Pov 1 "Icha"

4625 Kata
Aku, Naisa Hanifa yang paling akrab di panggil Icha. Baru menginjak 19 tahun menyambut kelulusan. Di tengah-tengah kehidupan orang tuaku yang berantakan, aku masih memiliki keluarga dari nenek dan juga ada Samuel yang selalu bersamaku. Aku yang dulunya seorang pecicilan, kini hanya bisa mengikuti arus dalam diam dan menerima kenyataan hidup tanpa tangan orang tua. Semakin aku berjalan berdampingan dengan Samuel, semakin aku takut reputasinya semakin buruk karena berdampingan denganku. Siapapun boleh menghina mengejek dan merendahkanku. Tapi tidak untuk sahabat baikku Sam. Jika faktor utamanya aku sendiri, maka sebisa mungkin aku harus menghindarinya dan tetap mengutamakan nama baik Sam yang terkenal dengan kepandaian dan ketampanananya. Berjalan dengan pria tampan dan ramah di hadapanku, rasanya aku menjadi gadis yang sangat istimewa. Namun aku takut, diapun ikut pergi dan menghilang seperti halnya kedua orang tuaku. "Cha?" Sam tampak ragu-ragu. "Hmmm." "Aku ...." Sam seperti hendak berbicara dengan keraguan yang teramat berat. Aku berpikir sangat keras, apakah ini akan sama percis dengan ungkapan terakhir dari sahabat baikku? Dia akan meninggalkanku setelah dia tahu aku sudah tak memiliki siapapun si dunia ini? Perasaan takut, hampa, bingung. Membuatku semakin tak tahu apa yang akan aku dengar dan takut dia benar-benar pergi. "Aku mencintaimu, Cha!" Bagai di hantam batu besar tepat di dadaku, namun hantaman yang lain dengan dugaan. Tatapan pria tampan dan manis tersenyum menatapku. Aku tidak percaya jika pria di hadapanku benar-benar mengatakan hal yang sama sekali tidak terpikirkan olehku. "Aku sangat mencintamu Cha! Jadi kekasihku seutuhnya?" tanya Sam masih menggunakan senyumnya untuk berbicara. "Ini ... Kamu beneran, Sam?" Menilik setiap ucapan Sam di hadapanku, bahkan dia tersenyum mengangguk meyakinkan apa yang tengah jadi pertanyaanku sedari tadi. "Kamu." Clup, bagai terkena sejuknya es krim rasa coklat strawbery sebuah bibir tiba-tiba bersentuhan dengan bibir merah ranum milikku. Bahkan tatapan matanya terlihat bersungguh-sungguh jika dia melakukannya dengan benar. Kedua bola mataku membulat dan mendorong tubuhnya yang tengah mencium bibirku. "Kamu gila! Ini di kantin Sam!" Begitu banyak sorotan mata tajam kearah kami. Rasa tak karuan menyeruak di d**a. Rasa ingin segera pergi dari kantin memberiku kekuatan untuk berdiri dan pergi dari sini. "Dia kekasihku, siapa yang berani protes?!" seru Sam mengejutkanku. Semua murid yang mendengar bergemuruh, aku menjadi salah tingkah. Tiba-tiba Sam meraih tanganku dengan tangan satunya dia membawa makanan dan pergi dari kantin. Degup jantungku berdetak sangat kencang melihat tangan pria di hadapanku menggenggam erat tanganku dan berjalan hingga sampai di sebuah kursi. Dia duduk di ikuti olehku. "Makan saja!" serunya memakan makanannya. Sam menatapku dengan sendok di mulutnya dan tersenyum malu melihat aku yang terdiam menatapnya. "Kenapa Cha?" tanyanya. "Itu." "Aku memang mencintaimu!" sela Sam. "Hah! Kamu serius Sam?" tanyaku dengan mata membulat. "Heem," angguknya. Aku menatap pria yang ada di hadapanku. Wajah seriusnya membuat perasaanku semakin kacau. Entah sejak kapan perasaan tak tenang ini mulai terasa, seperti hatiku ada ribuan bunga keluar dari tubuhku. Degub jantung tak beraturan, segera ku alihkan pandangan, agar perasaan ini sedikit dapat ku tenangkan. Dari dulu, banyak yang mengatakan aku wanita paling beruntung dapat dekat dan bersahabat dengan Sam. Samuel Dirga saat ini masih pendiam dan duduk di kursi sebelahku dengan keacuhannya yang selangit. Namun entah apa yang terjadi. Kami menjadi sahabat tanpa kendala selama menjadi teman sebangkuku. "Kamu jadi kekasihku!" Tiba-tiba, Sam mengulang perkataan kekasih di hadapanku, dia tidak tahu jika ungkapan itu semakin membuat jantungku mulai berpacu tak karuan lagi. Sejak kejadian tadi pagi, aku dan Sam hanya terdiam. Tanpa saling berbicara sama sekali. "Hei tahu tidak, katanya kita akan pergi ke taman wisata lusa!" teriak ketua kelas berlari dari ruang guru dan berdiri di depan kami. Seruan anak-anak sekelas bergembira mendengarnya, begitupun dengan teman di sampingku. Dia memukul dengan tawa bahagia mendengarnya. Namun dia terkejut ketakutan saat melihat wajah dan tatapan dingin Sam di sampingku. "Selow Bro! Kita tahu kok kalian ada hubungan. Kalian memang cocok cantik dan ganteng!" seru Iwan dengan gelak tawa seperti biasanya. Di balas tawa oleh teman sekelasku yang memang mereka selalu mengatakan jika kami berdua sangat cocok jika menjadi sepasang kekasih. Namun ada juga yang tidak menyukai kedekatan kami, seperti halnya Sumi yang duduk di kursi depan kami. "Heleh, modal cantik saja buat apa? Broken home juga!" sifat asli Sumi sudah di ketahui banyak anak sekelasku. Mereka yang setiap kali mendengar ucapannya tentu hanya akan mengejeknya saja tanpa menghiraukannya. Sudah biasa bagi dia berbicara sesuka hati dia. Pasalnya, hampir seluruh sekolah tahu akan mulutnya yang penuh rancau bagi siapapun dan bukan hanya aku saja. Hingga jam pulang sekolah, Sam tetap di sampingku. Seakan masih ada hal yang ingin dia katakan padaku. Aku menatapnya dengan tatapan penuh tanya padanya. "Keperluanmu nanti aku yang sediakan ya? Kamu cukup ikut ke acara tur saja!" penuturan Sam di luar dugaan. "Kenapa?" mencoba berpura-pura tidak memahami. "Ya ... Aku mau kamu ikut saja! Dan aku akan tanggung jawab," jelasnya lagi. "Tanggung jawab apa?" senyum mulai terlihat di wajahku. "Maksudku itu ... " Sam melihatku yang menahan tawa,"Kamu menggodaku Cha!?" seru Samuel menarik aku dan menggelitiki pinggangku. Tawa kita berdua sudah terbiasa terjadi setiap harinya, teman-teman di sekolah menjadi saksi kedekatan kami. Terasa kami memang sepasang kekasih yang cocok jika menjadi pasangan sesungguhnya. Sesampai di gerbang rumah, Sam berpamitan untuk pulang setelah dia mengantarku sampai di rumah. Dia bahkan masih memasang wajah senyum cerah di kala menoleh ke arahku. "Ibu yakin mau membesarkan anak itu? Kakak saja enggan mengajaknya, ibu sudah tua malah sok-sok'an mau merawat dia! Sadar gak Bu, jika ibu itu sudah tua. Dan harus di rawat?!" suara tante Ela terdengar jelas di ruang tamu. "Tapi dia juga keponakanmu!" bela nenek mencoba untuk meyakinkan anaknya. "Iya, tapi dia itu mala petaka Bu!" tante Ela masih dengan suara kerasnya. "Sudah, apa yang membuatmu tidak menyukai Icha? Biar dia aku yang rawat!" uwa Umiya yang selaku kakak ibuku datang melerai nenek dan tante. "Dengan banyaknya anak Kakak, masih mau mengurus anak broken home itu? Heh jangan bercanda Kak! Buat makan saja Kakak masih nebeng di ibu!" ledek tante Ela menatap tidak suka pada Umiya. "Mampu atau tidak, yang terpenting bukan rezeki kamu yang kita makan Ela!" seru Umiya memang pantas menjadi seorang kakak dari keluarga. Tampak tante Ela mulai kewalahan dan malas meladeni kakak tertuanya, dia mendengus kesal dan melirik ibunya dengan tatapan tidak peduli. Saat dia berjalan keluar dari rumah, dia menatapku dengan pandangan penuh kebencian. Meski aku tahu alasan dia tidak menyukaiku, yaitu karena suaminya. Ya suaminya yang tak bermoral itu. "Assalamualaikum," ku ucap salam. Berjalan memasuki rumah setelah aku mengucap salam. "Waalaikumssalam, kamu sudah kembali Cha? Sana bersihkan diri, makan dan jangan lupa cuci pakaianmu!" Umiya menjawab salamku dan seperti biasa dia mengajarkanku cara menjadi gadis mandiri dengan setiap pulang sekolah aku harus mencuci pakaianku. "Nanti pergi ke kebun untuk mengantarkan makanan pada kakekmu!" seru Nenek di balas anggukan dan senyumku. Sementara Umiya dan nenek berbincang di ruang tamu, aku berjalan memasuki kamar dan bersiap untuk makan siang dan mengerjakan pekerjaan rumah. Bahkan aku memikirkan cara untuk berbicara pada nenek