Di sana Sean mulai bernyanyi dan Mine sangat menikmatinya. Ia tersenyum menatap wajah tampan Sean dari sampingnya dengan jarak yang begitu dekat.
Akhirnya Sean menyelesaikan nyanyiannya. “Bagaimana?”
“Indah sekali. Aku tidak menyangka kamu memiliki suara yang sangat indah,” seru Mine.
“Kamu sedang mencoba merayuku?” seru Sean menaikkan sebelah alisnya.
“Memangnya kenapa,” seru Mine semakin mendekatkan wajahnya dengan wajah Sean. Sesekali tatapan Mine tertuju pada bibir tebal Sean yang seksi dan rasanya pasti hangat dan mampu membakar gairah Mine.
Mine ingin mencium Sean, tetapi ia menahannya. Sean yang menyadari keinginan Mine pun perlahan mendekatkan wajahnya pada Mine dan tangannya menyentuh leher jenjang Mine yang terekspos jelas. Sean mencium bibir Mine membuat Mine memejamkan matanya. Ia mencium bibir Mine dengan lembut dan perlahan. Setelah di rasa cukup Sean menarik dirinya menjauh dari Mine, tetapi siapa sangka Mine merasa tak puas dan langsung memeluk leher Sean dan menahan kepala Sean supaya tak menghindar. Mine langsung mencium Sean kembali dan berusaha memainkan permainan lidahnya yang ternyata tak bisa dan malah kacau, membuat Mine merasa malu. Saat Mine menghentikan gerakannya, Sean yang kini memimpin dan memangut bibir Mine dengan menekan kepala Mine supaya ciuman mereka semakin dalam.
Mine mulai melenguh panjang kala tangan Sean tak tinggal diam.
Dalam posisi masih berciuman, Sean berdiri dan menggendong Mine. Mine melingkarkan kedua tangan dan kakinya di tubuh Sean. Mine juga seakan tak ingin lepas dari Sean.
Sean berjalan perlahan menuju ranjang yang tersedia di sana. Saat kakinya sudah menyentuh sisi ranjang, Sean menjatuhkan tubuh Mine di sana hingga ciuman mereka terlepas.
“Kamu sudah tak sabar,” seru Sean membuat wajah Mine malu.
Sean melepaskan jas yang ia pakai dan melepaskan kemejanya juga. Setelahnya Sean dan Mine sama-sama merebahkan tubuh mereka di atas ranjang dengan posisi Sean di atas Mine.
***
Pagi ini Mine bersama Sean mendatangi Mia di hotel yang sudah di pesankan oleh Sean. Mereka berdua berjalan memasuki lift menuju lantai tertentu dimana kamar Mia berada.
“Pekerjaan apa yang akan kamu berikan pada Mia?” tanya Sean.
“Entahlah. Aku harus bertemu dengan dia dulu dan membaca karakternya, pekerjaan apa yang cocok untuknya,” seru Mine.
“Oke.”
Mereka keluar dari dalam lift dan berjalan menuju kamar nomor 1120. Dan kini mereka sudah berdiri di depan pintu nomor tersebut. Sean pun mengetuk pintunya dan tak menunggu lama pintu langsung di buka.
“Tuan Sean!” seru Mia terlihat bahagia. Ekspresi berbinar bahagia itu tertangkap oleh Mine dimana Mia belum menyadari kehadirannya.
“Mia, ini Jasmine, my wife,” seru Sean dan barulah Mia menyadari kehadiran Mine saat Sean merengkuh pinggang Mine. Dan Mine mampu menangkap perubahan ekspresi Mia yang menjadi redup saat itu juga.
“Emm, saya Narmia.”
“Apa kita hanya akan berbicara di luar seperti ini?” tanya Mine dengan nada sinis.
“Emm silahkan masuk,” seru Mia memberikan ruang untuk mereka berdua masuk ke dalam ruangan.
Sean dan Mine pun masuk ke dalam kamar hotel. Mine melihat hotel itu, dimana Sean memesankan president suite untuk Mia. Benar-benar membuang-buang uang pikir Mine. Entah kenapa saat menangkap ekspresi Mia tadi saat melihat Sean dan langsung berubah saat menyadari kehadirannya membuat Mine kesal. Ia tau Mia memiliki perasaan lebih pada Sean. Dan mengetahui itu, rasanya Mine ingin menendang Mia pergi dari sini.
“Mine, kamu kenapa?” seru Sean menyadarkan lamunan Mine.
Mine menoleh ke arah Sean. “Aku tidak apa-apa.”
Mia menyuguhkan dua gelas kopi yang ia buat dari mesin kopi yang tersedia di sana.
“Aku hanya bisa siapkan ini,” seru Mia dan mengambil duduk di atas sofa tepat di hadapan Sean dan Mine.
