Mine baru saja selesai membersihkan dirinya. Ia tengah mengusap rambut basahnya dengan handuk kecil.
Gerakan Jasmine terhenti kala handphone nya berdering dan menunjukkan nama seseorang yang sudah membuat Jasmine kesal seharian ini.
“Hallo!” seru Jasmine saat menerima telpon itu.
“Ada apa dengan nada bicaramu,”
“Darimana saja baru bisa menghubungiku? Sibuk dengan wanita barumu!” seru Jasmine dengan nada nyolot.
“Apa maksud kamu? Aku baru saja mendarat, kamu tau kan hari ini aku ada penerbangan,” jawab Sean. “Sebenarnya kamu kenapa sih Mine, kenapa uring-uringan?”
“Siapa perempuan di hotel itu, Sean?”
“Perempuan? Perempuan yang mana?”
“Jangan bohong! Aku sudah lihat fotonya, sekarang jelaskan siapa perempuan berambut sebahu itu?”
Sean terdiam beberapa saat dan terdengar helaan nafas dari sana.
“Dia Mia,” jawab Sean.
“Sialan kamu Sean! Kamu pergi meninggalkanku hanya untuk bersenang-senang dengan selingkuhanmu!” amuk Jasmine.
“Aku tidak berselingkuh. Dengarkan aku dulu, Mine.”
“Aku tidak mau mendengar penjelasan apapun darimu. Kamu sudah mengakuinya, dan bahkan memberitahukan namanya padaku. Bahkan kalian berada dalam satu hotel. Apa kau menghabiskan malam dengannya, kau tidur dengannya, bukan?” Jasmine semakin tak terkendali dan berteriak kesal.
“Dengarkan aku dulu.”
“b******k kamu!”
Tuuutt
Mine sangat kesal sekaligus sakit hati. Ia langsung memutuskan sambungan telponnya. Dan hanya bisa menangis. Dering handphone nya kembali terdengar dan Mine mengabaikannya.
“Jahat kamu, Sean!” isaknya. “Di sini aku harus menahan rindu padamu dan di sana kamu seenaknya bermain dengan wanita jalang. Sejahat ini kamu sama aku, hikzz…”
Jasmine yang kesal pun melemparkan bantal dan memberantakan kasurnya. Ia melampiaskan emosinya pada sesuatu yang ada di hadapannya.
Jasmine memang memiliki temperamen yang buruk, dan ia terbiasa di manjakan oleh segala hal dari kedua orangtuanya. Membuatnya menjadi sosok yang egois, sombong dan juga kekanakan. Tetapi di balik semua itu Jasmine sangat baik hati.
Awalnya juga Jasmine lah yang jatuh cinta pada Sean. Ia sempat menyatakan cintanya pada Sean kala mereka sekolah, tetapi Sean menolaknya. Mereka kembali saat Mine kuliah dan Sean pelatihan pilot di sebuah acara. Mine memaksa orangtuanya untuk melakukan perjodohan dengan keluarga Sean. Akhirnya melalui jalur perjodohan itu mereka pun menikah. Awalnya Jasmine pikir Sean akan kembali menolaknya ternyata Sean menerima perjodohan itu tanpa mempertimbangkan apapun.
Mereka pun menikah, walau sikap Sean datar dan dingin tetapi Sean selalu memahami Jasmine, dan bahkan Sean selalu tau apa yang diinginkan Jasmine. Walau tak pernah menyatakan kata cintanya, Sean selalu perhatian pada Jasmine dan menerima sikap Jasmine yang selalu kekanakan.
Jasmine sendiri selalu merasa cintanya bertepuk sebelah tangan karena Sean tidak pernah menyatakan perasaannya pada Jasmine. Ia pikir hanya dirinya lah yang mencintai Sean.
***
Di sisi lain, Sean masih di bandara tempat istirahatnya hanya bisa menatap layar handphone nya dan berkali-kali menghubungi Mine yang juga tak mengangkat panggilannya.
“Huft,” keluhnya, akhirnya ia memilih tidak menghubungi Mine lagi. Sean melepaskan topi pilot yang di gunakannya. Ia termenung sesaat memikirkan bagaimana Mine mengetahui mengenai Mia. Sebenarnya foto apa yang di lihat Mine, sampai dia tidak bisa mendengarkan penjelasan Sean satu patah katapun.
“Mungkin nanti aku coba hubungi dia lagi,” gumamnya memasukkan handphone ke dalam saku celananya.
***
Mine baru saja sampai di kantornya dengan memakai kacamata hitam karena matanya yang sembab sehabis menangis. Ia tengah berdiri di depan lift.
“Selamat pagi Mine,” sapa seseorang membuat Jasmine menoleh ke sumber suara.
“Erwin?” seru Jasmine mengernyitkan dahinya melihat keberadaan Erwin di kantornya pada pagi hari. “Kenapa kamu datang kemari sepagi ini?”
“Bukankah kita akan ada meeting bersama,” seru Erwin.
