Melihat lajuan mobil tuan Angga sudah tak terlihat lagi, aku berbalik dan masuk ke dalam rumah. Area rumah tampak sepi, tanpa ada jejak mereka masih bangun di malam hari.
"Ternyata aku tidak bekerja. Tapi badan lelah," gumamku.
Mengingat kembali cerita tentang kehidupan Tuan Angga, dia seorang pria sukses dengan status pengusaha ternyata memiliki kehidupan yang sangat rumit untuk di ketahui oleh orang seperti diriku yang tidak memahami cara pikir mereka. Padahal aku pikir jika orang-orang yang memiliki kekuasaan seperti dirinya bisa memilih sendiri kehidupannya, terutama seorang wanita yang akan menemani dirinya terutama dalam sebuah pernikahan dan juga menentukan wanita yang disukai.
Tapi ternyata kenyataan hidup dia lebih mengutamakan kepentingan keluarga di bandingkan dirinya sendiri, apalagi pernikahan di atas janji bisnis dan kerjasama.
"Lain dengan aku, yang menikah hanya karena formalitas," gumamku berjalan memasuki kamar mandi setelah memastikan pintu terkunci rapat termasuk jendela.
Tengah malam begini, aku mandi air yang sangat dingin. Tapi terasa segar saat air malam menerpa tubuhku yang kelelahan walau hanya mendengarkan cerita tuan Angga saja.
"Apa ada pekerjaan seperti ini? Hanya menemani dan mendengarkan saja dapat uang?" sedikit tidak percaya, tapi benar adanya.
Perasaan jauh lebih baik aku rasakan kali ini, setelah selesai membersihkan tubuh dan keluar dari kamar mandi bergegas mengenakan pakaian. Aku duduk di tepi tempat tidur sembari melihat amplop yang berisikan uang yang jauh lebih dari cukup untuk upahku dalam satu kali pertemuan.
Dering ponselku berbunyi saat aku menyadari keberadaan ponselku ternyata ada di ruang tengah membuat aku harus berjalan keluar dan meraih ponselku di atas meja TV. Aku tersenyum tipis saat Siska meneleponku di tengah malam setelah kembali dari sana.
"Kau sudah pulang?" tanya Siska.
"Ya, aku baru saja selesai mandi. Kemana saja kamu, kenapa aku tidak melihatmu lagi?" jawabku sembari bertanya.
"Aku tadi pergi dan aku pikir Tuan Angga cukup baik ketika dia mau mengantarmu pulang. Bagaimana, apakah kau mendapatkan bayarannya?" ucap Siska.
"Ya hanya untuk melakukan hal seperti itu saja, aku mendapatkan uang dengan cara mudah," anggukku.
"Hahaha, terus lakukanlah dan bersikap ramah kepada mereka yang mau ditemani oleh mu. Aku yakin bukan hanya sekedar pakaianmu, tapi semua kebutuhan makan terpenuhi oleh mereka," ucap Siska.
"Maksudmu mereka siapa?" tanyaku tidak memahami apa yang dikatakan oleh Siska.
"Besok kita bertemu lagi nanti aku perkenalkan kamu dengan klienku yang lainnya. Apakah kau tidak meninggalkan janji bertemu lagi dengan Tuan Angga?" tanya Siska.
"Sepertinya tidak ada," jawabku.
"Begitu, ya sudah. Kau istirahat lebih awal! Aku akan menelponmu lagi nanti. Jika tubuhmu sudah kembali segar lagi!" seru Siska.
Aku balas anggukan untuk ucapan dan pamit Siska, setelah dia menutup panggilan telepon dengan segala pertanyaan di benakku tidak memahami pekerjaan seperti apa yang begitu mudah dilakukan ketika Siska sendiri. Bahkan sudah tahu ubah yang kudapatkan pekerjaannya begitu mati hanya menemani orang-orang seperti Tuan Angga hanya sekedar untuk mendapatkan uang.
Kehidupan yang tidak mudah aku lalui ternyata begitu mudah ketika Siska hanya mengajakku berkenalan dengan orang-orang yang cukup murah hati untuk memberi bayaran untuk diriku. Meski tidak paham, tapi aku tetap mencoba untuk mengikuti kemana arah arus akan membawaku. Berjalan masuk ke dalam kamar lagi kusimpan ponselku hingga tertidur dengan rasa lelah dan penat di dalam benakku hingga melupakan tentang hal yang terjadi kepada diriku.
Tetap saja meski aku tertidur di malam hari, sekitar jam 7 pagi aku sudah terbangun berjalan di pagi hari memberi kesegaran untuk tubuh. Melihat orang-orang area sana juga sudah terbangun dengan aktivitas mereka masing-masing. Hingga aku menyiapkan sarapan pagi ku sendiri meski terkadang aku sedikit menguap ketika berbalas kan rasa kantuk yang masih kurasakan.
Aku berjanji bertemu Siska hari ini. Setelah rapi mencoba untuk memeriksa kembali pintu rumah bagian belakang. Aku kunci rapat saat aku membuka pintu, Yudi mengejutkan diriku dengan berdiri di depan pintu rumah dengan senyum bersemangat di wajahnya.
"Kau ini malah mengejutkanku. Biasanya juga menelponku kalau mau datang kesini. Ada apa?!" protes ku sembari bertanya dengan tatapan tajam.
"Rumahku tidak jauh disini. Apa yang harus aku menelpon terlebih dahulu. Kau mau kemana sudah rapi begini?" balas Yudi.
"Aku ada janji pertemuan dengan Siska. Tapi, dia belum membalas pesanku. Mungkin akan terlambat juga aku menemuinya," jelas ku.
"Jika sering terlambat untuk bertemu denganmu. Kenapa kau tidak membalasnya juga? Aku sering melakukannya," ucap Yudi.
"Aku tidak pernah terpikirkan hal seperti itu. Hanya saja akan jauh lebih baik jika segala urusan terselesaikan dengan cepat!"
"Yaa yaa ... kau memang selalu konsisten dalam segala hal. Bagaimana, apakah kau sudah menyiapkan sarapan, sepertinya aku sangat lapar sekali. Apakah ada makanan di rumahmu?" Yudi masuk ke dalam rumah begitu saja, dia memeriksa lemari pendingin dan terdiam mematung saat melihat lemari pendingin yang sama sekali tidak ada isinya.
"Kenapa? Kau mau protes pun alu tidak bisa berbuat apa-apa. Lagipula aku seorang diri. Tidak memerlukan lemari pendingin yang penuh dengan beberapa makanan," alih ku.
"Yaa, jam berapa kau bertemu dengan Siska?" tanya Yudi.
"Sekitar jam sepuluhan atau lebih," jawab ku.
"Baiklah, masih memiliki waktu. Bagaimana kita pergi ke super market dan membeli keperluan di rumahmu. Aku bisa-bisa mati jika di lemari pendingin tidak ada makanan." Belum sempat menjawab ajakan dari Yudi, dia sudah menarik tanganku dan mengunci rumah. Setelah itu dia sudah berada di atas motornya memberikan helm untuk ku. Ingin protes dan di menolak tapi tidak bisa kulakukan, aku selalu saja menuruti apa yang dia minta. Apalagi Yudi selama ini selalu membantuku, membantu dalam segala hal termasuk masalah internal.
Kali ini aku bersama seorang pria yamg selama ini selalu bersama denganku, membantuku pergi menaiki sebuah motor besar. Hingga memasuki parkiran di super market, hingga aku berjalan dengannya. Masuk dan mencari beberapa bahan makanan dan camilan untuk persediaan di rumah.
"Bukankah hari ini bukan hari libur? Bagaimana kau masih berada di sini?" tanya ku.
"Yaa, memang aku tidak pernah memiliki hari libur. Kau baru sadar? Tapi, aku memiliki banyak waktu untuk tidak pergi bekerja. Lagi pula, jika mereka memerlukanku akan menghubungiku dengan segera, bukan berarti aku harus selalu datang tepat waktu untuk pergi ke perusahaan," jelas Yudi.
Meski aku tidak memahami jawaban tentang pekerjaannya tapi, aku hanya bisa menjadi seorang pendengar jika dia membicarakan tentang pekerjaan. Memilih semua bahan untuk di rumah dan juga beberapa makanan.
Saat melihat waktu semakin berlalu, aku mencoba untuk mengajak Yudi bergegas, apalagi setelah Siska menelponku berulangkali menanyakan tentang keberadaanku kali ini.
