Clarissa menatap undangan pameran seni di atas mejanya dengan penuh curiga. Orang yang mengundang merupakan klien kantor mereka, tapi bukan klien yang dia tangani. Lebih tepatnya klien Aran. Seharusnya dia tak dapat undangan, tapi benda itu sudah berada di atas mejanya saat dia kembali dari makan siang.
Penjelasannya hanya ada satu. Aran yang meletakkannya. Dengan kata lain ini merupakan bagian dari permainan Darel. Clarissa kira urusannya dengan Darel sudah selesai dan lelaki itu tak akan sudi menatapnya lagi. Ternyata dia salah, Darel masih menginginkan sesuatu darinya.
Baiklah, Clarissa terima tantangan Darel. Rasa sakit di hatinya hanya imajinasi saja, Clarissa tak sakit hati pada Darel. Dia hanya marah, ingin membuat Darel benar-benar kapok.
Caranya belum Clarissa pikirkan. Karena dia yakin cara yang sama tak akan berhasil lagi, tapi setidaknya Clarissa tahu apa yang harus dia lakukan. Yakni membawa seseorang pria yang sebanding dengan Darel. Cowok imut tadi siang tidak cukup power untuk menghadapi Darel, tapi tak masalah. Clarissa punya kandidat lain. Namanya Giorby, mantan pacar Dinda. Rekan yang sempurna untuk balas dendam.
Wajah oke, body mantap, bisnis lancar, pendidikan dan latar belakang bagus. Satu-satunya kelemahan Giorby hanyalah selalu gagal move on, terjebak dengan cinta gagal di masa muda. Hingga saat ini masih bertanya-tanya kenapa Dinda meninggalkannya tanpa alasan jelas. Clarissa tahu karena Giorby juga satu SMA dengan mereka dulu. Setelah Darel dan Dinda pergi kuliah keluar negeri, Clarissa yang jadi tempat curhat cowok itu hingga saat ini. Jadi bisa dibilang pertemuan kembali Clarissa dan Darel juga merupakan rel penghubung masalah lama Giorby.
Tak mau membuang waktu, Clarissa segera menyelesaikan pekerjaannya agar bisa pulang tepat waktu dan menemui Giorby. Sepulang kerja, dia langsung pergi ke kantor cowok itu tanpa perlu membuat janji terlebih dulu. Sekretaris Giorby sudah sangat mengenal Clarissa dan akan langsung membiarkan masuk ke ruangan Giorby bahkan ketika bosnya sedang keluar. Karena sedekat itulah mereka.
Kebetulan hari ini Giorby sedang ada di tempat. Tengah sibuk mengerjakan sesuatu di mejanya. Ia tersenyum ketika melihat Clarissa datang. Mau sesibuk apa pun, pria ini akan selalu menyisihkan waktunya untuk Clarissa.
“Gio, sibuk nggak?” tanya Clarissa.
“Buat kamu aku nggak pernah sibuk. Ada apa? Mau ditemani ke mana kali ini?” Memang cowok perhatian itu beda. Belum bilang saja sudah tahu maunya Clarissa apa.
“Pameran seni,” jawab Clarissa.
“Boleh, kapan? Nanti biar kusesuaikan jadwal dengan acaramu.” Sudah begitu mau diajak ke mana saja dengan sukarela.
“Malam Minggu, tapi ada Darel di sana.” Clarissa berhati-hati meneliti perubahan emosi Giorby ketika nama Darel disebut. Karena ada Darel, pastilah ada Dinda yang merupakan masalah utama hidup Giorby. Dia juga yang dulunya mencari info soal Dinda yang mendadak hilang tanpa kabar setelah lulus sekolah dan akhirnya ditemukan bersama dengan Darel.
“Ada Dinda juga?” Ekspresi wajah Giorby saat bertanya terlihat sedih, seakan sudah tahu jawaban atas pertanyaannya sendiri. Dia bukannya tak bisa mengejar mantannya kembali. Sebenarnya Giorby bisa mencari tahu, tapi dia tak melakukannya karena telah memutuskan untuk move on. Biarpun hasilnya masih nihil bahkan setelah sepuluh tahun berlalu sejak keputusan itu dibuat.
“Kurang tahu, tapi setahuku sekarang Dinda kerja jadi sekretaris Darel.” Informasi dari Clarissa menohok hatinya. Rasanya tak mengejutkan. Itulah kenapa lebih menyakitkan untuk diterima.
“Terus, maunya kamu apa?” Setahu Giorby, Clarissa juga senasib dengannya. Ditinggal pacar tanpa alasan yang jelas dan tahu-tahu saja waktu membuat mereka putus dengan sendirinya. Giorby hampir yakin 100% kalau Clarissa juga gagal move on seperti dia, tapi Clarissa selalu berkata dia sudah melupakan masa lalu tentang Darel. Buktinya sekarang nama cowok itu muncul lagi di hidup Clarissa. Menegaskan bahwa omongan Clarissa tidak jujur keluar dari dalam hati.
“Balas dendam. Apalagi?” Ketegasan dalam kalimat Clarissa membuat Giorby semakin yakin bila cinta sahabatnya itu juga masih terjebak di masa lalu. Karena cinta dan benci terlalu mirip hingga sering disalahpahami. Sama-sama menyita seluruh emosi dan pikiran.
“Clarissa, balas dendam hanya akan menambah lukamu. Lupakan mereka, dan mulailah hidup baru.” Ini juga Clarissa tahu dan ingin dia lakukan sejak bertahun-tahun yang lalu. Hanya saja pertemuan singkat dengan Darel menyadarkan padanya jika memulai hidup baru tanpa menyelesaikan masalah lama adalah sesuatu yang mustahil untuk dilakukan.
“Akan kulakukan, tapi setelah menghancurkan hidup Darel.” Clarissa siap sakit hati, karena selama ini dia telah terbiasa hidup dengan memeluk luka.
“Kamu tak perlu ikut balas dendam juga, tapi bantu aku sekali. Pura-pura jadi pacarku di depan Darel. Mau ya?” Mau tak maulah, Giorby, kan memang tak pernah bisa menolak tatapan memohon Clarissa padanya.
“Satu kali aja,” balas Giorby.
“Makasih! Gio baik deh!” Clarissa jadi manja, memeluk Giorby dengan gemasnya.
“Iya, iya. Udahan ah, lepaskan dong.” Giorby menolaknya tak terlalu niat. Aslinya dia tak terlalu keberatan, hanya terasa canggung saja. Biarpun dekat, tapi mereka tidak terbiasa saling menyentuh satu sama lainnya.
“Malu-malu segala. Udah dewasa kamu tuh, masa dipeluk aja reaksinya masih kayak ABG baru puber. Kapan baru bisa dapat istri kalau begini terus.” Clarissa sih berubah, menyesuaikan sifat dan gaya hidup. Kalau Giorby tidak, hidupnya terlalu datar dan terkendali. Tak ada tuh yang namanya main-main, mencari wanita pengganti atau sekadar penghibur sesaat.
“Kamu cari suami dulu sana. Baru bilang begitu sama aku.” Giorby pura-pura ngambek. Aslinya dia paham benar alasan kenapa mereka masih betah melajang hingga usia tiga puluh tahun. Semua itu karena cinta lama belum kelar.
“Iya, nanti. Habis balas dendam.” Itu lagi alasannya ... kalau pikirannya begitu, selamanya juga Clarissa tak akan bisa menemukan kebahagiaannya. Giorby heran, apakah Clarissa benar-benar tak paham atau pura-pura tak paham?
“Jangan berlebihan. Setelah hatimu puas hentikan ya.” Sesuatu seperti balas dendam bukan apa yang benar-benar Clarissa inginkan, karena Clarissa yang Giorby kenal bukan orang yang berhati dingin seperti itu. Cowok itu hanya tak tahu apa yang sebenarnya Clarissa harapkan dari Darel setelah semua luka yang diberikan padanya.
“Hem,” gumam Clarissa, sebagai ganti jawaban. Yang artinya, dia sendiri tak yakin apakah bisa berhenti atau tidak selama Darel masih berkeliaran di sekitarnya.