“Tapi itu satu jam lagi,” seru Jasmine.
“Aku tau. Karena malas bolak balik, jadi aku memutuskan langsung kesini,” seru Erwin.
“Baiklah, terserah kau saja,” seru Jasmine menekan tombol lift yang menempel di dinding.
“Ada jadwal pagi ini sebelum meeting?” tanya Erwin.
“Tidak ada,” jawab Mine.
“Bagaimana kalau kita minum kopi dulu,” ajak Erwin membuat Mine terdiam sesaat seakan mempertimbangkannya.
“Baiklah,” jawab Mine.
Mereka berdua pun berjalan menuju kedai kopi yang berada di dekat kantor Mine.
Sesampainya di sana, Erwin segera memesankan kopi kesukaan Mine dan juga dirinya.
“Seperti biasa,” seru Erwin menyimpan cup kopi di atas meja di hadapan Mine.
“Kamu tau kopi favoritku,” seru Mine.
“Always,” jawab Erwin.
Mereka pun menyeduh kopinya.
“Kenapa dengan matamu?” tanya Erwin memperhatikan Mine.
“Kenapa memangnya?” tanya Mine.
“Sejak tadi tak melepas kacamata. Apa matamu sedang sakit? Atau mata panda karena kurang tidur?” tanya Erwin.
“Ini hanya,” Mine terdiam sesaat memikirkan jawaban yang tepat. “Mataku sedikit merah dan sepertinya sensitive dengan debu. Jadi aku menggunakan kacamata ini.”
“Tapi kemarin kamu tidak apa-apa,” seru Erwin menaruh curiga.
“Ya, karena tadi malam aku kelilipan cukup parah sampai mataku memerah karena iritasi,” jelas Mine berusaha menyembunyikan kebohongannya dengan meminum kembali kopinya.
“Oh iya dimana sekarang suamimu?” tanya Erwin membuat mood Jasmine kembali jelek karena harus mengingat Sean.
“Kenapa menanyakan dia,” jawab Jasmine dengan nada sinis.
“Lho memangnya kenapa? Kita kan dulu sama-sama teman sekola,” seru Erwin.
“Dia sedang ada pekerjaan di Brazil,” jawab Mine.
Mine melirik ke arah handphone nya yang sepi tak ada notifikasi masuk. Setelah kemarin ia mendiamkan Sean dan sampai saat ini pria itu masih belum menghubunginya.
‘Benar-benar pria dingin tak berperasaan! Bahkan minta maaf dan memberi penjelasanpun tidak. Dan lagi kenapa mesti menjawab jujur, apa tidak bisa berbohong saja demi menjaga perasaanku. Astaga, kenapa aku harus jatuh cinta pada pria seperti itu,’ batinnya.
“Jasmine,” seru Erwin menyadarkan Mine yang terpaku pada layar handphone yang ia letakkan di atas meja.
“Ah ya,” seru Mine mengalihkan pandangannya pada pada Erwin.
“Ada apa?” tanya Erwin.
“Tidak apa-apa. Sepertinya aku harus ke atas. Nanti kita langsung ketemu di ruang meeting saja yah,” seru Mine beranjak dari duduknya dengan menyambar handphonenya.
Erwin hanya diam memperhatikan kepergian Mine. Ia menatap cup kopi bekas Mine yang berada di depannya. Terdapat noda lipstick di sana. Erwin mengambil cup kopi itu dan meneguk kopi bekas Mine tepat dimana noda lipstick itu berada.
“Emmm tidak buruk dan sangat manis,” gumamnya menyeringai.
***
Mine melepaskan kacamatanya dan melemparkannya di atas meja kerjanya. Ia merogoh saku celananya dan kembali mengecek notifikasi yang masih kosong.
“Pria dingin itu benar-benar!” seru Mine sangat kesal dan ingin kembali menangis. Ia mengambil duduk di kursi kebesarannya seraya menghela nafasnya. Ia mengusap wajahnya gusar dan kembali mengingat video yang ia terima dimana Sean bersama dengan seorang perempuan.
Pikiran Mine berkecamuk dan batinnya terasa berperang. Antara ia percaya pada Sean dan tidak. Sungguh membuat kepala Mine mau pecah dan ia merasa ingin sekali berteriak mengeluarkan kekesalannya.
Tringg…
Mine mengambil handphone nya dan melihat chat siapa yang masuk.
Sean
Aku sedang melakukan penerbangan. Jadi aku belum bisa menghubungimu. Yang jelas perempuan itu bukan siapa-siapa aku. Aku hanya menolong wanita itu. Aku akan menjelaskan semuanya saat aku kembali. Jangan marah lagi, dan percayalah padaku.
Jasmine merasa cukup lega mendengar penjelasan dari Sean. Ia berharap Sean tidak berbohong padanya.
***
Novel "Sweet Enemy (Okta-Chacha)" Seri Brotherhood 4
Oktavio - Clarissa
SATU
Di sebuah kamar nan luas, seseorang baru saja keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk putih yang di lilitkan di pinggangnya. Tubuh bagian atasnya ia biarkan terekspos begitu saja. Ia bersiul santai berjalan memasuki walk in closet.
Di sana ia berjalan mendekati cermin dan mengambil sisir. Dengan santai ia menyisir rambutnya dengan tetap bersiul. Kemudian ia berjalan menuju beberapa lemari besar yang ada di sana. Ia pun mendorong pintu salah satu lemari dan memperlihatkan deretan jas, dan lipatan kemeja putih di sana.
Masih dengan bersiul santai, ia mengenakan kemeja putih dan celananya yang begitu pas di tubuh kekarnya. Kemudian ia juga membuka laci kecil dimana isinya deretan dasi. Ia pun mengambil satu buah dan memakainya. Ia berjalan menuju laci kecil lainnya dan saat di tarik, di sana terdapat beberapa jam tangan mewah merk ternama. Ia mengenakannya masih dengan bersiul.
Memakai parfum dan menggunakan penyegar wajah tak lupa ia gunakan.
“Kau memang sangat tampan Oktavio,” gumamnya tersenyum simpul kala menatap pantulan dirinya di depan cermin.
“Wanita mana yang berani menolakmu,” gumamnya. “Kecuali wanita itu matanya picek.”
Setelah siap dengan jas hitamnya, ia pun beranjak keluar kamarnya dengan membawa tas kecil.
Dia adalah Oktavio Adelio Mahya. Pria paling unyu di Brotherhood.
“Good Morning Kekasih tua ku yang cantik,” seru Okta mengecup wanita tua yang sudah berada di meja makan itu.
“Morning Baby.”
Okta mengambil duduk di hadapan Oma nya dan mengambil sarapan untuk dirinya.
“Oma, aku akan ke Jakarta lagi. Mungkin sekarang akan cukup lama. Oma di sini dulu dengan Mbak Yani, tidak masalah kan?” seru Okta.
“Huh, semakin hari kamu semakin sibuk dan sering meninggalkan Oma sendirian,” keluh Oma.
“Ayolah Oma. Oma tau sendiri kalau Okta sedang ingin mengalahkan perusahaan milik pria itu. Jadi sekarang Okta benar-benar sibuk,” serunya.
“Kamu ini. Padahal perusahaanmu di sini saja sangat terkenal dan terbilang sukses,” seru Oma.
“Tidak Oma, ini belum sukses. Aku belum mengalahkan dan menjatuhkan perusahaan milik orang itu. Orang yang sudah membuangku,” seru Okta penuh penekanan dan tekad yang kuat dalam dirinya.
“Ya sudahlah terserah kamu saja.” Akhirnya Oma memilih mengalah.
“Aku janji deh, saat ada waktu luang, aku akan kemari dan membawa Oma berjalan-jalan,” seru Okta.
“Baiklah. Tetapi Oma ingin kamu juga membawa calonmu. Umurmu sudah cukup untuk menikah.”
“Haduhh Oma ini malah bahas nikah. Aku kalau udah dapat yang cocok, jangankan di kenalin ke Oma. Aku akan langsung menyeretnya ke KUA biar langsung di sah-in.”
“Kamu ini selalu saja bercanda. Sudahlah habiskan sarapanmu,” seru Oma.
◄►
Okta sudah sampai di kantornya yang ada di Jakarta. Gedung kantor ini baru saja selesai di renovasi dua bulan lalu dan satu bulan ini Okta dan beberapa asistennya sudah mulai bekerja di sini. Rencananya lusa nanti akan di adakan pengajian untuk opening kantor pusat yang baru.
Okta baru saja masuk ke dalam ruangannya yang luas dan begitu elegant. Ruangan ini mencerminkan dirinya dengan berdominasi warna putih abu. Dan ada sedikit sentuhan warna cream cerah dan warna hitam. Sangat mencerminkan dirinya, dari luar terlihat cerah padahal jauh di lubuk hatinya begitu kelam dan gelap. Tak ada yang tau bagaimana kelamnya di dalam lubuk hatinya. Tak ada yang tau seberapa besar kekuatan yang ia kerahkan untuk menekan luka menyakitkan dan trauma masa kecil di dalam hatinya.
Flashback
“Nah Roger ini adalah ruangan kerja Dad. Bagaimana, kamu suka bukan?” seru Bagas kepada putra sulungnya Roger.
“Ini sangat luas, Dad. Nanti Roger ingin memiliki ruangan kerja seperti ini,” seru Roger.
“Ruangan ini akan menjadi milik kamu saat kamu dewasa nanti,” ucap Bagas tertawa kecil seraya merangkul pundak Roger. “Ayo kamu duduklah di kursi itu.”
Roger dengan bahagia menduduki kursi kebesaran di sana dan memutar-mutarnya dengan gembira.
“Wah ini sangat nyaman, Dad.”
“Dad, Okta juga ingin punya ruangan kerja seperti ini nanti,” seru Okta saat berusia 6 tahun.
Bagas menoleh ke arah anak yang sejak tadi di belakangnya dengan tatapan tajam penuh permusuhan.
“Siapa yang membiarkanmu masuk kemari?” bentaknya.
Okta memekik kaget. “Itu, aku mengikuti Daddy.”
“Aminah…. Bawa anak nakal ini keluar dari ruanganku!” teriak Bagas pada sekretarisnya.
Saat itu adalah syukuran opening kantor baru.
Flashback Off
Mengingat hal itu membuat Okta mengepalkan kedua tangannya sangat erat. Kebenciannya semakin bertambah besar seiring waktu berlalu.
Dering handphone menyadarkannya. Okta menarik nafasnya dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan.
“Lupakan hal itu, Oktavio. Kalau terus memikirkannya, bisa-bisa kadar keunyuan dan ketampananku menurun. Ah itu tidak boleh sampai terjadi,” gumamnya memijit pangkal hidungnya.
“Kenapa Brewok?”
“….”
“Iya gue baru sampai di Jakarta. Gue akan ke AMI Hospital dulu untuk menemui si Dhika.”
“…..”
“Semuanya sih nggak ada masalah. Semuanya lancar jaya, nanti lu bisa datang kan saat syukuran kantor.”
“….”
“Iya, gue serahin ke lu aja deh mengenai surat perijinan dan tektek bengeknya. Males gue dengan keribetan yang begitu. Gue nggak mau muka unyu gue berubah jadi keras gara-gara mikirin yang begitu,” kekeh Okta.
“….”
“Ya sudah gue tutup yah. Gue mau nengok dulu si Dhika. Takutnya dia berniat bunuh diri,” tawa Okta.
“….”
“Ember lu ah main lapor-laporin aja. Lu tau gue suka jiper kalau berurusan sama tuh leader,” tawanya.
“….”
“Oke nanti gue sampain salam lu. Bye.”
Okta pun bersiap-siap untuk pergi ke AMI Hospital.
◄►
Okta baru saja sampai di rumah sakit AMI.Dengan memakai kemeja biru yang sudah di lipat hingga siku dan tiga kancing bagian atasnya dibiarkan terbuka membuat d**a bidangnya terekspos sempurna. Okta memang mengganti pakaiannya dulu sebelum ke rumah sakit. Bagi Okta, penampilan adalah hal paling utama.
"Gue kangen samaLeader dingin," gumam Okta seraya memakai kacamata hitamnya dan berjalan dengan gagahnya memasuki lobby rumah sakit.
Beberapa orang yang berpapasan dengannya dibuat terkesima dan terpesonamelihat sosok Oktavio yang tampan.
“Hai manis,, hai cantik,” sapa Okta sang Aligator seperti biasanya.
Okta memang sudah di kenal sebagai seorang playboy di kalangan masyarakat. Image itu sudah melekat dalam dirinya yang memang senang bergonta ganti pasangan.
Okta berjalan di lorong rumah sakit.Langkahnya terhenti seketika saat melihat sosok wanita berjas Dokter tak jauh di hadapannya. Wanita itu terlihat tengah berbicara dengan bagian receptionist.
Saking kaget dan syock, Okta sampai membuka kacamatanya, dan melebarkan pandangannya untuk melihat jelas sosok di depannya itu.
"Dia....!!!!"
Okta kembali mengucek kedua matanya tak percaya.
"Dia beneran Thalita?" gumam Okta. "Jadi dia benar-benar masih hidup? Dan sekarang telah kembali. Lalu bagiamana dengan Dhika?"
Okta bergegas beranjak pergi saat mengingat sahabatnya itu.
Bugh
Okta yang baru saja berbalik badan langsung bertabrakan dengan seseorang hingga mereka berdua terjatuh dan membentur lantai dingin.
"Oh sial, p****t gue!" keluh Okta meringis seraya mengusap pantatnya yang sakit.
"Kalau jalan tuh liat-liat dong," seru seseorang yang baru saja berdiri di hadapan Okta sambil mengelus pantatnya juga.
"Lu yang nabrak gue juga," ujar Okta merengut seraya beranjak dari duduknya.
"Lu...?" ujar seseorang itu saat menatap wajah Okta, membuat Okta menatap seseorang di hadapannya.
"Lah, Nela...?" ujar Okta yang juga kaget melihat sosok di depannya.
"Gue Clarissa. Dasar Crocodile!" jawab Clarissa dengan ketus karena kesal.
"Ya maksud gue Clarissa atau Chachaa. Ah, banyak banget nama panggilan lu.Tapi menurut gue sih lebih cocok Nela," kekeh Okta.
“Enak aja lu ganti ganti nama orang!" gerutu Chachaa. “Dasar Crocodile gila.”
"Gue nggak nyangka loh bisa ketemu Nela titisan Penyihir Jahat disini," ujar Okta tersenyum manis tanpa memperdulikan ekspresi ketus yang di tunjukkan Chacha kepadanya.
"NelaNela… gue bilang nama gue Clarissa. Lu budeg yah, Crocodile!" ucap Chachaa kesal.
"Itu kebagusan," ujar Okta polos membuat Chachaa melotot sempurna karena kesal. Ah dari sejak dulu sampai sekarang berhadapan dengan pria satu ini selalu membuat emosinya memuncak.
"Enak aja lu ganti-ganti nama orang sembarangan, Crocodile jelek !!!!" sewot Chachaa.
"Dasar Nela, baru ketemu udah ngajak ribut aja. Bukannya say hello sama teman kuliah," goda Okta dengan wajah santainya. Ah entah kenapa melihat wajah penuh emosi Chacha membuat Okta gemas sendiri melihatnya.
Chachaa dibuat semakin merah dan kesal. "Udah jangan marah-marah. Muka lu makin keliatan keras dan tua kalau marah,” goda Okta semakin membuat Chacha sangat marah.
“Lu….!”
“Gue sih sebenarnya pengen lama-lama di sini. Dan menikmati reuni ini sama lu. Tapi gue lagi buru-buru. Kapan-kapan kita keluar bersama yah. Sampai jumpa,” seru Okta dengan senyuman menyebalkannya seraya berjalan melewati Chacha.
“Dalam mimpimu saja!” teriak Chacha.
“Sialan!” gerutu Chacha melanjutkan perjalanannya dengan menghentakkan kakinya dengan keras.
“Kenapa gue harus ketemu makhluk paling menyebalkan di dunia ini sih. Kenapa nggakdibuang ke perairan sss aja sih tuh buaya biar ngumpul sama spesiesnya,” gerutu Chacha membuat orang-orang yang berpapasan dengannya dibuat heran karena Chacha berbicara sendiri.
-----
Dua
"Assalamu'alaikum Bos," sapa Okta menjulurkan kepalanya ke dalam ruangan Dhika
"Ngapain lu ke sini?" tanya Dhika dengan ekspresi merengut.
"Jawab salam gue dulu, dong. Sayang kan doa gue jadi mubazir," ujar Okta berjalan masuk ke dalam ruangan, mendekati Dhika yang tengah duduk dikursi kebesarannya.
"Wa'alaikumsalam," ujar Dhika seraya menghembuskan nafasnya berat.
"Kenapa tuh muka kelihatan mengerikan. Kadar ketampanan lu menurun jadi 30 derajat celcius," ucap Okta yang kini sudah duduk di hadapan Dhika.
"Apa lu udah ketemu dia?" tanya Dhika.
Okta paham siapa yang Dhika maksud.
"Iya.Tapi gue hanya melihatnya dari kejauhan. Sejak kapan dia kembali?" tanya Okta.
"Sudah sebulan kira-kira dia bekerja disini," ujar Dhika.
"Terus kenapa wajah lu muram gitu. Harusnya kan lu seneng, penantian lu selama 10 tahun ini membuahkan hasil," ujar Okta.
"Justru 10 tahun yang gue alami selama ini, belum apa-apa. Ujiannya baru saja dimulai," ujar Dhika memijit pangkal hidungnya. Okta hanya memperhatikan tingkah Dhika.
"Sekarang dia membenci gue, bahkan menatap wajah gue saja dia ogah," keluh Dhika.
"Seperti yang sudah gue prediksi," gumam Okta menyimpan telunjuk dan jempolnya di dagunya sambil memangut-mangut. "Lu bodoh sih, kenapa dulu lu harus jadi pahlawan tersembunyi. Kalau Lita tau kan, dia tidak akan benci sama lu tapi yang ada makin kelepek-kelepek sama lu" ujar Okta.
"Perasaan nama-nama dari superhero nggak ada yang namanya pahlawan tersembunyi," keluh Dhika.
"Ya makanya, kalau mau dibilang superhero itu harus terang-terang dong. Lebih bagus kan kalau disebut pahlawan bertopeng, idolanya Shinchan," ujar Okta mulai melantur.
"Ck, lu buat gue jadi ngomong ngelantur. Gue nggak perduli itu semua, mau idola siapapun juga," ujar Dhika kesal. "Yang gue pikirin sekarang gimana caranya buat Lita jatuh cinta lagi sama gue.”
"Agak sulit sih, nggak akan semudah saat lu pedekate-an sama dia dulu. Tapi ya jangan putus asa.Pasti ada jalan kok," ujar Okta.
"Gue akan pikirkan cara untuk meluluhkan hatinya lagi," gumam Dhika menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi.
“Lagian kehidupan cinta lu ujian mulu dari 10 tahun lalu. Kapan lulusnya coba,” seru Okta.
“Gue juga nggak pengen kayak gini,” seru Dhika. “Ngomong-ngomong lu jadi pindah kantor pusat?”
“Jadi. Semuanya udah selesai. Tinggal syukuran openingnya. Lu datang yah.”
“Iya.”
"Eh Dhik, si Nela sekarang kerja disini?" tanya Okta.
"Nela? Nela mana maksud lu?" tanya Dhika mengernyitkan dahinya.
"Itu lohsi Penyihir Jahat, si biang rusuh di kampus yang ambil Fakultas Kedokteran," ujar Okta.
"Oh maksud lu Clarisa atau biasa dipanggil Chachaa?" ujar Dhika.
"Iya dia.Si Nela yang cerewet dan nyebelin titisan sang Penyihir Jahat.”
“Astaga nama panggilannya panjang banget,” seru Dhika.
“Emang bener kan. Dia dzolimin Lita dulu. Ehtapi sekarang dia kok jadi cantik banget yah," ujar Okta.
"Ck, awalnya ngehina, ujungnya muji. Dasar Gator, nggak bisa liat cewek bening dikit," keluh Dhika.
"It’s normal, Oke. Lagian gue itu bukan buaya biasa,gue itu sang penakluk wanita," ujar Okta dengan bangganya.
"Penakluk pala lu. Pergi deh gih, gue lagi galau dan nggak mau di ganggu," ujar Dhika.
"Yaelah, umur udah bangkotan aja sok galau-galau-an,kayak ABG tua labil," ejek Okta membuat Dhika mencibir.
"Terserah apa kata lu. Mending gue periksa pasien daripada ladenin buaya muara kayak lu, bikin kepala makin pusing."
Dhika beranjak dari duduknya kemudian memakai jas Dokter miliknya dan pergi meninggalkan Okta sendiri.
“Ck, bener-bener payah.” Okta menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi dan bayangan wajah Chacha muncul begitu saja di dalam benaknya.
“Perbedaannya cukup jauh. Sekarang dia makin cantik dan dewasa. Tapi pipi chubby nya masih melekat,” gumam Okta tersenyum membayangkan sosok Chacha.
◄►
Chachaa memasuki sebuah lift. Ia sedikit kaget saat melihat sosok Okta didalam lift sendirian dengan senyuman mautnya. Chachaa langsung memalingkan wajahnya dengan sangat jutek dan segera menekan tombol lift.
"Hai Nel," sapa Okta dengan senyuman manisnya.
Chachaa masih tak bergeming. "Yaelah jutek amat sih," goda Okta,
Ia berjalan mendekati Chachaa yang terlihat risih sekali. Chachaa terus menatap tombol lift yang terlihat lama sekali sampai. "Kan kita lagi reunion.Jangan manyun-manyun gitu dong bibirnya. Dicium orang tau rasa loh," goda Okta membuat Chachaa menengok ke arahnya dengan tatapan membunuh.
"Eh tunggu!Itu dimata kamu ada apaan?" tanya Okta membuat Chachaa kebingungan dan mencoba membersihkan setiap sudut matanya takut ada kotoran yang menempel.
"Tunggu!"
Okta menarik tangan Chacha menjauhi matanya. Okta bergerak semakin mendekati Chacha, menghapus jarak di antara mereka berdua.Semakin lama, ia semakin mendekatkan wajahnya dengan wajah Chacha. Chachaa terus berjalan mundur hingga punggungnya menabrak dinding lift.
Keduanya masih bertatapan satu sama lain dengan Okta yang terus menyudutkan Chacha dan menghapus jarak di antara mereka berdua.
"Apa selama ini tidak pernah ada yang bilang kalau mata kamu itu sangat indah," bisik Okta membuat Chacha meremang karena hembusan nafas mint dari Oktavio.
"Kamu tau siang ini kenapa mendung?" tanya Okta membuat Chachaa mengernyitkan dahinya. "Karena mataharinya ada di mata kamu, sangat bersinar dan indah," bisik Okta membuat Chacha mulai terbuai hingga ia menelan salivanya sendiri.
Tangan Okta terangkat menyentuh kedua pipi Chachaa membuat keduanya semakin dekat, hingga hidung mancung mereka hampir bersentuhan.
Chachaa yang sadar dengan apa yang tengah terjadi, langsung mendorong d**a Okta dengan keras. Okta yang kaget, tidak mampu menahan keseimbangan tubuhnya dan membuatnya terhuyung kebelakang. Spontan ia berpegangan pada lengan Chacha hingga membuat mereka berdua jatuh bersama membentur lantai lift. Posisi Okta di bawah dengan Chacha yang berada tepat di atas tubuh Oktavio.
Bersamaan dengan itu, pintu lift terbuka lebar sehingga orang-orang yang berdiri di luar pintu lift mampu melihat semua pemandangan itu.
Chachaa meringis dan mengusap keningnya yang menabrak d**a Okta yang terekspos jelas di hadapannya. Chachaa terpaku dan bulshing saat menatap d**a bidang milik Okta yang terbuka. Posisi mereka sangat intim, Chachaa berada tepat di atas tubuh Okta.
Semua orang yang berada di luar lift dibuat kaget dan melongo memandang pemandangan di hadapan mereka.
"Khem!"
Deheman seseorang menyadarkan Chachaa dan Okta.Keduanya sama-samamenoleh ke sumber suara dan langsung membelalak kaget melihat orang-orang yang tengah menonton adegan mereka berdua.
Chachaa kembali menatap posisinya dengan Okta dan kembali melotot sempurna. Sadar dengan posisi mereka, ia bergegas berdiri dan merapikan jas Dokternya dan rok yang ia gunakan. Setelah menstabilkan detak jantungnya, Chachaa berjalan keluar lift dengan angkuh tanpa memperdulikan tatapan mengerikan dan mencemooh dari beberapa orang. Sedangkan sang Aligator yang memang sudah berdiri tegak hanya bisa tersenyum manis, bahkan sempat mengedipkan sebelah matanya ke salah satu Suster muda yang ada di luar lift sebelum pintu lift kembali tertutup.
◄►
TIGA
Okta tengah memainkan game dalam handphone nya di kamar Dhika saat Dhika masuk ke dalam kamar setelah pulang kerja.
“Lu pulang cepet?” tanya Okta.
“Iya, abis nyelametin Lita dari bahaya. Tapi dia masih nggak berterima kasih dan tetap jutek,” seru Dhika melepaskan kemeja yang ia gunakan hingga kini bertelanjang d**a.
“Wanita kan emang seperti itu,” seru Okta. “Ah sial kalah lagi.” Okta kesal karena permainannya terus saja kalah.
“Ngomong-ngomong baru pertama kali ke Ami Hospital udah buat kericuhan, eh?” sindir Dhika membuat Okta menatap ke arahnya diiringi cengiran lebarnya.
“Bukan salah gue. Si Nela yang godain gue di dalam lift,” ucap Okta dengan santai.
“Tuduhan yang nggak masuk akal. Gue tau lu biang keroknya,” seru Dhika berkacak pinggang.
“Gue hanya godain dia,” kekeh Okta.
“Tetep aja, sampai gossip langsung menyebar ke seluruh penjuru rumah sakit. Ah, semoga Nela bisa kuat mendengar gunjingan orang-orang,” seru Dhika.
“Lagian kita nggak ngapa-ngapain elah.”
“Terserah lu. Ngomong-ngomong syukuran opening nanti, anak-anak di undang?” tanya Dhika.
“Iya dong. Gue udah ngabarin mereka,” seru Okta dengan santai.
“Kalau begitu jangan dulu kasih tau mengenai Thalita,” ucap Dhika.
“Kenapa?”
“Gue nggak mau Thalita merasa terbebani atau mungkin merasa nggak nyaman. Lu tau kan si Dewi atau si Serli kalau tau Lita masih hidup, mereka akan langsung mendatangi Thalita. Belum lagi si Angga.”
“Iya sih yah.”
“Gue masih berusaha mendapatkan hati Lita. Mungkin kalau gue udah berhasil mendekatinya, gue yang akan ajak dia ketemu sama kalian semua,” seru Dhika.
“Gue ikut lu aja. Lagian gue bukan cowok yang suka gibah,” seru Okta.
“PERCAYA!”
“Elah kata percaya nya ngegas banget,” tawa Okta.
“Gue mau mandi dulu.”
“Ya sudah.”
Dhika beranjak memasuki kamar mandi. Sedangkan Okta sibuk kembali memainkan game nya.
◄►
Tok tok tok
"Pagi bu Dokter," sapa Okta menjulurkan kepalanya keruangan Chachaa.
"Lu?"
Chachaa mengernyitkan dahinya saat melihat kedatangan Okta. "Mau ngapain lu ke sini?" tanya Chachaa kesal melihat kehadiran Okta di sana.
Okta dengan acuh berjalan masuk ke dalam ruangan dan duduk di kursi di hadapan Chachaa.
"Dokter Nela lagi santai ya," seru Okta membuat Chachaa menatap tajam ke arahnya.
"Lu mau ngapain kesini?" tanya Chachaa dengan jutek.
"Mau ketemu Nela lah, masa mau periksa kandungan sih," ujar Okta dengan santai duduk di kursi yang berada di seberang kursi kebesaran milik Chacha.
"Berhenti manggil gue Nela!Crocodile. Nama gue Clarisa," pekik Chachaa kesal.
"Slow dong Baby. Jangan marah begitu, nanti darah tinggi kamu kumat," goda Okta semakin membuat Chacha meradang.
"Siapa juga yang kena darah tinggi, dasar Crocodile gila." gerutu Chachaa, moodnya langsung rusak karena makhluk menyebalkan ini.
“Keluar lu dari sini, gue sibuk."
Chachaa beranjak dari duduknya, dan berjalan hendak keluar dari ruangan.Tetapi Okta begitu saja menarik tangan Chachaa hingga tubuh Chacha tertarik dan berbalik menabrak d**a bidang Okta. Kini Chacha berada dalam pelukan Okta dengan jantungnya yang berdetak sangat kencang. Chacha yang sadar segera mendorong d**a Okta tetapi kedua tangan Okta menahannya, membuat Chacha menengadahkan kepalanya dan membuat keduanya saling bertatapan satu sama lain.
"Kamu semakin cantik kalau sedang marah-marah gini." Okta tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya membuat Chachaa melotot sempurna dan langsung menghempaskan tangan Okta.
Chachaa langsung beranjak hendak meninggalkan Okta tetapi sekali lagi Okta dengan sigap memegang tangannya. Membuat Chachaa berhenti dan berbalik ke arah Okta.
"Lepasin....!!!"
"Tidak mau."
"Gue akan teriak sekarang juga kalau lu nggak lepasin tangan kotor lu ini!" gertak Chachaa mencoba melepaskan genggaman tangan Okta yang sangat kuat itu.
"Baiklah, aku akan pergi. Tapi sebelum itu-"
Sebelah tangannya merogoh handphone yang berada di saku jas Dokter milik Chacha.
“Hey…! Handphone gue!”
Chachaa berusaha merebut kembali handphonenya dari tangan Okta tetapi Okta mengangkatnya ke udara membuat Chachaa harus meloncat untuk menggapainya.
"Balikin handphone gue,Crocodile gila!" ujar Chachaa mencoba meraihnya tetapi tetap saja tidak bisa.
Okta beranjak menjauh dengan tetap mengangkat handphone Chacha ke udara. Karena lelah, Chachaa berhenti merebut dan memilih melipat kedua tangannya di d**a dengan kesal. Okta melihat handphone Chacha yang ternyata tidak menggunakan sandi.
“Syukurlah tidak menggunakan sandi.” Dengan santai Okta mengetik sesuatu di handphone Chacha, tak lama terdengar dering handphone lain di sana. Okta merogoh saku celananya dan mengeluarkan handphone miliknya.Setelah menekan sesuatu di handphonenya, Okta memasukkan kembali handphone nya ke dalam saku celana. Dan berjalan mendekati Chacha yang masih berdiri dengan melipat kedua tangannya di d**a.
"Ini nomor gue, di save yah. Dan kalau gue telpon di angkat yah,Nela," ujar Okta menyerahkan handphone Chachaa ke tangannya. "Terima kasih untuk waktunya di pagi yang cerah ini."
Okta berjalan keluar ruangan dengan santai dan senyuman yang terukir indah di bibirnya.
"Dasar Crocodile gila!" gerutu Chachaa kesal dan menghapus nomor di layar handphone nya. "Astaga gue mimpi apa sih? Kenapa harus ketiban sial gini ketemu lagi sama tuh Crocodile gila!"
◄►
Hari ini adalah acara opening kantor barunya Okta. Beberapa tamu datang untuk melihat langsung kegiatan opening itu.
Setelah beberapa sambutan dan kata di sampaikan oleh Okta kepada para tamu penting yang datang termasuk Brotherhood ada di sana.
Hingga sampailah pada acara pemotongan atau menggunting ikatan pita di depan pintu kantor.
Di sana juga ada Oma nya yang sudah begitu tua dan tetap hadir untuk melihat kesuksesan yang di raih oleh cucu kesayangannya.
Okta berdiri di depan pita itu dan pikirannya melalang buana ke kejadian beberapa tahun lalu.
Flashback On
“Apa yang kamu harapkan dari anak tidak berguna itu sih, Adelina?”
“Bagaimanapun dia adalah putra bungsu kita, Mas.”
“Putraku hanya Rogert tak ada yang lain. Anak itu tidak berguna dan hanya membuat onar. Aku bahkan tidak yakin dia bisa sukses di masa depannya nanti. Aku yakin dia hanya akan mendatangkan masalah dan petaka buat keluarga kita.”
“Jangan terlalu memanjakannya, Adelina.”
Flashback Off
Okta mengepal kuat kedua tangannya dengan tatapan tajam. Rahangnya mengeras dan wajahnya berubah menjadi keras mengingat kejadian menyakitkan itu.
Daniel yang merupakan pengacara pribadinya berdiri di sekitar Okta. Ia dapat melihat wajah Okta yang mengeras dan sorot matanya yang tajam penuh dendam.
“Gator,” panggil Daniel seraya menyentuh pundak sahabat sekaligus sepupunya itu.
Okta menoleh ke arah Daniel.
“Sudah waktunya memotong pita,” ucap Daniel menyadarkan Okta dengan kondisi saat ini.
Okta hanya mengangguk sedikit, kemudian ia menoleh ke arah wanita yang berdiri di dekatnya dengan memegang nampan berisi gunting. Okta mengambi gunting itu dan mulai memotong pita. Terdengar suara tepuk tangan di belakangnya.
Para tamu di giring menuju aula kantor di lantai dua. Mereka di jamu dengan berbagai menu makanan mewah dan minuman yang juga tak kalah mewahnya.