Clarissa telah menceritakan semua yang terjadi di toko baju tadi. Dia melakukannya demi memperingatkan Giorby. Karena Clarissa merasakan firasat buruk setelah melihat bagaimana respons Dinda kepadanya.
“Dinda mungkin akan mencoba mendekatimu kembali.” Clarissa hanya menduga tanpa bukti, tapi kemungkinan itu ada.
“Jangan sampai tertipu, mengerti?”
“Memangnya sifatnya jadi seburuk itu ya?”
Giorby tak mengerti, dia masih mencoba percaya kalau cewek yang dicintainya memiliki sisi baik. Dia berharap jika memang Dinda mendekatinya kembali, maka mereka akan berakhir bersama seperti dulu.
“Kau masih tak percaya setelah mendengar ceritaku? Kau pikir aku berbohong padamu?” Clarissa jadi emosi. Mau karena diragukan atau Giorby terlalu buta, dua-duanya sama saja membuat kesabaran terasa diuji.
“Bukan begitu, aku hanya – ”
“Terlalu bermimpi? Bangun, Giorby!”
“Tapi kau sendiri juga masih mengejar bayangan Darel!”
Merasa Clarissa terlalu mendesaknya, Giorby bangkit. Dia membela pendapatnya. Mungkin ini yang disebut kebodohan dan kenaifan beda tipis. Rasa putus asa yang membuatnya menolak kebenaran demi sebuah harapan palsu.
Clarissa menarik napas panjang. Menentukan sebuah pilihan dan menerima kenyataan kalau ia telah kalah dalam permainan balas dendam memang sulit, tetapi dia tahu kalau ini saat yang tepat untuk berhenti.
“Aku sudah melepaskannya,” tegas Clarissa.
Giorby kembali duduk. Bila Clarissa yang keras kepala itu sampai memutuskan untuk berhenti, maka itu artinya dia sudah begitu terluka. “Sungguhan? Atau itu hanya omongan di mulut doang.” Namun, keputusan Clarissa masih diragukan olehnya. Dia paham sakitnya, tapi juga paham betapa tak pernah jeranya Clarissa. Hari ini bilang menyerah, tapi besok mulai bertingkah lagi.
“Sungguhan!” Clarissa berteriak. Entah untuk meyakinkan Giorby atau dirinya sendiri.
“Aku nggak percaya.”
“Terserah, pokoknya aku sudah kasih tahu!”
Akhir-akhir ini pertemuan mereka selalu berakhir seperti ini. Berdebat tentang masa lalu sambil mencoba menipu diri sendiri. Baik Clarissa dan Giorby sebenarnya telah sadar, keadaan seperti ini tak bagus untuk mereka. Hanya saja hati suka berkhianat, memilih jatuh pada orang yang tak akan menyambutnya.
***
Minggu pagi Giorby bertemu dengan Dinda, seakan peringatan Clarissa benar adanya. Mereka tinggal di kota yang sama selama beberapa tahun ini, tapi tak pernah kebetulan bertemu. Rasanya janggal bila mendadak sekarang kebetulan itu hadir begitu saja.
Tempatnya adalah tempat fitness langganan Giorby. Dia telah menjadi member sejak tiga tahun yang lalu dan tak pernah melihat Dinda sekalipun. Anehnya, hari ini cewek itu ada. Datang tepat di jam kunjungan Giorby.
Dinda masih begitu cantik seperti dulu. Lekuk tubuhnya yang indah, kulit mulus yang berkilauan dan senyuman yang memikat hati. Giorby tak bisa melepaskan matanya dari pintu masuk ketika melihat cewek itu datang. Baju senam yang ketat menambah kesan seksi, memamerkan betapa menariknya ia bahkan di usianya yang telah menginjak tiga puluh tahun. Dan semua itu didapatnya dari ketekunan merawat diri sejak dini.
Hal yang paling Giorby sukai dari Dinda adalah kepercayaan dirinya yang tinggi. Matanya yang jernih, berani menatap lawan bicara tanpa keraguan. Kemudian, suara lembut yang menenangkan hati.
“Eh, ada Gio. Kamu ke sini juga?”
Giorby terkejut. Begitu pandangan mata mereka tak sengaja bertemu, Dinda segera menghampirinya. Dia tersenyum sangat cantik, memanggil dengan riang dan berakhir dengan menyentuh begitu alami.
Jemari Dinda yang berada di pundak Giorby membuatnya gugup, gelisah merasakan gemuruh cinta di dalam hati. “Iya, aku member di sini, Din.” Rasa marah, sakit hati dan segala emosi buruk yang dia rasakan selama dua belas tahun lamanya itu seakan tak pernah ada.
Cowok berhati murni itu tersipu, seakan kembali menjadi bocah laki-laki yang baru mengenal cinta. Dia mengalihkan pandangan karena tak kuat ditatap terus-terusan. Rasanya seperti isi perutnya penuh dengan jangkrik menari.
“Bagus deh! Aku baru pindah ke dekat sini, jadi pindah tempat fitness langganan juga. Senang deh ketemu kamu di sini. Kalau sendirian tiap kali datang rasanya kesepian.” Apanya yang kesepian, olahraga tak perlu beramai-ramai. Pikiran Giorby tahu akan hal itu, tapi hatinya membantah, membuat semua ucapan manis itu terdengar benar.
“Kalau begitu kita sama-sama saja lain kali.” Giorby yang mengajak lebih dulu, seakan tak punya harga diri tersisa. Setelah dibuang seperti sampah, malah kegirangan saat dipungut kembali.
Begitu mudahnya pendekatan ini. Dinda tahu, selama tak ada Clarissa yang menghalangi, mendapatkan Giorby bukan hal sulit. Setelahnya makin gampang, dia hanya perlu menjerat pria ini dengan ikatan yang tak bisa ditolak dan tak akan lagi yang bisa menghentikannya.
“Aku senang sih, tapi memangnya nggak apa-apa? Clarissa nggak marah? Kemarin itu dia menakutkan sekali.” Dinda bertingkah sok ketakutan pada Clarissa, seakan dia peduli dengan siapa Giorby berpacaran saat ini.
Giorby tahu Clarissa akan marah dan memakinya, mengatakan betapa idiotnya dia memberikan Dinda kesempatan kedua. Hanya saja untuk yang satu ini Giorby mengabaikan.
“Clarissa nggak akan marah. Kami udah putus.” Kalau bilang tak berpacaran sejak awal, tipuan Clarissa pada Darel bisa ketahuan. Jadi Giorby memutuskan untuk berkata putus demi menyempurnakan kebohongan Clarissa, sekaligus mempermudah dirinya untuk mendekati Dinda.
“Karena kamu bilang masih sayang padaku?”
“Iya.”
Wow, betapa polosnya Giorby. Dinda tak percaya, sudah setua ini Giorby masih saja tulus seperti dulu. Pengalaman hidup yang pahit tak membuatnya menjadi keras dan penuh dendam. Dengan sifat yang begini manisnya, cewek mana yang nggak meleleh? Cowok pemaaf, pemuja, tulus dan perhatian seperti ini pasti akan melakukan apa pun demi membahagiakannya.
“Bisa kita mulai lagi dari berteman?” Lagi-lagi Giorby yang bertindak lebih dulu. Dia mencengkeram kedua tangan Dinda, meremas dengan lembutnya. Lengkap dengan tatapan memohon.
Orang tak peka pun bisa sadar seberapa kuat cinta Giorby pada Dinda. Sikapnya yang begini manisnya, memberikan segalanya tanpa takut dibuang kembali. Semua itu manis sekali, tapi juga cepat membuat bosan.
“Bukannya sekarang kita udah berteman. Ehehe ... bantu aku atur beban pemberat dong.” Kalau dilanjutkan akan menjadi menyebalkan, jadi Dinda segera mengalihkan pembicaraan, mengakhir semuanya dengan sikap manja dan senyuman manis kesukaan Giorby.
“Iya, kamu mau pakai alat yang mana?” Kalau sudah begitu Giorby pasti patuh. Membantu dengan bahagia, berlanjut dengan olahraga bersama sambil bercanda ria dan membuat janji kencan di malam hari.