dan uwa tentang tur sekolah lusa nanti. "Bagaimana aku meminta ijin ya?" gumamku sembari mencuci pakaian. "Tinggal bilang saja," suara Naya mengejutkanku. "Kau kebiasaan Naya! Menguping pembicaraanku!" meneriakinya dengan tatapan tajam. "Hahaha, siapa suruh pacaran sama pria tampan di sekolah. Kan aku jadi ngiri!" tawa Naya. "Eh, kamu ...." "Tenang saja, aku tidak bodoh kaya cewek lain. Malah bagus dia sama kamu daripada sama cewek lain," sela Naya tertawa. "Hmmm." "Btw kau mau tur ya? Bilang saja sama Umi! Dia pasti ijinkan jika kita benar-benar menjelaskan secara detail, umi itu sangat penyayang cuma beda cara menunjukannya pada kita!" jelas Naya menyemangati. Aku mengangguk, setelah selesai dengan urusanku. Kali ini, Umiya dan nenek masih di ruang tamu. Mencoba untuk melangkah dengan perlahan berharap mereka dapat mengijinkanku. Meski berat, tapi sejujurnya aku tidak ingin membebani mereka dengan hal seperti ini. "Umi! Icha ingin pergi tur katanya! Tiba-tiba Naya menyela aku yang hendak berbicara, membuat Umiya dan nenek terkejut. Aku gelagapan ketika mendapati Naya membongkar maksudku hingga tatapan semua mengarah kepadaku. "Kenapa Cha? Kamu berniat pergi tur?" akhirnya Umiya bertanya masih dengan ramah. Dengan gugup aku mengangguk sebagai jawaban pertanyaan uwa. Dia hanya menatap tanpa dapat di artikan. Begitupun dengan nenek hanya terdiam tanpa protes ataupun mengijinkan. "Bersiap saja! Nanti biar Umi yang menyiapkan bekalnya." Umiya tersenyum setelah memberi pesan di luar dugaanku, dia berdiri dari duduknya dan berjalan meninggalkanku yang masihbtidak percaya, jika uwaku yang terdengar mengerikan jika memarahi anak-anaknya, kini tersenyumlemvut di balik wajah tuanya yang masih terlihat nampak kecantikannya. "Apa aku bilang! Umi pasti ijinkan kan? Kau payah!" Aku gelagapan saat tangan Naya menepuk punggungku. "Mau pergi untuk persiapan? Aku temani!" seru Naya. "Memang harus secepat itu?" tanyaku. "Lebih awal lebih baguskan!" balas Naya. Naya menarik tanganku dengan tangannya yang sangat lembut. Dia gadis manja dengan keceriaan yang maksimal di usianya 14 tahun satu tahun lebih muda dariku. Tapi karena dia anak uwaku. Aku tetap harus memanggilnya kakak. Namun sering kali gadis ini menolak aku memanggilnya kakak. Dengan alasan dia tidak ingin di sebut dan terlihat tua di mata siapapun. Berbagai persiapan kami siapkan hari itu, bahkan canda tawa Naya begitu terdengar ceria. Dia gadis yang penuh warna tanpa ada dosa di wajahnya yang polos. Dia anak pertama dari adik perempuannya dan adik ke 3 dari kedua kakak laki-lakinya. Aslinya dia anak ke 4 Umiya. Sangat telaten dan rajin lemah lembut ceria sesuai ibunya yang juga dengan karakter lembut dan berpendirian kuat. Cukup lama mempersiapkak segalanya, hingga aku dan Naya kelelahan di atas tempat tidur dan tertidur lelap di siang hari. Pagi itu, terasa mimpi ketika seluruh keluarga nenek tersenyum dan bersemangat mempersiapkan keberangkatanku yang akan pergi piknik tur kelulusan. "Jangan lupa, titip salam sama saudara Naya ya, disana nanti!" seru Adam. "Hah?" aku tidak memahami ucapannya. "Huh, saudaraku kan kau! Tentunya yang ada disana itu kembaran kamu jika dia saudaraku." Naya menepis ucapan kakaknya. "Jadi kamu bilang, aku tinggal di hutan hah!" teriak Amar kembaran Adam. Terlihat Naya terdiam, mereka menekan adik perempuannya itu. Gelak tawa mereka terdengar sangat hangat saat mereka bercanda satu sama lain. Mencoba untuk merapihkan ranselku, uwa Umiya tengah membuka dompet dengan ukuran sekepalnya, di hadapanku. Memperhatikan ketiga bersaudara tengah bercanda satu sama lain, sepasang saudara yang suka sekali menggoda adik perempuannya. Jika aku memiliki saudara pasti akan melakukan hal yang sama, bercanda dan saling melindungi satu sama lain. Berbagi suka duka, tapi daripada itu, aku lebih berharap dia tak ada. Apalagi harus ikut merasakan menanggung beban melihat kedua orang tuaku yang berpisah. "Nih, uang jajanmu buat disana!" seru uwa Umiya membuyarkan diam ku, dia menyodorkan 2 lembar uang yang cukup untuk uang jajanku selama 2 minggu. "Tidak usah, Wa!" tolakku. "Ambil saja! Kamu pasti membutuhkan nya," paksa Uwa Umiya membuatku tidak enak hati menerima dan menolaknya. Sempat ragu, namun saat melihat wajah tulus Umiya dan saudara-saudara anak Umiya, mereka mengangguk dengan senyum mendukung aku agar dapat menerima uang dari Umiya. Meski hanya diam, namun Umiya memberikan dengan paksa lembaran uang itu kepadaku. "Bersenang-senang dan kembali dengan baik!" pesan Umiya senyum tulusnya seperti ibu ku dulu setelah dia menyiapkan keperluan sekolahku. Semua yang ku rasakan dulu dan sekarang, meski sama percis tapi lain yang di rasa. Saat orang berbeda yang melakukannya. Tidak ada rasa sesuka hatiku bermanja pada Umiya yang selaku sebagai uwa ku (Kakak Ibu Icha). Berjalan dengan rancel campingku, setelah berpamitan pada nenek dan keluarga Umiya yang tersenyum melambaikan tangan mereka dengan senyum yang tulus. Meski tanpa kedua orang tua. Tapi selama ini, aku tidak pernah merasakan di perlakukan seperti saat ini. Di izinkan tinggal bersama, bercanda dan tertawa bersama yang aku rasakan kali ini. Saat aku pergi melangkah keluar dari rumah yang begitu hangat menyambut kehadiranku, sahabat ku berjalan menghampiri ku. Yaa, dia adalah Samuel, untuk pertama kalinya menjemput ku di depan rumah kakek dan nenek. Sempat merasa ragu, bahkan semakin canggung ketika saudara-saudara ku tersenyum mengejek. Tapi ltebih tepatnya mereka seperti menyukai ketika aku ada seseorang yang dapat melindungi ku di tempat perkemahan nanti. Terasa canggung saat aku berada di dalam satu mobil dengan sahabat baik ku ini. Namun Sam selalu menunjukan wajah cerianya bahkan kelembutannya semakin aku rasakan saat dia mengambil alih ransel ku. "Sebaiknya, kamu jangan terlalu banyak membawa bekal. Bukankah sudah ku bilang, kalau aku yang menyediakan semuanya untuk mu," protes Samuel. "Ini adalah tour kita bersama bukan piknik antara aku dan kamu. Memang apa salahnya jika aku menyediakan segala hal yang di butuhkan nanti." Samuel hanya membalas gerutuan ku dengan senyuman, entah apa yang terjadi dengannya hingga sepanjang perjalanan dia selalu memasang raut wajah bahagia dan bersemangat. Terlalu bodoh bagi ku, jika beranggapan bahwa dia senang pergi bersama dengan ku. "Enak yah, di jemput oleh seorang pangeran!" seru seorang gadis bernama Dera. Saat kami keluar dari mobil dan memasuki sekolah, tiba-tiba beberapa anak gadis yang tak asing datang menghampiri kami, terlihat ketidak sukaan mereka mengarah ku. Lebih tepatnya mereka menyindir ku yang hanya bisa mengandalkan seorang Samuel untuk tetap berada di sekolah. "Jangan hiraukan mereka, aku rasa kalian hanya merasa iri saja kepada Icha ku yang cantik bahkan jauh lebih cantik dari kalian!" seru Samuel membuat ku terdiam, menarik tangan dan berjalan melewati mereka yang tampak kesal. Terlihat tampak geram Dera, ketika kesal mendapati Samuel membela ku. Sebuah tangan yang dingin dan kekar meraih tangan yang, sama sekali tidak menduga jika Samuel menarik ku berjalan melewati mereka yang semakin membenci diri ku. Memang aku adalah kekasih Samuel, tapi untuk pertama kalinya, pria yang ada di hadapan ku sembari memegang tangan membuat jantung ku begitu berdetak sangat kencang. Rasa bangga memilikinya dan juga keangkuhan, kini menyelimuti hati dan diri ku. Perasaan tidak ingin terlepas dari pegangan tangan yang ada di hadapan ku, diam dan menurut adalah pilihan. "Bisakah, kalian menentukan kursi duduk kalian tanpa harus kami mengintruksikan!" seruan kakak Pembina membuat seluruh siswa siswi bersiap untuk pergi menuju tempat dimana kita akan berkemah dan menaiki bus pariwisata kami. Duduk di temani oleh Samuel, aku hanya bisa memastikan bahwa semakin banyak sorotan mata yang tidak suka bahkan semakin memeberikan ku. Rasa ingin sekali aku menghilang saja tanpa harus memperdulikan mereka, tapi nyatanya aku tidak bisa karena inilah kenyataan. Kenyataan yang dimana aku adalah seorang anak Broken Home yang harus siap mendapatkan apa pun yang terjadi di hadapan ku. Saat aku masih bergelut dalam pikira, tangan Sam menyentuh tangan ku dengan sangat erat. Wajahnya tersenyum menunjukan kedua lesung pipi dan juga barisan gigi tampak putih di hadapan ku. "Apa yang sedang kamu pikirkan? Emm ... Atau kamu sedang memikirkan tentang apa yang akan kita lakukan disana. Apakah kamu ada teman satu tenda?" tanya Samuel. "Entahlah, aku belum tau dan juga tidak ada pemberitahuan dari pembina ku tentang bagaimana kita harus memilih tempat untuk berkemah bersama. Bisa saja dalam satu tenda ada beberapa siswa dan juga siswi, setidaknya aku sudah menyiapkan apa yang harus aku lakukan." Mencoba untuk menjawab dan memperjelas apa yang sudah aku sediakan dan persiapkan untuk acara tour kali ini. Ku lihat, Sam hanya tersenyum namun dia memilih untuk merogoh ponselnya. Aku tau hal biasa yang dia lakukan setiap kali merasa jenuh Samuel akan menggunakan earphone nya dan mendengarkan musik untuk menenangkan diri. Saat mencoba untuk bertanya lagi kepada Sam, tiba-tiba sebuah tangan menyentuh daun telinga membuat ku terkejut. "Apa yang kamu lakukan?" Aku menatap tajam dengan keheranan kearah Samuel yang memasangkan earphone di telinga ku. "Bukankah, kamu yang mau mendengarkannya?" tanya ku. Sam hanya tersenyum dan menggidikan bahunya dia kembali melihat kearah ponselnya dan menyalakan sebuah lagu yang berjudul tentang "Sleeping extra" dari seorang penyanyi terkenal yang menenangkan bagi pendengarnya. Terdiam saat mendengar lantunan lagu itu begitu indah dan membuat ketenangan di dalam pikiran. Sejenak aku terbawa oleh lantunan lagu yang begitu menenangkan. Samuel tersenyum tipis melihat reaksi ku yang begitu menikmati lagu yang di putarkan di ponselnya. "Apakah, ini lagu yang sering kamu gunakan untuk menenangkan diri mu?" tanya ku. "Hmm ... Bisa di bilang seperti itu. Dulu saat aku mencoba untuk tidur jauh lebih nyenyak. Aku selalu mendengarkan lagu itu sebagai penenang ku." Samuel menjelaskannya sembari dia tersenyum-senyum mengingat masa lalu yang tidak bisa di kembalikan lagi. Namun Samuel membawa semua kenangan itu kedalam dirinya. Sekilas aku melihat Samuel tersenyum ketika melihat ku yang menikmati lagu yang di putarkan olehnya. Tiba-tiba dia menyentuh pipi ku dengan jemarinya, tersenyum tipis saat alu menoleh kearahnya dan bertanya apa yang sedang dia lakukan. "Rambut mu ini menutup wajah mu, membuat ku kesulitan untuk melihat wajah cantik kekasih ku ini," ucap Sam. Seakan dunia dan waktu berhenti begitu saja di saat Samuel mengatakan hal yang benar-benar membuat detak jantung ku semakin berpacu sangat kencang. "Apa yang di lakukan oleh Samuel ini, kenapa membuat jantung sampai ingin meloncat ketika dirinya berada di hadapan dengan sangat dekat. Apalagi berbicara dengan sangat manis dan lembut di telinga ku," gerutu batin ku begitu mendapati Samuel semakin membuat ku merasa dekat dengannya. "Tidurlah ... perjalanan masih panjang, kamu tidak boleh kelelahan sebelum melakukan aktivitas." Aku tertegun saat tangan yang sempat menggenggam erat tangan itu, mengacak rambut ku dengan senyum di wajahnya. Seakan-akan dia begitu sangat mengasihani ku. Aku hanya bisa terdiam. Apakah harus mempercayai dia yang benar-benar mencintai ku, atau aku bersiap untuk tidak jatuh kedalam sebuah perasaan yang hanya akan membuat suatu hubungan itu hancur begitu saja. "Sam ...." "Emmm." Samuel menjawab ku dengan mata tertutupnya. "Apakah, kamu yakin dengan kita menjadi sepasang kekasih?" hal yang sangat ingin aku tanya kan kepada Samuel sedari kemarin. Terlihat dia hanya bisa tersenyum tipis ketika mendengar pertanyaan ku. "Gadis nakal ku ini, memang apa lagi yang kamu lakukan tentang diri ku. Aku ini tulus apa adanya untuk mu, jika kamu masih meragukannya ... Aku bisa mengukir nama mu di tangan ku, agar kamu bisa yakin bahwa aku benar-benar adalah kekasih mu." Tidak percaya ketika seorang Samuel pria dengan ketampanannya yang jauh lebih dari orang-orang biasa, berkata seperti itu di hadapan ku benar-benar membuat hati menjadi semakin mabuk setiap kali melihat dia berbicara. "Tapi ... tidak kah kamu curiga tentang apa yang terjadi dengan kita. Rasanya tidak adil seketika kamu yang begitu tampan malah berpacaran dengan ku." Aku mencoba untuk mengelak, padahal pada kenyataannya ingin sekali mengetahui maksud dan tujuan Samuel yamg menjadikan ku sebagai kekasihnya. "Jangan terlalu keras kepala dan tidak menuruti ku. Tidur dulu nanti ketika kita sudah sampai dan berada di tempat yang aman aku akan memberitahu mu. Oh yaa, aku dengar kamu sekarang tinggal di rumah kakek dan nenek. Apakah disana nyaman?" Samuel menjelaskan kepada ku, namun dia beralih untuk bertanya tentang rasa nyaman ku dan suasana di rumah itu. "Sebenarnya aku merasa tidak nyaman disana." Ucapan ku belum selesai Samuel tampak kesal dan geram menatap ku. "Jika kamu tidak nyaman, untuk apa kamu tinggal disana? Datanglah kepada ku, nanti aku akan menyediakan rumah untuk mu." Samuel tampak bersungguh-sungguh dia berbicara hal seperti itu, seolah-olah hal layaknya seorang pengusaha besar dapat dengan leluasa berbicara atau pun protes kepadanya. Tertidur di perjalanan yang cukup banyak memakan waktu, membuatku gundah dan gundam dalam mimpi. "Apakah, kali ini benar-benar hanya mampir saja?" "Apanya yang mampir, Kamu mimpi apa, Sayang?" Saat aku tertidur Samuel menepuk-nepuk kedua pipi ku, dia mengatakan bahwa aku begitu banyak pertanyaan meski di dalam mimpi. Dia hanya bisa tersenyum tipis sembari mengacak rambut ku dengan perlahan. "Katakan lah sebenarnya apa yang kamu inginkan dan juga jangan ada hal yang kamu sembunyikan dariku?" tatap Samuel. Aku hanya bisa terdiam duduk bersama dengan Samuel, dia semakin membuat ku nyaman berada di sampingnya. Deretan siswa-siswa lain begitu bersemangat ketika acara kelulusan di adakan di tempat tour sekaligus kita bisa merasakan keindahan alam dengan berkemah. Memang memakan waktu yang sangat lama untuk sampai di tempat tujuan, hingga pada akhirnya bus yang kita tumpangi berhenti di tempat yang sama sekali tidak pernah aku ketahui. Begitu luasnya perkebunan teh dengan sebagian orang pemetik teh berada jauh disana. Di tengah-tengah perkebunan yang hijau. "Sepertinya mulai musim hujan disini?" gumam ku. "Apanya yamg mulai musim hujan, disini itu memang cuacanya tropis seperti ini lembab. Jadi mau pagi siang ataupun malam disini tetap terasa dingin, maka dari itu kamu jagan jauh-jauh dengan ku biar aku bisa menghangatkan mu." Samuel berbicara seperti itu dengan wajah menggodanya, dia hanya bisa tersenyum tipis seperti biasa yang dia lakukan menggoda ku. Berjalan mengikuti mereka yang lainnya menuju tempat dimana kita akan melaksanakan acara kelulusan selama beberapa hari. Ini adalah pertama kalinya aku keluar dari rumah meski sebenarnya sudah dari beberapa hari yang lalu aku memang sudah tidak tinggal bersama dengan keluarga ku sendiri. Keluarga baru ku adalah keluarga dimana ada kakek dan nenek juga uwa ummi aku, meski rasa sedih dan seharusnya aku protes kepada kedua orang tua ku dengan mereka yang meninggalkan ku begitu saja, tapi aku jauh lebih bersyukur ketika masih banyak orang-orang yang memperdulikan ku termasuk pria yang ada di samping ku ini. Kembali Samuel memegang tangan ku berjalan mengikuti instruksi para panitia. Kali ini kita berada Bandung Ciwidey tempat dimana para turisme berlibur. Kali ini sekolah mengadakan acara kelulusan di tempat ini, kami hanya perlu menghabiskan waktu untuk yang terakhir kali bersama teman-teman dan guru setelah kelulusan. "Kemarilah Icha, kita buat tenda. Lagi pula tenda pria itu bukan disini! Memang harus yaah, pacar mu ini selalu mengikuti mu?" Nadira memanggil ku, dia adalah teman sekelas ku teman yang cukup baik dan bersolidaritas. Aku hanya bisa mengangguk dan membiarkan Sam untuk pergi tanpa harus mengikuti ku terus menerus. "Baiklah gadis ku, pergilah! Jangan lupa buat tenda yang kokoh jangan sampai roboh ketika seseorang menyentuhnya." Samuel menyentuh kedua bahu ku dan pergi setelah dia menyubit pangkal hidung ku dengan gemas. Aku hanya bisa tersenyum tipis masih belum percaya tentang dia yang menjadi kekasih ku kali ini. "Enak sekali kamu, punya pacar yang perhatian seperti itu. Udah tampan, kaya, perhatian juga. Memang yah kamu itu sama Sam itu benar-benar pasangan yang cocok. Selain kamu cantik, pintar kamu juga bisa mendapatkan seorang Samuel yang begitu terkenal di sekolah." Nadira terus-terusan memuji ku. Entah apa hal yang mengusiknya untuk mengajak ku satu tenda dengannya, namun aku jauh lebih bersyukur ketika dia yang menjadi teman satu tenda ku, lain dengan mereka yang melihat ku dengan pandangan tidak suka. Merasa kelelahan aku dan Nadira setelah membuat tenda hingga selesai, kami berdua duduk di depan tenda rasa lelah menyerang kami. "Bukankah jauh lebih baik jika minum air dingin sekarang!" Seru Nadira. "Yaa tapi ... Cuaca disini begitu lembab dan dingin. Apakah kamu yakin mau minum es?" Aku bertanya kepadanya dengan cuaca yang kali ini benar-benar menurut ku sangat dingin. "Kamu ini Cha ... Aku sudah terbiasa meminum es setiap waktu, meski cuaca sedingin apapun dan suhu seperti apapun aku tetap akan bisa bertahan. Apalagi dengan suhu yang sangat rendah, tapi aku jauh lebih akan menderita jika aku berada di suhu yang sangat tinggi dengan panas yang tidak bisa kulit ku ini merasakannya," jelas Nadira. Aku hanya bisa mengangkat sebelah alis ku ketika mendengar gadis mungil di hadapan ku bercerita tentang dirinya. Dia terlihat sangat polos bahkan membuat suasana hati menjadi begitu hangat ketika mendengarnya. "Apakah kalian sudah selesai membuat masing-masing tenda?" Suara panitia membuyarkan kami, yang lainnya juga ikut menanggapi ucapannya dan mulai berkumpul menghampiri panitia itu. Aku bersama Nadira berjalan dengan tergesa menghampirinya. Terlihat dari kejauhan Samuel tersenyum tipis kepada ku, sebagai sapaan dia memang tidak pernah jauh dengan ku selama di sekolah. Maka dari itu dia selalu ingin memastikan keberadaan ku baik-baik saja. Suasana kali ini begitu ramai, apalagi setelah para panitia mengumumkan tentang acara kelulusan yang akan di selenggarakan nanti sore. Kami hanya perlu untuk bersiap-siap namun sebelum itu beristirahat terlebih dahulu setelah melakukan perjalanan yang sangat panjang sedari pagi. Berjalan bersampingan dengan Nadira, gadis itu bercerita dengan sesuka hati. Aku hanya menjadi seorang pendengar kali ini, dia berbicara dengan sagat leluasa tanpa memikirkan tentang aku yang akan membocorkan semua tentang dirinya. Dia hanya bisa tersenyum kepada ku begitupun dengan balasan ku. Seorang wanita berjalan menghampiri ku dengan gelas di tangannya. Saat kami berpapasan tiba-tiba dia menumpahkan kopi yang cukup panas kepada baju ku. "Aww ... Maaf-maaf aku sengaja. Eeh tidak sengaja!" Seru Dera, dia tersenyum menyeringai ketika aku sekilas melihatnya hanya bisa menarik nafas dan membuang nafas halus ketika merasakan panasnya air kopi di baju ku. "Kamu ini bagaimana sih! Apakah mata kamu buta sampai-sampai menumpahkan kopi itu kepada Icha." Nadira tampak kesal melihat tingkah Dera yang begitu terlihat niatnya untuk menumpahkan kopi kepada Icha. "Hey, aku kan sudah minta maaf. Lagi pula kenapa dia berjalan mepet-mepet dengan ku. Harusnya dia itu berterima kasih hanya sebuah tumpahan kopi bukan cambukan," ejek Dera. Meski aku tidak memahami apa yang di katakan oleh Dera, namun sangat terlihat jelas bahwa Deta tidak menyukai ku. Hanya bisa menahannya ketika aku dengan sangat malas untuk membalas ucapannya. "Seharusnya kau minta maaf dengan sangat jelas, jangan malah mengejek kami," protes Nadira. "Sudah-sudah, sebaiknya aku berganti pakaian dan juga ini sangat perih." Aku mencoba menenangkan Nadira dan pergi mengabaikan Dera yang sekilas ku lihat tersenyum menyeringai lagi. Meski aku tidak tau apa yang menyebabkan Dera begitu tidak menyukai ku. Namun isu tentang aku yang gadis broken home dan juga status ku yang sebagai kekasih Samuel pria idola di sekolah ku, tentunya hal yang tidak mungkin jika mereka menerima ku sebagai kekasih nya. Maka dari itu, ini lah yang aku terima konsekuensi menjadi kekasih seorang pria tampan di sekolah. "Harusnya kamu tidak perlu memaafkannya, dia itu benar-benar keterlaluan," Nadira berulang kali protes, namun aku tau gadis ini benar-benar mengkhawatirkan ku sampai-sampai dia menyiapkan dan mengeluarkan kotak P3K dari tas nya. "Kamu mempersiapkan semua ini hanya untuk pergi ke perkemahan?" "Yaa ... Aku tau, meski pun aku tidak terluka tapi setidaknya untuk berjaga-jaga selain untuk ku juga teman-teman ku termasuk kamu. Sini tangan mu, jangan sampai ada bekas lukanya. Sampai semerah ini! Pakaian mu juga ganti jangan sampai melepuh, untung saja kopinya tidak terlalu panas." Nadira berbicara tanpa henti sembari dia mengoleskan sebuah salep yang sangat dingin di lengan ku. Aku hanya bisa tersenyum dan bersyukur memiliki seorang teman seperti Nadira. Padahal selama ini aku hanya bisa terdiam saja dan berprilaku seperti siswa-siswa lainnya. "Kali ini setelah kelulusan, kamu mau kuliah dimana?" tanya Nadira. "Kuliah? Sepertinya aku tidak terpikirkan sampai ke sana," tanggapku. "Maksud mu ... kamu tidak lanjut kuliah, kenapa?" Nadira semakin penasaran dengan ku. "Kenapa kamu masih bertanya tentang Kenapa? Aku hanya seorang diri dan juga aku tinggal bersama dengan kakek nenek ku, paman dan bibi ku itu bisa menerima ku saja aku sudah bersyukur bahkan jauh lebih beruntung dari siapa pun. Tidak perlu sampai harus menyekolahkan ku dengan lebih tinggi." Jelas ku "Yaa usia mu sudah 19 tahun, seharusnya sudah sewajarnya kamu itu kuliah apa lagi dengan kepandaian mu," puji Nadira. "Tidak apa ... Lagi pula sebuah pekerjaan itu di andalkan adalah kemampuan seseorang bukan setinggi apa pendidikannya. Tenang saja aku pasti memiliki pekerjaan yang layak," jelas ku. Nadira mengangguk setelah mendengar penjelasan dari ku. Gadis dengan status yang sebagai orang kaya itu membuatku berpikir bahwa tidak semua wanita kaya bisa seangkuh Dera, ternyata Nadira jauh lebih baik dari semua orang. Tiba-tiba sebuah tangan meraih tangan ku mengejutkan kami berdua. "Kamu tidak apa-apa sayang? Yaa ampun, tangan cantik mu ini kenapa sampai harus seperti ini! Siapa yang melakukannya?" Samuel terlihat tampak khawatir ketika dia melihat tangan ku yang memerah. Namun tiba-tiba Nadira memukul tangan Samuel. "Kau ini! Bukannya permisi terlebih dahulu apa lagi masuk kedalam tenda wanita juga malah memegang bagian terlukanya! Kau khawatir atau memang mau membunuhnya!" protes Nadira. "Apa yang kau katakan, tidak mungkin aku mau membunuh kekasih ku," elak Sam. "Lalu, apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Nadira menunjuk kearah tangan Samuel yang memegang erat tangan ku. Hanya bisa tersenyum tertahan melihat pertengkaran mereka berdua. Samuel melepas pegangan tangannya dan meniupi tangan ku yang memerah dengan sangat lembut. "Sebaiknya aku keluar saja, benar-benar sangat panas sekali dan akan membuat ku berkeringat jika berada di dalam tenda seperti ini! Kalian jangan terlalu lama disini, keluar lah atau jika tidak keluar nanti ada panitia yang tau, bisa mati kalian!" Aku dan Samuel hanya bisa tersenyum tertahan mendengar gerutuan Nadira.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN