Mendengar pertanyaan Pelangi kali ini bingung harus menjawab bagaimana. Jika aku jujur, aku takut Pelangi akan kecewa padaku. Karena memang pada kenyataannya aku masih mencintai Bulan. Tapi jika aku tidak jujur, Pelangi mungkin akan memintaku menceraikan Bulan. Begini, bukannya aku tidak mau menceraikan Bulan, iya aku tau aku sudah berjanji pada Pelangi bahwa apapun permintaan Pelangi akan aku turuti termasuk untuk menceraikan Bulan, tapi setelah pertemuan dengan Bulan tadi, aku merasa belum waktunya untuk bercerai dengan Bulan. Tidak secepat itu. Aku merasa masih membutuhkannya, masih ingin bersamanya. Masih ingin memulai kehidupan yang baru lagi dengan mereka. Siapa yang tidak senang jika memiliki dua orang istri, cantik-cantik juga mereka semua.
"Kenapa diam?" Tanya Pelangi membuyarkan lamunanku.
"Aku .... "
"Cukup. Aku sudah tau jawabannya. Aku mengerti. Jika memang kamu masih mencintainya silahkan kamu lanjutkan pernikahan kalian."
"Sayang, bukan begitu. Aku ... "
"Hanya sampai anak ini lahir."
"Maksud kamu ?"
"Kamu punya waktu 9 bulan untuk membuktikan bahwa kamu bisa adil padaku dan Bulan. Namun jika kamu tidak bisa, setelah anak ini lahir ceraikan aku."
"Apa ?"
"Aku tidak ingin di madu. Aku cuma manusia biasa. Aku belum siap di madu. Luka itu masih cukup menganga di dalam hatiku, aku tidak bisa sakit hati lagi. Cukup 9 bulan. Tidak lebih."
"Sayang tapi kamu bilang kemarin ..."
"Itu kemarin mas, saat aku masih melihat keadaan Bulan yang masih terkena musibah, tapi sekarang sepertinya aku tidak bisa. Aku tidak sanggup membayangkan jika aku harus di madu. Belum lagi bagaimana nanti mental anak-anak jika mengetahui ibu mereka ada dua, aku bingung." Pelangi menangis.
"Sayang ...."
"Cilla dan anak ini harus ikut bersamaku. Kalian boleh menemuinya. Karena kamu ayah kandungnya. Tapi tidak untuk mengambil hak asuhnya. Dan jika memang kita sungguh berpisah kelak, aku tidak mau kamu ikut campur dalam urusan asmaraku seperti kemarin. Dan .. !"
"Cukup !" Aku membentak Pelangi.
Aku emosi mendengar celotehan Pelangi. Aku tau tentang kekawatiran dia. Tapi aku tak ingin jika Pelangi berfikir macam-macam. Karena sampai hari ini, detik ini juga aku sama sekali tidak berfikir untuk menceraikan Pelangi.
"Aku memang masih mencintai Bulan." Jawabku.
Pelangi terbelalak. Matanya berkaca-kaca. Tersirat kekecewaan yang luar biasa dari wajahnya.
"Tapi, aku juga mencintaimu. Beri aku waktu untuk mencobanya. Dan berhenti menyebut perceraian diantara kita. Aku ...... "
Drtttt...... Drtttttt ......... Drttttt
Ponselku berdering. Aku coba abai, tapi masih terus berbunyi. Kulihat di layar ponsel ada nomer tak di kenal masuk.
"Halo ... "
"Sayang ...... "
"Bulan ?" Kutarik tangan Pelangi, kuhalangi dia pergi dari hadapanku.
"Kenapa kamu meninggalkanku sendirian ?"
"Maaf, Pelangi juga membutuhkanku. Aku harus bersamanya." Jawabku. Sambil menarik Pelangi ke dalam pelukanku.
"Pelangi apa kabar ? Apa kamu sudah mengatakan padanya bahwa aku sudah keluar dari rumah sakit ?"
"Sudah."
"Lalu ? Apakah dia tidak ingin menemuiku ? Apakah Pelangi lupa bahwa dia masih memiliki madu ?"
"Bulan, maaf. Ini sudah malam. Tidurlah. Karena kami juga akan beristirahat."
"Aku ingin tidur bersamamu sayang. Aku merindukanmu. Tidak bisakah kamu bilang pada Pelangi untuk mengijinkanmu tidur bersamaku malam ini ? Dia sudah sering tidur bersamamu, sedangkan aku sudah 5 bulan jauh dari kamu."
"Aku akan mengunjungimu besok. Sekarang istirahatlah." Kututup telponnya .
"Sayang ..... " Ucapku pada Pelangi.
"Aku tidak akan menceraikanmu. Aku akan menjadi suami yang baik untukmu, dan ayah yang baik untuk anak-anak kita. Percayalah."
"Lalu Bulan ?"
"Beri aku waktu sebentar saja. Aku akan memberikan keputusan yang terbaik untuk kita semua."
Kucium bibir tipis Pelangi. Karena aku tau hanya itulah yang bikin dia tenang. Kulihat dia mulai tersenyum kembali. Setelahnya kuangkat dia ke tempat tidur.
"Tidurlah. Aku mandi dulu. Nanti aku susul ya."
"Sayang ...... " Pelangi menarik tanganku.
"Kenapa ?"
"Mmmmmmmmmm...... " Pelangi menunduk. Tiba-tiba dia menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya.
"Hei ... Kenapa ? Ada yang mau kamu bicarakan ?"
Pelangi menggeleng. Dia masih menunduk sambil menutup wajahnya. Tidak biasanya dia seperti ini.
"Kamu kenapa sih ? Kok aneh, sini-sini bilang." Aku duduk di tempat tidur dekat Pelangi.
"Malu .... "
"Kenapa ? Malu kenapa sih ?"
"Aku mau ........... "
"Iya ? Mau apa ?"
"Mau ....... "
"Apa sih ? Ngomong dong, aku kan ga ngerti."
"Mau ........ I...... Ni ......" Kata Pelangi sambil menunjuk milikku.
Mataku terbelalak . Rupanya Pelangi ingin bercinta denganku. Sebelum ini Pelangi tidak pernah mengajakku bercinta. Selalu aku yang mulai duluan merayu dia, tapi kali ini dia dengan gamblangnya ingin bercinta denganku. Aku bahagia mendengarnya, walaupun aku bingung, khawatir tak memuaskannya nanti. Karena jujur tubuhku masih terlalu lelah setelah bertempur dengan Bulan selama beberapa ronde tadi. Tapi aku tak ingin mengecewakan Pelangi.
"Gitu aja malu." Aku menoel hidung Pelangi.
"Sama suami sendiri gak boleh malu. Pahala tau. Yaudah habis ini ya, nanti pelan-pelan aja, biar dedek gak sakit kaya kemarin lagi."
Pelangi mengangguk. Wajahnya memerah. Cantik .
"Aku mandi dulu, biar seger. Atau mau ikut mandi ?" Godaku.
"Gak mau ah."
"Belum pernah kan bercinta di kamar mandi ? Sensasinya HOT lho sayang."
"Gak mau ah. Sana mandi. Nanti aku gak jadi minta lho."
"Eh jangan, 'dia' udah siap ini. Tunggu ya ?"
Aku berjalan ke kamar mandi. Sejujurnya ini hanyalah akal-akalanku saja untuk melihat tubuhku. Barangkali ada bekas lipstik Bulan atau bekas kecup cinta Bulan. Bulan suka sekali membuat bekas merah di tubuhku setiap kali bercinta. Aku tidak mau Pelangi melihatnya. Bisa jadi perang dunia ketiga nanti. Setelah kirasa aman aku mengguyur tubuhku dan mempersiapkan diriku untuk bercinta dengan Pelangi. Tentu saja kali ini aku harus bermain dengan lembut agar Pelangi dan kandungannya aman.
****
"Mana Pelangi ? Kenapa kamu tak membawanya kesini ?" Tanya Bulan.
"Bulan, ada hal yang harus kita bicarakan."
"Tunggulah, aku merindukanmu. Aku ingin ..... " Bulan mencoba menggodaku. Tapi aku harus bisa menahan diriku. Ini tidak melulu tentang nafsu. Aku harus lebih tegas. Jika seperti ini terus, aku akan semakin lemah. Dan aku pasti akan kembali menyakiti mereka berdua.
"Bulan tidak !" Kataku tegas.
"Kenapa ? Apakah kamu .. ?"
"Ada hal yang lebih penting untuk kita bahas selain bercinta."
"Kenapa ? Bukannya dulu kamu selalu bersemangat jika aku mengajakmu bercinta? Apa sekarang mentang- mentang sudah ada Pelangi kamu tidak membutuhkan aku lagi ?"
"Tidak seperti itu ! Makanya kita harus segera membicarakan ini baik- baik."
"Oke. Apa yang kamu bicarakan ?"
"Mau sampai kapan kamu disini ?"
"Maksud kamu ?"
"Mau sampai kapan kamu di hotel ini ?"
"Kok kamu tanya sama aku ? Aku tu ngikut sama kamu, mau sampai kapan kamu naruh aku disini ? Udah kaya simpenan aja. Padaha aku masih istri sah kamu."
"Bereskan barangmu. Kuantar kamu pulang ke rumah orang tuamu."
"Kenapa kamu membawaku ke rumah orang tuaku ?"
"Mereka berhak tau jika kamu sudah sembuh. Mereka berhak tau jika kamu selama ini pura-pura gila. Mereka berhak tau bahwa kamu sudah keluar dari rumah sakit jiwa."
"Tidak sekarang. Aku tidak mau mereka kecewa."
"Lebih cepat lebih baik. Sebelum tiba-tiba mereka mengunjungimu ke rumah sakit jiwa dan kamu tidak ada."
"Apakah kamu tidak ingin mengajakku kembali ke Semarang ? Kerumah kita ? Kita mulai semuanya kembali. Seperti rencana kita dulu. Bawa aku bertemu dengan Pelangi. Kita bahas ini bersama-sama."
"Aku akan mempertemukan kalian. Tapi tidak untuk saat ini."
"Kenapa ? Apakah Pelangi tidak mau bertemu denganku ?"
"Bukan. Ikutilah rencanaku. Dan jangan bertindak seenakmu sendiri. Jika tidak mau, lebih baik kita bercerai."