Tidak tenang dengan apa yang sudah dilaporkan adiknya, Zidan mencoba untuk menghubungi Kinar. Meskipun begitu, ia juga belum tahu apakah kini panggilannya diterima atau tidak, terlebih sebelumnya dia hanya sekedar menelpon tanpa berbicara.
"Maaf, Tuan. Setelah ini kita kemana? Ke hotel atau kemana?" Tanya sopir pribadi Zidan.
"Langsung ke hotel saja. Aku mau istirahat, besok pagi kita langsung pulang." Jawab Zidan begitu singkat.
Tut... Tut....
Zidan menunggu deringan itu berhenti dan tergantikan dengan suara Kinar. Cukup lama, bahkan sampai dua kali pengulangan, baru kemudian panggilannya diterima.
"Terimakasih ya, kak, sudah mau antar aku. Untuk bayaran yang tadi, seharusnya kakak kasih sesuai dari bos. Jangan di lebihkan."
"Tidak masalah. Buat kamu jajan. Sebenarnya ini sogokan dari kakak sih."
Baru saja telponnya diterima, Zidan sudah mendengar suara Kinar yang sedang berbicara dengan seorang pria. Suara pria itu persis seperti yang di dengar oleh Zidan beberapa waktu yang lalu.
Seketika ia teringat dengan laporan dari Diana, mengatakan kalau Kinar pulang dengan pria dalam keadaan waktu yang sudah tengah malam. Dan kini apa yang dia dengar?.
"Sogokan?"
Zidan mendengar Kinar tertawa. Tawa dari Kinar membuat Zidan benci. Ia cukup kecewa dengan perempuan ini.
"Iya. Kakak sogok kamu biar gak kerja di sana. Kamu cukup kerja sama kakak aja."
"Tapi, ... Memang sih bayarannya gede, tapi tetap saja. Kinar juga butuh selingan."
Sudah, cukup. Zidan sudah tidak bisa berpikir positif lagi dengan apa yang dikatakan Kinar. Bukannya menyapa si penelpon, ia malah masih sibuk dengan pria yang sedang bersamanya.
Tut....
Zidan memutuskan panggilan itu. "Huft.... Kamu tidak mungkin seperti yang aku pikirkan sekarang, kan? Kamu tidak mungkin se-murahan itu. Tapi, dibayar? Kerja malam?" Zidan berperang dengan pikirannya sendiri. Ia tidak bisa berpikir positif, di samping Kinar yang tak mau bicara dengannya.
"Aarrrgggghhhh!"
"Kenapa, tuan?" Tanya sopirnya. Ia memperhatikan bosnya yang tadi sempat mengamuk tiba-tiba tanpa adanya angin maupun hujan.
Zidan melempar ponselnya. "Putar balik. Kita ke bar saja." Perintahnya.
***
"Jangan terlalu banyak, tuan. Besok kita di penerbangan pertama." Bisik anak buah Zidan yang ikut masuk ke bar.
Tidak perduli, Zidan mengabaikannya dan terus meneguk setiap gelas yang disodorkan oleh bartender. "Lagi." Pintanya.
Drtt... Drtt....
Zidan tidak menyadari ponselnya bergetar, malah anak buahnya lebih menyadari hal itu. Tanpa ragu, dia memberitahu tuannya. "Tuan, ponsel Anda. Dari nona Diana." Lapornya.
Dengan malas Zidan mengambilnya, menggeser ikon hijau dan menekan tombol loud-speaker. "Kenapa? Besok kakak pulang." Ujarnya. Terlalu banyak minuman yang sudah masuk membuat Zidan sedikit mabuk. Bahkan sorot matanya sudah berubah.
"Kak, tadi kak Kinar nelpon Diana. Dia tanya kakak, soalnya Diana bilang kalau kak Zidan cari kak Kinar. Kan kakak belum bicara tuh, mau gak Diana sambungin sama kak Kinar?" Tawar Diana. Zidan hanya berdehem malas, sambil meneguk minuman yang disodorkan selanjutnya.
"Okedeh. Wait, kakak di bar?" Tanya Diana.
Zidan kembali berdehem.
"Cepat keluar dari sana! Kak Kinar gak suka sama orang yang nakal seperti itu!" Ujar Diana.
Zidan kembali teringat, "kenapa dia tidak suka dengan pria yang nakal sedangkan dia sendiri kerja seperti ini atau bahkan lebih buruk?" Tanya Zidan dalam hati. Dia bahkan tidak jadi menegak minumannya.
"Kak?"
"Iya!"
Zidan keluar dari bar dengan sempoyongan. Duduk di depan bar, menunggu adiknya menyambungkannya dengan Kinar. Cukup lama, akhirnya suara perempuan yang berhasil menggetarkan hati Zidan itu kembali terdengar.
"Halo, Diana? Ini kakak sudah bicara sama kakak kamu?" Tanya Kinar.
"Iya, kak. Kalian bicara saja. Diana mau lanjut nonton drakor." Ujar Diana, membuat Kinar tertawa.
Entah, di bawah kendali alkohol pun masih membuat Zidan berdebar setiap kali mendengar suara Kinar, bahkan disaat ia kecewa. Ia juga tersenyum seiring dengan tawa yang ia dengar. Baginya, itu mengalun sempurna di telinganya.
"Halo?"
Zidan menimbang-nimbang, belum menjawab Kinar. Dia diam, bingung mau menjawab apa.
"Halo?" Ini sudah kedua kalinya Kinar menyapa Zidan, dan masih belum dibalas oleh pria itu.
"Apa Diana membohongiku, ya?." Tanya Kinar.
"Aku matiin aja deh,"
"Eh, jangan!" Cegah Zidan langsung ketika mendengar Kinar ingin mematikan panggilan itu. Ini semua juga salahnya yang tak mau menjawab sapaan dari Kinar.
"Oh... Aku pikir Diana membohongiku. Oh iya, kenalin aku Kinar. Kita juga sempat bertemu di restauran. Terimakasih ya sudah menolongku waktu itu. Senang berkenalan denganmu,". Kinar memperkenalkan dirinya dengan sangat ramah.
"Iya. Senang berkenalan denganmu juga. Aku Zidan,"
Perasaan Zidan sedikit lebih baik dibandingkan sebelumnya. Ia ingat kata Diana, mengatakan kalau Kinar tak suka dengan pria yang nakal, yang suka keluar-masuk bar. Ia mensenyapkan pembicaraan itu, memerintah anak buahnya masuk ke mobil lebih dulu, sedangkan dia jalan kaki di tepi jalan sambil menempelkan ponsel itu di telinganya. Mencoba menghindar dari area bar.
"Kamu sudah berhenti kerja di restauran itu?" Tanya Zidan.
"Ah, iya. Aku berhenti dari sana. Lebih tepatnya di pecat." Jawab Kinar, sangat jujur. Ia tidak menyembunyikan apapun.
Jawaban Kinar membuat Zidan menaikkan alisnya kebingungan. "Kenapa? Kamu kok bisa dipecat?"
Sesekali Zidan menoleh ke belakang, tepat ke arah anak buahnya yang diam-diam mengikuti. Padahal ia sudah memerintahkan mereka untuk masuk ke mobil dan mengikutinya dari sana saja.
"Ini sudah beberapa kali terjadi dan aku sudah berusaha untuk tetap diam. Tapi kemarin aku sudah tidak bisa mentolerirnya lagi. Beberapa kali, pelanggan yang laki-laki sering meminta kontak ku, bahkan ada yang sampai mengajakku untuk melakukan hal yang tidak-tidak. Mereka bahkan juga sampai memberikan sebuah cek dengan nominal yang sangat banyak. Tapi, aku kerja bukan untuk itu. Aku masih punya harga diri. Manajerku tidak tahu hal itu. Dia mengira kalau selama ini aku tidak pernah melayani pelanggan seperti raja, tapi bukan seperti itu seharusnya. Ada beberapa pelanggan yang begitu emosional, melempar barang-barang milik restauran karena aku menolak mereka. Hal itu juga yang menjadi permasalahan manajerku. Daripada aku dilecehkan, aku lebih baik melawan. Lebih baik keluar saja." Jelas Kinar. Hal itu di dengarkan penuh oleh Zidan.
Zidan mengangguk setuju. "Lalu sekarang kamu kerja dimana?"
"Aku kerja di sebu--"
Tok... Tok... Tok....
"Sebentar. Ada tamu." Ucap Kinar.
"Oke."
Cukup lama, kembali terdengar suara. Namun, bukan dari Kinar, melainkan dari suara pria yang sempat di dengarnya. Ia hapal betul dengan suara itu.
"Kak Pian?"
"Kinar, ini mungkin akan membuatmu syok. Tapi, aku sudah tak bisa menyembunyikan perasaan ku selama kenal denganmu beberapa hari ini."
"Maksud kakak apa?"
"Maukah kamu jadi pacarku?"
"Hah?!"
Sayangnya, Zidan mendengar itu semua. Mengepalkan tangannya, bahkan ia sampai ingin melempar ponselnya, akan tetapi masih penasaran dengan jawaban dari Kinar.
"Please,"
Ucapan memohon dari pria itu membuat Zidan semakin benci. Ia sudah tidak tahan dengan semua ini, seakan sedang mengolok-oloknya. Dia mematikan ponselnya. Berbalik dengan cepat menuju bar tanpa menggubris teriakan anak buahnya.
"Kalian jangan ganggu aku!" Bentak Zidan kepada beberapa yang sudah berlari menghampirinya.
Sampai di dalam bar, Zidan mencari sasaran empuknya kali ini. Tatapannya tertuju pada salah seorang perempuan yang memakai baju seksi, yang juga sepertinya sedang mabuk. Langsung saja, tanpa menunggu banyak waktu, dia menghampiri perempuan itu.
"Bolehkah aku bergabung?" Tanya Zidan dengan bahasa Inggris.
Perempuan itu mendongak, menatapnya dengan senyuman memikat. Ia langsung menggeser, memberikan tempat untuk Zidan duduk. Mendapatkan persetujuan, Zavon merebut gelas yang dipegang oleh perempuan itu dan menegak ya. Ia duduk dengan kesal.
"Kenapa kamu kesal?" Tanya perempuan itu.
Zidan menyunggingkan senyumnya, memainkan gelas kaca itu. "Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku ditolak oleh perempuan yang bahkan baru saja aku temui. Aneh sekali." Jawab Zavon.
Perempuan menertawakan Zidan. "Kenalkan, aku Kyla."
Zidan menatap tangan perempuan yang bernama Kyla itu. "Zid--"
Ketika Zidan hendak menjabat balik, tangan Kyla malah bergerak ke arah lain. Membelai d**a Zidan yang hanya terbungkus kemeja tipis, wajahnya mendekati leher jenjang Zidan dan memainkannya di sana. Ia meniup leher Zidan, membisikkan sesuatu pada Zidan membuat nafsu pria itu seketika naik drastis.
"Aku tidak akan menolak mu,"bisiknya. Tangannya mulai menjalar ke bawah, tepat ke pertengahan yang sudah mengeras.
Tak tanggung-tanggung, Kyla mulai bermain dengan cara yang lain. Ia mempersingkat jarak wajahnya dengan Zidan. Menatap Zidan dengan sorot mata menggoda. "Can we?" Tanya Kyla.
Kini, giliran Zidan yang beraksi. Pancingan Kyla sukses membuatnya bernafsu, tanpa berpikir panjang ia langsung meraup wajah perempuan itu. Suara decapan mereka disembunyikan oleh suara musik dari bar. Menyentuh satu sama lain, bahkan lenguhan pun sukses lolos.
"Ayo kita cari tempat!" Ajak Zidan. Ia menarik Kyla keluar dari bar, mengabaikan teriakan dari anak buahnya dan menghentikan taksi yang melewati jalanan di depannya.
***
"Lupakan apa yang terjadi. Itu semua atas dasar kita sama-sama ingin melakukannya untuk melepaskan penat, tanpa ada komitmen." Ucap Zidan. Dia sibuk mengancingkan bajunya, membelakangi Kyla yang menatapnya dengan penuh senyuman.
Kyla mendekati Zidan, memeluknya dari belakang. Kembali memancing pria itu, namun tangannya langsung di cegah oleh Zidan.
"Aku harus pulang. Aku sudah memberikanmu bayaran di samping tempat tidurmu. Aku rasa itu sudah cukup untukmu." Ujar Zidan ketus. Ia langsung keluar dari kamar hotel, menghampiri anak buahnya yang sudah menunggu lama.
Sedangkan di dalam kamar, Kyla sudah merasa sangat menang. Ia menatap cek yang ditinggalkan Zidan dengan penuh senyuman.
Ia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. "Pa, aku mau pulang ke Jakarta. Secepatnya."
"Yes!. Oke, my queen!"
Kyla menutup ponselnya langsung. Membaringkan tubuhnya lagi, menahan senyumannya mengingat apa yang sudah ia lakukan dengan pria yang baru saja dikenalnya.
"Zidan Aaron," Gumamnya, menahan senyum.