12 || Kenapa Kamu?

1633 Kata
"Mau ke mana?" Masih di malam itu, tangan Angkasa dicekal. Refleks saja. Yang lalu Alisya tarik kembali. "Ke dapur, balikin piring kotor bekas makan kita tadi. Terus mau ketemu papa di ruang keluarga. Kenapa emang?" "Oh ...." Cuma itu. Angkasa menertawakan. Pun, meledek dengan, "Tuh, kan ... sok-sokan kamu mau mandi sendiri, sekarang aja nahan-nahan aku biar nggak pergi." Praktis Ica mendelik. "Nggak, ya. Siapa juga yang nahan? Aku cuma nanya. Ya udahlah sana kalo mau ketemu papa, kasihan pasti nunggu dari tadi." Yang tidak Angkasa perdebatkan lagi, tetapi tak pula diam atas kalimat itu, dia meresponsnya dengan sebuah usapan brutal di rambut Alisya. Sukses membuat sang empu mencebikkan bibirnya di sana, sedang Angkasa tertawa seraya berlalu. Dasar, ya. Untung sahabat. Oke, Ica sandarkan punggungnya ke tepi ranjang. Menerawang. Mengingat pada kejadian di sekolah tadi. Iya, dulu Alisya pernah mengalami hal buruk semasa kecil. Namun, tidak lama karena hadirnya sosok kembar tiga bak pahlawan. Ica ingat sekali. Bumi adalah satu di antara Angkasa dan Mars yang paling memproteksi, makanya itu Alisya jatuh hati. Cinta monyet-monyetan. Habis itu, kehidupan Alisya di sekolah jadi berubah. Meski tak lantas membuatnya jadi disukai murid lain, tetapi dia jadi ada yang melindungi. Jadi punya teman. Jadi tidak ada lagi yang kadang suka memalak uang jajan. Aman dan nyaman. Namun, begitu masuk SMP, Ica harus pindah sekolah karena papanya ada dinas di luar kota. Padahal dia sudah membayangkan indahnya sesekolah di masa remaja dengan Bumi, Mars, dan Angkasa. Pindahnya Alisya, rupanya dia adalah dirinya, yaitu sosok yang tidak pandai bergaul, sulit beradaptasi, dan super pendiam. Alisya pikir sewaktu SD dia dirundung adalah memang karena merekanya saja yang jahat, tetapi kala di SMP baru pun dia diganggu, seiring waktu, entah apa yang salah mulanya Alisya bingung dengan itu. Hingga dia membuat jawaban yang dirinya simpulkan sendiri, tahu apa itu? Ya, salahnya. Bukan mereka yang jahat, tetapi memang diri sendirinya yang tidak berdaya, yang hidup seakan pantas dirundung, dan yang membuat diri ini layak diganggu. Karena jika tidak begitu, harusnya saat pindah sekolah, ya, sudah. Tidak ada perundungan lagi, tidak ada bentuk jail yang sadis lagi, dan tidak ada yang namanya diganggu lagi. Dari situ, Alisya terpuruk. Merasa diri sendiri sangat 'tidak layak' sehingga menjadi 'layak' untuk diperlakukan 'tidak layak'. Eh, gimana, tuh? Seperti itu. Sampai-sampai papa membawanya ke psikolog. Alisya dibiarkan mengobrol dengan sosok profesional tersebut. Kata papa, "Ini bukan karena nggak waras, Sayang. Psikolog bukan tempat untuk orang yang seperti itu, kok. Tapi untuk kita-kita yang perlu 'ngobrol' soal kebatinan. Karena kalau Ica ngobrolin itu sama Papa, Ica pasti susah ngomongnya, kan? Mungkin sungkan, takut, atau apalah." Dan Alisya menangis karenanya. "Nah, kalau sama psikolog, Ica pasti nggak ada tuh rasa sungkan, takut, atau apa pun yang bikin susah buat berbagi kisah. Di sini Ica cuma perlu ngobrol. Kenapa?" Papa senyum. "Ya, biar Ica nggak mendung terus auranya. Tahu? Itu karena kamu banyak mendem, banyak ngobrol sama diri sendiri, tapi obrolan itu malah bikin kamu terbebani sebab nggak nemu jawaban pasti. Jadi, emang mesti dibagi, biar ada feedback-nya. Ngerti, Ca?" Dulu. Alisya angguki itu. Setelahnya, lega memang. Dengan terus berkonsultasi, lalu pindah sekolah lagi, dengan sosok Alisya yang mulai ada secuil motivasi untuk hidup tidak sebagaimana dahulu ... yang orang lain ketika melihatnya seakan diundang untuk mem-bully. Perlahan, Ica memperbaiki. Rasanya dia sudah semakin berhasil saat memutuskan untuk sekolah di sini, di ibu kota, dengan tanpa ada papa di dekatnya. Papa pun merestui, terlepas dari yang pada akhirnya tercipta perjodohan ini. Tentu saja, dulu .... "Papa acc kemauan kamu ini karena sekolahnya di Nusa Bangsa, lho. Ada anak-anak Mama Venus di sana. Oh, atau jangan-jangan Ica memang sudah mengincar mereka, ya?" Digoda begitu, Alisya senyum malu-malu. "Oke, deh. Nanti Papa titipin kamu ke Mama Venus." Ya, dulu. Alisya senang sekali, dia disetujui untuk lanjut SMA-nya di Nusa Bangsa, Jakarta. Dan pada saat hari itu tiba, Alisya bahkan sampai berani berkenalan, ngobrol dengan kawan, meski kebanyakan dia sendirian, tetapi jadi jarang sendiri sebah ada Mars dan Angkasa. Ah, sayang ... Buminya berbeda. Namun demikian, dia yang dulu aktif konsul dengan psikolog, sebulan sebelum pindah sudah tidak lagi. Dinyatakan dirinya telah baik-baik saja dengan semua kengerian di masa lalu. Sungguh. "Lha ... belum tidur?" Alisya terkesiap. Eh, ternyata dia melamun panjang dan gelembung lamunnya itu terpecahkan oleh kemunculan Angkasa. Masuk kamar ini. "Udah ngobrol sama papanya?" Alisya balik bertanya. Agak bergeser, soalnya Angkasa mulai naik ke ranjang dan rebahan. "Udah." Menghadap Alisya, perempuan kesayangan Om Leo itu baru saja ikut serta merebahkan tubuhnya. Tadi cuma duduk-duduk bersandar. "Gimana?" Alisya penasaran. Namun, Gempa bilang, "Daripada itu, harusnya kamu yang cerita. Ada banyak hal yang pengin aku tau soal kejadian tadi, Ca. Tapi karena udah jam segini, kamu juga pasti capek banget dengan semua drama di hari ini, jadi sebaiknya kita tidur aja. Besok izin gak masuk, aku udah minta tolong mama buat bikinin surat dan dititip ke Bumi nanti." Alisya mengerjap. Oh, iya .... "Bumi--" "Stop." Langsung dipangkas. "Tidur, Ca. Bahas pujaan hati kamunya besok lagi, ya? Rangkap sama cerita yang tadi." Mendengar itu, Alisya tentu mencibir. Pujaan hati, hm? Apanya yang pujaan hati?! *** Oh, ya, malam itu .... Masih tentang malam di mana Mars pulang. Datang-datang bukannya disambut dengan sesuai ekspektasi, tetapi ini sebaliknya. Sampai di mana dia ikut duduk pada ruang keluarga bersama papa, mama, dan Angkasa. "Ica dikurung?" Segitunya? Separah itu? Siapa .... Siapa pelakunya?! Bertubi pertanyaan dari Mars yang Angkasa cibir, tahu bahwa akhir-akhir ini adik kembarnya itu sedang berlagak menjauhi Alisya, tetapi mendengar kabar barusan, Mars kelihatan murka. Ya, tadi. Sebelum kisah ini beranjak pada keberadaan Bumi di sini, saat ini. Menatap serius sosok perempuan di depannya, yang Bumi ucap, "Ini bukan ancaman, saya sekadar memberi tahu apa konsekuensi kamu kalau berani berperilaku buruk lagi sama Alisya." Well, Laras tertawa. "Gitu, ya? Tapi gimana, dong, Mbum ... salah kamu minta putus. Aku udah pernah bilang, kan, kalau--" "Siapa pun yang terlihat dekat dengan saya, yang saya sukai khususnya, akan jadi nggak aman dan nyaman, kecuali kalau saya jadi milik kamu. Saya masih ingat, Ras." Bumi memangkas. "Nah, itu tau." Laras bersedekap. Dia tidak main-main dengan ucapannya, bahkan sudah ada korban dan Alisya yang kemarin itu salah satunya. Dulu. Bumi di masa SMP, kala Alisya pergi, lalu waktu pun berlalu, hingga tiba saat salah seorang siswi mencoba mendekat, menarik perhatiannya, meski Bumi tidak tertarik sama sekali, tetapi dia tanggapi dengan baik sebab perasaan 'tidak enak' jikalau terang-terangan menolak. Eh, tak dinyana, esoknya siswi itu datang ke sekolah dengan seragam bau telur busuk. Entah perbuatan siapa. Tadinya. Hari-hari berganti, ada lagi yang mendekati Bumi, dan itu Laras namanya. Ya, wanita di depannya saat ini. Dulu Bumi tidak tahu kalau di balik banyaknya siswi yang dirundung adalah perbuatan murid yang di suatu waktu ... menemukan buku sakunya. Buku yang biasa Bumi bawa dan di dalamnya bukan isi tulisan, melainkan bermacam foto dicetak kecil-kecil bersama Alisya. Tadinya, buku itu mau Bumi berikan, tetapi Alisya sudah pergi duluan. Pindah. Jauh. Hilang kontak .... Dengan harapan bertemu Alisya di mana pun itu, barangkali secara tidak sengaja, maka Bumi bisa langsung memberikan buku saku spesialnya andai dia bawa ke mana-mana. Tadinya seperti itu. But, telanjur jatuh dan dilihat Laras. "Oh ... ini, ya, yang bikin kamu nolak pernyataan cinta mereka?" Termasuk kode-kode suka dari Laras, Bumi tanggapi sama seperti ke siswi lain yang berusaha mencuri perhatiannya. Gegas dia raih kembali buku saku itu. Laras tersenyum. Dulu .... Bumi langsung berlalu. Tak merasa perlu menjawab, apalagi menjelaskan. Toh, sudah jelas. Namun, waktu yang terus berjalan itu ternyata malah membawa Bumi pada situasi di mana beberapa siswi mendatanginya, memohon agar Bumi berpacaran dengan Laras segera. Yang kata Bumi, "Kalau kalian begini karena dia bertingkah, laporkan saja ke guru." Iya, sudah. Mempan awalnya, tetapi tidak saat kekuasaan petinggi sekolah mereka adalah orang tua Laras, yang bahkan kalah oleh tingkah anaknya. Ada siswi yang lantas memilih keluar dari sekolah, Bumi betul-betul tidak habis pikir. Bagaimana bisa ada sekolahan yang seperti itu? Namun, nyatanya dia sedang bersekolah di sana. Berdecak, Bumi menarik napas panjang. Dengan segala macam pertimbangan tanpa diskusi dengan siapa pun, oke, dia nembak Laras hari itu. Dulu. Hari jadiannya. Bertahun-tahun sekolahan jadi tenteram. Lulus dari sana, eh, Laras ngintil ke Nusa Bangsa. Waktunya untuk segera Bumi putuskan. Sayang, dia dapat kabar bahwa Alisya kembali. Pun, bersekolah di tempat yang sama dengannya. Nusa Bangsa. Waktu itu, rupanya Laras dan teman masa kecil Bumi telah bertemu, berkenalan, dengan Laras menyebut sebagai pacarnya. Bumi melihat mereka, lalu dia putuskan untuk menghampiri salah satunya. Laras. Kelu untuk dia berucap 'udahan', tak bisa serta-merta memutuskan, juga tak kuasa menunjukkan kedekatan yang pernah ada, apalagi perasaannya untuk Alisya. Lama-kelamaan terbiasa. Pun, lama-kelamaan merasa ... sudahlah. Pada dasarnya sejak Alisya pergi, semua yang dulu-dulu itu sudah rampung. Bumi pun melanjutkan kehidupannya, seperti ini. Sampai tiba di masa sekarang. Tangan Laras mengepal, kala dia mendengar Bumi bilang, "Empat tahun lebih, ya, Ras, saya sudah nunggu hari ini. Empat tahun. Akhirnya saya bisa dengan bebas melepaskan diri dari kamu, nggak peduli ancaman apa yang nanti bakal kamu torehkan, toh setelah hari ini ... kamu bahkan sudah legal buat saya laporkan ke pihak berwajib, kan, ya?" Yang Laras klaim sebagai ancaman, padahal Bumi cuma memberi tahu. "Oh, ya, saya pernah berlajar buat menyukai kamu, dan itu selesai hari ini." Sekadar informasi, Bumi pun melenggang, mengambil langkah pasti. Pulang. Urusannya, dia rasa sudah selesai. Ya, kecuali nanti kalau Laras berulah dan Alisya kenapa-napa lagi. Lantas, setibanya di rumah. Bumi pulang saat tengah malam. Untung ada orang yang membukakan pintu depan, tetapi ternyata orang itu ... Alisya terdiam. Oh, mereka berpandangan. Sepersekian detak jantung dan detik jarum jam. "Kenapa kamu?" E-eh? Yang buka pintu, kenapa Alisya. Pertanyaan itu, Ica hendak menjawab, tetapi bibirnya kembali dibuat terkatup saat Bumi lebih dulu mengimbuhi, "Harusnya Aca nggak ngebiarin istrinya berkeliaran." Dengan sorot mata paling rumit yang tidak bisa Alisya definisikan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN