Karena Rani sudah menyerahkan proyek pernikahan Gladis padaku, dengan terpaksa aku mulai mengurusnya hari ini. Enggan sebenarnya karena aku akan sering bertemu dengan Restu nantinya. Tapi apa boleh buat, profesional dalam bekerja itu sangat penting. Lagipula aku juga sudah berusaha melupakan apa yang pernah terjadi diantara aku dengan Restu. Mengingat Retsu, mengenang kembali apa yang pernah kulalui bersama Mas Reno, mantan suamiku. Andai Restu tidak menghancurkan semuanya, pasti saat ini aku dan Mas Reno sudah hidup berbahagia bersama anak-anak kami. Tapi, ya, sudahlah. Mungkin aku dan Mas Reno memang tidak ada jodoh. Apa kabar Mas Reno sekarang? Sejak perceraianku dengan Mas Reno tiga taun lalu, sama sekali aku tak pernah berhubungan lagi dengannya, juga tak pernah lagi bertemu dengan mantan suamiku itu. Acapkali aku pulang ke rumah Ayah dan Ibu, mereka juga enggan membicarakan masa laluku.
Aku berjanji pada mereka akan move on dan segera menata hidup baruku kembali. Tapi sepertinya memang Tuhan belum menemukan jodoh yang tepat untukku karena hingga detik ini aku belum pernah lagi menjalani hubungan dengan lelaki lain. Mungkin aku sendiri yang memilih menutup diri. Ada beberapa lelaki sebenarnya yang pernah mendekatiku. Tapi, aku yang selalu berusaha menjauh dari mereka. Mungkin aku masih trauma dengan masa lalu. Bisa jadi begitu, karena aku selalu merasa takut jika di dekat oleh lelaki. Memilih tetap sendiri di usia mendekati kepala tiga. Ah, kenapa aku jadi memikirkan tentang diriku sendiri.
Kulirik jam yang berada di atas meja kerjaku. Sudah pukul sebelas siang. Aku ada janji temu dengan PR sebuah hotel yang akan digunakan sebagai acara resepsi Gladis dan Restu. Sebaiknya aku berangkat sekarang agar tidak terkena macet di jalan.
Setelah mengambil tas di dalam laci, kumatikan komputer dan bergegas beranjak berdiri. Menghampiri Tari yang sedang menghitung sisa sovenir acara pernikahan sabtu malam kemarin.
"Tari!" Aku memanggilnya dan wanita itu mendongak menatapku. Senyum merekah di sudut bibirnya.
"Kak Zima mau pergi?" tanyanya dan aku mengangguk.
"Iya, aku mau ke hotel. Minta tolong jika nanti Rani mencariku, katakan padanya jika aku sedang mengusahakan gedung untuk pernikahan Restu dan Gladis."
"Baik,Kak."
"Ya, sudah. Aku pergi dulu, ya," pamitku.
"Iya, kak hati - hati di jalan."
Meninggalkan Tari dan keluar dari kantor menghampiri motor matic milikku yang terparkir di depan kantor. Letak kantor WO milik Rani ini adalah di sebuah ruko yang di sekelilingnya terdapat beberapa pertokoan dan sejenisnya.
Kulajukan motorku membelah padatnya jalanan Ibu Kota. Cuaca yang sangat panas seperti ini menjadikanku berpikir, ada baiknya aku memiliki mobil. Sejak dulu Ayah selalu menawariku ingin memberikan aku sebuah mobil. Tapi selalu aku tolak. Mengendarai motor dari hasil kerja kerasku sendiri sudah membuatku cukup puas.
Belum juga sampai di hotel yang akan aku tuju, melirik pada spido meter dan aku membelalakkan mataku mengetahui bensin yang ternyata tinggal sedikit. Mencari pom bensin terdekat hingga aku membelokkan motorku untuk mengisi bahan bakarnya.
Menghela napas sejenak, mendongak ke atas dan berpikir betapa terik siang ini. Menjadikanku malas sekali melanjutkan perjalanan. Tapi aku sudah terlanjur ada janji dan ini kurang satu jam lagi aku harus bertemu dengan pihak hotel yang kemarin aku hubungi.
Duh, di saat yang tepat karena rasa buang air kecil mulai terasa. Beruntungnya aku masih berada di kawasan pom bensin, hingga aku memutuskan mampir sebentar ke dalam toilet. Memarkir kendaraan di depan toilet. Buru-buru aku memasuki salah satu biliknya.
Mengosongkan kandung kemihku. Begitu selesai aku keluar dengan merapikan bajuku yang berantakan terkena jaket yang tadi aku pakai.
"Auw ... Aduh."
Ini salahku yang tak berhati-hati. Berjalan menunduk membenarkan jaket yang akan aku pakai kembali. Dahiku telah membentur sesuatu yang keras hingga terasa sedikit nyeri. Begitu aku mendongak, tatapan mata kami beradu.
Lelaki berkemeja abu-abu itu menatapku terkejut.
"Zi...!" lirihnya.
Aku tercengang dibuatnya. Untuk apa juga aku harus bertemu dia di tempat ini.
"Kau kenapa bisa ada di sini?" tanyanya.
"Habis isi bensin," jawbaku singkat.
"Oh ... Kau mau ke mana sekarang?" tanyanya lagi.
Aku kesal dan malas untuk menjawabnya.
"Aku duluan," pamitku tak berniat menjawab pertanyaannya.
Tapi lagi-lagi lekai itu membuatku terkejut dengan perlakuannya yang justru menarik lenganku, membuatku menoleh ke belakang menatapnya. Mataku mendelik protes dengan apa yang ia perbuat.
"Tunggu, Zi! Bisakah kita berbicara sebentar saja?"
Apa dia bilang? Ingin berbicara denganku? Bicara apalagi coba. Kurasa aku dan dia tidak ada urusan apa-apa lagi kecuali rencana pernikahannya dengan Gladis.
"Maaf, karena aku harus segera pergi. Aku ada janji. Permisi."
Kusentak tangannya. Tergesa menuju motor yang terparkir tak jauh dariku. Tak ingin berniat menoleh lagi ke belakang, kujalankan motorku cepat meninggalkan Restu. Ya, lelaki yang aku temui barusan adalah Restu. Untuk apa harus bertemu kembali dengan lelaki itu.
****
Kesepakatan yang terjalin dengan pihak hotel tak memerlukan koordinasi yang alot. Karena memang hotel ini sudah menjadi langganan WO dan sering digunakan sebagai tempat acara dilangsungkan acara resepsi. Mengenai harga kurasa juga masuk budget.
Lega sudah kurasakan. Aku keluar lobi hotel dan menuju parkiran.
"Zi ... tunggu!" panggil seseorang membuatku diam di tempat. Tubuhku menegang. Lagi - lagi suara berat itu sudah mulai aku kenal.
Benar saja, kini lelaki itu tepat berdiri di hadapanku. Ia menyugar rambutnya. Aku hanya memutar bola mata malas melihat tingkahnya. Bagaimana mungkin lelaki itu bisa berada di sini.
"Kenapa kau tak mengatakan padaku tadi jika kau sedang mengurus acara pernikahanku dengan Gladis?"
Pertanyaan yang hanya membuatku mengerutkan kening tak mengerti. Sejak kapan aku harus laporan padanya dengan semua aktifitas yang aku jalani.
"Kenapa kau bisa ada di sini, Restu?" tanyaku sinis. Tak menganggap jika lelaki itu adalah klienku. Biarkan saja kau tidak sopan memanggilnya dengan sebutan nama tanpa embel- embel Pak dan sejenisnya.
"Tadi aku menelepon kantormu. Dan diinfokan jika kau sedang berada di hotel ini untuk mengurusi rencana pernikahanku dengan Gladis. Zi ... kenapa bisa kau sudah mulai mengatur semuanya. Bukankah aku dan Gladis belum membuat kesepakatan dengan pihak WO?"
Kini aku semakin tak mengerti. Apa maksud Restu.
"Maksudnya? "
"Ya, bukankah kemarin aku dan Gladis belum sepakat kapan kita akan melangsungkan acara pernikahannya?"
"Bisakah jika kau tidak mengajakku bercanda, Restu?"
"Bercanda bagaimana?"
"Beberapa hari lalu Bu Gladis mendatangi kantor dan sudah menentukan tanggal pernikahan kalian," jelasku.
"Apa?" Restu terkejut. Mengusap wajahnya lalu menatapku.
"Sebentar. Sebenarnya apa yang terjadi? Jangan membuatku bingung seperti ini, Restu?" kini aku ikut-ikutan bingung.
"Sepertinya kita memang harus berbicara. Ayo, ikut denganku!"
Tiba-tiba Restu menarik lenganku membuatku meronta karena paksaannya. Restu tak mempedulikannya dan tetap menarikku membuat langkah kakiku terseok mengikutinya.