"Penebus hutang?"
Kinar bertanya-tanya mendengar kata sapaan itu yang keluar dari mulut Zidan seakan-akan tidak ada kata sapaan yang lebih bagus dibandingkan apa yang dia sebut tadi. Melihat tatapan pria itu juga membuatnya agak ragu untuk mendekat sekedar bertanya. Kakinya seakan sedang di paku dan tidak bisa bergerak. Jangankan bergerak mendekati pria itu, turun dari ranjang pun rasanya dia ragu dan cukup takut.
"Apa maksudmu aku yang sebagai penebus hutang? Dan dimana aku sekarang, Zidan? Cepat jawab pertanyaanku atau aku bisa terus merasa ketakutan." Tanya Kinar, berusaha untuk tetap tenang meski pikirannya sudah terisi oleh begitu banyak kemungkinan.
Zidan tampak begitu angkuh, tatapannya yang tajam dan dingin seakan ingin mendominasi lingkup ruangan ini, termasuk di dalamnya adalah Kinar sendiri. Ia bangun dan seketika aura itu terpancar. Aura yang begitu berbeda dan sangat menunjukkan dirinya yang begitu emosional.
Ia memang Zidan, tapi dengan versi yang sedikit berbeda. Zidan yang berbeda. Apakah mungkin Diana mengenal kakaknya yang punya kepribadian ganda? Ataukah mungkin dia hanya mengenal sisi kakaknya dari pandangan baik saja?
Zidan bergerak mendekati Kinar, namun hal itu malah membuat nyali Kinar menciut. Ia ingin kabur dari ruangan ini, tapi ia tidak tahu akan berlari kemana. Di samping juga kakinya yang lemas dan sukar untuk bergerak. Ia seperti berada dalam labirin ketakutan antar dirinya dan kondisinya sekarang.
"Diana... Ada apa dengan kakakmu ini?" Tanya Kinar dalam hatinya.
"Kok aku takut dan gemetar ya melihatnya? Dia seperti bukan Zidan yang aku temui kemarin malam. Ada apa ini? Apa mungkin seseorang bisa berubah dalam satu malam saja?" Kinar bertanya-tanya dalam hatinya.
Spontan Kinar terkesiap ketika Zidan sudah tepat ada di dekatnya. Bukan hanya duduk di ranjang yang sama, melainkan wajah pria itu yang hanya berjarak beberapa senti dengannya. Sangat dekat, bahkan mungkin mereka bisa bertukar nafas.
Jantung seakan ingin dicabut dari tempatnya. Kinar semakin ketakutan, kalang kabut dengan reaksi dirinya atas Zidan. "Jangan mendekat. Aku takut." Kata Kinar sangat jujur. Tangannya bergetar dan dingin. Dalam benaknya saat ini, kosong. Dia tidak punya ide satupun.
"Ck! Gitu aja takut." Kata Zidan meremehkan.
Tangan pria itu mulai bertingkah. Awalnya mengusap halus dan hangat rambut Kinar, hingga membuat perempuan itu terlena. Pula dengan dirinya, yang sengaja mengendus-endus wajah Kinar seakan menjadi seorang vampir. Atau mungkin dia juga salah satu dari klan vampir.
Nafas Kinar semakin tercekat. Ia semakin tidak mengerti dengan apa yang dilakukan oleh Zidan. Hingga kemudian tanpa sadar ia keceplosan dan menyebut nama Diana sebagai peralihannya.
"Zidan, please jangan seperti ini atau nanti aku akan memberitahu Diana atas apa yang kamu laku--"
"Aaaaww!"
Iblis mana yang merasuki Zidan hingga tega hatinya untuk menjambak Kinar. Padahal sebelumnya, hatinya ingin selalu bertemu dengan Kinar, bahkan mungkin setiap saat. Tapi kini, hatinya sudah menjadi batu. Ia tega, membuang jauh perasaan ibanya. Dia berubah.
Apa mungkin karena ia cemburu atas pengakuan seorang pria yang menjadi pacar Kinar? Menggunakan alasan itu untuk menindas seorang perempuan hingga menjadi tak berdaya? Betapa kejamnya dia akan keegoisannya.
"Kamu berani membocorkan hal ini pada adikku, sedangkan kamu tidak punya hak untuk itu. Hey, sadar. Siapa kamu dalam hidup adikku?! Seharusnya kamu nyadar kalau kamu tidak punya apa-apa yang patut untuk dibanggakan. Keluarga? Kamu tidak punya. Pacar? Bahkan pria itu lebih buruk daripadaku. Kamu hanya dijanjikan janji palsu, yang sayangnya kamu malah percaya. Sangat lemah dan mudah membuatmu hancur. Lalu apa yang kamu banggakan selain tubuhmu yang menjadi penebus hutang kedua orangtuamu!"
