Galeri

3119 Kata
Sepanjang perjalanan tidak ada perbincangan antara aku dengan Yudi. Namun perjalanan kami cukup memakan waktu selama 1 jam, hingga sampai di sebuah perumahan yang cukup sederhana. Namun layak untuk di tempati. Saat kami kini sudah sampai di depan sebuah rumah. Yudi keluar dari mobil setelah dia memberhentikan mobilnya di depan rumah. Meski aku tidak tau dengan keberadaan kami saat ini, namun aku tetap turun dari mobil berjalan, mengikuti kemana arah Yudi pergi. Dia membawa koper milik ku hingga merogoh sebuah kunci di saku celana kanannya dan membuka pintu rumah itu. "Silahkan masuk, sekarang rumah ini adalah milikmu. Lebih tepatnya kau harus membayar kontrakan ini setiap bulannya!" seru Yudi. "Yud ...." "Ini adalah rumahan dari peninggalan ayahku. Dia sempat memberitahuku tentang tempat ini. Dan akhirnya dari pada dibiarkan usang tanpa ada yang menempati, sebaiknya aku biarkan kamu tinggal di sini. Dan tentunya tidak gratis," jelas Yudi. Aku mulai merasa lega mendengarnya, tersenyum tipis menanggapi ucapannya hingga kini ku balas anggukan ucapan dan no penegasan dia hingga kami masuk ke dalam dengan ruangan yang cukup luas jika hanya untuk diriku saja. Ada 2 buah kamar, 1 kamar mandi dan juga ruangan tamu yang cukup luas meski ada banyak tamu di sana. "Apakah ini peninggalan ayahmu juga," tanyaku juga melihat sebuah piano berada di pojokan ruangan. "Yaa, ayahku adalah seorang pianis. Tapi, dia meninggal saat ibuku melahirkanku. Di waktu yang bersamaan dia terkena serangan jantung ketika syok mendapati ibuku kehilangan banyak darah, meski tetap saja ayahku tau bahwa ibuku dan diriku baik-baik saja. Tapi dia tetap tidak bisa tertolong," ucap Yudi. "Maaf, aku telah mengingatkanmu dengan masa yang sangat menyedihkan," ucap ku merasa bersalah bertanya tentang hal itu kepada Yudi. "Kau ini! Seperti berbicara dengan siapa saja. Aku baik-baik saja saat ini," terang Yudi. "Hidup bersama dengan ibuku itu adalah anugerah yang sangat aku sukai ketika bisa menghabiskan waktu cukup banyak dengannya. Meski aku juga menginginkan bisa tau sosok ayahku sendiri. Tapi, Tuhan berkata lain untuk ayahku itu." Penjelasan Yudi membuatku merasa bersalah. Seketika aku melupakan segala kehidupan yang membuat diriku tampak terpuruk dibandingkan dengan Yudi, dengan kerasnya kehidupan ketika dia harus hidup tanpa seorang ayah yang bahkan tidak mungkin bertemu lagi dengannya. Sedangkan diriku meski terpisah jauh tapi, jika aku menginginkannya aku masih bisa bertemu dengan kedua orangtuaku, meski aku tau mereka tidak menginginkannya. Pada akhirnya aku berbincang cukup lama bersama dengan Yudi di ruang tengah, sambil kami membereskan pakaian dan juga barang bawaan milikku yang tidak seberapa. Seorang pria dengan kehidupannya yang cukup baik dan juga talenta kemampuan juga parasnya yang cukup baik, juga memiliki kehidupan yang kelam di masa lalu. "Bersiaplah! Nanti siang kita akan pergi. Sepertinya temanku itu sudah bisa di temui," ucap Yudi, ku balas anggukan. Hingga saat jam makan siang orang-orang, kami bersiap untuk pergi ke suatu tempat melajukan pertemuan dengan teman Yudi, yang sudah beberapa hari ini dia bicarakan. Memiliki teman yang memiliki pekerjaan yang cukup bagus untuk diriku. Saat aku bertemu dengan seorang wanita dengan pakaian feminimnya, dia tampak cantik dengan rambut terurai berwarna pirang. Tampak begitu akrab ketika dia mencium pipi kanan kiri Yudi dengan sangat intens. "Maaf, kamu terkejut yah? Ketika aku melakukannya kepada Yudi. Dia adalah saudaraku, wajar jika kami memang jarang bertemu. Dan tentunya hanya aku yang bisa melakukannya," ucap gadis itu, dia tersenyum ramah ke arahku. Aku hanya menanggapinya dengan senyuman dengan Yudi yang merasa canggung dengan diriku. "Sepertinya tidak baik jika bicarakan di tempat seperti ini. Bagaimana kalau kita bertukar nomer kontak saja. Aku masih ada pekerjaan yang mengharuskan aku bergegas pergi," ucap wanita bernama Siska. Dia menyimpan kontak ponselku begitupun dengan sebaliknya. Yudi tidak bisa berbicara apapun ketika mengetahui bahwa saudaranya hanya bisa bertemu sebentar saja dengan diriku. Alu bisa memakluminya ketika wanita itu pergi di jemput oleh seorang pria yang sepertinya jauh lebih tua dari usianya. Meski seperti itu aku tidak terlalu banyak bertanya kepada Yudi dan membiarkan wanita itu pergi setelah kami bertukar nomer ponsel. "Maaf, aku tidak tau kalau dia benar-benar sibuk dan tidak bisa di hubungi. Setidaknya kau bisa bertanya sebuah pekerjaan kepadanya, setelah mendapatkan nomer ponselnya," jelas Yudi. "Tidak apa-apa. Sepertinya saudarimu itu cukup baik," anggukku. "Yaa, dia adalah wanita pekerja keras. Tapi setidaknya kehidupannya jauh lebih baik sekarang. Kau tidak apa-apa, kan? Jika suatu saat nanti aku tidak bisa menemanimu dan tidak mengantarmu untuk bertemu dengannya," ucap Yudi. "Tidak masalah. Selebihnya selama ini aku hanya perlu berterima kasih kepadamu. Aku juga tidak tau harus membalasnya dengan apa. Kamu bahkan memberikanku tempat tinggal yang layak. Oh yaa, aku belum bertanya tentang biaya sewa. Apakah kamu sudah menentukan biayanya?" tanya ku. "Nanti aku kirim pesan kepadamu setelah bertanya kepada ibuku," jawab Yudi. Ku balas anggukan ketika dia kini mengajakku kembali menaiki mobilnya dan kembali ke tempat tinggalku. Yudi pergi begitu saja setelah mengantarkan ku kembali ketempat tinggal, hingga aku seorang diri di rumah kali ini. Rumah baru, tempat baru dan juga kehidupan baru. Menghela nafas hingga aku kini meyakinkan diriku untuk beraktivitas dan menyiapkan segala keperluan di rumah termasuk membereskan pakaianku di dalam lemari. Rumah yang cukup baik untuk aku seorang diri tinggal di sana. Tanpa mencoba untuk protes, apalagi bertanya kepada Yudi terlebih dahulu tentang area sekitar. Malam pertama di rumah dan di tempat tinggal baru ku. Tidak ada jejak kehidupan tentang Alex lagi untuk diriku, hingga aku memilih diriku merebahkan tubuhku lebih cepat dan mencoba menutup kedua mataku. Namun aku terkejut ketika mendapati dering ponselku berbunyi. Membuat kedua mataku terbuka menatap langit-langit kamar hingga menoleh kearah ponsel yang berada di atas meja di samping tempat tidur dan meraihnya. "Kamu Icha?" Suara yang tak asing di telingaku. "Iyaa ini aku," balas ku. "Hmm, di mana alamat tinggalmu? Bisakah aku bertemu denganmu atau kau ingin kita berjanjian bertemu?" tanyanya. "Kau saudarinya Yudi?" Aku mencoba untuk bertanya lagi. "Iyaa, memangnya kamu tidak menyimpan nomer ponselku," balasnya. Saat aku mengingat, ternyata aku memang tidka memberi nama kepada nomer ponselnya. "Yaa, aku minta maaf. Aku lupa tadi menyimpannya." Permintaan maafku di balas gelak tawa olehnya. "Ya, di kala semua orang menginginkan nomer ponselku, kau bahkan mendapatkan nomer ponselku dengan sangat mudah. Tapi ternyata kau tidak menyimpannya," gerutu gadis bernama Siska. "Iya, kamu menelponku untuk apa?" tanyaku. "Aku sampai lupa! Jadi begini ... aku ada acara di suatu tempat. Nanti aku akan memperkenalkanmu kepada seseorang dan juga memberimu pekerjaan. Bukankah kau membutuhkan sebuah pekerjaan?" jelas Siska. "Iya, lebih cepat itu jauh lebih baik. Sepertinya aku menganggur terlalu lama sampai-sampai kebingungan untuk mencari pekerjaan," jelas Ku. "Ya, sebaiknya kau datang ke alamat yang akan ku berikan nanti. Bersiaplah besok jam 4 sore, aku akan menemuimu di alamat yang ku berikan!" tegasnya. "Baiklah!" Setelah aku menutup panggilan telponnya, perasaanku mulai jauh lebih baik ketika pekerjaan baru kehidupan baru dan penghasilan baru akan ku dapatkan setelah memiliki teman seperti Yudi dan juga teman baru seperti dia yang akan menjadi kehidupan baruku. Merasa semua beban sudah hilang begitu saja. Rasa kantuk mulai menyerangku hingga aku memilih untuk tertidur begitu saja setelah pintu rumah dan juga jendela terkunci. Sesuai apa yang dikatakan Yudi untuk memastikan semuanya terkunci rapat tanpa membiarkan orang lain untuk memiliki kesempatan masuk ke dalam rumah dan juga menjadikan diriku jauh lebih merasa nyaman untuk tinggal di sana. Pagi sekali aku sudah terbangun, setelah melewati malam yang tenang meski sebuah perceraian baru saja menimpaku. Mia mengirim pesan jika 2 hari lagi, aku harus datang ke pengadilan untuk melakukan sidang dan menyelesaikannya. Sempat berpikir akankah aku bisa bertemu Alex dan memastikan dirinya, atau aku hanya perlu datang tanpa bertemu dengannya. Duduk di pagi hari di ruang tamu sambil menonton televisi, setelah aku juga mentransfer uang untuk putriku dan juga biaya sewa rumah saat ini. Yudi memberikan harga yang terjangkau dan murah untuk aku, sesuai harapanku. Tapi, sudah selama ini dia tidak ada mengirim pesan sama sekali padaku. "Mungkin dia juga memiliki kesibukan sendiri," gumamku memasukan makanan ke dalam mulutku berteman perut yang kelaparan. Uang yang ditinggalkan oleh Alex untukku memang jauh lebih cukup untuk kehidupanku beberapa tahun kedepan. Tapi hal yang tidak mungkin bagi diriku jika aku mengandalkan uang darinya jika aku hidup di dengan biaya sewa rumah dan juga kebutuhan anakku di kampung. Sekitar jam 3 sore aku sudah bersiap dengan pakaianku yang paling baik aku kenakan hingga pergi ke sebuah tempat dimana aku sudah berjanji untuk bertemu dengan Siska di sebuah galeri, tempat dimana pameran lukisan di adakan. Meski aku tidak memahami kenapa dia mengajak untuk bertemu di tempat seperti ini dengan deretan banyak pengunjung dari kalangan elit berada di sana. Hingga saat aku mencoba untuk kembali menghubunginya tiba-tiba sebuah tangan meraih tanganku mengejutkan diriku. "Hei, kau menungguku dengan waktu yang sangat lama ya? Maaf, tadi aku ada pekerjaan mendadak hingga membuat waktuku tersita cukup lama. Apakah kau tidak marah?" Penjelasan Siska atas keterlambatannya membuat ku mengangkat sebelah alis dia bahkan begitu takut jika aku marah kepadanya yang sudah terlambat. "Hal yang tidak mungkin bagi diriku jika marah kepadamu. Aku mau bertanya kenapa kita harus bertemu di tempat seperti ini, apakah kita akan mencari sebuah lukisan?" balasku. "Hahaha, aku ada klien disini. Dan aku juga memerlukan kamu untuk ikut serta. Kita masuk saja dulu!" seru Siska. Meski merasa ragu, apalagi hampir semua sorot mata tertuju ke arah aku dan Siska berjalan antara ada yang suka dan tidak mereka saling berbisik membicarakan entah aku atau Siska yang berjalan bersamaku. "Ka, aku merasa mereka ...." "Abaikan saja, kita hidup dan makan bukan karena mereka kok," sela Siska, ucapannya memang benar adanya. Meski ragu, aku tetap melangkah berjalan sesuai apa yang diinstruksikan oleh Siska hingga saat aku masuk ke dalam gedung ternyata disana. Sudah begitu banyak para tamu undangan yang sedang menikmati dan melihat-lihat pameran lukisan yang terpajang rapi dengan tampilan yang elegan lukisan profesional dari mereka yang penuh karya ketika membuatnya. "Ini bukan saatnya untuk menikmati pemandangan disini kita akan bekerja. Apa kau sudah siap?" Ucapan dan pertanyaan Siska membuatku tersadar dan mengganggu hingga ternyata kami sama sekali tidak berada di sana sesuai dugaanku. Aku terpikir bahwa pekerjaanku adalah sebagai seorang pelayan yang akan menyajikan beberapa hidangan dan minuman untuk para tamu undangan di sana. Namun ternyata Siska membawaku ke sebuah ruangan yang sama sekali tidak pernah kuduga, ketika ada dua orang pria cukup usia duduk di sebuah sofa tersenyum tipis menyambut kedatangan kami. "Hey, gadis nakal. Kau datang sangat terlambat sekali jika bukan karena kerjamu yang begitu membuatku bangga, mungkin aku akan beranjak dari sini." Ucapnya menyambut kedatangan kami. "Ya, ada begitu banyak hal yang harus ku lakukan untuk sampai ke sini dan juga ada teman yang akan ikut bekerja dengan ku," jelas Siska dibalas anggukan oleh kedua pria yang sudah memiliki usia itu hingga menatap ke arahku dari atas ke bawah dan begitu juga dengan sebaliknya. "Siapa dia?" tanya pria yang sudah menyapa Siska sedaritadi. "Dia Icha, teman baikku. Setidaknya aku memperkenalkannya kepada anda terlebih dahulu Apakah anda tertarik Tuan Angga?" penjelasan Siska yang mengatakan bahwa aku teman baiknya sedikit membuatku terkejut. Namun itu jauh lebih baik ketika berkenalan apalagi di sapa untuk pertama kalinya dengan orang yang baru aku temui. "Haha, gadis cantik perkenalkanlah dirimu. Ya aku juga harus tahu namamu," ucap seorang pria yang kini sudah ditemani oleh Siska disampingnya. Meski aku ragu tapi aku tetap menjawabnya dan memberitahu bahwa namaku adalah Icha sesuai untuk Siska aku tidak diperbolehkan untuk memberikan nama asliku di sana. "Nama yang sangat manis, cepatlah kau duduk di samping Tuan Angga! Dia sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja saat ini!" seru nya. Meski aku ragu pria yang duduk di sampingku memang hanya diam saja tidak menanggapi ucapan temannya. Namun aku tetap memberanikan diriku sendiri duduk disampingnya Meski aku belum memahami apa yang harus aku lakukan ketika Siska memberiku isyarat untuk menuruti apapun yang dikatakan oleh dia. "Kau jangan khawatir hanya cukup untuk menemani kami minum-minum saja selebihnya kami akan membayar kalian." Terdengar ringan dan mudah ketika pria yang setengah mabuk itu berbicara sembari menenggang minumannya. Namun pria yang ada di sampingku sama sekali tidak berbicara dia memilih untuk meminum minuman yang ada di hadapannya tanpa mencoba untuk menoleh ke arahku cukup lama kami berada di ruangan itu. Meski aku tidak melakukan hal apapun hanya menyaksikan mereka yang bercerita dan tertawa tapi tidak dengan pria yang ada di sampingku, dia terfokus dengan aktivitasnya sendiri menghabiskan minuman tanpa henti. "Kalian habiskan waktu di sini aku akan pergi sebentar terlebih dahulu dengan gadis kecilku ini," ucapan pria itu berdiri dipapah oleh Siska. Siska memberiku isyarat untuk tetap menemani Tuan Angga yang ada di sampingku hingga aku mengangguk meski tidak kusadari ketika Siska pergi keluar dari ruangan itu begitu saja. "Berapa biaya yang kau inginkan untuk pekerjaanmu seperti ini?" Pertanyaan Tuan Angga membuatku terkejut ketika pria itu sedari tadi, sama sekali tidak berbicara namun setelah hanya ada kami berdua saja. Dia mulai berbicara hal layaknya seperti pria yang tidak dalam keadaan mabuk. "Maaf Tuan, tapi saya baru saja bertemu dengan Siska. Dia hanya memintaku untuk menemani dia bekerja," jawabku. "Heh, apa kau tahu pekerjaan seperti apa?" seringai Tuan Angga gelengan kepala sebagai jawaban dariku. Tuan Angga kini mendongakan kepala melihat ke arahku. Mengangkat sebelah alis dan tersenyum menyeringai. "Kalau begitu, temani saja aku. Dan kau akan dapatkan bayaranmu," ucap Tuan Angga ku balas anggukan untuknya. "Kau penurut sekali!" seru Tuan Angga membuatku canggung. "Tuan ...." "Kau cukup dengarkan ceritaku saja, mau?" sela Tuan Angga. "Cerita?" tanyaku. "Ya, aku ceritakan hal yang sedang menimpaku," angguk Tuan Angga. "Heem," angguku mencoba untuk mendengarkannya. Terlihat Tuan Angga tersenyum tipis meski dia tidak percaya tentang diriku yang tampak bersungguh-sungguh untuk mendengarkan cerita darinya. "Sebenarnya, hari ini adalah hari ulang tahun pesta pernikahanku dengan istriku," ucap Tuan Angga. "Ini hari anniversary Anda?" tanyaku dibalas anggukan oleh Tuan Angga. "Awalnya, aku sudah menyiapkan semua hadiah untuk dirinya. Tapi apa yang aku dapatkan dari istriku itu, dia lebih memilih pergi bersama dengan kedua orangtuanya tapi saat aku memastikan dia kepada keluarganya, yang kudapatkan adalah istriku bertemu dengan mantan kekasihnya dulu. Memang pernikahanku dengan dia adalah sebuah perjodohan, tapi aku bukan pria bodoh yang melupakan hari pernikahan yang terjadi seumur hidup sekali dalam kehidupan begitu saja tapi dia mengecewakanku dengan sangat jelas hari ini." Ucapan Tuan Angga terlihat tampak berat ketika dia menceritakannya. Namun aku tidak bisa melakukan banyak hal untuk membuatnya merasa jauh lebih tenang dari rasa sedih dan hal yang membuatnya tampak frustasi malam ini. "Sebenarnya ini bukanlah kali pertama aku mendapati mengetahui istriku sering bertemu dengan mantan kekasihnya itu. Tapi aku selalu mencoba untuk membodohi diriku sendiri dan tidak mempercayainya. Tapi ternyata dia masih tetap pergi bersama dengan orang itu, hingga membuatku muak malam ini dan membuang semua yang sudah ku persiapkan untuk menyambut but pesta pernikahanku," jelas Tuan Angga lagi. Mendengar cerita yang mengecewakan dari tuan Angga membuat ku teringat akan Alex dan juga kehidupanku aku mengangguk setelah menunggu minuman yang ada dihadapanku. Dengan perasaan kesal dan kecewa seperti apa yang dirasakan oleh Tuan Angga. "Asal Anda tahu Tuan, dua hari lalu aku bahkan digugat cerai oleh suamiku yang bahkan tidak tahu keberadaannya di mana. Seharusnya yang mendapatkan kerugian adalah diriku sendiri, dia yang ku pergoki berciuman dengan seorang wanita di rumah sempat membuat ke tampak kesal. Tapi ternyata yang mengajukan gugatan cerai adalah dirinya sendiri tanpa penjelasan atau pun berani menemuiku rasa ingin memukul seseorang!" gerutuku. Membuat perasaan lega ketika aku menuangkan segala kekesalanku bercerita kepada Tuan Angga disampingku, dia mengangkat sebelah alisnya meski tidak percaya mendapat tanggapan dariku dengan perasaan kecewa dan kesal sama-sama kita rasakan bersama. Namun hal yang sama sekali tidak kuduga ketika aku malah menenggak minuman yang ada di hadapanku hingga membuatku terkejut, tidak ada hal yang terjadi kepada diriku termasuk mabuk yang kutakutkan. "Sepertinya kau dapat bertahan dengan minuman itu?" tanya Tuan Angga. "Entahlah, padahal ini kali pertama aku meminumnya," balasku. "Sebaiknya kau jangan lakukan lagi kau cukup meminum jus itu, jangan mencoba untuk meminum minuman ku! Jika kau melakukannya, aku tidak akan membayarmu," tegas Tuan Angga. Secepatnya aku membalas ucapan Tuan Angga dengan gelengan kepala dan anggukan setuju dengan ucapannya dan penegasannya. Hingga aku kembali mencoba untuk mendengarkan cerita dari Tuhan Angga awal pernikahan bertemu dengan istrinya, hingga mereka dikaruniai dua orang anak yang kini sudah tumbuh besar. Ada sebuah bingkisan berisikan kue ulang tahun anniversary terlihat tampak mewah dan cantik sedang kumakan kali ini, sembari mendengarkan cerita Tuan Angga kehidupannya dan juga tentang rumah tangganya yang sama sekali tidak memiliki cinta dan perasaan. Sembari menikmati kue yang menjadi kesukaanku ketika rasa coklat yang mendominan di mulutku, cukup baik untuk mendengarkan cerita seseorang ditemani oleh sebuah camilan yang manis seperti saat ini. Tuan Angga awalnya sama sekali tidak menawarkan kue bingkisan itu. Namun dia tahu kalau aku tidak memakan makanan yang ada di atas meja dan lebih tertarik dengan kue yang ada di dalam bingkisan. Dia tanpa ragu-ragu, memberikannya kepadaku bahkan menyuruh ke untuk menghabiskannya. Meski terdengar tegas, tapi aku tetap menerimanya dan menghabiskan makanan yang tidak kusia-siakan di hadapanku. Setelah itu Tuan Angga bahkan bercerita tanpa henti sedari tadi membuatku tersenyum dan tertawa setiap kali mendengar cerita kehidupan ya saat antara aku dengan Tuan Angga tidak ada hal yang akan diceritakan lagi, ketika semua hal sudah dibicarakan. Seketika aku dengannya terdiam saat melihat jam tangan milik Tuan Angga dan saling bersitatap satu sama lain. "Ternyata kita berbincang dalam waktu yang sangat lama, apakah kau ingin pulang?" tanya Tuan Angga. "Memangnya sekarang jam berapa?" balasku. "Haha, kau tidak akan percaya bahwa ini sudah jam jam 1 malam!" tawa Tuan Angga. "Astaga, benarkah? Aku pikir tadi masih sore kenapa bisa berubah menjadi malam secepat ini?" gerutuku. "Kemarilah, kita akan pulang bersama aku antar kau terlebih dahulu!" ajak Tuan Angga, berdiri dari duduknya meski cara jalannya tidak seimbang. Namun dia tidak terlalu mabuk hingga meraih kunci mobilnya di atas meja. "Apakah semua ini ...." Tuan Angga menggelengkan kepala saat aku belum selesai untuk berbicara, mengenai tentang makanan dan minuman yang ada di atas meja. "Kemarilah, aku akan mengantarkanmu pulang. Aku sudah cukup puas untuk bercerita denganmu kau melakukan pekerjaanmu dengan sangat baik ada uang tunai di mobilku kau bisa membawanya nanti," ucap Tuan Angga. Mendengarnya membuatku tampak bersemangat kali ini, keluar dari ruangan itu sama sekali tidak mendapati keberadaan Siska. Apalagi orang-orang yang sangat banyak tadi kali ini galeri tampak asing dan sepi di malam hari. Masuk ke dalam mobil Tuan Angga melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang, hingga tidak membutuhkan waktu lama jika hanya untuk sampai di tempat tinggalku membuat dia tersenyum tipis melihat ke arahku dan memberikan amplop warna coklat berisikan uang tunai. "Tuan, apakah harus sebanyak ini?" tanyaku. "Kau berkerja lebih dari jadwal yang ku tentukan. Anggap saja aku bayar tiga kali lipat," jelas Tuan Angga. "Baiklah, terima kasih Tuan. Apakah kau bisa menyetir mobil dengan baik?" tanyaku. Aku teringat saat untuk berjalan saja sempoyongan. "Tenang saja aku sudah terbiasa dengan area ini dan juga mabuk adalah hal yang biasa bagiku tanpa menghilangkan konsentrasi," jelas Tuan Angga tersenyum dan kembali melajukan mobilnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN