5 || Tak Lagi Sama

1554 Kata
Aneh. Asing. Dalam satu waktu, semua jadi terasa tidak menyenangkan ... bagi Alisya di hari pertamanya menikmati sarapan bersama keluarga Angkasa, sebagai penyandang status baru tentunya. Kenapa, ya? "Nggak usah, gue bisa sendiri." Well, Alisya agaknya terhenyak mendengar tutur kata itu. Mars. Membuat juluran tangan Alisya menggantung di udara ketika baru saja dia hendak mengambilkan sup ke mangkuk sobatnya. Betul, kan, sobat? Sobat rangkap ipar. Maksud hati, Ica ingin melakukan hal yang mungkin bisa dikatakan 'akrab', 'baik', dan 'berbaur' secara natural walau statusnya sudah bukan sekadar sahabat, melainkan ipar dan yeah ... begitulah. Toh, dia adil di sini. Mulai dari Oceania, Angkasa, bahkan Bumi--tadinya, sebelum Mars memberi penolakan ketus yang tak diduga. Sebutannya pun sampai "gue-guean". Di situ, Mama Venus berdeham. Raut Mars memang tidak bersahabat sejak kemarin pagi Angkasa menghalalkan Alisya. "Ya udah kalau Mars nggak mau, punya Mama aja, Ca." Sambil menyodorkan mangkuk. O-oke. Alisya gugup, agaknya dia masih syok. Dengan sesekali melirik-lirik sosok Mars. Betul-betul berbeda. Sangat berbeda. Sedangkan, Angkasa tidak bicara. Tidak pula bertindak. Biasa saja, biasa. Lalu ... Bumi? Kalian berharap apa sama cowok itu? Bumi jelas diam dan tekun dalam melahap makanannya, dengan tanpa mengacuhkan apa yang terjadi barusan. "Punya Papa juga, Ca." Oh, Papa Gempa. Alisya diminta memanggilnya demikian. Lantas, dia ulas senyuman. Menuangkan sup ke mangkuk mereka, Alisya senang. Justru dari awal ini adalah inisiatifnya. Pagi itu mama masak bubur sup, tetapi pisah antara bubur dan kuahnya. Alisya bangun kesiangan, eh, atau memang dia tidak bangun sepagi Mama Venus. Jadinya tidak ikut serta bantu memasak. Kan, sebagai penduduk baru di keluarga itu, meski sudah dekat sedari kecil, tetapi dewasa kini Alisya merasa--minimal--ada kontribusinya. Demikian, inisiatif itu datang. Sayang, mendapat kejutan sedahsyat penolakan berbahasa 'tidak biasa' dari Mars. Di luar ekspektasi. Kok, hari pertama setelah pernikahannya begini? Tatapan Bumi pun jadi semakin tidak terjangkau. Eh, bukan. Jangankan menatap, kayaknya ... semaksimal mungkin Bumi menghindari kontak mata dengan Alisya. Ish! Kenapa, sih?! Kenapa mereka begitu? Ica pun menunduk, telah memulai acara sarapannya, menelan dengan kelat bubur sup buatan mama mertua. Oh ... mama mertua. "Kalian berangkat sekolahnya naik mobil aja," celetuk Papa Gempa. "Barengan. Minta tolong pak sopir antarkan." "Nggak, Pi. Mars mau bawa motor." Alisya memilih bungkam. "Bumi juga." "Ica aja yang naik mobil. Eh, apa mau bareng aku, Ca? Dibonceng." Nah, itu suara Angkasa. "Ya udah. Hati-hati di jalannya, ya, kalian," tutur mama. Melirik Angkasa berikutnya. "Hati-hati, jangan ngebut kalau bonceng Ica." "Iya, Ma." Padahal ... Ica belum menentukan dia mau atau tidak. Selain itu, apa nggak bahaya otewe ke sekolahnya boncengan sama Angkasa? Dulu, sih, fine-fine saja. But, sekarang Aca punya gebetan. Kalau jadi masalah, bagaimana? Terus ... diusut, tentang siapa sosok Alisya bagi pria itu, yang ternyata adalah istri. Ah, kacau! "Ca, turunin aku di pertigaan itu!" Saat akhirnya, semua sudah bubar otewe sekolah. Bumi dan Mars duluan, naik motor masing-masing. Setelahnya adalah Angkasa, yang tentu membonceng Alisya. Namun, di tengah perjalanan, Ica menepuk-nepuk bahu kanan Aca, meminta turun di depan sana. "Stop, Ca, stop! Aku turun di sini!" tukas Ica lagi. Sontak, Angkasa menghentikan laju motornya. Alisya turun detik itu, setelah Angkasa