10 || Tidak Apa-Apa, Harusnya

1646 Kata
"Papa, hari ini Ica mau berangkat pagi. Pengin dapat tempat duduk di depan bagian tengah. Jadi tolong jangan lama-lama tata rambutnya, ya! Dikucir aja." Sambil Alisya sodorkan karet jepang warna-warni kepada papanya. Dulu. Alisya kecil yang kata papa, ibu sudah bahagia di surga. Jadi, papalah yang merawat hingga mendandani Alisya. "Siap, Sayang." Sambil dikecup pipinya, Alisya tersenyum senang. Sampai-sampai sepanjang jalan papa menata rambut ini, bibir Ica terus melengkung ke atas. Kaki mungilnya masih belum sampai menapak lantai kala duduk di kursi makan, sedang papa berdiri. Alisya masih SD yang bahkan belum duduk di bangku kelas 3. "Sudah?" Papa Leo mengacungkan jempolnya. "Nah, cantik pol anak Papa. Yuk, berangkat!" Tak peduli bila meja makan masih berserak piring kotor, pagi itu. Alisya turun dan papa mengekor keluar, hendak mengantarnya ke sekolah. Oh, ini hari pertama setelah libur kenaikan kelas, makanya mesti berangkat pagi karena akan pilih tempat duduk. Ica sudah mengincar posisi di depan bagian tengah. Namun, begitu dia mendapatkannya, saat hati sudah girang kesenangan, papa pun telah pulang selepas memastikan Alisya mendapatkan posisinya, bahkan Ica kedapatan kawan sebangku bernama Ima, saat itu .... "Ica, awas. Ini tempat aku." Yang jelas-jelas Alisya sudah duduk lebih dulu di situ. "Maaf, tapi Ica yang duluan duduk di sini, Ri." Ariella namanya. Bersikeras ingin duduk di tempat Alisya. "Aku mau duduk di sini sama Ima, awas." "Nggak mau, Ica--" Belum selesai bicara, Ariella berlalu. Membuat Alisya lega, merasa bahwa teman sekelasnya itu sudah dia atasi. Alisya pikir begitu, dia bahkan sudah mengeluarkan buku-buku, meski bel masuk sepertinya masih lama untuk terdengar. Namun, apa ini? "Kamu Alisya?" Yang Ica tahu, itu adalah kakak kelasnya. Kelas 6 SD. Bertubuh tinggi dan dia laki-laki, juga menggandeng tangan mungil Ariella. Oh .... "Minggir. Ella mau duduk di sini." Menepuk-nepuk meja Alisya. Di sebelah, Ima diam saja. Sementara murid lain sibuk masing-masing mengamankan bangku mereka, juga ada yang masih milih-milih. Tahu? Alisya jelas menciut, tetapi dia tidak takut mencoba untuk mempertahankan posisinya dengan bilang, "Tapi ... Ica yang duduk duluan di sini, jadi ini tempat Ica." Walau dengan suara mencicit. Soalnya, sorot mata kakak kelas itu jelas tidak bersahabat. Dan dia adalah saudara Ariella. Yang sedang merengek-rengek minta duduk bersama Ima, di bangku ini. "Minggir!" Tidak membentak memang, tidak keras juga suaranya, hanya saja terdengar tajam dan penuh permusuhan. Alisya, yang kala itu hanya sosok anak kelas 2 SD ... bisa apa? Papanya sudah pulang, tak ada pula yang peduli dengan perdebatan tempat duduk ini di antara semua teman-temannya. Alisya bersikukuh pun dia malah tersentak sendiri, ketakutan, dengan orang-orang yang tidak peduli. Oh, jelas. Anak kecil peduli apa? Mereka bahkan tidak mengerti, mungkin. Atau sama seperti Ica, takut ... kalau-kalau mau ikut campur. Alisya diusir dari bangku yang telah didapatkannya dengan datang ke sekolah paling awal, tas pink-nya diambil paksa oleh kakak kelas itu, lalu dipindah ke bangku kosong yang tersisa. Masih di barisan ini, tetapi di urutan kedua paling ujung. Alisya tidak tinggi. Alasan memilih di depan agar dia dapat melihat papan tulis dengan nyaman. Namun, .... Ariella ketawa-ketiwi. Duduklah dia di bangku yang tadinya Alisya duduki. Kemudian mengobrol asyik dengan Ima yang tadi tidak berkutik. Setelahnya, kakak kelas itu pergi. Oh, tidak. Sebelum benar-benar pergi, kakak kelas laki-laki itu mendatangi Alisya untuk berucap, "Awas kalo kamu berani pindah lagi ke sana." Dengan nada penuh ancaman seakan ... siapa, sih, Alisya? Hei, dia hanya anak SD kelas 2. Apakah harus sebegitunya hingga diancam? Memangnya seberbahaya apa sampai ada yang merasa terancam? Toh, Alisya akan diam. Tak apa. Duduk di sini mungkin sudah takdirnya. Selain itu, memang kenapa? Kan, cuma tempat duduk. Paling nanti Ica mau cerita sama papanya. Dulu. Nyatanya, Alisya lupa begitu sampai di rumah, dia terdistrak oleh keseruan bersama papanya. Sungguh, papa yang terbaik. Sehingga tawa Alisya bisa lepas dia keluarkan. But, why ... tawa yang terlontar di rumah, tak sampai di sekolah. Alisya murung waktu demi waktu. Entah perasaannya saja atau bukan, tetapi dia itu, kan, masih kecil, memang sudah paham soal perasaan? Rasa-rasanya tak ada yang menemani, rasa-rasanya alat tulis Alisya sering hilang dan buku pun pernah ada yang merobek dengan sengaja untuk kemudian dijadikan kapal-kapalan. Kenapa? Dirobek lagi, saat teman-teman sedang melakukan permainan yang memerlukan kertas. Mereka semua punya buku yang sama, tetapi selalu mendatangi meja Alisya dan merobek buku tanpa seizinnya. Kadang-kadang, saat tiba di rumah mau mengerjakan PR, Ica baru tahu kalau halaman itu sudah tak ada. Sekali lagi ... kenapa? Alisya kecil bertanya-tanya, tetapi dia mendadak tidak ingin mengatakannya kepada sang papa. Entah kenapa seperti ada yang menjegal, mencuri semua keberanian dan kalimat aduannya apabila dihadapkan dengan papa. Anehkah? Alisya kebingungan. Lama terjadi, Alisya pernah sampai menangis sendiri saat melihat di bukunya kali itu terdapat coret-coretan. Menangis di kelas. Tak ada bu guru. Pada jam kosong itu teman-teman asyik bermain polisi-polisian. Oh, Alisya punya teman sebangku. Namun, saat Alisya perhatikan, sepertinya kawan duduk Alisya bahkan mendapat musibah lebih parah daripadanya. Kenapa? Alisya sungguh tidak mengerti. "Ica, beliin jajan ke kantin, dong!" "Aku sekalian, Ca!" "Aku juga!" "Aku es teh, ya. Satu aja." Mendadak jadi begitu, padahal mereka masih kelas 2. Sama, Alisya juga kelas 2. SD pula. Dan dengan sangat lugunya, Alisya mengangguk. Waktu itu dia justru pernah merasa senang. Dengan begini, apakah teman-teman jadi menyukainya? Senang sekali. Dia jadi sering didekati. Namun, lama-kelamaan ... seperti ada yang sedih di hati. Apa coba? Alisya kecil belum mengerti. Hingga saat dia ke toilet, kala itu di jam istirahat, setelahnya ... Alisya terkunci. Panik. Tentu saja. Namun, ada suara-suara tawa di luar yang Alisya dengar dari dalam di tengah resahnya. Dia sedang buang air kecil tadi. Oh, bukan terkunci dari luar, tetapi sepertinya ada yang sengaja menahan pintu agar terus tertutup, mungkin handelnya ditarik kuat saat Alisya mencoba membukanya. "Buka!" Terang saja, Alisya menggedor-gedor. "Buka pintunya!" Dia juga teriak. "Ica tau ada orang di luar. Buka!" Yang mana kondisi kamar mandi di sekolah itu mencekam dengan cerita horor buatan muridnya sendiri, Alisya telah memberanikan diri datang ke situ sendiri karena tak ada yang mau menemani, serangkan dia sudah kebelet. "Buka!" Oh, berteriak lagi. Lebih histeris kali itu, Alisya bahkan sampai refleks berjongkok. Lampunya mati. Tidak. Tapi memang sepertinya ada yang jail, dimatikan dari luar. Sakelarnya di sana. Sementara kamar mandi di sekolah, entah kenapa ventilasinya kecil, lalu sempit, juga gelap andai lampu tak dinyalakan meski di siang hari. Menangis. Alisya menutup wajah. Hingga pintu dibuka dan barulah dia bisa keluar, dengan semburat tawa mereka yang girang telah berhasil membuat Alisya ketakutan. "Hahaha! Nangis ...." Seakan-akan ini lucu. Oh, sesak. Alisya yang dulu tidak merasakan sesak itu, tetapi dia yang sekarang ... entah kenapa, sesak sekali rasanya. Dia yang terduduk di dalam gudang sains, sendiri, dan gelap itu .... Tidak. Alisya yakin dia tidak apa-apa dulu, tidak menjejak trauma hingga sekarang harus merasakan ketidaknyamanan pada reaksi tubuhnya. Harusnya tidak begini. Namun, .... Tangisnya jatuh dan itu nyata. Rintihnya mengudara menyebut papa dan papa. Entah sampai kapan .... Akhirnya, pintu terbuka. "Ica!" Dan, Alisya mendongak ... dengan orang pertama yang dia lihat adalah .... "Aca ...." Sambil terisak, lirih sekali, Alisya menyebut nama selain papanya. Oh, Angkasa lantas mendekap. "Ica ...." Erat sekali. "Nggak pa-pa," kata Angkasa. "Sekarang udah ada aku, nggak pa-pa." Yang semakin keras suara tangisnya, untuk ukuran murid kelas 3 SMA. Di sana ... Bumi hentikan langkahnya. *** Kalau sampai Ica kenapa-napa ... fix, salahnya. Batin Angkasa ribut sekali, isinya menyalahkan diri sendiri, tetapi juga di sisi lain tak ingin dipersalahkan karena sejatinya tadi sore adalah momen paling romantis yang pernah dia angankan, yakni hari jadian dengan sosok yang Angkasa sukai. Baru-baru ini dia mendapati hatinya berdebar karena perempuan, yang ternyata itu murid sekolah sebelah. Baru-baru ini juga dia senang mendapat telepon dari selain Alisya--ehm. Dengan makna debar berbeda. Sungguh, baru-baru itu Angkasa bahkan suka ada yang minta jemputannya, yang selama ini biasa cuma menjemput Alisya. Well ... rasanya juga beda. Dan itu adalah sisi dari yang tidak ingin disalahkan, apabila benar Alisya kenapa-napa. Yang begitu tiba di gerbang sekolah, Angkasa langsung turun, lagaknya sudah seperti orang tua yang mau melabrak. Dia datangi pak satpam, lalu bicara soal Alisya yang belum pulang, minta kemurahan hati gerangan agar sudi kiranya menemani Angkasa berkeliling sekolahan. Memastikan. Pun, pak sopir ikut serta. Bumi juga. Mulanya, mereka berpencar. Angkasa dengan satpam, Bumi dengan sopir. Tentu, sambil saling terhubung di telepon. Melihat kelas demi kelas, di lorong jurusan demi jurusan, naik dan turun lantai ... terus seperti itu sampai kaki dirasa pegal. Di mana Alisya? Masalahnya, Angkasa punya tanggung jawab yang besar atas putri Om Leo ini. Kalau sampai benar kenapa-napa ... argh! "Ketemu." Oh, bukan. Itu bukan suaranya. Dan sukses membuat langkah Angkasa berhenti. "Di mana? Beneran ketemu? Bum, posisi!" Ya, suara Bumi. Tenang dan khas Bumi sekali .... "Di gudang sains, ponselnya jatuh di sini." Oke, fix. "Gue ke sana!" Dengan langkah paling lebar dan secepat-cepatnya, anak tangga pun Angkasa langkahi dua-dua. Pak satpam agaknya kewalahan. Well .... Gudang sains. Jantung Angkasa berdetak amat kencang seiring langkahnya yang semakin dekat dengan bangunan itu. Oh, mengerikan .... Rupanya, gulita di sana. Di mana ada Bumi dan pak sopir berdiri, lalu Angkasa berlari, tetapi sebelum itu dia meminta kunci, yang tanpa mendekat ke arah Bumi, Angkasa memilih langsung menerjang pintu dengan kunci dari pak satpam tadi. Tuhan .... Angkasa akan sangat bersyukur kalau Alisya benar ada di dalam, itu artinya Ica ketemu. Namun, di sisi lain ... fakta yang terjadi ini, saat benar bahwa Alisya ada di dalam, bangunan gelap dan pengap, terkunci rapat ... Angkasa menekan geraham. "Ica!" Sejenak saja. Ada rasa perih yang merambati hatinya, tepat di detik mata ini bersinggungan dengan mata itu ... Alisya tersedu. Tahu? "Aku pikir ... aku baik-baik aja." Yang sangat lirih itu, Alisya menggumam saat sudah dalam perjalanan pulang. Ada jaket Bumi yang membungkus, sosok itu duduk di depan, dan ada Angkasa yang merangkul di sisinya. Alisya memejam. Sorot mata Bumi lurus ke jalanan, sedang Angkasa sibuk meneliti Alisya, apakah ada lagi yang luka?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN