sanggup melihat Clarissa memeluk pria lain, membuat Darel merasa terhina.
“Sorry lama, tadi ada klien. Yuk jalan!” Aran yang Darel tunggu telah datang, tapi semua itu tak ada artinya lagi. Karena Clarissa telah masuk ke dalam mobil pria asing itu, pergi sebagai seorang pemenang.
“Siapa yang bareng Clarissa tadi?” Tak ada basa-basi, Darel langsung mencari info dari Aran. Memang Clarissa sudah pergi, tapi sesaat saat Aran datang, dia pasti sempat melihat gandengan Clarissa.
“Salah satu berondongnya tuh. Semua orang kantor sini tahu, Clarissa nggak pernah jalan sama cowok yang sama lebih dari satu bulan. Tahu namanya juga percuma,” jawab Aran.
Emosi Darel makin memuncak. Dia biasanya juga begitu, tapi saat tahu Clarissa yang melakukannya, Darel tak bisa terima. Apalagi jika berpikir kalau dia salah satu dari sekian banyaknya cowok yang namanya percuma untuk diingat.
“Kamu gimana? Masih yakin bisa taklukan Clarissa?” Sadar akan kemarahan Darel, Aran memanipulasi. Rasanya tak akan menarik kalau ia menang mudah. Sejak awal taruhan, tujuannya adalah untuk kalah. Karena kalau Darel yang kalah, dia tak akan bisa melihat penderitaan Clarissa.
“Atau jangan-jangan udah gagal?”
“Siapa yang gagal! Baru juga mau mulai!”
Skatmat. Aren tertawa. Betapa mudahnya memanipulasi Darel.
“Kalau begitu buktikan dong, buat dia hanya memikirkanmu sampai tak mau menggandeng cowok lain lagi. Datang ke pameran seni Sabtu malam nanti. Clarissa bakal ada di sana dan pastinya dia bakal bawa berondong itu. Kau juga, bawa cewek oke yang bisa diajak bersaing.” Sebagai sentuhan terakhir, dia memanaskan hati Darel, memberikan kesempatan untuk menyerang Clarissa dalam bentuk sebuah undangan pameran pribadi salah satu klien langganan kantor mereka.
“Lihat saja nanti, akan kubuat Clarissa meninggalkan berondongnya dan pulang denganku!” Darel ambil undangan dari Aren dengan kasar, segera pergi melupakan begitu saja tujuan makan siang bersama.