menepi. Dibukanya helm, lalu Ica serahkan kepada suami. Astagfirullah. Aneh! Nggak bisa. Malah jadi canggung dan gimana gitu .... "Aku naik ojol aja, kamu duluan. Hati-hati di jalan!" Alisya berlalu. "Lha? Ica!" Terang saja Angkasa memanggilnya, tetapi Alisya memberi kode pengusiran agar dia lanjut melaju. Mengibaskan tangan, lalu fokus pada ponsel. But, karena Angkasa tidak pergi dan malah mendekati, Alisya berseru, "Sana, Ca! Aku udah pesen ojol." Seperti itu. Yang kalau mau tahu, waktu bangun tidur pun keduanya auto 'asing' untuk sepersekian menit. Mungkin, sama-sama merasa ... apa, ya? Statusnya sudah beda. Namun demikian, satu sama lain saling memaksakan untuk menjadi 'biasa' seperti sedia kala. Meski tak menutup fakta bahwa status menikah itu, bukannya mendekatkan, malah jadi memberi jarak. Entahlah, Ica rasa begitu. Mungkin, Aca juga sama. Pokoknya, pagi itu semuanya terasa berbeda. Bukan hanya Mars saja, tetapi Angkasa dan Alisya pun merasakan kejanggalan dari perubahan status ini. Apa harusnya perjodohan itu tidak diterima saja, ya? Atau ... semestinya Ica bersyukur, setidaknya yang jadi suami adalah Angkasa, bukan Bumi. Kebayang kalau Bumi ... mungkin akan jauh lebih asing dari ini Tapi ... bagaimana jika itu Mars? *** "Aca, minggu depan itu turnamen basket terakhir lo di sekolah ini, ya? Huaaa ... kapten terbaik, belum siap gue ngadain pesta perpisahan. Asli!" "Lebay, ah." Yang lain menyahut, "Serius, Ca. Gue rasa, nggak ada yang sebaik lo saat menjabat sebagai kapten. Liat aja, bahkan sampe kelas tiga gini, lo masih diizinkan menjabat." Angkasa terdiam. Baru saja selesai latihan untuk turnamen yang disebut barusan. Iya, yang terakhir. Sebentar lagi ujian kelulusan, kemudian Angkasa hengkang dari Nusa Bangsa, meninggalkan rekan timnya sebagai sosok alumni. Demikian itu, ada kandidat kapten berikutnya yang sudah dipilih dan dilatih, adik-adik kelas yang berpotensi. Angkasa menenggak habis air mineralnya. "Pokoknya, kita harus ngadain perayaan tersendiri sebagai bentuk penghargaan lo yang pensiun dengan terhormat, Ca." Budi namanya, menepuk-nepuk bahu Angkasa. Yang lain setuju. Di lapangan indoor itu. "Oke, gas. Abis turnamen, ya? Pastikan kita menang dulu!" seru Angkasa. Semua menganggukinya. Sementara itu .... "Mars--!" Berlalu begitu saja. Alisya terdiam kemudian. Di jam istirahatnya, biasa makan bareng dengan sosok tersebut, sekarang Alisya dilewati. Dia menatap tubuh Mars yang memilih duduk di bangku belakang. Kok, nyebelin, ya? Orang-orang jadi berbeda. Lebih tepatnya, Mars dan ... semuanya! Bumi dan Angkasa juga. Ica merasa begitu. Kalau Bumi, sejak awal memang beda, tetapi sekarang makin beda lagi. Nah, Angkasa? Bedanya, malah jadi seperti ada dinding. Sungguh, ini aneh. Hubungan yang baik bersama--setidaknya--Angkasa dan Mars, kini jadi tidak menentu. Mars, sih, jelas-jelas berubah. Tatapannya pun tidak bersahabat, apalagi sikap dan tutur katanya. Kalau Angkasa ... Icanya yang canggung, mungkin Angkasa juga sama, makanya jadi terkesan berbeda. Argh! Entah, deh. Makan di kantin sendiri juga nggak masalah, kok. Yang jadi masalah itu karena sejak awal masuk sekolah ini, Alisya selalu bersama mereka, Angkasa dan Mars, yang membuatnya jadi tak punya teman wanita. Sekalinya punya, justru Laras ... pacar Bumi. Lantas, saat ini ... Alisya merasa jadi murid paling menyedihkan, setelah sebelumnya paling sukses membuat siswi lain iri sebab kedekatan intensnya dengan para pentolan Nusa Bangsa. "Eh, sorry!" Alisya terkesiap, lalu mendongak, ada seulas senyum yang dibuat-buat dari ... siapa, ya? "Ras! Jus jeruk lo tumpah, nih. Nggak sengaja!" Teman Laras? Hal yang membuat Alisya mengerjap. Menatap rok dan baju putihnya. Wah .... Nggak sengaja? "Astaga, kalian ...." Suara Laras, mendekati. Alisya tentu berdiri. Drama macam apa ini? Seumur sekolah di sana, selama ini, baru kali itu Alisya merasa ada drama sebagaimana dulu waktu kecil, yang tubuhnya pernah ditumpahi es teh. Dulu ... apakah ini bentuk dari perundungan yang sama? "Maaf, maaf, Ca ... katanya mereka nggak sengaja," ujar Laras. "Dan jus jeruk aku, nggak pa-pa, kok." Kembali menatap Alisya yang masih geming di sana. "Maaf, ya, Ca." Sementara itu, ada sorot mata Mars yang tepat jatuh di kerumunan kecil itu. Persis tatapan nyaris seisi kantin, tertuju kepada Alisya. Bahkan ada suara bisikan-bisikannya. Dulu .... Jadi teringat masa lalu. Alisya pernah diperlakukan seburuk itu, jauh lebih buruk bahkan. Dan Alisya kira itu cuma ada di masa yang sudah berlalunya saja. Jikapun terjadi lagi di masa kini, Alisya kira tubuhnya tak akan bereaksi begini. Tak akan kaku, tak akan membeku. Hingga orang-orang itu berlalu dengan tawa dan gurauan lucu. Alisya menunduk lagi, memastikan bahwa kejadian barusan betul-betul terjadi, betul-betul telah menimpanya secara nyata, tiba-tiba, dengan tanpa tahu apa masalahnya, dan ada urusan apa mereka terhadap dirinya. Seingat Alisya, dulu memang dia pernah diperkenalkan oleh Laras kepada kawan-kawannya itu, tetapi responsnya tidak buruk, bahkan saat telah bersekolah hingga naik ke kelas dua belas. Namun, sekali lagi ... apa-apaan ini? Rok dan baju seragam putihnya basah. Bernoda kekuningan, khas jus jeruk. Dengan orang-orang di kantin yang cuma menonton, bahkan itu Mars dan Bumi. See! Mata Alisya kontan berkaca. Tidak, bukan karena lemah. Bukan karena tersinggung oleh kelakuan kawanan Laras yang tidak ada hujan tidak ada angin, tahu-tahu menyiram dengan penuh drama plus terencana pada dirinya. Bukan itu. Melainkan ... teringat yang dulu-dulu, Mars dan Bumi jika melihat ini pasti akan langsung datang mendekat, lalu melabrak orang yang telah berbuat jahat padanya, dan Alisya membandingkan dengan kondisi sekarang. Bumi bahkan melenggang, lalu Mars yang memilih fokus pada kawan-kawannya sendiri di sana, mengobrol entah apa. Oke, fine. Epissode manis Alisya yang merasa telah berkumpul lagi dengan sobat-sobat masa kecilnya, meski Bumi bersikap dingin, itu cuma mimpi belaka. Gitu, ya? "Ica!" Suaranya. Perlahan, iringan derap langkah kakinya. Alisya berbalik, menatap sosok yang-- "Anjir ...." Nyebut begitu, menatap tubuh Alisya dari atas ke bawah. "Ikut aku!" Tanpa bertanya kenapa, ada apa, kok bisa, dan ... sebagainya. Angkasa menarik tangan Alisya, melangkah meninggalkan kantin, juga meninggalkan sorot mata berikut bisikan kepo dari murid di sana. Alisya masih geming, masih bungkam, masih belum menemukan sosok diri sendiri yang melakukan tindakan. Langkahnya secara impulsif mengikuti pijakan Angkasa, agak tergesa, membawa Alisya entah ke mana. Tahu? Kisahnya terasa seakan baru dimulai. Ini epissode pertamanya. "Ca." Di sana. "Buka." Di wilayah lapangan basket. "Buka baju kamu." Di depan loker bertuliskan Angkasa. Yang sedang diobok-obok isinya. Di dalam sebuah ruang ganti. Lokasinya tepat di dekat area lapangan indoor. Sepi. "Ayo, buka!" Angkasa bicara. Sedangkan, Alisya menangis di situ. Detik itu. Barulah jatuh air matanya. Namun, dengan lirihan suara ... "Mars sama Buminya, Aca." Tersedu-sedu. "Mereka jadi beda ... banget." Oh, Alisya menutupi wajahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN