4 || Tidak Serius, Katanya

1771 Kata
"Ca, mau aku kasih tau rahasia keluarga aku, nggak?" Mars yang bicara. Saat itu Alisya sedang berada di ruang ekskulnya, ekskul musik. Sekadar informasi, Ica tidak sanggup bila masuk ekskul sains sebagaimana Bumi, tidak juga mampu bila masuk ekskul basket, pun cheerleader bukanlah minatnya. Jadi, ekskul musik saja, bersama dengan Mars. Kala waktu belum membawa Alisya duduk di bangku pelaminan, dia masih kelas 2 SMA. Dulu. "Apa, tuh? Eh, tapi kalo aib, nggaklah. Nanti dosa." Mars terkekeh. "Aib, sih. Tapi ... kayaknya kamu perlu tau, Ca." Jika begitu, Alisya jadi penasaran. "Coba sini deketan, aku bisikin. Soalnya ini sesuatu banget." Dengan raut paling serius yang Mars tunjukkan. Apa, sih? Kan, Ica jadi manut. Dia mendekat, menyediakan telinga untuk kemudian Mars bisikkan. Yang katanya, "Angkasa impoten." H-hah?! Kira-kira begitu gambaran raut Alisya, menatap Mars dengan tidak biasa. Maksudnya ... "Gimana?" Sulit dicerna. Mars bisikkan lagi, "Impoten. Aca." O-oh. Tidak. Bukan itu. Ica mengerjap. Yang ingin dia pertanyakan sejatinya tentang; kok, bisa? Jangan bercanda! Toh, ngapain disampaikan hal itu kepada dirinya? Dulu. Mars sudah melakukan berbagai cara agar jika Alisya tidak mau jadian dengannya, maka tidak pula jadian dengan Angkasa atau Bumi. Meski demikian, rasa suka Mars terhadap Alisya tak pernah disampaikannya. Hanya dia koar-koarkan kepada kembaran, tanpa berani bilang langsung kepada yang bersangkutan. Jujur, Mars takut hubungan baik perkawanannya dengan Alisya malah jadi merenggang apabila dia menyatakan rasa. Tapi karenanya, dia dan Alisya jadi tidak 'menjadi siapa-siapa', selain teman masa kecil, teman ketemu gede, dan teman dekatnya. Alisya pernah jauh dari jangakauan Mars, sewaktu anak Om Leo itu pindah sekolah dan pindah rumah, saat itu Mars tak lagi mengingat perihal kondisi hati yang sangat menyukai Alisya. Namun, begitu Alisya kembali, tanpa perlu menunggu hari kedua, perasaan suka di hati Mars timbul lagi. Kali ini justru lebih dahsyat. Bagaimana bisa bocah cilik yang sepantaran dengannya itu tumbuh sempurna menjelma gadis yang begitu menarik di matanya? Alisya merajai hati Mars sedari usia anak-anak. Bermula sebagai cinta monyet, ibarat kata sekarang naik level jadi cinta gorila. Ada yang begitu. Mars salah satunya. Merasakan debar di hati tiap kali mata bertemu tatap dengan Alisya, melihat senyumnya, berbicara dengannya, dan berjalan beriringan hingga tak sengaja kulit tangan jadi bersentuhan. Deg-deg ser hati Mars di sana. Namun, bagaimana, ya? Rupanya, Alisya juga sama. Dia masih menyukai sosok Bumi. Tak peduli jarak pernah memisahkan, waktu pernah berlalu kejauhan, dengan tanpa adanya kontak 'komunikasi' atau kebersamaan. Demikian itu, Mars pernah nyeletuk di antara dua kembarannya bahwa, "Janji, ya, di antara kita nggak ada yang boleh pacaran sama Ica." Mars takut. Meski Bumi nyatanya sudah punya pacar, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk kelak bisa bergandengan dengan Alisya. Sedangkan, Angkasa .... Nggak yakin, sih. But, why not? Angkasa pun bisa saja tertarik kepada Alisya. Mars cuma jaga-jaga. Lama dia perhatikan, semakin ke sini Alisya justru lebih terlihat akrab dengan Angkasa, di situ Mars mulai gelisah dan berpikir ... kiranya apa yang bisa membuat Alisya tidak tertarik dengan Angkasa? Berpikir. Ah, ya, itu .... "I-impoten?" Mars mengangguk keras, pertanda dia dapat dipegang ucapannya. Alisya sontak mengerjap part sekian. By the way ... impoten adalah? Tak terasa waktu berlalu. Alisya telah memilih untuk tak ambil pusing tentang hal itu. Toh, tidak ada kaitannya dengan dia. Jadi, abaikan dan tetap jadi kawan Angkasa tanpa menyinggung rahasia besar keluarga mereka yang telah diketahuinya. Dulu. Alisya berhasil menenggelamkan ingatan soal kondisi organ yang paling krusial di diri Angkasa, pernah sekian kali dia mengasihani dalam diamnya, kasihan Aca, kasihan juga sosok yang kelak menjadi istri gerangan. But, apa ini? "Santai, Ca. Aku nggak nafsuan, kok, orangnya." Angkasa bicara, kadang garuk-garuk kepala meski tak gatal, detik di mana dia memaparkan, "Jadi, amanlah, ya. Rebah aja di sini dengan nyaman." Sambil menepuk-nepuk sisi ranjangnya. Di sana .... Benar, di kasur yang sama dengan yang sedang Angkasa duduki. Sementara, Alisya masih apik berdiri. Baru selesai mandi, dan tadi sempat berpapasan dengan Bumi yang keluar dari kamar ini. "Lagian cuma malam ini doang kata papa. Besok kita pisah kamar." Seperti itu ketentuan yang pernah Alisya dengar, bahwa jikapun pernikahan dengan salah satu anak Mama Venus ini berlangsung, selagi baju seragam putih-abu masih dipakai, maka nanti tidurnya tidak di satu kamar. Pun, masih dalam pengawasan orang tua. Sejujurnya Alisya heran ... kalau begitu, buat apa dinikahkan? Cuma supaya dapat 'halal'-nya saja, begitu? Dan Angkasa orang terpilih, dia yang akhirnya menjadi mempelai pria pagi tadi, bersedia mengambil sebagian--sebelum nanti seluruhnya--tanggung jawab Papa Leo atas diri Alisya ini. Mungkin ada yang bertanya-tanya, lalu mengapa Alisya mau? Kenapa setuju? Dan kenapa sudi menikah dengan Angkasa, bukan Bumi, apalagi Mars? Selain itu, Angkasanya juga kenapa bisa bersedia? Rumit, ya? Mendadak jadi berat jalan ceritanya, yang tak bisa dikupas secara buru-buru. "Ca?" Angkasa bersuara, lagi. Seolah bertanya, are you okay? Oh, jelas! "Kepala aku pening, Aca." "Ya, kan ... sini, sini!" Sambil bergeser semakin memperluas tempat untuk Alisya di ranjangnya. "Coba sini, rebahin. Kamu pasti pusing mikirin kenyataan pahit ini, kan? Senggaknya, kita senasib." Hell. "Kenapa kamu nerima perjodohan kita, Aca?" "Bener. Pertanyaan aku juga sama, Ca. Kenapa kamu nerima lamaran papa dan mama aku, yang padahal itu bukan buat Mars atau Bumi?" Nah, itu. Keduanya terdiam. Saling pandang. Argh! Alisya rebahan, Angkasa awet duduk sambil terus memandang. Belum bisa dipahami alur hidup mereka ini, tetapi perlahan ... mencoba pelan-pelan ... Angkasa sendiri ingin mengerti kenapa kisahnya jadi demikian. Pun, Alisya sedang sibuk menata kejadian lampau sehingga waktu membawanya pada hari ini. Hari di mana seorang Angkasa Raya Merdeka--bukan itu nama aslinya--mengucap ijab kabul berjabatkan tangan sang papa. Lepas itu, papa langsung menitipkan Alisya kepada Angkasa, juga keluarga Om Gempa--yang kini mesti disebut 'papa' juga. Uh, papa mertua. Esok hari, Papa Leo akan terbang ke luar pulau. Ya, gara-gara itu awal mulanya. Alisya menarik napas panjang. "Tadi Bumi ngapain di sini?" Terkesiap, Angkasa baru saja merebahkan diri. Kiranya, Alisya protes sebab dia juga rebah di kasur yang sama. Rupanya celetukan itu tentang Bumi. "Oh, itu. Biasa ...." "Apa?" Sambil berbalik, dari yang semula tidur memunggungi. Lagi, Angkasa terkesiap. Kaget, Lur! Baru kali itu di waktu malam menjelang terlelap, di bawah atap yang sama, di atas ranjang yang serupa pula, ada wanita. Angkasa tentu belum terbiasa, jadi agak waswas terhadap pergerakan Alisya. Tapi ini bukan karena tertarik, suka, apalagi cinta, ya! Bukan. Angkasa tahu hatinya sudah naksir ke perempuan yang mana. Si anak cheerleader sekolah musuh. Ica juga tahu. "Bumi datang ngasih wejangan sebagai abang." Sambil mengedikkan bahu. "Gak jelas, sih, asli." "Bukannya atas undangan kamu?" Makanya Bumi masuk kamar ini, lalu papasan dengan Alisya, dan Bumi bilang karena dipanggil oleh Angkasa. Alisya cuma ... heran plus penasaran saja kenapa Bumi keluar dari kamar pengantin. Namun, kini alis pria di depannya naik sebelah seakan itu tidak benar. "Mana ada. Dia yang nyelonong masuk." Oh, seperti itu? "Terus?" Alisya masih kepo, dia belum mendapatkan apa yang ingin didengarnya atas hal itu. "Apa?" Berdecaklah dia, gemas terhadap respons Angkasa. "Ya, Bumi ngapain, ngasih wejangan apa, gimana? Kasih tau!" Maksa. Gantian, Angkasa yang berdecak. "Kamu, tuh, ya, Ca ... udah jelas-jelas kapan hari nangis gara-gara Bumi, bukan air mata pertama, pas tau kalau ternyata Bumi sama Laras itu cuma backstreet aja, sedangkan usaha kamu yang sampe ngutang ke aku buat jajanin dia, eh, taunya jajanan itu dinikmatin sama Laras ... masih aja mau denger segala sesuatu tentang Bumi. Kenapa, sih?" Angkasa ngomel-ngomel. Iya, dia tidak habis pikir. Rasa sakit yang Alisya cecap itu, seolah nggak ada harga dirinya tergerus oleh perasaan naksir kepada Bumi. Berkali-kali Alisya datang padanya, dengan air mata dan cerita, katanya sakit banget ini hati ... Bumi yang memberikan lukanya. Begitu dan begini. Namun, dengar sendiri, kan, tadi? Masih saja kepo soal Bumi. Sekarang Alisya mencebik. Tanpa menyahut, cewek itu langsung balik rebah memunggunginya. Sudah, ya? Inti dari obrolan mereka adalah ... Angkasa dan Alisya telah resmi menikah, meski hati sama-sama tidak berjalan searah. Alisya masih dengan rasa sukanya terhadap Bumi, tak peduli bila berkali-kali selalu merasakan sakit. Sedangkan, Angkasa dengan cinta barunya. Baru sekali. Baru bersemi. Wahai murid sekolah sebelah, anak cheerleader, yang sudah Angkasa dekati. Jadi, pernikahan jenis apa, ya, ini? Dipikir-pikir, Angkasa tahu jawabannya. Jawaban dari yang sebelumnya Alisya tanyakan, tentang kenapa dia mau menerima ide perjodohan itu. Tentu, karena kasihan. Bumi yang pertama kali ditawarkan oleh mama, menolak dengan tegas bahwa dia mau fokus meniti karier dengan awal dari jenjang perkuliahan kelak. Kemudian Mars yang bersedia, bahkan sebelum diberi pertanyaan 'mau atau tidak', malah ditolak papa kesediaannya dengan alasan ... kalau mau jadi idol, sebaiknya jangan ambil tanggung jawab menikahi Alisya. Papa berubah pikiran, padahal tadinya welcome-welcome saja. Lantas, satu-satunya harapan adalah Angkasa. Mama sampai memelas. Dari situ, papa malah mengajaknya bicara empat mata. Hal yang pada akhirnya Angkasa angguki .... Dia bersedia menikahi Alisya. Perempuan yang saat ini sudah pulas di sisinya, sedangkan Angkasa masih terjaga, memandang langit-langit kamarnya. Belum lagi setelah obrolan dengan papa, saat pada akhirnya dilamarkan Alisya untuknya, dia dan putri Om Leo ini menyempatkan untuk bicara berdua. Saat itu. "Deal, ya? Meskipun kita nikah nanti, kehidupan kita tetep milik masing-masing." "Deal. Aku bahkan nggak masalah kalau nanti kamu punya pacar atau malah pacarannya sama Bumi." Angkasa yang bilang. "Asal kamu nggak dibikin nangis lagi." "Nggak mungkin, sih, kalau Bumi. Tapi kalau yang lain ...." Alisya mengedikkan bahu. "Kamu juga boleh. Lanjutin aja progres kamu yang lagi pedekate-in anak cheerleader itu." Angkasa mengangguk. Sepakat bahwa pernikahan tersebut akan dirahasiakan, setidaknya kalau bahasan dengan orang tua itu sampai lulus sekolah nanti. Dilaksanakan sesegera mungkin acara akadnya karena papa Alisya harus segera bertolak meninggalkan sang putri, dititipkanlah kepada Angkasa berikut keluarganya. Alisya menolak ikut dengan sang papa soalnya, memilih tetap di ibu kota ini sekali pun jadinya harus mau menikah dini. Dengan anak Mama Venus yang pasti. Dipikir-pikir lagi, Angkasa menerima perjodohan itu karena calonnya adalah Alisya. Pun, Alisya juga mungkin sebaliknya. Merasa karena; toh, nikahnya juga sama Angkasa. Bisa diatur. Yang penting, nikah saja dulu. Setelah menikah ... lalu apa? Ya, menjadi sosok Angkasa dan Alisya yang seperti biasa. Tidak ada obrolan di antara mereka untuk belajar saling jatuh cinta. Membiarkan hati Alisya gersang sebab terus menyukai Bumi, juga membiarkan hati Angkasa berbunga-bunga mendapati cinta pertamanya dari murid sekolah lain. Kebayang? Hanya mereka yang tahu, Alisya dan Angkasa. Namun, itu sebelum Bumi memasuki kamar pengantin dan menemui Angkasa untuk bilang, "Kalian pasti nggak serius, cuma manut-manut tanpa ada niat baik dari rencana baik keluarga kita." Angkasa sampai terkejut. Oh, bukan karena apa yang diucapkan kembarannya, tetapi lebih kepada ... kok, Bumi sampai mau masuk ke kamarnya? Padahal seumur jadi kembaran, di rumah pun Bumi paling anti bersosialisasi, apalagi sampai silaturahmi ke ruang pribadi. Lagi, Bumi bilang, "Jangan sentuh Ica sampai kalian bener-bener ngerti apa yang saya omongin ini." Sampai situ ... pahamkah?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN