"Bumi, habis lulus SMA nanti, udah kepikiran mau ke mana?"
Saat keluarga Gempa--I mean, papanya Bumi, Angkasa, dan Mars--itu sedang kumpul makan malam bersama. Ada juga adik bungsu mereka, Oceania (sebut saja Nia).
Mama Venus duduk di dekat papa, lalu berjajar antara si kembar tiga di seberang meja sana, barulah sosok Nia berdekatan dengan mama mereka--berhadapan dengan ketiga abangnya.
"Udah."
"Mau lanjut ke mana?" tanya papa.
"Kuliah, ambil jurusan kesehatan. Tapi kalau nggak keterima, mau coba ikut tes di kampus-kampus kedinasan."
Well ....
Mereka sudah duduk di bangku kelas 3 SMA. Maka dari itu, obrolan tentang masa depan sudah intens diperbincangkan di meja makan.
"Keren, keren!" timpal Mars. "Emang Bumi, tuh, ter-the best, sih. Mateng banget pola pikirnya. Ini Mars aja masih bingung mau memutuskan kerja atau ngidol aja." Sambil haha-hehe.
"Maksudnya, kamu mau ikut audisi-audisi musik gitu?" seloroh mama mereka.
Yups! Mars si pencinta musik, dia yang pandai bermain alat musik hingga bisa menciptakan lagu sendiri, meski hanya didengar oleh diri sendiri pula, itu tebersit niatan untuk terbang ke dunia musisi, atau jadi idola. Mars cita-citanya ke arah sana, jujur. Meski belum yakin seratus persen juga, sih.
"Kalau Angkasa?" celetuk papa.
Nia tidak ditanya karena sudah jelas belum waktunya memikirkan secara serius tentang hal itu. Demikian ucapan Papa Gempa.
"Atlet basket."
Tidak.
Itu bukan Angkasa yang bilang, melainkan Oceania, tersenyum manis kepada abangnya sambil lanjut berucap, "Ya, kan, Bang?"
Terbukti, isi kamar Angkasa penuh dengan nuansa basketnya. Mulai dari wallpaper, stiker, pajangan berupa foto, ring dan bola basketnya pun ada, bahkan miniaturnya.
So, Angkasa nyengir di situ.
Cuma nyengir.
Sampai waktu berlalu dan tiba di detik-detik Bumi memperjuangkan PTN impiannya. Dia serius dan tekadnya sudah bulat.
Ketika itu, Bumi menoleh. Mendapati adanya sebuah juluran tangan yang membawa serta plastik makanan.
"Aku beli lebih," katanya. "Buat kamu aja."
Dengan senyum super manis, apalagi saat Bumi terima. Alisya pun pamit undur diri, meninggalkan Bumi untuk lanjut fokus belajar lagi.
Di perpustakaan.
Sesudahnya, Ica senyum-senyum sendiri. Tahu, nggak?
Bumi sudah putus dengan Laras, itu yang bikin Alisya memutuskan untuk ambil langkah maju. Nggak apa-apa, dong? Bukan karena belum move on, tetapi merasa ... apa, ya? Alisya hanya penasaran. Ada kesempatan yang datang, jadi sebaiknya tidak dilewatkan.
Setidaknya, coba dulu. Urusan apa hasilnya, itu perkara nanti.
Toh, hatinya masih gampang berdebar jika itu untuk Bumi. Jadi?
"Gitu, ya, Ca? Minjem duit sama aku, rupanya buat ngejajanin Bumi? Oke, cukup tau."
Eh, eh!
"Apaan, sih, Aca. Lebay, ah. Orang aku cuma minta tolong talangin dulu. Kan, uang aku ketinggalan di rumah dan kamu juga tau. Gimana, sih. Nanti aku ganti!"
Angkasa mengerling.
"Nggak usah ngambek."
"Gimana, ya, Ca? Yang kamu pinjem itu uang buat modalin gebetan aku, bela-belain aku kasih utang ke kamu. Eh, malah buat Bumi ending-nya."
Astaga.
"Aca, plis, deh. Aku ganti. Sabar aja, bentar lagi juga kita pulang sekolah, kan? Mampir dulu ke rumah aku," tukas Alisya.
Lalu mereka berjalan beriringan.
"Betewe, udah sampe mana kamu pedekatenya sama cewek itu?"
"Kepo."
"Dih." Alisya mendelik.
Betul, waktu berlalu sampai-sampai Angkasa yang aktif menjomlo itu mulai punya hilal gandengan. Katanya, dia naksir anak sekolah sebelah. Sayangnya, sekolah sebelah itu saingan dari sekolah ini, katakanlah musuh.
Mereka bertemu waktu ada turnamen basket, si cewek adalah anggota cheerleader sekolah itu. Di mana Alisya turut serta menonton dan jadi tim hore, paling kencang meneriaki Angkasa.
Satu bulan lalu.
Waktu itu, Alisya melihat sendiri bagaimana wajah Angkasa yang terpesona, jadi bahan ledekan untuknya terhadap pria satu ini. Sekarang sudah resmi disebut gebetan, sudah intens chatting-an, tetapi Angkasa pelit sekali tidak mau menunjukkan bukti kedekatan mereka.
Kan, Ica penasaran.
"Gini aja, Ca. Besok kamu jajanin dia, uangnya aku kasih lebih, deh. Hitung-hitung sebagai tanda terima kasih."
"Deal!" Angkasa sampai menghentikan langkahnya, juga memberi juluran tangan.
Dasar!
"Iya, deal!"
Begitu.
Mereka bersalaman. Yang lalu tangan Alisya ditarik, agak tersentak jadinya, membuat tubuh sedikit oleng dan berhasil Angkasa apit lehernya.
"Aca!"
Kebiasaan.
Angkasa tertawa, tak peduli pada mata yang menatap ke arahnya. Di lorong itu, dia membuat Alisya geram dengan apitan lengannya.
"Aku bilangin Bumi, nih! Aca ... aw!"
Makin terbahak, yang lalu dilepasnya. Alisya misuh-misuh, tentu saja. Dan dengan jailnya, Angkasa bilang, "Bilangin Bumi? Lha ... kamu siapa?"
Siapanya Bumi, huh?
Alisya?
"Ya ... calon istrinya, nggak, sih?" Bisik-bisik geram kepada Angkasa, agaknya dia sampai ambil langkah mendekat, lalu menunjukkan raut paling serius saat berucap, "Pilihan aku udah bulat. Tawaran mama kamu, aku pilih Bumi aja ... and I said yes."
Hell.
"Aca!"
Jidatnya malah didorong dengan tidak sopan oleh jari telunjuk Angkasa. Ya Allah, plis! Alisya sebal sekali. Untung sobat, meski Angkasa menertawakannya diiringi lirikan mata; apaan, sih, lo? PEDE!
Ya, gimana, ya?
***
"Tuh, kan ... aku bilang juga apa, Mbum? Gak baik backstreet-backstreet-an kayak gini. Lihat, kan? Makin menjadi."
Ada yang menggerutu di situ, ada pula yang memajukan bibirnya karena sebal, tak bisa bertindak secara terang-terangan untuk melindungi mas pacar.
"Habiskan dulu makanan di mulutnya, Ras."
Baru bicara.
Mungkin, seperti itu?
Laras telan hasil kunyahan, di mana sejak dia dan Bumi pacaran diam-diam, yang orang lain tahu adalah putus, seketika dia jadi sosok penampung makanan atau bingkisan-bingkisan yang wanita lain beri kepada Buminya.
Huh, menyebalkan.
Meski demikian, lumayan juga.
Uang jajan Laras jadi utuh, dia hanya tinggal datangi Bumi, lalu melahap apa-apa yang selalu tak pernah absen di atas meja atau di dalam tas Bumi. Kali ini sama seperti waktu-waktu kemarin, jajanan varian rasa dari ... siapa, tuh?
"Ica naksir berat, deh, fix, sama kamu. Padahal aku kira dia udah move on," cebiknya.
Hari itu ... Bumi dan Laras sedang duduk berdua di taman. Seperti biasa, keduanya belajar giat di mana saja. Laras sebut ini kencan sehat.
Oh, iya, tentang Ica ... si Alisya-Alisya itu, Laras sebal sekali. Dewasa kini sudah tidak duduk sebangku, pernah ada tragedi yang memecah belah perkawanan, hingga jadi saling diam dan saling tak memedulikan. Namun, sampai detik ini, Alisya masih tampak naksir Buminya. Yang membedakan, dulu penuh batasan, sedangkan sekarang Alisya super terang-terangan.
"Ah, pasti karena rumor putus itu. Mereka nggak tau aja kalau kita masih mesra!" Sambil menyandarkan kepala di bahu Bumi, lalu memejamkan mata.
Tangan Bumi, Laras gandeng kemudian. Meski hanya duduk diam di tempat.
Mesra, kan?
Bumi pun tidak menolak, dia diam. Fokus pada bacaan. Toh, selama pacaran bertahun-tahun, Bumi memang begini. Laras sudah maklum. Namun, Bumi hanya mau dipegang oleh orang-orang tertentu saja, salah satunya Laras. Jadi, dia ini spesial, dong?
"Mbum."
"Hm?" Fokus sekali, Bumi cuma menggumam sebagai respons.
"Nanti kalo kita nggak sekampus, kamu jangan selingkuh, ya, di sana? Jangan ganjen. Tetep jadi Buminya Laras aja. Terus ...." Menatap Bumi. "Jangan berpaling, apalagi sama Alisya."
Ya, saat itu.
Bumi tak lantas menjawab.
Namun, Laras menuntutnya. "Pokoknya, jangan Alisya. Nggak peduli dulu kalian punya hubungan seperti apa, sebagus apa kenangannya, awas aja kalo--"
"Ras."
Dipangkas.
Mereka berpandangan.
"Alisya itu cuma orang yang pernah hampir jadi adik tiri aku, nggak lebih."
Bumi sendiri yang bilang, makanya Laras tersenyum.
"Mm ... oke. Eh, jajanannya aku abisin, boleh?"
"Ambil aja. Toh, itu kesukaan kamu semua."
Jelas!
Laras tertawa.
Namun, tak tahu, ya?
Ada hati yang lambat-laun merasakan rambatan pedih dan sakitnya, perlahan, sangat pelan ... keping demi keping yang semula utuh kini retak tanpa disadari pemiliknya. Mematung di sana. Dengan sorot mata lurus ke titik fokus yang kabur dihinggapi embun-embun tanpa seizin yang punya.
But, satu yang pasti.
Agar apa dia sembunyi?
***
"Nah, sekarang udah kumpul semua, kan? Lengkap, ya?" Diiringi senyum super manis bin ramah kepada siapa saja yang jatuh berpandangan dengannya.
Mama Venus.
Alisya ukir senyum serupa, membalas senyum gerangan.
Hari itu dia mendapatkan undangan makan malam di kediaman beliau, lalu dijemput Mars yang super tampan. Sampai-sampai Alisya tak ada bosannya memuji penampilan sang kawan, Mars jadi tersipu, diledeklah oleh Alisya yang semakin menggoda dengan pujian-pujiannya.
Tanpa tahu bila semu merah jambu yang super samar di wajah Mars itu timbul tidak hanya sekadar timbul. Bukan cuma karena malu-malu, tetapi ... ada emosi bernama cinta di situ. Dadanya ikut berdebar dipuji oleh Alisya.
Percayalah!
Anak Mama Venus dan Papa Gempa memang dasar tampan semua, Alisya jadi kikuk tiba-tiba, kala mata bertemu tatap dengan Angkasa ... see! Bahkan sobat jailnya pun sukses membuat Alisya salah tingkah di sana. Sebentar saja. Hanya sebentar. Alisya terpesona.
Gilak!
"Ngedip, Ca," bisiknya, si Angkasa Raya Merdeka. "Mata kamu sampai kering melototin aku segitunya."
Oh--hei!
Hellooow!
Alisya berdeham. Berisik sekali suara batinnya, tanpa diucap, dia cuma melirik--dengan sorotan paling normal kepada Angkasa. Normal di sini adalah tatapan yang biasa Ica berikan kepada Aca, entah itu kerlingan jengkel, sebal, malas, atau bahkan muak-muakan.
By the way ... Bumi masih menjadi sosok paling good looking di mata Alisya.
Sayang, hatinya tidak sebaik kemarin ... kemarinnya lagi ... saat mata ini dan mata Bumi bertemu. Alisya merasakan rambatan perih hari itu kembali menyapa, padahal kejadiannya sudah berlalu sekian hari.
Ya, hari di mana Ica tak sengaja melihat Bumi. Dia yang sedang berolahraga sore di taman kota, menjumpai Bumi yang ternyata tidak sendiri. Awalnya mau disapa, sosok-sosok mereka kelihatan bagian belakangnya saja, hingga diam-diam mendekati, sekaligus penasaran ... bukannya Bumi dan Laras sudah tidak pacaran?
Di sekolah sudah gempar kabar putusnya mereka. Angkasa dan Mars pun tahunya begitu. Dan postur bagian belakang tubuh mereka, Alisya mengenalinya. I mean, Laras dan Bumi. Keduanya sama-sama masih memakai seragam sekolah pula, meski dilapisi jaket. But, Ica tahu itu jaket Bumi. Yang satunya ... jelas, dia Laras.
Well, semakin dekat rasanya semakin tidak keruan. Mendebarkan. Sebagaimana sekarang. Entah siapa yang ngatur, tempat duduk Alisya pas di depan Bumi--putra Papa Gempa.
Sakit.
Bukan soal penolakan yang sudah jelas dia dapatkan dari Bumi walau secara tidak langsung, tetapi ini jenis sakit yang ... entahlah. Sampai-sampai rasa sakit di hati bercampur sari dengan rasa rendahnya.
Untuk apa selama ini dia kembali beraksi meraih hati Bumi? Alisya, sebagai matahari--yang jika dianalogi--tak seharusnya dia mendekati bumi. Biarlah Ica terbakar sendiri.
"... jadi, gimana menurut Ica? Setuju?"
Eh, apa itu?
Alisya terkesiap.
Praktis semua mata di ruang makan tertuju padanya, termasuk Bumi. Catat, Bumi!
"Nggak sopan, tuh, Ma. Ica nggak ngedengerin," celetuk Angkasa. "Sibuk aja mikirin--"
"Aca!" Ditehur papa.
Oke, Angkasa mingkem.
Maaf, ya.
Sedangkan, Mars langsung menerbitkan senyum di kala sorot mata Alisya jatuh memandangnya. Yang begitu tenang, senyuman Mars.
Alisya berdeham.
"Oke, nggak apa-apa. Mama bisa ngulang dari awal, kok, bahas yang tadinya."
Padahal Ica baru buka mulut, eh, sudah dipangkas. Namun, salahnya juga yang malah melamun. Dengan hati penuh debar asing, menyakitkan. Lalu mata panas mengembun, tak kuasa di kala pikiran membawanya napak tilas ke kejadian di taman.
Sejak awal ... Bumi betul-betul (sudah) tidak menyukainya, ya? Dan betul-betul (sudah) melepaskan begitu saja semua yang Alisya anggap masih sangat berharga.
Sekarang semakin jelas.
"Mungkin habis kelulusan kalian itu acara pernikahannya sudah bisa dilangsungkan ... gimana, Ca?"
Ica, eh?
Atau ... Aca?
Keduanya sampai menoleh bersamaan menatap Mama Venus di sana, sedangkan Papa Gempa tampak menatap salah satu putranya.
Siapa?
Yang saat itu menjabat tangan Om Leo, papanya Alisya. Kala waktu dikisahkan saat Ica sudah sah diperistrikannya. Dan ... begitu malam tiba. Malam pengantin.
Kebayang?
Alisya dan Bumi bertatapan.
Ada jantung yang berdebar sangat kencang, entah jantung siapa. Berikut rasa sakit tanpa ada obatnya.
"Maaf, tadi Angkasa manggil."