“Um, kau baik-baik saja?”
Clarissa mengangkat kepalanya. Suara dari cowok tetangga sebelah itu menyandarkannya kembali ke kenyataan. Semua perasaan buruk yang tadinya menguasainya mulai bisa ia kendalikan.
Clarissa menjawab, “Ya, terima kasih.”
Usai itu mereka kembali terdiam. Jarangnya komunikasi dan situasi setelah melihat hal memalukan tetangganya membuat cowok itu jadi tak enak. Dia ingin bilang lupakan saja. Anggap dia tak lihat, tapi takutnya malah membuat Clarissa salah paham dan tersinggung.
Sebaliknya, Clarissa tak terlalu peduli soal dilihat dalam keadaan apa. Baginya itu hanyalah sedikit kesialan yang bisa terjadi pada siapa saja. Dia malah sibuk berusaha mengingat nama cowok itu. Tetangga yang sudah sering saling sapa selama bertahun-tahun, tapi tak tahu namanya itu agak keterlaluan.
“Hem ... Pak Brimo ya?” Akhirnya ada juga nama yang terselip di kepala Clarissa. Dengan percaya diri dia menyebut sebuah nama. Yakin akan ingatannya dan kemudian, Clarissa tersipu malu. Dia salah ingat.
“Itu bapak yang tinggal di sebelah lagi.” Tingkah Clarissa membuatnya tertawa geli. Rasa canggung yang tadinya menemani mereka kini telah minggat.
“Namaku Aksel. Dan sebenarnya aku juga nggak tahu namamu apa.” Ia memperkenalkan diri, membawa pembicaraan ke arah yang lebih nyaman.
Bahkan cewek penuh waspada seperti Clarissa saja bisa melihat betapa manisnya cowok ini. Kesannya seperti ada bunga-bunga imajiner di belakangnya, menunjukkan berapa lembutnya pribadi Aksel.
“Clarissa, itu namaku.” Sebenarnya Clarissa yakin Aksel sudah tahu namanya dari kerasnya suara pertengkaran dengan Darel tadi. Cowok itu hanya berusaha bersikap sopan agar dirinya tidak merasa malu asal menebak nama.
“Namanya yang cantik, cocok denganmu.” Pujian Aksel tidak terdengar memiliki motif tersembunyi. Dia terlalu murni untuk dikategorikan sebagai cowok penggombal.
“Terima kasih.”
“Kalau begitu aku kembali ke ruanganku. Ini sudah malam, kamu juga masuklah. Kunci pintunya baik-baik.”
Kali ini Clarissa tersipu karena alasan berbeda. Dan lawan bicaranya yang polos itu sama sekali tak ada gambaran. Semua yang dia ucapkan hanya karena sebatas basa-basi antara sesama penghuni gedung yang sama.
Melihat Aksel melangkah pergi, refleks Clarissa menahan tangannya. “Kapan kamu punya waktu? Setidaknya biarkan aku traktir makan sebagai ucapan terima kasih.” Biasanya Clarissa tidak seagresif ini. Mungkin karena Aksel sama sekali tidak terlihat berbahaya, dia merasa ingin berteman.
“Nggak perlu kok.” Aksel melepaskan tangan Clarissa dari lengannya, mendadak dia yang merasa terancam. Cowok ini memang manis, tapi agak takut pada cewek yang dari luarnya saja sudah terlihat berkepribadian keras seperti Clarissa.
“Aku memaksa.” Sedangkan Clarissa mengotot. Dia pantang berhutang budi, paling tidak dia ingin berterima kasih dengan benar.
“Err ... hem ... Minggu?”
“Tapi aku maunya ke tempat yang ramai!”
Aksel memilih waktu dan tempat yang aman. Saking terintimidasi oleh Clarissa. Baru saja Aksel merasa bisa berteman baik, sikap Clarissa sudah membuatnya berubah pikiran.
Clarissa sendiri sama sekali tidak sadar. Kesan pertama Aksel di matanya adalah cowok baik dan kuat jadi tak ada alasan untuk terintimidasi padanya. Dia tersenyum hangat, tak sabar menantikan pertemuan berikutnya.
“Boleh, ke mana saja tak masalah. Kamu bebas memilih tempatnya. Minggu siang aku ke rumahmu ya, kita berangkat sama-sama.” Kan sebelahan. Kalau janjian ketemuan di luar malah janggal.
“Oke ... kalau begitu aku masuk ya.”
“Selamat tidur.”
Aksel gelagapan. Dia tak jadi takut. Senyuman Clarissa membuatnya merasakan sesuatu yang aneh. Sadar bahwa kecemasannya terlalu berlebihan. Cewek semacam Clarissa yang selalu berusaha ia jauhi pun, ternyata memiliki sisi lembut.
Sebelum menutup pintu, Aksel melirik sebentar. Dia tersenyum dengan gugup saat mata mereka bertemu. Clarissa belum masuk, baru berniat masuk setelah mengambil tasnya yang dilemparkan oleh Darel.
Setelah Aksel masuk, Clarissa tertawa geli. Inilah kenapa dia suka dengan cowok muda, karena mereka masih polos dan tulus. Tak ada permainan atau ego dibalik setiap tindakannya. Dia masuk ke ruangannya dengan perasaan ringan. Untuk sesaat, nasib Darel yang diseret ke kantor polisi terlupakan olehnya.
***
Kembali ke Darel, dia baru berhasil keluar dari kantor polisi di pagi hari. Setelah membayar denda dan diinterogasi semalaman.
Cowok itu terus menggerutu sepanjang perjalanan pulang. Kalau tahu akhirnya akan begini, dia tak akan susah-payah menyuruh Dinda mendekati Giorby. Hasilnya tak ada. Clarissa tak terlalu bereaksi pada perselingkuhan pacarnya.
Darel jadi curiga, bila nyatanya mereka tidak sungguh berpacaran. Mungkin dia ditipu. Apalagi saat dia teringat akan perkataan Aran soal Clarissa yang tak pernah berpacaran.
Merasa penasaran, Darel memutuskan untuk mengecek sendiri. Dia putar arah ke apartemen Dinda. Tempat tinggal baru yang dia belikan sebagai uang muka jasa mendekati Giorby.
Pas sekali, Dinda baru mau berangkat kerja. Mereka bertemu di depan pintu. “Biarkan aku masuk.” Darel langsung menerobos masuk seenaknya. Tak akan dia biarkan Dinda mencari alasan menghindarinya.
“Kenapa sih? pagi-pagi udah bete aja.” Dinda jadi sewot. Bagus dia tak usah pergi kerja, tapi kesal juga harus meladeni kemarahan tanpa sebab Darel.
Si bos menyebalkan menjatuhkan diri ke atas sofa, duduk dengan gaya sok langsung banyak maunya. “Gimana perkembangan hubungan Clarissa dengan Giorby?” Pertanyaan pertama sudah membuat Dinda emosi.
“Kan aku sudah kasih kamu fotonya. Mana aku tahu gimana hubungan mereka!” Cewek itu menjawab, tak mau tahu apa pun yang berkaitan dengan Clarissa. Baginya tugasnya telah selesai setelah berhasil menggoda Giorby, sisanya urusan Darel.
“Tanyakan pada Giorby! Aku sudah membayarmu, memberikanmu apartemen. Kerjakan bagianmu dengan benar!” Darel sama tak mau tahunya. Mana mungkin hubungan Dinda dan Giorby bisa lancar-lancar saja tanpa berkaitan dengan Clarissa jika mereka masih berpacaran. Pasti Dinda yang kerja nggak becus, atau sengaja menyembunyikan sesuatu darinya.
“Udah kulakukan! Giorby dan Clarissa udah putus. Apalagi maumu!”
“Mereka putus? Kapan? Kenapa kau tak bilang padaku sejak awal!”
Pantas saja foto-foto itu tak berguna, ternyata mereka sudah tak ada hubungan. Lalu buat apa tindakannya semalam? Darel jadi merasa seperti orang bodoh dan itu semua karena info dari Dinda tak lengkap. Dia benar-benar kesal, sudah membayar mahal dan hasilnya malah mengacaukan semuanya.
“Kupikir kau tak peduli.” Suara Dinda mengecil. Seharusnya dia tak bilang, sekarang Darel jadi punya alasan untuk menyalahkannya.
Brak!
Darel memukul meja. Kebiasaan Dinda yang selalu menjawabnya itu menyebalkan sekali. Sudah mengacau, masih saja merasa tak bersalah.
“Jangan putar-putar perkataanmu.”
“Kau yang jangan menyalahkanku atas kegagalanmu!”
Akhirnya mereka bertengkar. Dinda marah-marah hingga membuat Darel makin murka. Barang-barang Dinda dilempar-lempar oleh Darel. Saking emosinya dia.
“Hentikan Darel!” Semakin Dinda marah, semakin banyak barang yang Darel lemparkan.
Sebuah kotak lama berisikan album kelulusan semasa SMA mereka ikut terlempar. Isinya berhamburan keluar. Barang itu niatnya mau Dinda buang, tapi tak sempat karena sibuk berkencan dengan Giorby dan terlupakan begitu saja di atas nakas sudut ruang tamunya.
Melihat itu, Darel jadi tenang. Foto bersama dengan Clarissa tercampur di dalamnya. Di sana mereka masih muda, masih begitu tulus pada perasaannya.
Darel berjongkok mengambil foto-foto itu, menatap penuh nostalgia. Sebaliknya, Dinda mendengus melihat tingkah Darel. Hanya karena satu foto saja langsung melunak. Begitulah kalau masih terjebak cinta pertama, tapi tak mau mengakui.
“Udah tenang kamu? Sana bawa pergi foto-foto itu. Aku udah nggak butuh!” Asalkan Darel berhenti mengganggunya, Dinda tak peduli mau diapakan sampah itu. Dia tak mau melihatnya, tak mau mengingat masa-masa penuh kebohongan yang dia bangun. Dirinya di dalam foto itu selalu tertawa bersama Clarissa seakan mereka sahabat sejati. Nyatanya dalam hatinya tak sekalipun merasa demikian.
Hanya dengan melihatnya saja sudah membuat Dinda emosi, karena foto-foto itu juga merupakan bukti kekalahannya pada Clarissa. Dia sampai harus menjilat dan memakai topeng agar terlihat manis, dianggap cewek baik dan menyenangkan oleh anak satu sekolah.
“Biarpun kau menyimpannya sampai sekarang?” Darel tak mengerti. Untuk orang yang tak peduli pada masa lalu, Dinda menyimpan kenangan itu cukup rapi. Darel tidak tahu kalau sebenarnya barang itu hanya terselip dengan barang bawaannya saat pindah. Ibunya Dinda yang merapikan dan mengirimkan ke tempat tinggalnya dulu hingga terbawa ke sini.
“Bawel, ambil dan pergi.” Malas memberi jawaban, Dinda mengusir.
“Aku bosmu tahu, berani sekali mengusirku!”
“Ini rumahku, terserah mau kuusir atau nggak!”
“Aku yang membelikannya!”
“Aku melakukan pekerjaan untukmu dan menerima bayarannya. Bukan kauberi gratisan!” Mereka ribut lagi, saling tatap penuh kebencian. Herannya masih juga betah berteman selama bertahun-tahun.
Darel berdecak kesal, tak tahan dengan Dinda. Dia bongkar isi kotak yang tersisa. Berniat mengambil semua yang ada muka Clarissa dan segera pergi dari sini.
Detik berikutnya, Darel tertegun. Sebuah amplop lama yang berisikan surat yang begitu ia kenal baik ada di dalam sebuah diary, masih tersegel rapi tanpa pernah dibuka sekalipun.
Itu adalah surat yang dia titipkan untuk Clarissa. Bukti kebohongan Dinda sekaligus kebenaran dari pengakuan Clarissa.