11 || Jangan Ngintip!

1637 Kata
Malam itu .... Tepat di kala deru mesin mobil terdengar, orang-orang di dalam kediaman langsung keluar, gegas buka pintu, seakan tahu pasti bahwa yang parkir di halaman rumahnya adalah sosok yang sedang ditunggu. Ah, benar. Mereka telah tiba. Bumi yang paling awal turun dari mobil, disusul Angkasa yang lalu memapah Alisya. Saat itu, Mama Venus dan Papa Gempa langsung menyongsongnya. "Ica ...." Mama tampak sangat khawatir di sana, menyebut nama Alisya. Dia bahkan turut memapah dari sisi yang berlawanan dengan Angkasa, yang sudah mengambil kesimpulan bahwa ada yang tidak beres dan saat ini Ica sedang tidak baik-baik saja. "Apa yang terjadi?" Ini papa, bertanya kepada Bumi. Tepat berjalan di belakang tiga orang itu; Angkasa, Mama Venus, dan Alisya. "Ica kenapa?" Ah, itu. "Biar nanti Aca aja yang cerita. Bumi pamit ke kamar dulu, Pa." Begitu katanya. Bumi pun berlalu, tentu ke arah yang berlawanan dengan kamar Angkasa. Bumi menuju kamarnya, meninggalkan sang papa yang hanya bisa menghela napas plus bersabar saja. Apalah daya .... Sementara, Oceania sudah terlelap di sebelum abang-abangnya datang. Kemudian Mama Venus ikut masuk ke kamar Angkasa sambil terus merangkul Alisya, kelihatan kacau di sana. "Ma, titip Ica dulu, ya? Aca mau ambilin makan, Ica pasti laper." Saat Alisya sudah didudukkan, tampak bengkak matanya, sendu mendayu, juga larut dalam keterdiaman. "Eh, nggak. Kamu aja yang di sini, biar Mama yang ambil makan. Sebentar!" Mama gegas berlalu. Tahu? Tinggallah mereka berdua di dalam kamar itu, kamar Angkasa, yang kini sudah dia bagi teritorinya dengan Alisya. Sosok yang ada di hadapannya. Berpandangan dengannya. Nangis. Oh, ada yang rembes lagi di sana. Air matanya. Alisya lantas menunduk. "Keluarin aja. Boleh, kok, nangis. Nggak mesti ditahan," kata Angkasa. Ica tergugu kemudian, yang semula dia halau air mata itu, juga desak tidak menyenangkan di dalam dadanya yang sedang dicoba dia singkirkan. Karenanya, Angkasa mendekat. Duduk di sisi Alisya, pada tepi ranjang itu, dan ... merengkuhnya. Lagi. Alisya menangis di sana, bersuara, dalam dekap Angkasa. Mendengarnya, suara tangis itu ... wajar, kan, kalau hati Angkasa juga ikut merasakan sakit? Hingga lilitan lengan di tubuh Alisya, Aca eratkan. Sesekali dia usap-usap punggung putri Om Leo yang kini masih dibalut lengkap baju seragam. Maaf .... Satu kata yang ingin Angkasa ucap, tetapi tertahan. Dia diam. Hanya ada isak tangis Alisya yang mulai padam, lirih terdengar. Lama demikian, bahkan dirasa mama pun tidak muncul-muncul, Angkasa bantu memupuskan air mata Alisya. Mengusap pipinya. Sendu. Angkasa melihat seraut wajah itu tampak sangat kacau sekarang, padahal tadi pagi ... argh! Hatinya nyeri. Seperti ada yang secara kurang ajar mencubit di sana, detik di mana dia melihat Alisya yang begini. "Ca ...." Baru saat itu Angkasa mampu bicara. Alisya bungkam dengan sisa sesenggukannya. "Maaf, ya?" Akhirnya, diucap juga. "Harusnya tadi aku sama kamu." Bukan malah bersenang-senang dan menjadikan hari yang--rupanya--buruk bagi Alisya, sebagai hari bahagia 'jadiannya' dengan Bella. "Harusnya kita pulang sama-sama." Oh, tidak. Alisya menggeleng. "Bukan salah kamu, kok, Ca." Dengan sisa sedu-sedannya. "Emang aku lagi apes aja." Kali ini dibubuhi senyum yang dipaksa ada. Alisya bicara, "Dan kalaupun harus ada kata 'harusnya', ya ... itu 'harusnya' aku bisa melawan." Betul demikian? Ya, tentu. Bukannya malah diam dan larut dengan dunia sendiri di saat ada yang sedang menyerang. Namun, entah kenapa tadi sulit sekali bebas dari dimensi mewujud kilasan lampau. Padahal Alisya rasa, dia tak sampai trauma. Alisya baik-baik saja, dia pikir. Namun, kenapa tadi justru sebaliknya? Bahkan sampai menangis lagi ketika tiba di rumah, saat ini, yang Angkasa bantu hapuskan. "Aca ...." "Hm?" Ica sudah mendingan, meski mama belum juga datang, ataukah harus Angkasa susul ke dapur? "Apa, Ca?" Sambil disampirkannya rambut Ica ke belakang telinga. Di situ, Alisya menunduk. Menggigit bibir sejenak, sebelum berikutnya berkata, "Bumi ...." As alwaya, selalu soal Bumi. Dan Angkasa menyela, "Ada, kok. Bentar, aku panggilin, ya!" Meski bukan itu maksud ucapan Alisya, yang langsung dipangkas oleh praduga Angkasa. Pria itu bahkan langsung berlalu. Well, Alisya cuma mau bilang, tadi sebelum kejadian, Alisya dapat chat dan itu dari kontak Bumi. *** "Kok, dibawa lagi, Ma?" Makanan plus minum di atas nampannya, Mama Venus letakkan itu di meja. "Atau sini, Papa aja yang kasih. Sekalian mau lihat Alisya," imbuhnya. But, ditahan oleh sang istri. Mama Venus menggeleng. "Kita tunggu beberapa menit dulu, ya, Pa. Tadi Mama lihat, Aca sama Ica lagi mesra." Oh, oke. Gempa manut saja. Sedangkan, di kamar lain .... Bumi baru selesai mandi, dia bahkan masih handukan, yang bukannya pakai baju, justru asyik menggeledah ponsel Alisya. Benda itu ada padanya. Dari tadi Bumi kepikiran, mandi pun sampai tak tenang. Yang baru dia aktifkan, eh, pintu kamarnya ada yang mengetuk. "Bum!" Suara Angkasa. Ponsel Ica masih proses menuju aktif di sana, Bumi letakkan di laci, lalu dia berjalan ke arah pintu, membukanya. "Apa?" Bertatapanlah mereka, kembaran itu. "Dicariin Ica." Agaknya, Bumi terdiam cukup lama. Bahkan di saat Angkasa sudah berbalik dan pergi. Karenanya, sepersekian menit berlalu, yang pada akhirnya di sinilah Bumi berada. Di dalam kamar Angkasa. But, sepi. Ke mana penghuninya? Pintu kamar tidak dikunci. "Eh, ada Mbum ... lho, Icanya mana?" Terkesiap samar, Bumi berbalik, rupanya ada mama di situ, baru datang tadi, dengan papa yang membawa nampan makanan. "Icanya--" "Aca, stop! Aku bisa sendiri." Langsung terkatup mulut Bumi. "Nggak usah ditemenin, kamu keluar aja. Aku nggak pa-pa, serius!" Suara dari dalam kamar mandi. "Nggak. Aku temenin." "Ish, Aca ... aku mau mandi!" "Iya, tau. Kan, ini juga nggak liat. Ngadep pintu. Kamu mandi aja yang tenang." "Aca!" Dan ... ya, begitulah. Baik mama, papa, maupun Bumi saling lirik. "Kita tunggu mereka di ruang keluarga aja, atau mungkin besok aja ngobrol-ngobrolnya," ucap mama. Beda dengan papa yang bilang, "Tapi apa nggak bahaya mereka di sana berdua? Meski udah menikah, tapi--" Terpangkas oleh Bumi yang berlalu, tanpa kata, dia tinggalkan kamar itu. "Aca, Ica!" Suara Papa Gempa, diketuknya pintu kamar mandi selepas dia letakkan nampan makanan di nakas, pun diikuti Mama Venus. Mereka membiarkan Bumi yang tadi memilih pergi. Dan ... di dalam kamar mandi itu. Mendengar suara papa, baik Angkasa dan Alisya, dua-duanya langsung panik. "I-iya, Pa!" Angkasa menyahut, buka kunci. Sementara, Alisya langsung ambil posisi di belakang tubuh tinggi Angkasa. Pengin ngumpet, tetapi ... ah, sudahlah. Mereka muncul dari dalam, yang telah dibukakan pintu kamar mandinya. So, terpampanglah raut wajah papa dan mama. Alisya merah padam. Tahu, kan, kenapa? Ya, sebab dia di dalam kamar mandi ini bersama dengan Angkasa. Coba pikirkan yang jika begini, biasanya orang dewasa atau anak remaja sedang melakukan apa? Meski sungguh tadi di dalam murni nggak ngapa-ngapain. Buka baju saja belum, toh. "Lagi pada ngapain?" Tuh, kan, dipertanyakan papa. Beda dengan mama yang menyambut Alisya dengan senyum ramahnya. "Ica pengin mandi, Pa." Oh, langsung Angkasa jelaskan duduk perkaranya. "Dan Aca khawatir. Dulu dia, kan, pernah dikunciin di toilet sekolah, terus tadi Ica ini dikunciin di gudang--" "APA?!" Belum rampung Angkasa jelaskan, mama menyela dengan pekikan. Yang langsung merangsek maju, mendekati Alisya. Ja-jadi ... Ica ... dikunci di gudang?! "Ya sudah. Habis ini kalian jangan lupa makan, Papa udah bawain tuh di nakas. Setelahnya, Ica istirahat. Dan Aca, kita ngobrol habis itu, ya? Papa tunggu di ruang keluarga." Demikian, dipanggilnya Mama Venus. Yang mana sedang memeluk Alisya. Kata papa, "Ma, ayo. Ica harus mandi supaya dia bisa cepet-cepet makan dan istirahat." Seperti itu. Angkasa pun telah mengangguki ucapan papa, untuk nanti menemui beliau di ruang keluarga. Eh, sebentar. Tadi dia menemui Bumi dan bilang bahwa Alisya mencarinya, terus ... begitu masuk kamar, Ica sedang jalan ke arah kamar mandi. Habis itu ... ya, begini. "Janji nggak bakal ngintip." Sebisa-bisa menemani Alisya di dalam kamar kecil itu. Entahlah, Angkasa cuma merasa waswas saja. Takut barangkali Ica kolaps di dalam. Kejadian pengurungannya, kan, baru sekian jam lalu terjadi. Yang dulu saat masih SD saja bisa menghantui dengan begitu mumpuni, yang Ica ceritakan sekilas tadi, alasan kenapa dia tidak berdaya, padahal seharusnya ada kemampuan walau cuma sedikit untuk melawan para pengurungnya. Jadi, Angkasa begini bukan karena m***m. Catat! Dia cuma sedang mengkhawatirkan Alisya, sahabatnya. Eh, istri. Ah, sudahlah. Ica decakkan bibirnya, malas berdebat, terserah Angkasa. So, tak dia pedulikan keras kepalanya gebetan Bella ini. Eh, iya, kan? Bella namanya. Siswi cantik dari sekolah sebelah. "Awas kalau ngintip, aku bakal bilang ke gebetan kamu, kamu udah nggak suci lagi! Udah nodai aku." Astaga. Angkasa mengerling saja, tatapannya lurus ke pintu, membelakangi Alisya yang entah sedang apa. Mungkin, buka baju? Oh, bukan. Gemercik airnya mulai terdengar, Alisya sedang basuh badan. Oke, Angkasa diam. "Jangan nengok!" Nggak, kok. Kepala Angkasa dari tadi tidak ada pergerakan. "Merem, Aca!" Dan, ya ... sepertinya Alisya sudah baik-baik saja. Aktif teriak sekarang. Sadar nggak sadar, Angkasa lega. "Iya, ini aku merem." Padahal nggak. Eh, bicara-bicara ... Angkasa belum mendengar cerita lengkap dari kejadian tadi. Namun, satu hal yang sudah sedari awal dia yakini, itu pasti perbuatan orang yang sama dengan saat kejadian di kantin, kan? Di mana ketika itu, di lain tempat, saat Bumi memilih kembali ke dalam kamarnya. Ponsel Alisya sudah aktif di sana. Oh, benar. Di dalam kamar Bumi. Dia duduk di tepi ranjangnya, memegang ponsel dengan ibu jari yang sibuk, mata fokus di sana, menuju aplikasi yang pertama kali ingin dia tuju ... ruang perpesanan antara Alisya dan ... dirinya? Kening Bumi sampai mengernyit, dari yang biasa tak ada ekspresi. Bumi scroll dan scroll room chat atas nama Bumi di sana. Well, Bumi? [Perpus, yuk?] [Ditunggu, ya.] [Beres ekskul aja.] Yang rasa-rasanya, dia tidak merasa pernah mengirim chat itu. Jadi, gegas Bumi sinkronkan dengan isi pesan di ponselnya sendiri. Sungguh, bersih dari tiga kalimat tadi. Adalah hal yang membuat Bumi langsung menyambar jaket, dompet, beserta kunci motornya. "Eh, eh, mau ke mana?" Pukul sembilan malam itu, dicegat papa. Namun, Bumi tetap berlalu. "Bumi!" Membuat Mars yang baru saja tiba di teras, niat hati mau ngasih kejutan sehingga jalan pun agak mengendap-endap, eh, malah dia yang terkejut ... melihat seraut wajah Bumi yang sangat tidak biasa. Lha, bocah ngapa, ya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN