Esok harinya, Darel direcoki oleh Aran. Cowok itu sengaja datang hanya untuk menertawakan Darel. “Wow, kemarin itu drama banget. Haha ... cewek apaan sih kau bawa. Malah mempermalukan diri sendiri.” Dia melihat apa yang terjadi semalam, bahkan merekamnya dan dikirimkan ke Bobby.
Jadi Bobby juga ada di rumah Darel sekarang. Tertawa sambil menonton ulang rekaman tersebut. “Sekretarisnya tuh, macam nggak ada cewek lain aja. Bikin malu.” Pastinya ikut menghina bareng Aran.
“Kalian tahu apa! Dinda itu sahabat dekat Clarissa dan cowok yang dibawa Clarissa itu mantannya Dinda. Mana kutahu kalau mereka masih ada cinta lama belum kelar.” Darel mendengus, kesal dan emosi tiap kali mengingatnya.
Sisi bagusnya Giorby tak ada perasaan pada Clarissa. Seharusnya mereka gampang dibuat putus. Apa sebaiknya Darel menyuruh Dinda merusak hubungan mereka saja?
“Lah, jadi bawa-bawa urusan mantan. Jangan bilang kau juga mantan Clarissa.” Aran bercanda.
“Makin menjadilah mereka. Tukaran mantan,” disambung oleh Bobby.
Tak ada satu pun dari kedua cowok itu yang serius, mereka hanya asal omong ingin melihat Darel emosi. Akan tetapi, Darel malah memberitahukan sendiri masa lalunya.
“Bawel, memangnya kenapa kalau iya!” ujar Darel.
Bobby dan Aran berhenti tertawa. Taruhan mereka terdengar tak seru lagi.
“Kita butuh hiburan, Darel. Nggak tertarik mau tahu cerita lama kalian.” Bobby sebal. Tahu begitu dia tak akan mengajak taruhan. Ini mah bukannya Clarissa yang tak bisa ditaklukkan, tapi sudah keburu tahu kebusukan Darel.
“Ya, nggak, Aran?” Cowok itu menyenggol Aran, mau mengajak membatalkan taruhan.
“Eh? Ah ... apa kau bilang?” Aran terkaget. Pikirannya agak tak jelas jalan ke mana-mana. Selama ini dia kira Clarissa hanya main-main dengan cowok muda tanpa pernah berpacaran. Sekarang, saat dia mendengar kalau ternyata Darel adalah mantan pacar Clarissa, ada rasa tak senang lain yang timbul di dalam hatinya.
“Kalian itu yang kenapa? Satu bengong nggak jelas. Yang satu kayak nggak bisa move on. Cih, udah ah. Aku pulang saja.” Bobby begitu-begitu peka, dia bisa melihat adanya rasa tertinggal pada Darel membuat taruhan mereka tak lagi hanya sebuah permainan.
“Siapa kau bilang gagal move on!” Darel tersinggung tuh. Sikapnya seperti mengakui tuduhan Bobby.
“Yang merasa ya orangnya. Perjelas dulu hatimu, mau lanjut main atau mau jadi pecundang yang dipermainkan cewek. Dari yang kulihat sih ... Clarissa nggak punya keraguan.” Kenyataannya Bobby kurang tahu, tapi dari sikap dan ekspresi wajah Clarissa di rekaman tersebut, dia bisa menilai siapa yang saat ini menguasai permainan.
“Itu benar! Cewek begitu senangnya menginjak-injak harga diri cowok. Jangan sampai jadi salah satunya korbannya. Mau taruh di mana mukamu, Darel.” Aran tak melihat seperti Bobby, dia hanya memanasi Darel dengan panik. Seakan takut adanya cinta yang kembali tubuh di antara Darel dan Clarissa.
“Siapa yang kalian maksudkan! Enak saja bicara. Aku yang meninggalkannya dulu dan sekarang pun akan sama!” Dan Darel terpancing dengan mudahnya. Selalu saja begitu, mengulang lingkaran setan yang sama.
***
Tak perlu lagi main kebetulan-kebetulan tak jelas. Darel langsung menemui Clarissa, menjilat ludah sendiri untuk tidak akan mengejar lebih dulu. Dia mengetuk pintu apartemen Clarissa tak sabaran, ingin segera meluapkan segala isi pikirannya.
Cewek itu memasang senyuman culas saat membukakan pintu untuk Darel. “Kau mencariku secepat ini?” Rasanya begitu puas melihat Darel yang mendatanginya, seakan tak terima dia jadi milik orang lain.
“Mau marah padaku?”
“Putuslah dengan Giorby. Kau dengar sendiri omongannya, dia masih cinta sama Dinda.”
Detik berikutnya, senyuman di wajah Clarissa menghilang. Cara bicara Darel yang seperti tengah memerintahnya dan sorot mata yang terlihat begitu serius membuatnya merasa seakan ada kepedulian yang nyata.
“Maksudmu kau yang masih cinta sama Dinda? Sengaja menggandengnya di depanku untuk apa?” Bukan ini yang mau Clarissa katakan. Ungkapan yang menunjukkan kecemburuan ini salah. Dia tak peduli pada mereka, tak ada alasan untuk cemburu.
“Itu yang mau kutanya. Kau sengaja memacari Giorby untuk apa? Aran bilang kau tak pernah mau berpacaran dengan siapa pun. Dari semuanya, kenapa harus mantan Dinda?” Darel mendadak semakin memaksa. Ia mendorong Clarissa hingga masuk ke dalam apartemennya sendiri. Darel bahkan menutup pintu, berniat mengurung mereka berdua di sana.
“Kau ingin balas dendam padaku?” Mereka sama-sama tahu kalau itu yang Clarissa inginkan, tapi diam-diam Darel masih berharap kalau hal itu tak benar.
Merasa tak nyaman, Clarissa mendorong Darel sekuat tenaga. Ia berhasil meloloskan diri, menjaga jarak dengan sikap yang siaga. “Aku tak mau menjawab pertanyaanmu!” Tak sanggup berbohong, bungkam menjadi solusi.
“Masalah lama kita sudah selesai. Marah atas sesuatu yang tak kupahami itu keterlaluan!”
“Selesai? Kau bilang menghilang tanpa kabar dengan Dinda itu selesai? Kalian meninggalkan kami tanpa mengatakan apa pun! Kau dan Dinda sama brengseknya! Kalian mengkhianatiku begitu saja!”
“Kaulah yang tak datang ke bandara saat itu! Aku memberimu pilihan. Menungguku atau putus, tapi kau memilih putus.”
“Hal bodoh apa yang kau bicarakan! Kapan kau memberiku pilihan!”
Clarissa begitu emosi. Ingatan terakhirnya dengan Darel adalah kencan sehari sebelum hari kelulusan di pantai. Mereka bersenang-senang, membicarakan hal-hal remeh tanpa membahas sedikit pun mengenai rencana kuliah ke mana.
Clarissa berpikir Darel akan pergi ke universitas yang sama dengannya. Karena itulah yang Darel katakan saat mereka baru jadian. Siapa yang tahu Darel mendadak berubah pikiran tanpa mengabarinya, meninggalkannya setelah membuat satu kenangan manis bersama.
“Aku memberimu surat. Aku memberitahukan alasannya, dan memintamu untuk menunggu.”
Darel bersungguh-sungguh menulis surat itu. Dia menjelaskan alasan kenapa mendadak dia berubah pikiran mengenai rencana kuliahnya. Di sana juga tertulis segala permintaan maaf dan rasa sedihnya harus meninggalkan Clarissa. Dan sebagai penutup, dia menulis jika Clarissa masih bersedia menunggunya, maka dia juga akan berjuang bersama-sama. Dia meminta Clarissa datang mengantarkan keberangkatannya untuk memberikan jawaban, tetapi Clarissa bahkan tak mau datang dan memberikan jawaban lewat orang lain.
“Kapan kau memberikan suratnya padaku!” Clarissa tak menerimanya. Jika ada, dia tak akan semarah ini. Menunggu tanpa kepastian selama dua tahun sampai akhirnya Giorby menemukan keberadaan Darel dan Dinda.
Saat itu, hatinya benar-benar hancur. Sahabat yang katanya akan kuliah bersama dengannya, mendadak menghilang setelah kelulusan. Mereka bahkan tidak bertengkar. Masih sempat berpelukan dan merayakan kelulusan bersama. Siapa yang tak marah dipermainkan seperti itu oleh sahabat dan pacar sekaligus.
“Aku menitipkannya pada Dinda dan dia bilang kau sudah membacanya dan memutuskan untuk tidak datang.” Saat Darel menjawabnya, pemikiran kalau selama ini dia ditipu oleh Dinda muncul di benaknya. Sebab, dilihat dari mana pun, reaksi Clarissa seperti memang tak pernah tahu soal surat itu.
“Datang ke mana maksudmu! Berhenti mencari alasan. Sana pergi! Aku tak mau mendengar kebohonganmu lagi!” Darel memang sudah bisa menemukan di mana masalah mereka, tapi tidak dengan Clarissa. Cewek itu terlalu emosi untuk bisa mencerna keanehan dalam kesaksian mereka berdua.
“Biarkan aku menjelaskan, sepertinya ada salah paham di antara kita.”
“Tak ada salah paham.”
Clarissa tak mau mendengarkan apa pun. Dia mendorong Darel keluar, mengunci pintu dan segera lari ke kamar. Sejauh mungkin agar suara teriakan Darel dari depan pintu tak terdengar lagi. Berkali-kali ia menguatkan hati untuk tidak terperdaya kata-kata Darel. Semua itu pasti hanyalah karangan. Tak ada surat dan memang mereka meninggalkannya agar bisa memulai cinta baru bersama.