9 || Bumi Menyukainya

1734 Kata
Minggu-minggu terakhir ekskul sebagai senior, Bumi mengajari adik-adik kelasnya dengan baik, menjadi seperti asisten guru di sana. Diakui, Bumi memang murid berprestasi. Tentu saja, angkatan Bumi tidak sendiri. Ada Laras juga di situ. Para senior duduknya di satu meja, di mana barang mereka seperti ponsel pun diletakkan di sana. Sekolah Nusa Bangsa memang diperbolehkan membawa ponsel, tetapi tetap dipantau agar saat jam pelajaran, ponsel diletakkan. Meski tak menampik bila ada satu-dua yang kelolosan. Ya, Laras contohnya. Ekor mata dia sibuk mengawasi Bumi. Hubungan yang katanya sudah putus ini, Laras tidak terima. So, iseng-iseng dia hubungi teman-temannya. Beres dengan itu, melihat Bumi yang tidak mengarah ke sini, Laras raih ponselnya. Ponsel Bumi. Ketemu! Kontak atas nama Alisya yang dia cari, gegas Laras hubungi, setelahnya dia hapus dan diletakkan lagi di tempat semula. "Mau langsung pulang, Mbum?" Saat jam ekskul telah usai. "Apa kita kumpul dulu?" imbuh Laras, senyum. Yang lain, yang melihat kelakuan Laras tadi, tak tahu bila itu ilegal. Mereka pikir, toh, wajar. Namanya pacar, biasalah asal comot hape pasangan. "Kumpul dulu sebentar." Bumi menjawab seadanya, lalu memandang senior (anak kelas 11) di sana. "Perpisahan. Bu Eva bilang jangan langsung pulang." Seperti itu. "Aaa ... berarti minggu depan ekskulnya udah nggak ada Kak Bumi lagi, ya? Ih, sedih." Bumi tanggapi dengan senyum. "Semangat, ya." Sudah, itu saja. Bumi pulang pukul setengah enam sore, tiba di rumah ternyata sepi. I mean, tidak ada selain mama, papa, dan adiknya--Nia. "Aca belum pulang?" Yang mana di pendengaran Nia, abangnya justru tengah bertanya soal Kak Ica. Bukan Aca. Jadi, dia jawab, "Belum, baru Abang yang pertama pulang." "Mereka masih ada kegiatankah, Mbum?" Ini suara mama. Tampak di sana mama baru selesai menyalakan lampu-lampu ruangan. "Kalau Mars, kapan pulang katanya?" Dan ini papa, Bumi menatap mereka. "Bang Mars lagi di jalan, malem nanti juga nyampe katanya, Pa." Lagi-lagi Nia yang jawab. Papa Gempa lantas mengangguk. "Oh, ya ... mana Aca sama Ica?" Bumi juga bertanya-tanya. But, nggak pentinglah, ya. Dia merasa sudah bukan masanya untuk mengkhawatirkan mereka, apalagi dua-duanya sudah terikat tali nikah. Terus tadi ngapain Bumi nanya, ya? "Mungkin lagi mampir dulu ke suatu tempat." Bumi pun berlalu. "Eh, iya. Mereka lagi pacaran jangan-jangan." Mama Venus menggumam sambil mesem, lalu melirik suami. Nia pun memilih melenggang, masuk kamar, sebagaimana abangnya tadi. Well ... Gempa bicara. Memanggil istrinya, adalah Venus. Mama si kembar tiga. "Kenapa, Pa?" Sejenak, Gempa mengambil napas yang kelihatannya cukup berat. Dia lantas berujar, "Kalau boleh jujur, sebetulnya sampe detik ini Papa masih ragu dengan keputusan kita yang jodohin Ica." "Lho ... kenapa?" Venus mendekat. Namun, tanpa harus Gempa paparkan, dari raut wajahnya saja, di sana Venus auto paham. Mestinya tak perlu dipertanyakan. Mengingat bagaimana nasib pernikahan atas dasar perjodohan di keluarga Gempa, tak ada yang baik-baik saja. Sekadar informasi, orang tua Gempa dulu pernah menjodohkan Badai (saudara kembar Gempa) dan kemudian berakhir cerai. Habis itu ... Gempa sendiri, dia pernah diperkenalkan dan disarankan oleh orang tua untuk menikah dengan teman masa kecilnya, Erin--adakah yang ingat? Hubungan itu lantas berakhir kandas, tragis pula. Jadi, di awal Venus mencetus ingin Alisya menjadi menantunya, Gempa sudah mewanti-wanti. Sudah membujuk agar jikapun dijodohkan, maka pernikahannya nanti saja saat anak-anak remaja itu sudah dewasa. Ada hal yang Gempa risaukan. Namun, Venus seperti punya sudut pandang lain dari keinginannya itu. Membuat Gempa pada akhirnya manut dan mengizinkan. "Pa, tenang aja. Aca itu anak pemersatu bangsa, istilahnya. Dia juga sosok yang tanggung jawab, terlepas dari kondisi saat ini yang masih remaja. Entah kenapa, daripada Bumi dan Mars, Mama justru seyakin ini sama Aca. Kita cuma perlu mantau aja buat sementara, makanya itu mereka tinggalnya di sini, ya, kan?" Tanpa tahu, ada Bumi yang urung meneruskan langkah menuju mereka. Dia henti dan diam mendengarkan, dengan posisi apik sembunyi. Entah kenapa. Bumi juga masih tidak habis pikir dengan jalan pikiran mama, khususnya. Kenapa harus sedini ini menikahkan Alisya dan salah satu anak mama? Andai hari itu Bumi mau, lalu .... Lalu apa? Bumi geleng-geleng kepala. Termasuk dengan posisi diri sendiri yang malah bersembunyi, ngapain? Makin geleng kepala. Akhirnya, Bumi keluar. Dia menuju dapur, mau makan. Lapar. "Tapi apa nggak sebaiknya Aca ditelepon aja, Ma? Udah jam segini, mastiin aja." "Oh, iya. Bentar, Mama ambil hape dulu." Ya, begitu. Bumi asyik makan. "Pa, nggak diangkat." "Telepon lagi. Atau coba hubungi Ica." Tentu suara obrolan papa dan mamanya kedengaran, Bumi tetap sibuk makan. Dia tadi sudah menawari, kok. Hanya memang tak dikisahkan saja. Well, Bumi juga sudah mandi. "Papa ...." Detik itu, Bumi mulai merasa kehilangan nafsu makannya. Detik di mana mama lanjut bicara, "Ica malah nggak aktif." *** "Kamu yakin Alisya masih di sekolah, Ca?" Ya, di sanalah Bumi berada. Begitu Angkasa pulang dan ternyata tanpa Ica, saat papa maju mau ikut serta mencari Alisya, tetapi Bumi menahannya, dengan bilang, "Papa di rumah aja sama mama, biar Bumi sama Aca yang pergi cari Ica." Dari tadi Angkasa terus fokus pada ponselnya, dia tengah mencecar anggota grup Laporan Kelinci Aca. Namun, Angkasa masih bisa membagi fokusnya pada sosok Bumi di sebelah. "Yakin. Kita ke sana dulu aja," katanya. "Pak, tolong lebih ngebut lagi." Angkasa tampak gelisah. Yang Bumi perhatikan. "Emang kamu habis dari mana? Tumben nggak bareng Ica." Dan ... Angkasa memandang Bumi di sisinya. "Hari ini kamu banyak bicara, ya, Mbum." Eh, malah dibilang begitu. Angkasa pun balik fokus ke ponsel. Entahlah, Aca kesal saja mendengar tutur kata Bumi barusan, terdengar seperti sedang menyudutkannya. Padahal maksud Bumi tidak begitu. Dia, kan, cuma bertanya. Ah, sudahlah. Mereka malah saling diam jadinya. Namun, pikiran keduanya tidak bisa sediam mulut. Di dalam sana bising sekali. Khususnya Angkasa .... Bertanya-tanya soal Alisya. Oh, akhirnya tiba juga. Tepat di depan gerbang SMA Nusa Bangsa. Sejatinya, hari sudah mulai merangkak menuju gulita. Well, Angkasalah orang paling pertama yang turun dari mobil mereka, gegas mendatangi pak satpam di sana. *** Tadi itu .... Sore, sepulang ekskul musiknya. Ica menelusuri lorong perpustakaan, mana Bumi? Dia mencari-cari. Eh, sebentar. Jangan salah paham. Bukan karena Alisya sosok lembek atau gampangan, hingga baru segitu saja dia sudah langsung mau memenuhi isi pesan dari Bumi, padahal hatinya pernah sakit dan itu tidak sekali dua kali. Oleh Bumi. Dia datang ke sini hanya karena ... apa, ya? Ah, iya ... penasaran. "Bumi?" Alisya memanggil pelan. Ini, kan, di perpustakaan. Namun, sepi. Yang hendak Ica hubungi kontak Bumi, sambil berbalik, mungkin Bumi-- "Eh, lagi cari Bumi, Ca?" Agaknya, Alisya terkesiap. Saat berbalik, ada siswi yang dia kenali sebagai teman sejurusan. Hingga narasi dalam benaknya pun terpangkas, bahkan niat menghubungi Buminya tertunda. Ica lalu tersenyum. "Ehm ... iya. Kamu lihat Bumi, Mel?" Amel namanya. Meski tidak akrab dengan murid lain, tetapi Ica tahu nama-nama mereka. Sekali-dua kali, sih, pernah saling bicara, tetapi hanya sekadarnya, seperti sekarang ini misalnya. "Oh, iya. Tadi aku lihat Bumi jalan ke arah sana, Ca." Menunjuk ke luar. "Ke mana?" Dan itu tidak jelas. Makanya dia tanyakan lagi. "Ke gudang anak sains, tuh. Tadi keluar dari sini masih sambil bawa-bawa hasil eksperimen ekskulnya." Alisya ber-oh ria. Ah, pulang saja kali, ya? Toh, nanti bertemu di rumah. Kalau begitu-- "Yuk, Ca, aku temenin." Tiba-tiba. Tentu saja Alisya kebingungan mendengarnya. Amel bahkan langsung menggandeng tangannya, makin bertanya-tanya, tetapi Alisya tidak berpikir bahwa siswi ini punya niat jahat. Jadi, tak apalah, ya? Ikuti saja alurnya. Ica pun berterima kasih. Oh, tidak. Alisya mungkin lugu, tetapi tidak selugu itu. Hanya saja, dia tidak mengambil tindakan yang kiranya akan jadi terasa "tak enak hati" kalau-kalau sekarang menolak ajakan Amel. Memang mencurigakan, tetapi tak ada salahnya untuk mengesampingkan dulu kecurigaan itu. Lain cerita jika yang jadi Amel adalah Laras and the geng. Iya, kan? So, berjalan saja. Selangkah demi selangkah. "Betewe, Ca ...." "Hm?" Sambil ngobrol. "Kamu itu sama Aca atau Bumi, ya, kalau boleh tau? Eh, aku nanya gini bukan maksud apa-apa, lho. Cuma mau tau langsung dari YBS aja." Yang bersangkutan, I mean itu YBS. "Soalnya, kan, tau sendiri. Kamu juga pasti pernah denger, dong, gosip tentang kalian? Nah, aku cuma penasaran dan kebetulan ada momen buat nanya gini ke kamu. Ya, tapi ini gak penting, sih. Dan maaf kalau bikin kamu nggak nyaman." "Eh, nggak, kok." Ica menanggapi postif. Tutur kata Amel dirasa tak ada jahat-jahatnya. "Lagian kami nggak ada hubungan apa-apa selain sahabat." Bohonglah, pasti. Alisya pun senyum. "Dan sebatas temen kecil." "Oh, ya?" Mereka semakin dekat dengan gudang sains. Diberi nama begitu karena di ruangan sana isinya barang-barang khusus pelajaran berbasis sains. Alisya pun mengangguk. Lantas, mereka masuk. Amel betul-betul mengiringi, bahkan sampai ke area dalam dan .... "Akh!" Refleks dari sebuah dorongan, lalu Ica tersungkur. Detik di mana ponsel pun jatuh dan Amel dengan sigap mengambilnya. Tunggu! Situasi masih dia cerna, tetapi Ica tak lantas berdiam diri. Dia langsung bangun, hanya saja Amel bahkan sudah jauh melarikan ponselnya, sukses atas bantuan sosok lain yang kembali menjatuhkan Alisya. Di sana .... "Laras--" "Iya, gue. Kenapa?" Dengan tawa dan disusul kekehan dari teman-temannya. Empat orang, Alisya dikepung. Di dalam gudang itu. Yang kembali bangkit, tetapi salah satu dari mereka ada yang sangat sigap, amat gesit, mendorong Alisya. Kali ini jauh lebih bertenaga. Uh ... sakit. Alisya menubruk meja. Di situ Laras berdecak. "Jangan kenceng-kenceng." Teruntuk temannya. "Gitu-gitu dia kesayangannya Bumi." "Oh, iya." Alisya terduduk. Memandang mereka. Di mana ada sesuatu dari masa lalu yang mendatangkan keringat dingin pada tubuhnya. Tidak. Dia sudah baik-baik saja atas kejadian yang pernah dialami semasa kecilnya. Alisya baik-baik saja. Sehingga dia bisa melawan mereka, seharusnya. Bukannya malah .... "Makan, tuh, Bumi!" Dengan geraham yang rapat menutup, juga mata yang memejam, dan kepala menunduk, tanpa bisa fokus pada apa yang sebenar-benarnya sedang terjadi kala ini. Ucapan-ucapan mereka .... Satu per satu 'senggolan' kecil, tetapi menyakitinya .... Dan ... pintu ditutup. Rapat. Alisya dikurung di dalam sana. Sedangkan yang di luar .... "Thanks, ya, Mel." Agak kikuk. Amel masih memegang ponsel Alisya. Yang lalu dirampas Laras, Amel pun diusir oleh kawanannya. Yeah ... ternyata menyenangkan menjadi murid dominan. Laras tersenyum kecil. "Udah, yuk, pulang?" "Pulang, Ras? Nggak nunggu sejaman bentar, nih?" "Buat?" "Ya, itu ...." Mengedik dagu pada arah pintu gudang sains. Area itu memang sepi, apalagi sudah jam segini. Yang terakhir berkeliaran di sini adalah murid sainsclub, tentu sudah banyak yang pulang, sisa Laras saja--dan mengajak teman-teman. "Nggak usah. Pulang aja. Toh, nanti Bumi nyari." So, mereka berlalu. Dengan ponsel Alisya yang dijatuhkan asal selepas dibuat mati daya. Persetan. Laras kadung sakit hati oleh sosok bernama Alisya Leonidas, tak peduli bila cewek itu tak berbuat apa-apa, tetapi karena Bumi menyukainya ... Laras tidak suka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN