Keesokan harinya, wanita yang telah berhasil membuatku dan Rani kebingungan, akhirnya datang juga ke kantor. Bahkan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Beruntung aku belum berangkat, karena masih ada beberapa laporan yang harus aku kerjakan sebelum meninggalkan kantor untuk bertemu dengan pihak hotel di mana aku harus memastikan semua dekorasi resepsi berjalan lancar.
"Kak Zima! Itu Bu Gladisnya sudah menunggu di depan." Tari yang kini memasuki ruang kerjaku menginfokan.
"Ah, iya. Aku akan segera menemuinya. Rani belum ke kantor, ya?" tanyaku pada Tari.
"Belum," jawab Tari dengan kepala menggeleng.
Rani memang sejak pagi tidak datang ke kantor. Wanita yang merupakan owner WO ini berpamitan padaku melalui telepon jika sedang bertemu dengan klien di luar. Baiklah, aku akan menghaanndel semua mengenai Gladis. Semoga saja wanita itu tidak banyak maunya sehingga aku tak kewalahan menghadapinya.
Aku meninggalkan ruanganku dan berniat menemui Gladis. Jantung ini tiba-tiba bertalu-talu memikirkan andai Restu ikut serta dengan perempuan itu. Tapi, pada akhirnya aku lega karena yang kini kulihat Gladis duduk seorang diri di atas sofa.
"Selamat siang, Bu Gladis!" sapaku mendekatinya lalu Gladis beranjak berdiri. Aku menjabat tangannya.
"Mari kita ke ruang meeting saja," ajakku dan Gladis menurut.
Kami berdua memasuki ruang meeting dan aku mempersilahkannya untuk duduk.
"Silahkan duduk, Bu Gladis. Ah ya, apakah anda datang seorang diri?" tanyaku berbasa-basi meski sebenarnya hati ini penasaran dan ingin tahu kenapa wanita ini datang seorang diri. Bukankah seharusnya mereka datang berdua? Ah, aku harus berpikir positif. Mungkin saja Restu sedang sibuk dengan pekerjaan sehingga tidak bisa menemani Gladis.
"Iya, saya datang sendiri. Restu sedang sibuk," jawabnya dan aku menanggapinya dengan senyuman. Tak lagi mau membahas tentang Restu.
"Baiklah, Bu Gladis. Saya juga mohon maaf, karena Bu Rani juga tidak berada di kantor hari ini. Jadi, tidak masalah bukan jika saya yang akan menghandel sendiri?" tanyaku dijawab anggukan kepala oleh wanita yang duduk di hadapanku ini.
"Saya tidak masalah, Zima. Yang pasti, saya hanya ingin pernikahanku dengan Restu bisa segera terlaksana. Mengenai kisaran biaya, kemarin saya sudah mengatakan pada Bu Rani bahwa saya setuju saya dengan budgeting yang sudah tertulis di dalam proposal."
"Baiklah jika demikian, Bu Gladis. Tapi, bolehkah saya bertanya. Apakah benar jika pernikahan anda akan dilangsungkan tiga bulan lagi?" tanyaku ingin memastikan dengan informasi yang kudapat dari Rani.
"Ya, itu benar. Saya memang menginginkan pernikahan itu dipercepat. Oleh sebab itulah saya setuju saja pada apa yang telah kalian rencanakan. Yang saya inginkan hanya satu. Saya dan Restu bisa menikah secepatnya."
Aku tersenyum. Sebenarnya sangat sulit mewujudkan apa yang Gladis minta mengingat proposal yang aku ajukan tempo hari seharusnya membutuhkan waktu minimal enam bulan untuk bisa menyelesaikan semuanya. Dan di proposal juga sudah dijelaskan keterangan tersebut.
"Bu Gladis! Sebelumnya saya minta maaf. Karena menurut saya informasi mengenai tanggal pernikahan Bu Gladis dengan Pak Restu baru diinfokan kepada kami. Apalagi waktunya secepat itu. Kami hanya memiliki waktu kurang dari tiga bulan untuk dapat menyiapkan segalanya. Yang saya takutkan adalah di mana kami tidak bisa bekerja dengan maksimal mengingat sedikitnya waktu yang Bu Gladis berikan. Di dalam proposal sudah dijelaskan jika setidaknya kami membutuhkan waktu minimal enam bulan untuk bisa mewujudkan sebuah pernikahan impian."
"Zima, tolong dengarkan saya. Saya tahu jika di proposal yang kalian tawarkan itu pasti memberikan hasil yang sempurna. Tapi untuk saat ini saya tidak membutuhkan itu semua."
"Maksud, Bu Gladis?"
"Saya memang mempunyai pernikahan impian yang seperti apa. Tapi saya juga tahu jika di waktu yang secepat itu sangat mustahil untuk mewujudkan semuanya. Jadi kedatangan saya ke sini, selain untuk menekankan kembali bahwa saya tidak memerlukan pernikahan yang megah dan mewah. Jika hanya pernikahan di gedung biasa saja atau di ballroom sebuah hotel juga tidak masalah. Yang saya butuhkan hanyalah kata sah. Mengenai resepsi megah ... itu tak berarti buat saya. Jadi, buat saja semua yang sesimple mungkin. Yang jelas, saya memberikan waktu tiga bulan dari sekarang. Tanggal pernikahan yang saya inginkan sudah saya informasikan pada Bu Rani melalui pesan. Tolong nanti Zima langsung memastikan saja pada Bu Rani. Bagaimana? Kau sudah jelas, kan, Zima? "
Ya, meski agak kebingungan tapi aku cukup jelas dengan apa yang dimaksudkan oleh Gladis. Kepalaku mengangguk.
"Zima ... Aku percayakan semua pada WO ini. Tolong berikan yang terbaik untuk pernikahanku dengan Restu."
"Kami akan mengusahakannya, Bu Gladis."
"Baiklah, terima kasih banyak, Zima. Jika seperti itu aku pulang dulu. Apabila ada hal yang belum dipahami, telepon saja saya."
"Baiklah, Bu Gladis. Kami pasti akan mengusahakan yang sebaik mungkin untuk semua klien kami."
Gladis beranjak berdiri, lalu berpamitan padaku. Aku mengantarkannya sampai pintu keluar dan melambaikan tangan sebagai salam perpisahan.
Setelah mobil perempuan itu meninggalkan area kantor, aku kembali masuk ke dalam. Mendudukkan p****t di atas sofa dengan tangan memijit pelipis pelan. Klien yang aneh. Begitu pikirku dalam hati. Kupejamkan mataku, terlintas dalam benakku, jika ada hal yang tidak beres dengan pernikahan Restu dan Gladis. Tapi apa kira-kira. Aku mulai menebak-nebaknya.
Restu, kuucapkan namanya sekali lagi. Haruskah aku mengingatnya. Mengingat apa yang pernah lelaki itu perbuat padaku. Meskipun kala itu, aku tidak tahu pasti apa yang sudah dilakukan Restu padaku. Karena aku sendiri dalam kondisi tidak sadarkan diri saat Restu melakukan semua itu padaku.
Tapi yang jelas, aku bisa merasakan dampak dari perbuatannya kala itu. Kevirginanku telah di renggutnya dengan tidak tahu diri. Selain itu, karena kejadian yang menimpaku, seminggu setelahnya Mas Reno memilih menceraikanku.
Menyandang status janda di usia muda dan di usia pernikahan baru satu minggu lamanya, adalah hal terberat yang pernah aku jalani kala itu. Dan semua permasalahan dalam hidupku berawal dari seorang lelaki yang beberapa tahun lalu sudah menghancurkanku. Kejadian tiga tahun lalu yang masih sangat membekas dalam ingatanku.
Restu Wibisono, lelaki laknat yang telah menghancurkan hidup dan masa depanku.
Tanka sadar tangan ini terkepal. Sebelum air mata kembali berjatuhan, aku segera membuka mata dan menegakkan punggungku. Kuhirup oksigen sebanyak-banyaknya dan berusaha menenangkan hatiku.
"Kak Zima!"
Panggilan serta sentuhan lembut Tari pada lenganku membuatku terkesiap lalu menoleh padanya. Tari sedang berdiri sedikit membungkukkan menelisik wajahku.
"Kak Zima kenapa? Sakit? Wajah Kak Zima pucat?"
Kugelengkan kepalaku. "Tidak perlu khawatir Tari. Aku baik baik saja," jawabku meminta padanya agar tidak terlalu khawatir padaku.
"Akhir-akhir ini aku sering menjumpai wajah Kakak yang pucat. Mungkin saja Kak Zima kecapean. Lebih baik Kak Zima banyak istirahat. Jangan sampai Kakak sakit. Kasihan Mbak Rani nanti tidak ada yang membantu."
"Kan masih ada kamu Tari yang bisa membantu Rani," Aku tertawa pelan.
"Aku tak sehebat Kak Zima yang bisa melakukan pekerjaan apa saja."
Aku hanya menggelengkan kepala mendengar penuturannya.