Tubuh Kinar seakan membatu sekaligus bertanya-tanya tentang apa yang dikatakan Zidan padanya. Dia ingin memberontak, tapi tidak menemukan alasan yang pasti. Kalimat terakhir yang diteriakkan Zidan sangatlah menamparnya. Seakan dirinya tidak punya harga diri ataupun kebanggaan yang bisa disebutkan selain daripada tubuhnya. Itu bahkan pilihan terakhir yang tidak bisa dijadikan opsi dalam keadaan apapun.
"Siapa yang berhutang dan kenapa aku harus menebusnya?" Tanya Kinar. Suaranya sedikit bergetar.
"Apakah aku harus membahasnya?" Tanya Zidan.
Kinar mengangguk. Dia penasaran dan menuntut jawaban.
"Baiklah. Aku akan membahasnya. Kamu kuatkan saja hatimu menerima kenyataan ini. Ini bukan lah suatu kebohongan, melainkan kenyataan yang harus kamu terima. Mau tidak mau, kamu harus melakukannya."
Segera setelah ia selesai mengatakan itu, Zidan melepaskan jambakannya pada rambut Kinar. Itu mengendur, melemah, namun tidak semanis itu karena setelahnya ia harus memperbesar hati menerima kenyataan atas rahasia yang sudah lama disembunyikan.
"Persiapkan hati dan pendengaran mu, karena aku tidak mau mengulang penjelasan yang sama dan membuang-buang waktuku saja." Ujar Zidan, membersihkan tangannya setelah memegang rambut Kinar tadi, seakan-akan ia sangat jijik dengan hal itu.
"Menjijikkan!" Katanya singkat, namun menusuk.
***
"Tidak. Orangtuaku tidak mungkin akan memakai diriku sendiri sebagai jaminan mereka. Mereka kerja banting tulang, setiap hari untuk membiayai sekolahku. Kamu pasti salah orang. Perempuan yang bernama Kinar tidak hanya diriku saja, tapi mungkin ratusan hingga ribuan orang di luar sana." Bantah Kinar.
Malah hal itu membuat Zavon tertawa. Ia melempar laporan yang ia terima beberapa hari yang lalu. Laporan yang begitu lengkap, berserta foto kedua orangtua Kinar.
"Masih tidak mengakui orangtuamu?. Itu jelas-jelas mereka." Kata Zidan.
Kinar tetap tidak percaya. Dia tidak bisa percaya hanya dengan satu bukti foto saja. Ia mulai membaca laporan itu dengan teliti dan fokus. Dan ada satu hal yang membuatnya bungkam, hingga tidak bisa menolak hal itu.
Ialah tulisan tangan, hingga tanda tangan orangtuanya. SAH DAN BERMATERAI. Kinar sangat mengenal jejak coretan tangan kedua orangtuanya.
Membungkam dirinya sendiri dengan kenyataan yang pahit. Air matanya jatuh seketika menjatuhi kertas yang terisi tulisan. Kini, hitam di atas putih bercampur dengan lembabnya air mata, pula dengan ketidakmampuan hati untuk menerima kenyataan ini.
"Masih mau tidak percaya?" Tanya Zidan.
"Tulisan kedua orangtuamu lah yang membuktikannya!" Ujar Zidan memperjelas.
"T-tapi..."
"Tidak ada tapi-tapian, Kinar. Kamu sudah membaca, maka sudah seharusnya kamu percaya. Mau tidak mau kamu harus melunasi hutang kedua orangtuamu. Segera!"
Kinar sudah melepas laporan itu, menatap Zidan dengan penuh harap. "Apa yang harus aku lakukan untuk menebus hutang mereka?. Aku akan melakukan semuanya, kecual--"
"Budak." Zidan menyela ucapan Kinar.
"Jadilah budakku." Zidan memperjelasnya.
Kinar tidak menerima hal itu, sama sekali. Ia menggeleng tegas. "Selain itu, aku akan melalukannya. Aku tidak mau terjebak dalam satu hal yang tidak menguntungkan ku apalagi sampai menyakitiku, meski itu akibat ulah kedua orangtuaku sendiri."
Zavon menyeringai, "kalau begitu, kamu mau menikah denganku?"