Haus.
Tengah malam itu.
Alisya mengerjap, melihat sisi kasurnya, hendak beranjak, dan ternyata kali ini Angkasa tidak tidur di sofa, tak seperti biasa. Hal yang membuat Alisya agak ... gimana gitu. Apalagi tangan Aca melingkar di atas perutnya, pantas saja agak berat di sana. Demikian ... wajar, kan, kalau jantung Ica agak berdegup?
Baru pertama kali ketempelan lelaki di atas kasur dalam keadaan tidur begini soalnya, sekali pun Angkasa adalah sahabatnya.
Oh, oke. Skip dulu saja.
Sekarang, fokus!
Bagaimana agar lengan Angkasa menyingkir dari perutnya tanpa harus mengusik tidur pria itu? Pelan ... sangat pelan Alisya mendudukkan diri, melirik sesekali pada sosok sang sobat di sana, Angkasa tampak mengernyit, refleks Alisya jadi tahan napas barangkali dengan dia bernapas, lalu terjadi pergerakan di perut, seketika menyetrum lengan Angkasa dan terbangun karenanya. Jujur, masih bingung kenapa dia harus sebegininya menjaga Angkasa agar tetap lelap saja.
Dan Alisya melakukan itu. Bergerak pelan-pelan, beranjak tanpa menimbulkan bunyi-bunyian. Sampai akhirnya Angkasa menarik lilitan tangan dari atas perut Alisya, rebahnya pun telentang dari yang semula menyamping bak memeluk guling. Gegas saja Alisya turun dari kasur, meninggalkan kamar yang terdapat Angkasa tidur nyenyak di dalamnya.
Satu demi satu, langkah Alisya membawanya turun dari lantai dua, menuju dapur di bawah sana. Di kamar tak sedia air, ke dapur pun sekalian mau lihat isi kulkas. Namun, belum juga tiba di dapur, Alisya mendengar suara pintu diketuk, disertai dengan panggilan, "Ma? Pa?"
Pintu utama.
Terus begitu.
Suara yang paling Ica kenali, rasa-rasanya.
Itu Bumi.
Ah, ya ... benar.
Pintu dibuka, detik itulah Alisya melihatnya. Bumi. Lelaki itu pun menatapnya. Sama, Ica juga. Mereka berpandangan.
"Kenapa kamu?"
Diucap dengan suara rendah yang terdengar syahdu di telinga Alisya, masih saja. Seolah rasa sakit yang sering dia terima dan itu karena Bumi, tak meninggalkan bekas.
Apakah cinta sedahsyat itu?
Mampu menjadi penghapus di saat karena cinta jugalah hati yang ibarat kertas itu digores tinta merah.
Dan apakah cuma Ica yang begini?
Naif. Hatinya terlalu memuja sosok Bumi, hingga otak tak mampu mengendalikan diri, membuat debar di d**a muncul mengkhianati rasa sakit terdahulu--yang entah pergi ke mana, kala sedang berdua dengan Bumi begini.
Entahlah.
Tapi meski demikian, Alisya masih punya akal sehat. Dia mengabaikan Bumi, tak digubrisnya sekali pun penasaran kenapa tadi Bumi menggumam, "Harusnya Aca nggak ngebiarin istrinya berkeliaran."
Why?
Ica tetap jalan lurus ke dapur, setelah dia kunci lagi pintu utama rumah ini.
Bumi?
Terserah.
Alisya tak akan menoleh, tidak akan. Tolong dicatat. Biarkan hatinya saja yang bodoh, tetapi akalnya jangan sampai hilang. Bagaimanapun, perundungan di sekolah tadi juga terjadi karena Bumi.
Sebab Laras adalah pelakunya.
"Besok izin aja."
Oh, tiba-tiba.
Agaknya, Alisya terkesiap. Tak dia kira bahwa Bumi akan membuntuti, bahkan ikut serta mengambil minum. Diletakkannya gelas pada meja dapur, menatap Alisya di sini.
Lamat.
Alisya sampai tak betah. Pergi sajakah? Dengan tanpa balas berucap, juga tanpa kata barang sepatah. Ah, nggak!
"Iya." Alisya menjawab, memilih begini. "Tadi juga Aca bilang gitu." Sambil senyum segaris.
Well ....
Bumi manggut-manggut. "Oh, ya, ponsel kamu ada di saya."
Detik di mana suara lain terdengar, memanggilnya. "Ica?"
Dan bukan cuma si empu nama yang menoleh, tetapi Bumi juga. Mendapati langkah Angkasa menuju mereka.
"Kirain ke mana, di kasur nggak ada," katanya. "Bikin khawatir aja." Menyentil pipi Alisya.
Hei!
"Lha, baru balik, Bum?" Karena tak ada yang merespons, selain ringisan kecil dari bibir Alisya atas sentilan di pipinya, Angkasa alih tokoh. "Abis dari mana aja tadi?" Kepada Bumi.
Sepersekian detik, yang diajak bicara malah melenggang walau sambil bilang, "Rumah Laras."
Yang demikian itu, lagi dan lagi untuk Bumi, Alisya tersenyum di situ. Entah, senyum jenis apa. Angkasa bilang, "Gak usah cemburu."
Saat Bumi sudah berlalu. Sorot mata Alisya pun alih kepada Angkasa di sisinya. "Siapa juga yang cemburu?"
"Ya, gak mungkin aku, dong."
Ica pun mencibir. Sudah, ah. Dia mau balik ke kamar, tetapi Angkasa menahannya.
"Bentar, minum dulu. Ke sananya bareng." Yang demikian itu, Angkasa minum dengan tangan terus menggenggam lengan Alisya. Tak dia lepas, bahkan saat mengambil gelas, mengambil air, hingga meletakkannya. "Perlu kita bawa ke kamar nggak, Ca?"
"Perlu." Alisya juga tidak protes.
***
Keesokan hari, pagi itu, saat matahari menyapa dan tak lantas membuat dua manusia di atas ranjang sana beranjak, selain ketika ada bunyi ponsel berdering.
Oh, iya, ponsel!
Alisya belum mengambilnya di Bumi, Bumi pun semalam belum memberikannya. Dan Angkasa ....
"Pagi juga, Bel."
Sedang mengangkat telepon, dengan badan tetap tengkurap, mata pun malas-malasan dibuka lebih lama, mentang-mentang ada rencana mau libur hari ini menemani Alisya.
"Eh, iya. Maaf, Bel. Hari ini gue gak masuk sekolah. Gue pesenin ojol aja, nggak pa-pa?" Langsung duduk.
Alisya sampai menoleh, agak heboh gerakan Angkasa tadi soalnya. Kini rambut pria itu acak-acakan dan wajah khas bangun tidur. Alisya sedang mengumpulkan nyawa untuk beranjak, tetapi tunggu sebentar, dia kepo isi obrolan Angkasa dengan si 'Bel Bel'. Bella, kan, itu?
Sudah sampai mana hubungan mereka?
Angkasa melirik Alisya, bahkan menatapnya di kala berucap, "Iya, Sayang. Ada urusan keluarga. Maaf, ya. Besok aja gue jemput lo."
Oh, sudah sayang-sayangan. Alisya menyeringai, dengan makna ledekan. Mengganti kata cie-cienya.
So, panggilan itu ditutup. Angkasa letakkan lagi ponsel ke nakas. "Tuh, demi kamu, Ca. Aku sampe boong sama bebeb."
Lha ....
"Makasih. Padahal aku gak minta. Kamu kalo mau sekolah, ya, sekolah aja. Tapi dasarnya kamu males, kan? Segala sebut demi aku."
Angkasa terkekeh. Rebahan lagi.
Ngomong-ngomong ....
"Kalian fix udah jadian?"
Dan saat itu Angkasa tak lantas menjawab. Iya, sudah jadian. Yang kalau ditanya kapan, rasanya berat buat jawab kemarin, saat Alisya dikurung di gudang. Sial. Hari jadiannya dengan Bella adalah hari terburuk bagi Alisya, dan Angkasa turut merasa buruk karenanya.
"Cie ...." Diamnya Angkasa, dia anggap iya. "PJ-nya, dong. Traktir apa, kek, gitu."
Ini asli Alisya nggak cemburu, dia mencolek-colek pinggang Angkasa. Orangnya rebah tengkurap dan posisi kepala membelakangi keberadaan Alisya di sisinya.
So, Ica mendekat, mau membisik kata 'cie', makanya itu agak mencondongkan badan, detik di mana Angkasa berbalik. Oh, sepersekian detik ... Angkasa yang sudah telentang, terkesiap, pun dengan Alisya yang sudah merundukkan kepala hendak membisik, demikian posisi keduanya jadi terkesan seperti ....
"Mau kiss?" Super pelan suara Angkasa, rautnya penuh ledekan, memandang Alisya sambil lanjut bilang, "Maaf, ya. Bibir ini punya Bella. Sana kamu kiss Bumi aj--njir!"
Alisya menampolnya, area pipi, pelan memang, tetapi sukses membuat kepala Angkasa jadi nengok.
"Cium kamu? Ih, mohon maaf, nih, Aca. Amit-amit." Sambil berlalu.
Kali itu, jujur, Alisya tersinggung.
Sungguh.
Bukan karena ada kata 'bibir ini punya Bella'. Ya, silakan saja. Namun, Angkasa bilang 'sana kamu kiss Bumi aja', itu yang bikin Alisya agak kesal mendengarnya.
Angkasa malah tertawa. Sampai sosok Alisya masuk sepenuhnya ke kamar mandi.
Well ....
Apa tadi dia salah ngomong, ya? Suara hati Angkasa, memandang pintu yang di dalam sana ada Alisya.
Ah, nggak.
Toh, cuma bercanda.
Dan hari ini, di mana Angkasa turut serta meliburkan diri, ada hal yang ingin dia lakukan, benar-benar untuk Alisya.
Perihal siapa yang merundung, nanti, Angkasa punya strategi sendiri.
Dia pun rebah lagi. Bukannya apa, semalam Angkasa tidak bisa tidur, dan ... kalian tahu kenapa?
Angkasa tutup wajahnya dengan bantal, menyisakan hidung untuk bisa bernapas.