“Bagaimana selama dua hari ini, kamu tidak kesulitan bukan?” tanya Sean.
“Tidak Tuan. Saya merasa nyaman di sini,” seru Mia terus menatap ke wajah Sean.
“Mia, skill apa yang kamu miliki?” tanya Mine tanpa basa basi.
“Emm saya tidak memiliki keahlian apapun. Tapi saya akan berusaha bekerja sebaik mungkin, Nyonya,” seru Mia.
Mine terdiam sesaat. Kemudian ia menyerahkan kartu namanya pada Mia.
“Besok datanglah ke alamat ini jam 8 pagi. Katakan saja kalau kau sudah membuat janji denganku,” seru Jasmine.
Mia mengambil kartu nama itu dan membacanya. “Tapi saya belum tau daerah sini. Saya takut nyasar,” seru Mia melihat ke arah Sean yang hanya diam saja.
“Kemarin kamu dari bandara ke sini tidak nyasar,” seru Mine membuat Mia terdiam.
“Kamu pesan saja taxi online seperti kemarin dan berikan kartu nama itu,” seru Sean membuat Mia terdiam dan menganggukkan kepalanya.
“Emm tapi saya belum punya pakaian kerja. Saya tidak tau harus memakai pakaian apa besok,” seru Mia kembali melihat ke arah Sean dengan tatapan memelas.
Mine menghela nafasnya dan rasanya ingin mencongkel mata Mia. “Kamu pakai saja dulu pakaian yang kamu punya. Besok sekretarisku akan menyiapkan keperluanmu,” seru Mine.
“Kamu punya handphone?” tanya Mine.
“Ada. Tuan Sean membelikannya saat kami di Brazil,” seru Mia.
“Baiklah.”
Tak ingin berlama-lama, Sean dan Jasmine pun pergi meninggalkan kamar hotel Mia. Dan kini mereka sudah berada di dalam mobil yang berada di parkiran basement.
“Wanita seperti itu yang kamu tolong,” seru Mine dengan nada sinis.
“Kenapa memangnya?” tanya Sean menyetir mobil meninggalkan area itu.
“Jelas sekali dia ada maksud tertentu. Dia juga menyukai kamu, kamu gak sadar emang?” tanya Mine.
“Memang apa urusannya denganku. Aku hanya niat menolong bukan mencari simpanan,” jawab Sean dengan santai membuat Mine kesal.
“Pokoknya sekarang Mia urusanku. Kamu gak boleh menghubunginya lagi atau ada bertemu dengannya diam-diam di belakangku,” seru Mine.
“Kamu cemburu?” tanya Sean.
“Kalau iya kenapa? Harusnya kamu lebih menjaga perasaanku,” seru Mine.
“Aku kan tidak gimana-gimana. Sejak tadi aku diam saja,” seru Sean.
“Tetap saja, melihat cara natap dia ke kamu itu bikin aku kesal,” seru Mine.
“Udah jangan marah-marah,” seru Sean mengambil tangan Mine dan menggenggamnya dan itu mampu meredakan kekesalan Mine. Ia pun hanya bisa tersenyum.
“Kita kemana sekarang?” tanya Sean.
“Kita makan siang dulu saja,” seru Mine.
“Oke.”
***
Keesokan harinya Mia mendatangi kantor Mine. Ia sangat takjub dengan kantor yang begitu tinggi besar dan sangat mewah. Ia yakin perusahaan ini bukanlah perusahaan biasa.
‘Ternyata istri Sean itu bukan dari kalangan biasa. Apalagi di sini jabatannya sebagai direktur utama. Benar-benar orang kaya,’ batin Mia.
“Permisi, saya Narmia. Saya mau bertemu dengan Mrs. Jasmine. Saya sudah membuat janji dengan beliau. Beliau meminta saya datang pukul 8,” seru Mia.
“Baiklah, mohon tunggu sebentar,” jawab receptionist itu menghubungi sekretaris Mine.
“Baiklah.” Jawab receptionist itu menutup sambungan telponnya.
“Nona Mia, anda bisa langsung ke atas lantai 18. Liftnya berada di ujung jalan ini,” seru receptionist itu memberitahukan arahnya.
“Terima kasih,” seru Mia berjalan menuju lift itu.
Mia pun sampai di ruangan Mine dan sekretaris Mine mengantarkan Mia ke dalam.
“Kalian duduklah,” seru Jasmine membuat sekretarisnya dan juga Mia duduk di kursi yang ada di hadapan Mine.
“Rachel,” panggil Mine pada sekretarisnya yang bernama Rachel. “Ini Narmia, mulai hari ini dan ke depannya dia akan menjadi asistenmu dan membantu pekerjaanmu. Kamu ajari dia beberapa pekerjaan.”
“Baik Miss,” jawab Rachel.
“Dan antar dia ke pusat perbelanjaan. Belikan beberapa setelan pakaian kerja untuknya, sepatu juga tas,” seru Mine.
“Dan Narmia, sore nanti kamu akan cek out dari hotel. Aku sudah menyiapkan apartement untukmu di dekat kantor. Apartement itu memang khusus karyawan di perusahaan ini yang tidak memiliki tempat tinggal. Rachel pun tinggal di sana, nanti Rachel yang akan mengurus perpindahanmu,” seru Mine.
“Baik Bu.”
“Kalau begitu kalian boleh keluar. Dan mulai ajarkan dia beberapa pekerjaan,” seru Mine.
“Baik.”
Rachel dan Mia pun keluar dari ruangan Mine. Mine pun kembali pada pekerjaannya.
***
Novel "Sweet Enemy (Rangga & Ratu)" Seri Brotherhood 6
Erlangga - Ratu
Bab 1
Erlangga Prasaja kini telah menyandang status Dokter umum dan ia kini sudah bekerja di AMI Hospital Bandung. Menjadi seorang Dokter UGD mengawali karier Angga di bidang kedokteran. Ia bersyukur dan sangat berterima kasih pada Dhika sahabatnya, mungkin. Karena Dhika dan Ayahnya Mr. Surya Adinata, kini Angga bisa bekerja di AMI Hospital.
Angga sudah bekerja di sana sekitar satu bulan ini. Ia mengabdikan hidupnya untuk membantu banyak orang. Mungkin dengan begitu ia mampu menebus semua kesalahannya. Apalagi rasa bersalahnya pada mendiang Thalita. Setiap mengingat nama itu, dadanya terasa begitu sakit bak di remas oleh tangan tak kasat mata. Dan begitu sesak hingga membuatnya tercekik dan rasanya ingin menangis. Ia ingin berteriak memanggil nama Thalita dan membuatnya kembali ke sisi Dhika.
Karena penyesalan dan rasa bersalahnya itu Angga tidak pernah mampu tidur nyenyak. Dia selalu saja bermimpi buruk, bahkan rasanya begitu takut untuk memejamkan matanya saja karena mimpi buruk yang sangat menakutkan itu. Berkali-kali dia bermimpi di dorong jatuh ke jurang dan di dalam jurang itu banyak sekali tangan-tangan yang menyakiti dirinya dan memegang dirinya begitu erat hingga ia tak mampu bangun dan melepaskan pegangan yang menyesakkan itu.
Entah harus bagaimana Angga menghilangkan mimpi buruk yang sering sekali datang. Ia memang belum menerima maaf dari Dhika. Karena sejak kejadian Thalita itu, Dhika memutuskan pindah ke London dan melanjutkan study nya di sana. Bahkan sampai saat ini dia belum kembali. Begitu juga dengan anggota Brotherhood lainnya, Angga jarang sekali bahkan hampir tidak pernah bertemu dengan mereka. Walau ada beberapa yang menghubunginya dan mengajaknya bergabung di group chat yang tanpa ada Dhika, Angga selalu menolak. Rasanya tidak adil kalau dia harus menyakiti Dhika lagi. Ia akan kembali bersama teman-temannya kalau Dhika menerimanya kembali. Mungkin inilah hukuman bagi dirinya.
Angga baru saja sampai Ami Hospital, ia hanya menggunakan kemeja biru dimana bagian tangannya telah di lipat hingga siku. Beberapa suster dan Dokter menyapanya dan ia jawab dengan senyuman kecil.
Sosok Angga yang ramah, humble sudah tidak ada lagi. Ia menjaga jarak dirinya dengan oranglain. Entah kenapa ia tidak bisa menikmati hidup dan berbahagia sedangkan masih ada orang yang sangat terluka dan hancur karena ulahnya.
Kabar yang Angga dengar. Dhika sudah seperti mayat hidup yang hanya fokus pada pelajaran. Ia menutup dirinya dari segala hal. Dan bahkan Dhika masih meyakini kalau Thalita masih hidup.
Andai saja itu benar, Angga akan berusaha mencari keberadaan Thalita dan menyatukannya lagi dengan Dhika. Tetapi sayangnya, kenyataan tidak seindah bayangan. Faktanya Thalita sudah lama pergi meninggalkan kami semua.
Angga mendaratkan bokongnya di kursi kebesarannya. Ia melihat dokumen di depannya. Tidak ada yang begitu penting, hanya beberapa laporan pasien UGD dan yang telah di pindahkan ke ruangan rawat inap. Angga di pilih sebagai Dokter penanggungjawab UGD. Ada beberapa Dokter lainnya yang membantunya bekerja di UGD.
Angga menyambar jas Dokter kebanggaannya, kemudian ia meraih stetoscop miliknya dan berjalan menuju UGD meninggalkan ruangannya.
“Pagi semua,” sapa Angga pada beberapa pekerja yang juga bersiaga di UGD.
“Pagi juga Dokter.”
“Apa ada pasien baru yang masuk?” tanya Angga di meja receptionis.
“Ada Dok, ada tiga orang pasien yang masuk tadi subuh. Ini data medisnya,” seru salah satu receptionisnya menyerahkan rekap medis ke arah Angga.
“Sudah di periksa Dokter Aya?” tanya Angga.
“Belum. Tadi subuh Dokter Aya sibuk menangani pasien yang kritis,” serunya membuat Angga mengangguk dan berjalan menuju brankar pasien tersebut.
Angga melihat dua orang balita dan satu orang lansia. Ia pun mulai memeriksa kondisi pasien.
“Dari sejak kapan anaknya panas, Bu?” tanya Angga.
“Sudah dari kemarin Dok, panasnya gak turun-turun,” seru Ibu itu membuat Angga menuliskan sesuatu di rekap medisnya.
“Suster Mita tolong ambil sampel darah balita ini,”perintah Angga yang di angguki Suster Mita yang berada di sampingnya.
Angga melakukan pemeriksaan pada pasien lainnya.
Seharian seperti itulah yang Angga kerjakan. Di UGD cukup banyak pasien yang datang hingga membuatnya cukup sibuk dan melupakan segala hal tentang sesak di dadanya.
Hingga tak terasa waktu berlalu begitu cepat dan kini sudah pukul 8 malam. Jadwal Angga telah selesai, dan ia bergegas pulang.
Sebenarnya ia malas pulang, karena kedua orangtuanya sibuk bekerja hingga membuatnya sering sendirian di rumah.
Angga sampai di ruangannya dan melepaskan jas dokter miliknya. Ia kemudian meraih kunci mobilnya dan beranjak pergi meninggalkan ruangannya dengan memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celananya.
Langkah Angga terhenti saat ia sampai di lobby rumah sakit. Di sana terlihat salah satu mantan sahabatnya Daniel Cetta Orlando. Pria berjas itu tampak beranjak dari duduknya dan berjalan menghampirinya.
“Mau ngopi bareng?” ajak Daniel tanpa basa basi,
Angga tak mampu menolaknya, ia pun menganggukkan kepalanya.
Mereka beranjak pergi dengan mobil masing-masing dan sampai di kedai kopi tempat mereka sering nongkrong dulu.
Angga berjalan memasuki kedai kopi dimana Daniel sudah duduk lebih dulu di dalamnya. Angga berjalan mendekati Daniel dan mengambil duduk di hadapan Daniel.
“Seperti biasa?” tanya Daniel yang di angguki Angga.
Daniel pun memesan dua gelas kopi favorit mereka berdua di sana.
“Jadi, bagaimana kabar lu?” tanya Daniel.
Angga menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. “Seperti yang lu lihat,” jawab Angga.
Pesanan kopi mereka datang dan di hidangkan di hadapan mereka berdua.
“Ada apa lu cari gue?” tanya Angga.
“Apa gue gak boleh nemuin lu dan ajak lu buat nongkrong bareng?” tanya Daniel.
“Tidak. Itu sih terserah lu,” seru Angga mengeluarkan sebungkus rokok beserta korek apinya. Ia menyulut ujung rokok dengan api dan menghisapnya hingga mengeluarkan asap yang mengepul.
“Lu ngerokok?” tanya Angga berniat menawarkan rokok ke Daniel.
“Tidak. Gue gak ngerokok. Ga, kenapa lu gak pernah balas chat dari anak-anak? Apa lu bener-bener mau ngejauh dari kita?” tanya Daniel.
“Gue gak mungkin bisa kembali lagi ke Brotherhood,” jawab Angga.
“Kenapa?”
“Lu tau sendiri alasannya, Niel. Gue gak bisa kembali tanpa persetujuan Dhika,” seru Angga.
“Ah gak lu gak si Dhika. Kalian sama-sama keras kepala. Sampai kapan kondisi Brotherhood seperti ini. Apa lu beneran pengen persahabatan kita hancur?”
“Tidak perlu berlebihan. Selama 4 tahun ini tanpa adanya gue, bukankah Brotherhood baik-baik aja,” jawab Angga menghisap rokoknya.
“Setidaknya gak ada yang namanya mantan teman atau mantan sahabat. Jangan sampai memutuskan tali persahabatan. Bahkan lu gak datang ke pernikahannya si Dewi,” seru Daniel.
“Gue gak bisa kembali kalau belum mendapat persetujuan dari Dhika,” seru Angga.
“Dhika lagi gak ada. Setidaknya gak gabung di Brotherhood juga, tali silaturahmi kita jangan lu putus gitu aja,” ucap Daniel.
“Itu sama saja Niel. Gue gak mau si Dhika ngerasa terkhianati lagi oleh sahabat-sahabatnya yang malah dukung gue. Kesalahan gue sangat besar, Niel.”
Daniel terdiam sesaat, ia menyeduh kopinya dan menghela nafasnya.
“Baiklah. Gue gak akan memaksa lu lagi. Tapi gue ada satu permintaan dan ini gak boleh lu tolak,” ucap Daniel.
“Apa?” Angga menatap Daniel dengan serius.
Daniel mengeluarkan sesuatu dari balik jasnya.
“Jangan lupa lu WAJIB datang ke acara nikahan gue,” seru Daniel menyerahkan kartu undangan pernikahan ke hadapan Angga.
Oho oho oho
“Serius?” seru Angga tampak kaget seraya mematikan rokoknya dan mengambil surat undangan itu.
“Wihh beneran sama si Serli Metromini, lu nikah?” tanya Angga tampak antusias.
“Iya. Siapa lagi coba. Lagian gue tuh tipikal pria yang konsisten, kalau gue udah pilih satu cewek, maka akan terus gue perjuangin sampe nikah.”
“Mantep banget. Selamat ya Bro. akhirnya lu nyusul si Dewi,” kekeh Angga bersalaman ala pria dengan Daniel.
“Inget loh, lu wajib datang.”
“Siap. Akan gue usahain,” seru Angga menatap undangan itu. “Serius deh, gue gak menyangka. Setelah 4 tahun berlalu,” seru Angga.
“Itu juga penuh perjuangan. Gue kan pisah sama Serli setelah gue lulus kuliah. Gue gak ketemu dia sekitar 2 tahunan karena gue fokus buat jadi seorang pengacara. Dan ternyata takdir mempertemukan kami lagi,” seru Daniel.
“Dan lu langsung mengajaknya menikah?” tanya Angga.
“Jelas. Memangnya apalagi. Gue gak mau pacaran lama-lama,” seru Daniel.
“Good. Lu memang Mr. To the point,” kekeh Angga.
“Ngomong-ngomong sebelum hari pernikahan, gue ngadain pesta lajang dulu. Di café nya si Dhika. Lu datang yah,” seru Daniel membuat Angga terdiam.
Hening. Tak ada yang membuka suara satu orangpun. Angga tampak ragu untuk menyetujui usul Daniel.
“Angga.”
“Eh?” Angga melihat ke arah Daniel. “Gue gak tau Niel, kalau ngumpul begitu,” jawab Angga.
“Memang apa sih yang lu takutin sebenernya, Ga?” tanya Daniel.
“Gue gak enak dengan Dhika. Kalian aja yang rayain,” seru Angga.
“Gak asik lu ah. Ayolah Ga. Apa perlu gue telpon si Dhika di sini?” tanya Daniel.
“Nggak perlu Niel. Lagipula gue takut Dhika salah paham dan ngerasa gak ada yang dukung dia. Gue bener-bener gak mau ada masalah dengan anak-anak Brotherhood terutama Dhika. Gue beneran gak mau ada masalah lagi dengannya,” seru Angga.
“Oke oke. Tapi lu harus datang ke acara nikahan gue,” seru Daniel yang di angguki Angga.
“Itu jelas.”
*_*
Bab 2
Hari ini adalah hari pernikahan Daniel. Mereka melakukan pernikahan di sebuah Hotel bintang 5 di Bandung. Angga masih tidak percaya kalau hari ini sahabatnya akan menikah. Angga mengingat Daniel saat kecil dulu. Masa-masa kecil mereka bersama dengan Brotherhood. Kini mereka akan menikah. Setelah Dewi yang melakukan pernikahan beberapa bulan lalu, kini di susul oleh Daniel. Waktu berlalu begitu dengan cepat.
Tetapi tidak ada waktu maupun takdir yang memihak kepada dirinya. Hingga detik ini Angga masih merasa begitu kesepian dan hatinya penuh dengan rasa sakit dan rasa bersalah yang teramat besar. Hidup tidak bahagia, dan beban di dalam hatinya ini bagaikan hukuman untuk dirinya yang entah sampai kapan.
Angga terlihat gagah dan tampan dengan setelan tuxedo berwarna abu. Ia kemudian mengambil jam tangannya dan memakainya.
Setelah merasa lebih baik, ia pun meraih kunci mobilnya dan berlalu pergi meninggalkan rumahnya.
Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, akhirnya Angga memasuki parkir hotel. Ia melihat banyak sekali tamu yang hadir. Angga datang tidak saat akad pernikahan. Ia datang saat acara resepsi. Bukan berniat ingin menjauh, tetapi ia masih merasa tidak bisa kembali dan bersama dengan Brotherhood lagi. Angga merasa belum pantas kembali ke Brotherhood. Ini semua adalah takdirnya, ia harus rela menerima hukuman ini.
Angga berjalan menuju lift dan menuju ke room wedding dimana Daniel dan Serli melakukan resepsi pernikahan.
Angga menenteng tas berisi kado pernikahan untuk mereka. Tatapannya tertuju ke bagian ballroom dimana Daniel dan Serli sibuk bercengkraman dan bersalaman dengan para tamu undangan.
“Astaga!”
Angga menahan tubuh seseorang yang baru saja menabrak tubuhnya.
Tatapan mereka beradu dan terlihat pupil mata mereka melebar. Angga segera membantu seseorang itu berdiri tegak dan ia melepaskan pegangannya para tubuh seseorang itu.
“Terima kasih dan maaf,” serunya terdengar datar dan beranjak pergi meninggalkan Angga yang hanya bisa menatapnya.
“Ratu tunggu,” panggil Angga membuat seseorang yang tak lain adalah Ratu menoleh ke arahnya.
Ratu terlihat memakai gaun sederhana dengan sepatu kets berhak. Gaya tomboy nya masih terlihat jelas.
Angga melangkahkan kaki lebarnya mendekati Ratu.
“Apa kabar? Lama tidak bertemu,” seru Angga membuat Ratu mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Seperti yang Kakak lihat. Emm, aku permisi dulu,” serunya meninggalkan Angga begitu saja.
Angga menatap punggung Ratu yang menjauh. Hampir dua tahun lamanya ia tidak melihat Ratu. Setelah lulus kuliah, ia lebih memilih sibuk untuk menjadi Dokter.
Angga melanjutkan langkahnya menuju ballroom untuk memberikan selamat kepada Daniel dan Serli.
“Whoaaa siapa ini,” seruan itu membuat Angga menghentikan langkahnya yang sudah berada di atas ballroom membuat Daniel, Serli melihat ke arahnya.
“Apa kabar, Gator?” tanya Angga saat ia melihat ke orang yang menyapanya barusan adalah Oktavio.
“Masih inget sama gue?” serunya sedikit meninju lengan Angga. “Sialan lu yeh, udah jadi Dokter jadi sombong dan lupain kita.”
“Apa sih lu,” serunya merasa canggung.
Angga juga melihat Dewi, Elza, Irene, Seno, Edwin, dan Ratu berjalan menghampiri mereka.
“Hai,” sapa Angga seakan menjadi canggung.
Tidak pernah selama hidupnya, ia merasa secanggung ini berhadapan dengan para sahabatnya. Kesalahannya memang sudah menghancurkan segalanya termasuk menghancurkan persahabatannya.
“Ah elah lu sok malu-malu gitu. Biasanya juga malu-maluin,” seru Okta kembali memukul lengan Angga.
“Sakit Gator,” seru Angga.
“Nah gitu dong. Jangan sok canggung canggungan sama kita.”
“Lagian kita kan sahabat. Ngapain juga sih perlu canggung,” timpal Seno.
“Lu keliatannya baik-baik aja. Ga?” seru Elza.
Angga tersenyum kecil. “Gue memang baik Za.”
“Kalau gitu kenapa gak pernah mau ngumpul sama kita-kita?” tanya Seno.
Angga menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Gue sedikit sibuk di rumah sakit.”
“Woi jangan ghibah di sana dong. Ngalangin jalan para tamu,” seru Daniel menghampiri mereka semua. “Bubar sono bubar.”
“Elah, pengantin apaan sih lu. Arogan bener,” seru Okta.
“Pengantinnya udah gak sabar pengen ceper-cepet ke kamar,” goda Seno.
“Mau aha ihi yah,” goda Okta membuat Serli merona mendengarnya.
“Dih serem gue lihat muka si Metromini mesem-mesem gitu,” ejek Irene.
“Ck, apasih lu,” ucap Serli.
“Di sini mesem-mesem, entar mah di kamar guanass,” ejek Okta membuat yang lain terkekeh. Kecuali Angga yang sesekali melihat ke arahRatu.
“Gue lagi pake baju pengantin. Jadi harus anggun dong. Masa iya harus bar bar, gak cocok banget deh,” seru Serli.
“Kamu tetep cantik kok walau terlibat bar bar,” seru Daniel membuat Serli merona dan merasa malu.
“Mual mendadak,” seru Seno.
“Toilet mana toilet. Gila si Daniel lebay banget,” seru Okta membuat yang lain terkekeh.
“Rayu-rayunya entar malem aja di kamar,” ucap Dewi.
“Gak apa-apa, biar entar malem puasinnya,” kekeh Daniel.
“Apa sih kamu,” seru Serli merasa malu mendengarnya.
“Sudah-sudah, kalian nikmati saja makanannya,” ucap Daniel membuat semuanya bubar.
Angga menyerahkan kado yang ia bawa ke Daniel dan Serli sebelum ia pergi mengikuti yang lain karena di tarik oleh Seno.
Saat ini mereka tengah menikmati menu makanan di meja tamu seraya berbincang-bincang.
“Lu beneran udah kerja di AMI Hospital sekarang?” tanya Dewi.
“Iya. Gue udah kerja di sana udah ada dua bulanan,” jawab Angga.
“Oh iya guys. Gue dapet kabar kalau si Dhika mau balik ke Indonesia dalam waktu dekat ini.”
Deg
Angga menghentikan gerakannya mendengar penuturan Elza barusan.
*_*
Bab 3
Angga tengah menikmati segelas kopi di balkon kamarnya dan menatap ke kolam renang yang ada di bagian belakang rumahnya.
Mendengar kabar mengenai Dhika akan kembali, entah kenapa jantungnya berdebar kencang. Ada rasa takut dalam dirinya, ia takut Dhika masih sangat membencinya dan tidak mau memaafkannya. Tak bisa Angga pungkiri, saat ia bertatapan dengan mata tajam elang yang menggelap itu membuat hatinya sedikit ketakutan. Dhika memang memiliki aura yang menakutkan maka dari itu Angga tidak ingin berurusan lagi dengan Dhika.
Seketika wajah Ratu terlintas begitu saja di benaknya membuat Angga termangu.
“Ratu?” gumamnya.
Wajahnya yang manis dan pipi chubby nya. Di tambah tatapan matanya yang begitu tajam dan terdapat sebuah kebencian di sana untuk dirinya. Angga terus saja terbayang akan wajah Ratu.
“Sepertinya dia hidup dengan sangat baik,” gumamnya meneguk kopinya.
Angga menatap nyalang ke depan, menatap langit malam tanpa bintang dengan bulan sabit.
*_*
Angga terlihat sibuk di UGD. Entah kenapa hari ini begitu banyak sekali pasien yang masuk ke UGD.
“Dokter, sebaiknya Dokter istirahat dulu. Biar saya yang gantikan. Dokter belum istirahat sejak tadi, bukan?” seru Dokter yang juga bertugas di UGD.
Angga menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu terlihat sudah menunjukkan pukul 3 sore. Ia bahkan melewatkan makan siangnya.
“Baiklah aku akan pergi istirahat dulu,” ucapnya beranjak pergi meninggalkan UGD.
Angga berjalan menyusuri lorong rumah sakit dan sampai di ruangannya. Di sana sekretaris umum menghampirinya.
“Ada apa Ana?” tanya Angga.
“Dokter, ada karyawan baru yang akan menjadi Sekretaris pribadi anda. Pak Danu sudah meminta saya mengantarnya untuk menemui anda,” jelasnya.
“Begitu yah. Suruh saja dia masuk ke dalam ruanganku,” ucap Angga beranjak masuk ke dalam ruangannya.
Tak lama seseorang mengetuk pintu ruangannya dan Angga memintanya untuk masuk.
“Dokter, saya mengantarkan karyawan barunya.”
“Masuklah,” jawab Angga seraya menatap beberapa berkas di depannya.
“Selamat sore, Dokter.” Seruan itu membuat Angga menghentikan gerakannya karena suara itu begitu familiar. Angga mengangkat kepalanya dan menatap seseorang yang berada di depannya.
“Ratu?” pupil matanya sedikit melebar melihat sosok Ratu di depannya.
“Maafkan aku karena ini di luar dugaanku juga. Aku tidak tau kalau Dokter bekerja di sini sebelumnya dan aku sudah memasukkan CV ku ke sini. Juga udah beberapa kali lolos seleksi. Aku juga tidak menyangka akan di pilih sebagai sekretaris pribadi anda.” Jelas Ratu seakan menjelaskan kepada Angga kalau dirinya tidak sedang melakukan stalker lagi seperti dulu pada Angga.
“Kalau anda merasa tidak nyaman, aku akan keluar dari sini dan membatalkan kontrak kerjanya,” tambah Ratu.
“Apa kamu sudah selesai berbicaranya?” tanya Angga membuat Ratu terdiam.
Angga menatapnya dengan seksama. “Mulailah bekerja hari ini. Tanyakan beberapa pekerjaan untukmu pada Hanna. Dan kalau ada yang tidak kamu pahami, kamu boleh bertanya padaku,” serunya dengan tenang.
Ratu terlihat menghela nafasnya. “Baik Dokter.”
Angga memanggil Anna dari intercomnya dan tak lama Anna masuk ke dalam ruangannya.
“Anna, tolong kamu bimbing Ratu dalam mengerjakan pekerjaannya,” ucap Angga.
“Baik Dokter.” Anna mengajak Ratu untuk keluar meninggalkan ruangan. “Kami permisi dulu.”
Mereka berdua pun berlalu pergi meninggalkan ruangan Angga.
*_*
Ratu baru saja sampai di rumahnya. Ia memasuki kamarnya dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
“Haissshhh takdir apa ini? Kenapa aku malah semakin mendekat kepadanya,” gumamnya memejamkan matanya.
“Kenapa harus bertemu lagi dengannya?” gumamnya.
Perasaan terhadapnya masih ada, bahkan belum mampu Ratu enyahkan hingga detik ini.
Setelah 2 tahun berlalu dirinya tidak bertemu dengan Angga. Ia pikir perasaannya telah hilang tetapi ternyata masih melekat di dalam relung hati terdalamnya.
“Ah kenapa perasaan ini masih ada untuknya?” gumamnya.
Rasanya ingin sekali menangis mengetahui jantungnya masih berdebar kencang saat berhadapan dengannya. Ia sudah pernah di tolak langsung oleh Angga dan rasanya sangat sakit. Tetapi kenapa? Kenapa takdirnya harus sekejam ini hingga membiarkan perasaannya masih bertahan di dalam hatinya.
“Huft….”
*_*
Bab 4
Ini adalah hari pertama Ratu bekerja menjadi Sekretaris dari Angga. Ia berusaha fokus bekerja walau sulit. Berdekatan terus dengan Angga membuat jantungnya berdebar, bahkan berdetak cepat seperti habis lari marathon.
Ratu mengerjakan beberapa laporan, schedule Angga.
“Ratu, tolong carikan data pasien ini,” seru Angga membuat Ratu memekik kaget.
“Ada apa?” tanya Angga yang merasa heran dengan ekspresi yang di tunjukkan oleh Ratu barusan.
“Itu- tidak apa-apa. Baik Dokter, akan saya carikan.”
Deg
Tangan Ratu seperti tersengat sesuatu saat kulit tangannya bersentuhan dengan Angga. Ratu spontan menarik kembali tangannya.
Melihat itu Angga menyimpan berkasnya di atas meja Ratu. Ia tau kalau Ratu merasa tidak nyaman.
“Kalau sudah selesai, tolong berikan kepadaku,” ucap Angga yang di angguki Ratu.
“Sampai kapan aku akan berdebar seperti ini,” keluh Ratu.
Kenapa ia menjadi bucin seperti ini. Bahkan Angga terlihat enggan menatap dirinya.
*_*
Ratu makan siang bersama dengan Irene. Ia memang mengajak Irene untuk makan siang bersama.
“Kenapa muka lu di tekuk gitu?” tanya Irene.
“Hah, gue bener-bener kesiksa bekerja bareng Angga,” keluh Ratu menyeruput minumannya.
“Lu masih mencintainya?” tanya Irene.
“Entahlah.” Ratu mengedikkan bahunya.
“Sulit sih memang melupakan cinta pertama. Dulu juga gue dengan Seno begitu. Cukup lama perasaan gue bertepuk sebelah tangan. Tetapi akhirnya takdir berpihak sama gue dan kini kami bersama,” jelas Irene.
“Gue gak yakin akan bersama dengannya. Apalagi gue pernah di tolak olehnya. Itu yang membuat gue trauma jatuh cinta lagi,” seru Ratu.
“Kalau begitu terus bisa-bisa lu jones seumur hidup,” seru Irene dan Ratu hanya diam saja.
“Ngomong-ngomong kenapa lu gak jadian aja sama si Gator. Mudah-mudahan lu bisa lupain Angga,” ucap Irene.
“Lu lagi ngelawak?” tanya Ratu.
“Gue serius elah.”
“Mana mungkin gue sama si Gator. Yang benar aja Ren. Gue cuma nganggap dia sebagai sahabat gak lebih. Dan si Gator juga keliatannya cuma iseng-iseng aja godain gue. Udah ah jangan makin menjerumuskan gue ke dalam hal yang begitu. Cape hati ini,” seru Ratu.
“Ya elah baperan,” kekeh Irene.
“Ngomong-ngomong gimana kabarnya pengantin baru yah. Sepi amat gak ada kabarnya,” kekeh Ratu.
“Mereka lagi honeymoon. Jangan di ganggu,” kekeh Irene.
“Lu sendiri kapan nyusul si Serli. Betah banget pacaran,” kekeh Ratu.
“Entahlah. Mungkin gak sampai satu tahun lagi,” kekeh Irene.
“Kalau kalian udah nikah. Makin sulit yah gue buat minta di temenin gini,” keluh Ratu.
“Makanya jadian aja sama si Gator. Seenggaknya hari-hari lu bakalan berwarna dan ketawa terus karena dia,” seru Irene.
“Astaga Irene. Udah berkali-kali gue bilang. Gue cuma nganggap dia sahabat dan dia juga sepertinya begitu,” ucap Ratu.
“Iya iya,” jawab Irene.
*_*