"Diana!" Teriak Zidan ketika ia baru saja masuk ke apartemen adiknya. Masih pagi, tubuhnya masih lelah, dan bahkan pikirannya pun juga perlahan mengikuti tubuhnya. Tak ada balasan dari sang adik, Zidan memutuskan untuk berbaring di sofa yang ada di depan televisi yang masih menyala.
Ia memperhatikan layar televisi itu, menampilkan adegan pria yang sedang menyatakan cinta pada seorang perempuan yang ia suka. Namun naasnya, pria itu di tolak mentah-mentah. Hal itu Zidan mengingat dengan apa yang ia dengan semalam. Alasannya sampai melakukan cinta satu malam dengan perempuan yang tak dikenalnya itu juga karena ia yang mendengar seorang pria yang menyatakan cintanya pada Kinar.
Zidan juga teringat kalau beberapa waktu yang lalu sudah masuk email terkait Kinar. Ia belum punya waktu untuk membawanya, lebih didahulukan untuk mengatasi permasalahan yang diakibatkan oleh temannya sendiri. Begitu banyak hal yang ia harus lakukan.
"Lapar sekali," gumamnya. Ia beranjak ke dapur, mengambil dua potong roti dari kulkas dan memasukkannya ke mesin pemanggang roti. Sambil menunggu, ia membuat kopi untuk dirinya sendiri. Minum kopi di pagi hari, dengan roti bakar, apakah cocok? Entahlah, hanya Zidan yang melakukan hal itu.
Setelah semuanya beres, ia membawa secangkir kopi dan dua roti panggang tanpa selai ke depan televisi. Lanjut membaca informasi pribadi tentang perempuan yang membuatnya penasaran akhir-akhir ini.
"Kinar Hirasya,"
"23 tahun,"
"Riana? Danu?" Tanya Zidan kebingungan.
"Sebentar, sepertinya aku mengenal nama mereka. Tapi dimana?" Katanya lagi kebingungan.
Ia mulai serius membaca satu per satu riwayat hidup, hingga perjalanan hidup dari Kinar sampai saat ini. Ia juga mengetahui informasi mengenai orangtuanya yang meninggal bunuh diri, akan tetapi alasannya sangat tidak masuk akal. Apakah mungkin orangtua meninggalkan anaknya, seorang diri, bunuh diri bersama-sama hanya karena tidak memiliki uang untuk menyambung hidup, sedangkan mereka mampu membiayai Kinar kuliah sampai selesai. Atau memang informasi yang ia dapatkan ini manipulasi belaka?.
"Halo?"
"Informasi yang kamu berikan padaku beberapa hari yang lalu tentang Kinar, benar-benar valid atau bagaimana?. Soalnya disini alasan orangtuanya meninggal sangat tidak masuk akal. Mereka bunuh diri karena tidak ada uang, sedangkan mereka mampu menyekolahkan Kinar sampai lulus kuliah. Kamu jangan macam-macam ya, kasih informasi valid!" Kata Zidan, menelpon orang yang memberikannya informasi terkait Kinar.
"Nah, kemarin juga saya sempat kebingungan dengan hal itu. Tapi, tuan bisa melihat foto yang saya berikan di lampiran paling akhir."
"Oke." Tutup Zidan.
Ia menyesap kopinya, dan kembali lanjut membaca informasi tentang Kinar. Ketika di akhir laporan, ada beberapa foto yang dilampirkan. Foto anak kecil yang sudah pasti itu adalah foto Kinar, dan ada dua foto orang dewasa.
"Ini orang tua Kinar?" Tanya Zidan. Ia memperhatikan lekat foto mereka, mencoba mengingat-ingat wajah keduanya. Ia merasa begitu familiar dengan nama mereka, tapi ketika melihat foto, ia tak mengingat apapun.
"Kenapa aku merasa kalau orangtua Kinar ada hubungannya denganku, ya?"
Zidan mencoba untuk mengingat-ingat lagi. Terus saja menyebut nama Riana dan Danu yang notabennya adalah nama orangtua Kinar. Tak menemukan jawaban atau kode apapun, Zidan menelpon pria itu lagi.
"Copa periksa nama Riana dan Danu." Kata Zidan.
"Baik, tuan. Sebentar saja cek."
Sambil menunggu, Zidan membawa secangkir kopinya, membuka balkon kamar Diana. Ia menyesap kopinya sambil melihat-lihat pemandangan kota yang begitu padat.
"Sudah ketemu, tuan."
"Hmm,... Katakan," ujar Zidan.
"Jadi Riana dan Danu adalah pasangan suami-istri yang menghutang lima tahun lalu dengan menjamin... sebentar,"
"Berarti benar kalau mereka ada hubungannya denganku. Pertanyaannya, kenapa aku tidak mengenal wajah mereka, ya? Apa karena terlalu lama atau bagaimana?" Batin Zidan.
"Menjamin putrinya,"
Byur!
Sontak, Zidan langsung menyemburkan kopinya kala mendengar kalau Riana dan Danu menjamin putri mereka dalam hal ini. Itu berarti bahwa Kinar secara tak langsung juga ikut andil dalam hal ini.
"Akan tetapi di laporan yang saya dapatkan ini tidak pernah sekalipun keduanya membayar hutang yang seharusnya sudah dilunasi tiga tahun yang lalu. Namun, informasi terakhir kalau keduanya sudah meninggal dan belum ada tindak lanjut lagi dari Tuan." Kata pria itu melaporkan.
Tut...
"Apakah ini yang dinamakan takdir?"
"Secara tak langsung, kamu adalah milikku tanpa harus menyatakan kata cinta seperti yang dilakukan pria itu tadi malam." Gumamnya.
Kembali menyesap kopi, menyunggingkan senyumnya dengan perasaan senang yang tak menentu.
***
"Menurut kamu Kinar itu seperti apa, Diana?" Tanya Zidan. Ia menemani sang adik yang pernah puas belanja. Kemarin, rekeningnya terkuras, sekarang kembali terancam hal yang sama.
Diana memberikan cup es krimnya pada sang kakak, dan di terima dengan tangan terbuka oleh Zidan. Itu semua karena ia menantikan jawaban dari Diana terkait pandangannya tentang Kinar seperti apa.
Diana melihat sebuah tas selempang kecil berwarna peach dengan tali yang dipadukan dengan warna emas. Hanya punya satu space saja, namun bisa muat banyak. Diana memperhatikan tas itu dengan sangat teliti.
"Diana, kakak ada tanya sesuatu, lho." Ujar Zidan mengingatkan adiknya yang belum mau menjawabnya. Namun, baru saja ia mengatakan itu, jari telunjuk Diana sudah mengudara, memberikan kode kalau ia harus diam.
"Kak!" Panggil Diana pada salah satu karyawan di store tempatnya melihat-lihat tas sekarang. Karyawan yang dipanggil itu langsung menghampiri Diana.
"Iya, kak?" Tanyanya.
"Saya ambil ini, ini, ini dan ini." Tunjuk Diana pada beberapa tas dan sepatu yang menurutnya menarik. Ia tak melihat ekspresi Zidan yang sudah membulatkan mata, tak mengerti dengan cara adiknya berbelanja saat ini.
"Oh iya, sama gaun yang ada di depan. Aku pilih keduanya. Yang berwarna peach semua ya, kak." Ujar Diana.
Karyawan itu sontak kesenangan. Tentu saja, hari ini dagangannya laku keras. Dengan semangat mengambil barang-barang yang tadi sudah ditunjuk oleh Diana, membawanya ke meja kasir.
Dia berbalik, melihat ekspresi kakaknya. Hanya mengangkat bahu percuma, kemudian lanjut melihat-lihat.
"Diana, kamu gak pernah puas belanja, ya?" Tanya Zidan pada akhirnya. Dengan kesal ia duduk di sofa, tidak mengikuti kemanapun Diana beranjak lagi.
"Secara naluri, baik aku ataupun kakak pasti akan senang ketika melihat barang-barang yang bagus. Sama seperti kakak, kalau kakak melihat peluang pasar yang bagus, kakak pasti akan mengambil peran di perusahaan itu. Aku tidak salah, kan?" Ucapan Diana yang membuat Zidan tertohok telak. Ini adalah permasalahan dua sudut pandang yang berbeda. Perbedaan selera dan kesukaan yang berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat.
"Kamu pernah mikir bagaimana lelahnya kakak kerja gak sih?" Tanya Zidan.
Diana mengangguk, "ini aku lagi usaha buat menebus lelah kakak. Diana lagi usaha menebus dosa kenakalan Diana sebagai adik." Kata Diana.
Zidan angkat tangan, menyerah. Ia tak mau menyambung hal ini lagi. Sambil menunggu Diana selesai belanja, ia mencari informasi tempat Kinar bekerja. Dia mau memastikan semuanya, terlebih ia punya alasan yang sangat kuat untuk membuat perempuan itu tetap di sisinya. Ada kontrak yang orangtuanya sudah tandatangani, dan Kinar harus mengikutinya.
"Nih!"
Zidan menatap beberapa tas besar yang disodorkan Diana. Menggesernya tidak suka. "Itu belanjaan mu. Dan ini yang terakhir, Diana. Karena setelah ini kakak akan batasi uang jajan mu. Boros sekali!" Ketus Zidan. Ia beranjak ingin keluar lebih dulu, namun Diana memanggilnya.
"Kakak gak mau bawa ini?" Tanya Diana.
"Buat apa?"
Diana kembali membawa barang-barang itu menuju kakaknya. Memberikannya lagi. "Kakak tanya Diana tentang kak Kinar, kan?"
Zidan mengangguk.
"Gak perlu tanya-tanya kayak gitu. Kalau suka, bilang aja suka. Nih barang-barang cewek buat kak Kinar. Kakak kasih itu pasti kak Kinar senang banget. Dia suka warna peach,"
Diana melepas tas besar itu di depan Zidan. Meninggalkan kakaknya yang masih belum bisa melakukan apapun, hanya bisa memperhatikan barang-barang itu lekat. Senyumnya perlahan merekah.
Dengan cepat menyambar tas tersebut, membawanya dan menyusul sang adik yang sudah agak jauh darinya.
"Kakak transfer gantinya nanti." Kata Zidan, merangkul sang adik.
Tak suka dengan mood kakaknya yang mudah sekali berubah, Diana melepas tangan Zidan dari bahunya. "Kakak pikir Diana se-tega itu harus minta ganti-ganti?. Tapi kalau kakak memaksa, Diana ada satu permintaan."
"Apa itu?"
"Diana mau kak Kinar jadi istri kakak."
Langkah Zidan berhenti.
***
Agak tengah malam, Zidan baru berangkat menuju sebuah bar yang sudah yakini menjadi tempat bekerja Kinar. Ia sudah mempersiapkan diri sebelumnya. Memakai pakaian terbaik, bergaya anak muda, bahkan ia juga mengganti aroma parfumnya dengan aroma yang lebih muda. Ia membawa beberapa barang-barang yang sudah diberikan oleh Diana sebelumnya, meninggalkannya di bagasi mobil.
Baru saja dirinya masuk, ia sudah melihat keberadaan Kinar di depannya yang sedang mengobrol dengan beberapa pria di mejanya. Dari kejauhan, ia terlihat sangat ramah dengan senyum yang tak pernah lepas. Senyum dari Kinar, kini pindah ke Zidan. Pria itu tersenyum dari kejauhan, menatap Kinar.
"Aneh sekali diriku." batinnya.
"Minggir!"
Seorang pria mabuk menggeser tubuh Zidan. Zidan ingin marah, akan tetapi ia berada di tempat Kinar bekerja. Kalau dia melakukan keributan, nanti kesan Kinar padanya akan berubah menjadi buruk.
Zidan masuk ke dalam bar. Duduk di salah satu meja dan mengangkat tangannya. Salah satu pria datang menghampirinya, namun dia langsung to the point, menolak pelayanan dari pria itu.
"Saya ingin Kinar yang datang melayani saya," katanya.
"Baik. Sebentar saya panggilkan."
"Kinar!"
***
"Iya?" Ujar Kinar, datang menghampiri meja Zidan.
"Dia mau kamu yang melayaninya." Kata pria itu. Ia kemudian membisikkan sesuatu pada Kinar, entah itu apa.
"Oke, kak."
Kinar melakukan tos selebrasi dengan pria itu, kemudian tertawa lepas. Sedikit membuat Zidan cemburu dengan kedekatan keduanya.
"Kakaknya Diana, kan?" Tanya Kinar.
Zidan mengangguk, terlihat biasa-biasa saja. Namun dalam hati, ia ingin jungkir balik tidak karuan dengan apa yang ia rasakan saat ini.
"Mau pesan apa, kak?" Tanya Kinar.
"Panggil aku Zidan saja."
"Oh iya. Mau pesan apa Zidan?" Tanya Kinar lagi, mengulangi pertanyaannya. Sebisa mungkin memperlakukan pelanggan sebagaimana mereka nyaman.
"Apa aja yang ada?"
"Banyak. Kakak bisa memes--"
"Kalau begitu cukup dengan temani aku di sini. Aku akan membayar berapa pun yang bos kalian mau." Kata Zidan menyela, membuat Kinar seketika menatapnya kebingungan.
"Maksud kakak?"
"Kamu gak perlu memperkenalkan menu minuman yang ada di bar tempatmu bekerja karena sudah pasti aku sudah meminumnya. Dan ya, maksudku adalah kamu duduk temani aku aja. Tidak pernah pindah dari meja satu ke meja lainnya. Cukup di meja ku saja." Kata Zidan, memperjelas.
Kinar masih membatu. Kurang mengerti dengan apa yang dikatakan Zidan. Terlalu lama, malah Zidan sendiri yang menarik tangan Kinar hingga perempuan itu duduk di depannya. Namun, tak berselang lama, tangannya kembali ditarik dari arah yang berbeda.
"Dia berbahaya. Tinggalkan saja mejanya." Kata Pian, menarik Kinar untuk menjauhi meja Zidan.
Tentu saja Zidan juga tak terima dengan perlakuan Pian yang menuduhnya tanpa alasan. Alhasil, terjadilah adegan saling tarik menarik.
"Lepaskan. Kamu bisa membahayakannya," kata Pian.
"Apakah aku pernah menodongkannya senjata tajam? Memarahinya? Memakinya?. Tidak." Tolak Zidan.
"Tapi kamu mengajaknya duduk di meja yang sama. Itu salah keterlaluan untuk ukuran sebagai pelanggan bar." Kata Pian. Jelas sekali kalau ia tak suka dengan kehadiran Zidan.
"Kak, dia itu kakaknya teman aku. Dia gak berbahaya." Bisik Kinar, namun masih bisa di dengar oleh Zidan. Ia membela Zidan di depan Pian, membuat Zidan merasa menang di depan pria itu.
"Tapi, kamu pacar aku..."
Deg.
Dalam satu detik saja Zidan sudah dibuat kecewa lagi. Apakah benar mereka berpacaran?.