"Setelah kau bekerja dengan Siska, sepertinya kau melupakan sesuatu untukku. Seharusnya kau membuatkan makanan untukku juga, agar aku datang nanti bisa menikmati makanan buatanmu." Ucapan Yudi membuatku tertegun, dia terlihat seperti seorang pria yang merajuk kepada kekasihnya hingga membuatku merasa canggung di sana di perhatikan oleh orang lain. Tanpa sadar aku memukul dahi Yudi dengan beraninya.
"Hey! Gadis kecil kau sudah berani memukulku," protes Yudi.
"Itulah jika seseorang lupa dengan usianya dan malah merajuk di hadapanku," balas ku.
"Siapa juga yang lupa dengan usiaku. Tapi, kau memang melakukannya. Tidak menyediakan makanan di rumah hingga membuatku kelaparan," protes Yudi.
Aku sudah tidak menghiraukan ocehan Yudi dan memilih untuk pergi dari super market setelah membeli semua bahan yang di inginkan oleh Yudi, begitupun dengan diriku. Seorang wanita jika sudah berhadapan dengan sebuah toko super market. Itu bukanlah hal yang sulit bagiku, jia hanya untuk membeli bahan makanan dan juga keperluan di rumah.
"Cha! Memangnya urusan perceraianmu sudah selesai?" Pertanyaan Yudi membuatku terkejut, apalagi aku ingat betul bahwa besok adalah hari di mana Miya mengajakku bertemu di pengadilan. Masih memiliki harapan jika ingin bertemu dengan Alex.
"Besok jam 9 pagi aku harus sudah berada di pengadilan," jawab ku.
"Baiklah, besok aku akan mengantarmu," ucap Yudi, dia melajukan kendaraan dengan kecepatan sedang masih terdengar ucapannya.
"Tidak perlu! Aku bisa pergi sendiri, kau jangan selalu menyusahkan diri hanya karena diriku." Merasa tidak nyaman ketika harus merepotkan orang lain terus-menerus yang begitu baik kepadaku.
"Kau ini ... aku sudah terbiasa di repotkan olehmu. Tenang saja, aku tidak akan mengeluh apalagi meminta sesuatu kepadamu!" Penegasan Yudi membuatku semakin canggung tentang ucapannya.
"Apakah dia mengharapkan sesuatu dariku? Hingga mengatakannya." Perasaan itu semakin membuatku bertanya-tanya selama ini. Tapi, tetap aku simpan tanpa untuk bertanya atau mencari tahu tentang kebaikan dirinya selama ini yang tidak bisa ku balas dengan apapun. Hanya bisa ku balas dengan ucapan terima kasih kepadanya.
Sebelum waktu pertemuan aku dengan Siska, dengan terpaksa aku membuat makanan terlebih dahulu untuk Yudi. Dia berada di rumah setelah aku menyiapkan makanan untuknya. Dia juga berniat untuk mengantarku bertemu dengan Siska. Tanpa protes apalagi bertanya tentang hal apa yang dibicarakan olehku dengan saudarinya itu.
"Kau tidak bertanyakah, apa yang kulakukan dengan Siska hari ini?" tanya ku.
"Untuk apa? Bukankah itu pekerjaan yang kau inginkan tau kau ingin masuk ke perusahaan lagi?" balas Yudi.
Aku terdiam saat mendengar penuturan dari jawaban Yudi, mungkin dia tau pekerjaan Siska begitupun dengan pekerjaanku. Aku juga tidak memahami dengan pekerjaan apa yang sedang ku jalani, tidak memahami banyak hal tapi mendapatkan bayaran cukup memuaskan ketika harus menemani seseorang begitu saja sepanjang hari. Tapi, memiliki upah yang cukup layak untuk seseorang seperti diriku.
Tapi saat mengingat Yudi sama sekali tidak berbicara dan bertanya tentang hal itu, perasaan lega mulai kurasakan hingga kami sampai di sebuah kafe di mana tempat aku berjanji bertemu dengan Siska.
Seorang wanita dengan pakaian feminimnya memperlihatkan pangakalan paha yang putih mulus ketika Siska berjalan tersenyum lebar menghampiri diriku. Selama ini aku tidak pernah terpikirkan untuk mengenakan pakaian feminim seperti itu di depan semua orang terutama di depan umum.
Mungkin aku pernah mengenakannya saat aku hanya berdua saja di dalam rumah bersama dengan Alex.
"Kalian ini datang lama sekali, membuatku menunggu saja," gerutu Siska.
"Maaf, kami harus jalan terlebih dahulu untuk mengenyangkan perut," balas ku.
"Bukankah kita akan bertemu di kafe. Makanan di sini jauh lebih enak dibandingkan harus merepotkan diri membuat makanan," protes Siska.
"Sudahlah, bukankah Icha aidah berada di sini! Seharusnya waktumu tidak banyak untuk melakukan pertemuan seperti ini. Seperti yang kau katakan kau sangat sibuk," balas Yudi.
"Hmm, saudaraku ini ternyata pandai juga protes dan membalas gerutuanku. Ada banyak hal yang aku tanyakan kepadamu dan aku akan memperkenalkan kamu dengan pemilik kafe, termasuk orang-orang yang ada di sini. Mulai sekarang kau bekerja di sini bersama denganku, lebih tepatnya hanya menjadi seorang pelayan. Tapi pelayang spesial," ucap Siska.
Berjalan mengikutinya begitupun dengan Yudi ikut serta masuk ke dalam kafe yang terlihat begitu banyak orang dan pengunjung mereka memperhatikan ke arahku atau memperhatikan Siska yang terlihat mencolok. Membuat perasaanku menjadi canggung ketika berjalan dari belakang Siska.
Semua sorot mata dan pandangan dari pria ataupun wanita yang ada di sana tampak terlihat begitu tajam ke arahku. Meski aku yakin mereka bukanlah memperhatikan diriku melainkan Siska.
"Bro! Barang baru?" Ucapan dan pertanyaan dari seorang pria kepada Siska, sama sekali tidak membuatku paham akan pertanyaannya.
Hingga masuk ke sebuah ruangan yang tidak ada banyak orang disana, hingga bertemu dengan seorang pria cukup muda duduk berdampingan dengan seorang wanita yang terlihat tampak cantik dan seksi, tersenyum menyambut kedatangan kami.
"Ternyata, Kau sangat pandai sekali mencari teman pekerjaan!" serunya.
"Ya, dia adalah Icha. Teman baruku dan juga dia sudah memiliki tuan sendiri yang bahkan sama sekali tidak mampu aku lakukan," ucap Siska.
"Baguslah, itu yang ku harapkan. Kau tinggal di sini dan bekerjalah. Seratus persen semua dana yang kau dapatkan menjadi milikmu. Aku hanya butuh orang-orang yang busa meramaikan tempatku dan juga lariskan semua jualanku di sini, seperti yang kalian ketahui," ucapnya.
Wanita bernama Starlep dengan usianya yang berkemungkinan berusia sama dengan ibuku. Dia tampak terlihat ramah dan menyenangkan ketika berbicara.
"Kau tenang saja, tapi asal kau tahu dia adalah orang baru yang bahkan tidak berpengalaman. Sebaiknya kau memakluminya," ucap Siska.
"Berpengalaman ataupun tidak, yang terpenting adalah dalam satu kali langkah dia sudah bisa mendapatkan seorang tuan yang busa dia kendalikan. Itu sudah jauh lebih baik dan cukup menjadi anggotaku!" tegas Scarlet.
Perbincangan antara Siska dan Scarlet memang tidak bisa dengan cepat aku pahami. Tapi, duduk di sebuah ruangan bersama dengan Yudi tampak terlihat begitu intim saat hanya berdua saja dengan teman sepekerjaanku dulu.
"Kau merasa nyaman tinggal di sini?" tanya Yudi.
"Bodoh! Selama ini aku selalu berada di tempat yang sangat sepi tanpa ada kebisingan seperti ini. Memangnya dengan mudahnya aku akan merasa nyaman," balas ku.
"Ya, aku tahu kau pasti akan mengatakannya. Apakah kau ingin keluar dari sini? Aku masih ada di sini untuk menemanimu dan mengajakmu berkeliling sebelum ada pekerjaan yang memanggilku," ucap Yudi.
"Tidak! Sebaiknya kau pergi dan aku akan tetao di sini sesuai apa yang dikatakan oleh Siska. Dia bilang akan datang menemuiku setelah pekerjaannya selesai," tolak ku hingga di balas anggukan oleh Yudi, dia tersenyum tipis setelah memegang tanganku mencoba untuk meyakinkan diriku menetap kerja di tempat seperti saat ini. Meski tidak tahu pekerjaan seperti apa yang aku lakukan, karena sudah ada banyak pelayan yang bertugas untuk memberikan beberapa minuman kepada para tamu.
Ada begitu banyak wanita yang berpenampilan feminim seperti Siska, melihat dan memperhatikan diriku selama aku diam di sana. Saat Siska berjalan bersama dengan seorang pria, dia berjalan menghampiri dan menyapaku.
"Hmm, kau tidak menelpon tuan mu itu? Mungkin saja dia memiliki waktu untuk bersama denganmu?" tanya Siska, ku balas gelengan kepala akan pertanyaannya yang tidak masuk akal.
Tuan seperti apa yang dia maksud hingga mengharuskan diriku menghubunginya apalagi berteman dengan orang yang dia maksud. Tidak ada banyak orang yang ku ajak berbicara selama berada di tempat seperti saat ini.
Siska kembali pergi, dia menyelesaikan pekerjaannya sesuai apa yang dia katakan. Saat aku mencoba untuk berdiri dari duduk hingga berjalan. Tiba-tiba sebuah tangan menarik diriku dan menekan tubuhku dengan tatapan tidak asing bagi diriku.
"Tuan Angga?" Aku terkejut ketika melihat Tuan Angga juga terlihat berada di tempat seperti saat ini.
"Apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah kau sudah berjanji tidak akan melakukan pekerjaan ini lagi?" tanya Tuan Angga.
Aku tidak ingat bawa aku pernah berjanji untuk tidak bekerja lagi. Tapi, aku tidak pernah mengatakan hal seperti itu jika aku tidak akan bekerja sebagai pelayan di sebuah kafe.
"Maksud anda apa, Tuan? Pekerjaan seperti apa?" tanya ku.
Terlihat Tuan Angga menggelengkan kepalanya, dia menarik tanganku berjalan ke tengah-tengah orang yang bersenang-senang hingga keluar dari kafe dan masuk ke dalam mobil miliknya yang terparkir di sana.
Saat melihat Tuan Angga mengitari mobilnya hingga masuk dan duduk di kursi mobil di bagian kemudi, dia menatapku dengan sangat tajam.
"Cha! Kamu itu wanita baik-baik. Apakah layak kau harus bekerja dan menghabiskan waktu mu di tempat seperti ini?!" Ucapan dan pertanyaan Tuan Angga membuatku terkejut. Aku tida paham meski hanya menatapnya dengan pertanyaan seribu diam, tidak memahami akan ucapannya.
"Cha, di sini adalah tempat yang tidak layak kamu tempati. Sebaiknya kamu kembali pulang! Kamu membutuhkan apa? Uang, biar aku berikan untukmu?" tanya Tuan Angga.
"Tuan, jika seseorang mencari pekerjaan dan mendapatkan pekerjaan. Tentunya yang ku butuhkan adalah uang dan aku akan menghasilkannya setelah aku bekerja. Pekerjaan seperti apa yang anda maksud bahkan aku sedari tadi hanya berduduk saja. Hanya ada Siska berbicara bahwa aku sudah memiliki tuan. Tuan seperti apa yang dia katakan, aku bahkan tidak tahu," jelas ku.
Terlihat Angga tampak membuang nafas kasar, dia menatap dengan malas ke arahku hingga bersandar di kursi.
"Tetaplah di sini! Dan temani aku duduk sebentar saja!" tegas Tuan Angga.
"Apakah Anda di landa dalam masalah dan juga kenapa Anda berada di sini? Bukankah anda juga berjanji tidak akan melakukan minum-minuman lagi dan juga berada di tempat seperti ini." Pada akhirnya aku berbalik bertanya hingga membuat dia juga membuka kedua matanya dan menatap ke arahku.
"Kau sudah pandai bertanya sekarang. Aku di sini untuk bertemu dengan teman ku. Hanya saja dia pergi bersama dengan seorang wanita tanpa ku ketahui. Ternyata dia mengajakku ke tempat seperti ini untuk berhadapan dengan banyak wanita tang sama sekali tidak ku sukai," jelas Tuan Angga.
"Lalu untuk apa anda bersama saya? Sepertinya anda tidak menyukai pekerjaan yang ku jalani," balas ku.
"Dengan kamu itu berbeda, Cha! Kamu bahkan terjun ke dunia seperti ini baru saja beberapa hari. Apakah kamu sudah memiliki pengalaman tentang pekerjaan ini?!" protes Tuan Angga.
"Aku baru tahu kalau anda begitu banyak berbicara tidak seperti pertama kali bertemu," balas ku.
"Sudahlah, begitu melelahkan ketika harus berbicara denganmu. Apa yang akan kau lakukan? Biar aku menghubungi Siska terlebih dahulu untuk bertanya kepadanya." Melihat Tuan Angga menggerutu sedari tadi, terasa begitu nyaman ketika dia jauh lebih memperhatikan diriku, padahal dia sendiri begitu banyak masalah yang dia hadapi terutama hubungan antara dirinya dengan istri.
Saat aku melihat seorang wanita berjalan dengan pria tampan di depan mobil. Terlihat mereka begitu mesra hingga berciuman bibir, membuatku terkejut. Hal yang jauh lebih membuatku terkejut ketika Tuan Angga terdiam sembari memegang ponselnya yang menempel di telinga, menatap mereka yang sedang asyik berciuman menikmati aktivitas mereka berdua.
Aku terpikirkan tentang Tuan Angga yang juga seorang pria akan naik keinginannya jika dia melihat langsung hal seperti itu tempat dihadapannya. Aku menutup mata Tuan Angga dengan tanganku yang kecil, membuat dia tersadar hingga menoleh ke arahku.
"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Tuan Angga.
"Aku mencegah anda melakukan hal yang jauh lebih buruk dari ini. Itu tidak layak untuk di lihat," balas ku.
"Hahaha, kau ini benar-benar sangat manis. Aku ini adalah pria dewasa dan hal biasa jika melihat hak seperti itu. Tapi, melihat wanita itu benar-benar membuatku muak dengan semua ini." Tuan Angga tertawa dan menatap tajam ke arah mereka yang sudah mengakhiri aktivitas ciumannya, hingga pergi dari sana.
"Maksud Anda apa, Tuan?" tanya ku.
"Kau tidak melihat wanita itu begitu nafsu dengan keinginannya berciuman dengan pria itu," balas Tuan Angga.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala dengan pertanyaan yang tidak bisa ku pahami.
"Lihatlah foto ini! Dia adalah istriku." Terkejut saat mendengar penuturan Tuan Angga hingga aku merasa khawatir akan keadaan dan perasaan Tuan Angga kali ini, membuatku tidak percaya jika ada wanita seperti itu bersikap acuh dan dingin kepada suaminya. Tapi, dia terlihat tampak begitu mudah bersama dengan pria lain yang bukan suaminya.
Aku merasa bersalah ketika terlalu banyak berbicara dan berasumsi tentang Tuan Angga hingga meremas tangan Tuan Angga yang begitu dingin membuat dia jauh lebih baik kali ini.
"Baiklah, kau bilang ... kalau kau memiliki tuan. Di mana tuanmu, apakah kau sudah bertemu dengannya?" tanya Tuan Angga.
Aku hanya bisa menggidikkan bahuku, tidak tahu dan tidak memahami maksud dari Tuan Angga meski Siska juga mengatakan bahwa aku memiliki tuan.
"Tuan yang di maksud adalah seseorang yang sudah menjadikan dirimu satu-satunya wanitanya. Apakah kau memilikinya?" jelas Tuan Angga sembari bertanya denganku.
"Entahlah, Siska juga mengatakan seperti itu. Mungkin tuanku adalah anda, bukankah anda yang pertama kali bersama dengan aku," jawab ku.
Seketika Tuan Angga terdiam, dia mengangguk mulai memahami hingga tersenyum tipis ke arahku.
"Baiklah, pertama-tama jika kau ingin menjadikanku tuanmu. Kau harus merubah penampilanmu ini! Aku tidak suka dengan wanita polos tanpa ada hal yang mencekam dari pandanganku," ucap Tuan Angga.
"Tuan, apakah anda baik-baik saja? Aku takut perasaan anda ...."
"Sudahlah, kau jangan bahas hal lain saat kita berdua saja," sela Tuan Angga.
Aku hanya bisa mengangguk untuk menjawab ucapannya hingga Tuan Angga kini melajukan mobilnya keluar dari parkiran kafe. Meski dia sempat melihat kearah sebuah mobil dan terlihat nampak jelas. Seorang wanita yang terlihat tadi masih bergelut dengan ciuman dan aktivitasnya, membuat Tuan Angga membalikkan kembali pandangannya enggan untuk melihat mereka.