8. Pembicaraan

1060 Kata
Aku tak mengerti dengan apa yang kini Restu lakukan. Membawaku menuju mobilnya. Membuka pintu mobil dan mendorongku agar masuk ke dalamnya. Aku tak mau tapi tenagaku kalah kuat dari Restu. "Restu! Kau ini apa-apaan. Jangan memaksaku seperti ini!" gertakku yang tak di hiraukan olehnya. Bahkan kini begitu aku sudah berhasil masuk dan duduk di dalam mobilnya, lelaki itu berlari kecil memutar mobilnya, bergegas masuk dan duduk di balik kemudi. "Restu! Motorku ada di sini. Kau jangan macam-macam padaku." "Zi! Kau tenanglah. Aku tak akan berbuat jahat padamu. Aku hanya ingin bicara denganmu. Itu saja. Tolong ikut denganku sebentar saja. Mengenai motor, nanti ada orangku yang akan mengantar motor ke kantormu." Aku mendengus keras membuat Restu melirikku sekilas. Lelaki itu menjalankan mobilnya meninggalkan area hotel. Aku diam tak berniat membahas apapun juga pada lelaki itu. Hal seperti inilah yang aku takutkan akhir-akhir ini, di mana Restu yang akan berbuat sesuka hati kepadaku. Pikiranku ini selalu nengative jika berhubungan dengan Restu. Mobil berbelok di salah satu coffe shop. Entah mengapa aku merasa lega mengetahui Restu membawaku ke tempat itu seperti ini. Setidaknya Restu tak akan berbuat hal tidak baik padaku. Aku trauma dengan masa laluku yang disebabkan olehnya. Beruntung aku masih bisa bersikap baik pada lelaki di sampingku ini. Jika aku tak bisa menguasai diri mungkin saja di pertemuan pertamaku kembali dengan Restu, aku akan histeris. Melupakan masa lalu kelam itu tidak mudah. Bahkan untuk bisa kembali menata hati pasca di sakiti membutuhkan waktu yang tidak bisa dibilang singkat. Hampir satu tahun lamanya aku mengembalikan diriku menjadi seorang Azima Azarra seperti dulu lagi. Setelah Reno dan Restu menghancurkan masa depan dan hidupku. Restu yang tega merenggut dan mengoyak harga diriku. Sementara Reno, lelaki yang aku harap bisa menenangkan diriku, nyatanya memilih pergi meninggalkanku. Mencampakkanku dan meninggalkan status janda yang harus melekat pada diriku. Aku terkesiap menolehkan kepala pada Restu yang duduk di sebelahku. "Kita sudah sampai. Ayo Turun!" Ternyata lelaki itu sejak tadi sedang memperhatikanku dan memintaku untuk turun. Terlau banyak melamun membuatku seperti orang bodoh yang hanya melihatnya dalam diam. Kulepas seat belt yang melingkari tubuhku. Lalu membuka pintu mobil dan turun dari dalamnya. Kuikuti langkah kaki Restu memasuki coffe shop. Saat Restu sudah menuju tempat kosong, lelaki itu menarik kursi dan mempersilahkan aku untuk duduk. "Terima kasih," ucapku lalu menjatuhkan diri di atas kursi tersebut. Setelahnya Restu ikut duduk di hadapanku. Seorang waitress datang dan mencatat pesanan kami. Sambil menunggu waitress tersebut kembali dan membawakan apa yang tadi kami pesan, kuedarkan pandangan menatap ke sekeliling coffe shop yang tidak terlalu ramai. Terkesan lebih pribadi jika digunakan sebagai tempat meeting atau tempat untuk membicarakan hal penting. Baru satu kali ini aku mengunjungi tempat ini. Dan mungkin saja tempat ini bisa kujadikan rekomendasi di saat nantinya aku ingin mengadakan janji temu dengan klien. "Zi...." lelaki itu memanggil namaku lirih. Kuputar kepala hingga menatapnya. "Apa kabarmu sekarang?" tanyanya padaku. Aku berdecak sebal dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Restu. Terlalu berbasa basi sekali. Mungkin karena dia mengetahui jika aku enggan untuk menjawab pertanyaanya itu, Restu kembali melanjutkan kalimatnya. "Zi ... Aku benar-benar minta maaf atas apa yang pernah terjadi beberapa tahun silam. Tak seharusnya aku melibatkanmu dengan masalahku dan Reno." Aku tak sanggup mendengar Restu kembali menguak sisi kelam hidupku. "Restu ... tidak perlu kau membahas hal itu lagi. Aku sudah melupakan dan berusaha tak mengingatnya. Apalagi hal itu terlalu menyakitkan jika diingat. Kau paham kan apa maksudku?" pintaku. Sejujurnya, aku ingin segera pergi saja dari hadapannya. Tapi ternyata pelayan datang memnawakan pesanan kami. Satu cup Hot Cappucino tersaji di hadapanku. Serta sepotong cheesecake dan seporsi besar french fries. "Minumlah dulu. Maaf aku telah membuatmu harus mengingat luka lama yang kutorehkan." Daripada meladeni Restu lebih baik aku menikmati kopiku. Aroma kopi yang menusuk indera penciumanku lebih menarik perhatian daripada harus meladeni ocehan Restu. Kusesap kopi favoritku yang terasa hangat di tenggorokan. Luar biasa nikmat rasanya. Secangkir kopi biasanya mampu mengembalikan moodku yang memburuk. Dan kopi juga yang biasanya membuat suasana hatiku kembali membaik. "Kau tahu, Zi!" "Tidak!" Aku segera menyela apa yang akan Restu ucapkan. Lelaki itu bukannya tersinggung justru kini terkekeh pelan. "Jelas aaja kau tidak tahu karena aku belum memberitahumu. Tapi yang jelas dan harus kau tahu, aku benar-benar merasa senang dan bahagia sekaligus beruntung bisa menemukan U di kota ini." Apalagi bualan yang akan Restu sampaikan. Lebih baik aku menikmati chessecake yang sudah melambai-lambai ingin dinikmati. Kupotong dengan sendok kecil dan memasukkan satu potongan kedalam mulutku. Memejamkan mata menikmati cake yang kini terasa lumer di dalam rongga mulutku. Tawa Restu yang akhirnya mebuatku membuka mata. Mendelik menatap yang sedang memperhatikan tingkahku. Biarkan saja aku menjadi bahan tertawaan dia. Daripada aku harus mendengarkan ocehan tidak jelas dari mulut Restu lebih baik aku menikmati makanan kesukaanku. "Sudah berapa lama kau tinggal di kota ini?" tanyanya. Bukannya menikmati kopinya, kini Restu justru bertopang dagu dengan tangan yang berada di atas meja menjadi tumpuannya. "Sejak aku kuliah beberapa tahu silam," jawabku jujur. "Oh, ya?" Restu tampak tak percaya. "Setelah lulus kuliah aku kembali pulang ke rumah kedua orangtuaku." jelasku kemudian. Restu seolah paham dengan apa maksudku. Tapi lagi-lagi dia bertanya. "Lalu, kenapa kau kembali ke kota ini lagi jika kau sudah memutuskan untuk kembali pulang ke kampung halaman." Aku terdiam sejenak sebelum menjawab keingin tahuan Restu. "Dua tahun lalu aku kembali ke kota ini, berharap aku bisa menata hidup baruku kembali." Aku menunduk menyesap kembali kopiku. Tak mau melihat reaksi yang Restu tunjukkan padaku. Aku takut perasaan sakit hati akan muncul kembali dengan melihat Restu dan membayangkan tentang masa lalu kami. "Zi, aku minta maaf. Bahkan sebanyak apapun kata maaf tak akan mampu menebus semua kesalahanku padamu. Jujur, selama tiga tahun ini aku kerap mencari keberadaanku. Dulu ... saat kau menolak aku nikahi, aku masih berharap bisa memperbaiki diri. Sempat suatu ketika aku bertemu dengan Reno, dan aku menanyakan tentang dirimu. Tapi Reno hanya menjawab jika ia tak lagi pernah bertemu denganmu. Kau tak lagi tinggal di rumah kedua orang tuamu. Mengetahui hal itu, aku sempat mencarimu. Menanyakan kabar dirimu dari beberapa orang yang mungkin kau kenal, salah satunya adalah orang tua Reno. Tapi mereka juga tak ada yang mengetahui kabar tentang dirimu. Dan kini, seolah Tuhan mengabulkan semua doa dan keinginanku. Karena ternyata justru kita dipertemukan secara tak sengaja seperti ini. Meski tidak ada kata terlambat untuk aku meminta maaf, yang jelas aku menyesali semua perbuatanku dulu. Maafkan aku Zi."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN