Ponselnya terus berbunyi. Mira tentu tak sabar. Ia ingin sekali menjodohkan sahabatnya dengan Adam. Kenapa? Karena ia tahu kalau Khayra adalah perempuan yang baik. Mau masa lalunya seburuk apapun, ia yakin Adam tak akan melihat itu. Ia tahu betul bagaimana keluarga besar suaminya bahkan yang jaraknya jauh sekalipun. Makanya ia percaya. Tapi baik ia maupun Wirdan memang belum menyentil apapun pada Adam soal Khayra. Sebaliknya, Mira sudah memberikan profilnya sedikit yang seharusnya ya dengan cowok sekece Adam, pasti tak akan ditolak. Tapi masalahnya adalah Khayra bukan gadis kebanyakan. Bukan pemilih. Tapi untuk menikah memang tidak mudah.
Khayra juga sudah memikirkannya sejak semalam. Ia sudah menyiapkan banyak argumentasi untuk menolak tawaran Mira. Ia tentu sanhat berterima kasih karena Mira selalu membantunya. Termasuk untuk perkara jodoh kali ini. Namun ia rasa sekarang bukan waktu yang tepat. Alih-alih mencari pengganti, ia ingin fokus pada dirinya dulu. Mungkin banyak tugas yang harus ia selesaikan sampai akhirnya Allah mengizinkannya untuk bertemu dengan seseorang yang tepat itu. Mungkin memang bukan sekarang. Ya tak masalah juga sih. Mau umurnya 30 tahun hingga 30 tahun sekalipun, ia tak perduli. Ia tak ingin hidup dengan mengikuti timeline hidup orang lain. Karena mereka tak akan pernah sama. Omongan soal....
"Si Nana aja anaknya udah dua tuh, Ra....."
Yaa omongan soal keluarga besar atau para tetangga yang suka menyindirnya soal itu, ia hanya diam saja. Tak mau merespon. Senyumin saja biar mereka senang. Karena dibalik kata-kata itu kan sebenarnya mereka hanya iri. Ya kalau tak iri, untuk apa mengurusi hidup orang coba? Orang yang paham agamanya akan bisa memprioritaskan mulutnya digunakan untuk apa. Ya kan?
Ia sudah naik angkutan umum. Tadi sih mau mengendarai motor ya. Eeeh ban belakangnya tampaknya bocor. Ia antar ke tukang tambal ban dong. Abangnya yang belum ada. Katanya nanti baru bisa jadi ditinggalkan di rumah saja toh si abangnya yang katanya mau ke sana. Dari pada menunggu yang tak pasti, lebih baik ia mencari yang pasti-pasti saja. Hahaha. Bahkan abang angkot lebih memberikan kepastian ya? Karena selalu leeat di depan gang rumahnya.
Baru 20 menit berada di dalam angkot, ia buru-buru turun. Kenapa? Ketika ia menoleh ke belakang tadi, ada anak kecil yang tak sengaja ditabrak motor. Mana motornya kabur pula meski kini tampaknya dikejar-kejar beberapa orang. Ia kasihan. Karena anak kecil tadi tampaknya anak jalanan. Terlihat dari kaleng yang dipegangnya tadi dan baju serta celana yang begitu lusuh.
Ia buru-buru berlari. Kelas saja orang-orang bingung karena memang tak ada yang mengenalnya. Ia yang akhirnya menelepon ambulans lalu ia juga yang membawanya ke rumah sakit. Di perjalanan ini lah, ponselnya terus berdering. Tentu saja Mira. Awalnya ia enggan mengangkatnya tapi satu petugas yang menemaninya malah menatapnya. Mau tak mau ia mengeluarkan ponsel itu. Mira pasti tak sabar. Ia tahu tipikal Mira seperti apa. Belum berubah meski sudah menikah dan sedang mengandung anak kedua.
"Kau di mana heh?"
Ini sudah lewat dari janjinya. Ia tahu kalau Khayra bukan orang yang mengenal kata ngaret.
"Waalaikumsalam," ia justru menyindirnya lalu terkekeh saat Mira mengucapkan salam. Sekali lagi, ia melontarkan pertanyaan yang sama. Tentu penasaran dengan keberadaannya kan? Apalagi ditutupi suara sirine yang maha kencamg. Mira jadi hah-heh-hah-heh. Tak bisa mendengar jawabannya. "Aku kirim pesan aja deh."
Percuma juga bicara kalau tak bisa didengar. Ia matikan telepon itu lalu mengirimi Mira pesan.
Kayaknya akan terlambat babget deh. Kalo pun gak jadi hari ini, insya Allah aku akan datang besok.
Ia tak bisa menjamin apapun karena mungkin akan sibuk mengurus bocah yang tak dikenalnya ini. Sementara Mira jelas mengomel lah. Giliran Adam datang eeeh ia malah tak datang. Ia meneleponnya lagi tapi tentu saja tak diangkat Khayra. Bahkan ia sudah mengubah mode ponselnya agar tak berisik.
Tiba di rumah sakit, ia ikut turun. Lalu? Lalu berlari menuju administrasi karena pasti perlu uang bukan? Tapi tenang, ia memang tak punya banyak uang dengan profesinya yang yaaah hanya guru honorer. Tapi ia punya koneksi yang cukup banyak kok.
"Bentar ya, mbak."
Untuk pembayarannya ia tahan dulu. Ia menelepon salah satu yayasan yang dikenalnya dan sering menggelontorkan uang untuk hal semacam ini.
"Assalammualaikum.....dengan Yayasan Pelangi?"
Di seberang sana ada yang menyahut. Tentu saja iya.
"Ini Khayra, kak!"
"Ooh Ra....ada apa?"
"Biasa. Ada anak jalanan tadi ditabrak motor terus pengemudinya kabur."
"Oke. Di rumah sakit?"
"Iya. Langsung proses ya"
"Iya. Sebentar aku bikin dokumennya bentar terus untuk nominal biayanya, kamu chat ke aku aja."
Ia mengiyakan lantas menutup teleponnya lalu menghadap pihak administdasi. Ia mengisi berkas-berkas disesuaikan dengan informasi dari Yayasan Pelangi. Kemudian mengirim angka nominal yang harus dibayar. Kurang dari lima menit, uang sudah dikirim langsung ke pihak rumah sakit. Ia hanya duduk menunggu. Tak tahu juga ini bocah siapa. Tapi kalau luntang-lantung di jalan, ia mungkin bisa membawanya ke Yayasan Pelangi itu.
Disaat ia duduk santai di rumah sakit, Wirdan dan Adam jusrtru sedang keliling LSM. Adam kan belum pernah ke sini. Terakhir mereka ke gedung khusus para pengidap HIV. Di sini ia dipertemukan dengan para perempuan spesial itu.
"Kita gak ke yang cowok aja, bang?"
"Kenapa? Kau grogi?"
Ia malah diledek. Ia tertawa. Bukan begitu juga sih. Hanya saja.......bagaimana ya? Hahaha. Sementara Wirdan justru terkekeh.
"Cewek saja. Nanti kau syok ke tempat para lelaki itu."
"Kenapa memangnya?"
"Kalau mereka naksir kau bagaimana?"
Ia tertawa. Benar-benar terpingkal. Rata-rata pengidap HIV laki-laki di sini memang para gay. Belum ada yang lurus karena memang masih cukup baru juga masuk ke sini. Mereka semua sednag berproses. Ya kalau Wirdan sih sudah biasa digoda begitu. Hahahaha. Kalau Adam? Takutnya trauma. Hahaha. Kan bahaya kalau ia tak mau ke sini lagi. Walau sebenarnya, Adam sudah biasa juga menghadapinya sih. Ia juga punya banyak pengalaman buruk. Punya traumatis juga tapi ia berhasil melawannya. Waah apalagi dulu saat ia sedang menyelesaikan syudinya di Amerika. Ia perlu mengumpulkan pasien-pasien semacam itu dan tentu saja tak mudah. Wajah-wajah keren Asia sepertinya ini justru banyak disukai para gay bule itu.
Ia akhirnya dipertemukan dengan para pejuang kuat. Ya teman-teman yang juga sudah mengenal Khayra. Maka kali ini dikenalkan pada Adam lalu apa?
Adam mendapatkan tatapan sinis dari dua di antaranya. Hahahaha. Ia jelas agak syok karena tak ada yang ramah. Justru menjaga jarak.
"Yang tadi itu Kinan. Mantan PSK."
Wirdan menyebut perempuan yang pertama kali meninggalkan mereka. Kinan memamg sangat sensitif dengan keberadaan lelaki. Ia benar-benar tak ingin berhubungan dengan siapapun di antara mereka.
"Terus yang barusan itu Dea. Sama. PSK juga."
Adam mengangguk-angguk.
"Loh? Tik?"
"Sibuuuuuk!" sahut gadis itu. Ia justru ikut pergi. Hei-hei lalu tak ada yang menyambut Adam di sini begitu? Hahaha.
Tentu saja ada. Namanya Allesya. Ia bukan PSK. Bukan juga korban lelaki. Ia adalah korban ibunya. Ibunya yang bipolar.
"Kamu gak pergi kan, Al?"
Gadis itu menggeleng. Tatapannya justru tertuju pada Adam.
"Dokter ya?"
Ia bahkan bisa menebaknya. Hal yang membuat Adam spontan memegang tengkuknya. Merinding. Wirdan justru tertawa. Allesya bukannya bisa melihat sesuatu yang tidak terlihat. Ia hanya mencium bau etanol. Ya alkohol. Penciumannya tajam karena ia memang dekat dengan obat-obatan untuk merawat ibunya kala itu.
@@@
"Apa coba alasannya? Sini kasih tahu aku! Udah susah payah aku nyari yang bagus untukmu heeeh!"
Mira jelas mengomel. Ia baru mengangkat teleponnya lagi usai memastikan anak tadi sudah diobati dengan baik. Kakaknya juga sudah dihubungi dan baru saja datang. Ia bisa berpamitan sekarang. Maka kini sedang berjalan pulang lagi. Tentu saja menunggu di depan rumah sakit untuk naik angkutan umum.
"Ketinggian, Mir. Aku gak pantas lah sama yang kayak gitu."
"Lah? Seorang Khayra insecure begitu?"
Ia terkekeh. "Bukan begitu loh, Mir. Kan harus mencari yang sekufu ya. Nah aku takut saja terlalu banyak perbedaan ini akan menimbulkan banyak konflik. Duniaku dan dunianya juga kayaknya berbeda jauh. Dan lagi, aku belum ingin mencari suami untuk sekarang, Mir."
Jawabannya membuat Mira mendengarnya sedih.
"Kok gitu sih, Raaa? Gahal nikah itu biasa tauk. Namanya juga bukan jodoj. Dari pada terlanjur nikah itu kan malah lebih nyesek lagi."
Banyak juga yang gagal dalam pernikahan karena salah memilih pasangan. Bahkan beberapa di antaranya adalah mereka yang bisa dikatakan seorang muslimah yang paham agama. Bukan berarti kegagalan mereka karena pemahaman mereka. Namun mungkin ada sesuayu yang terlewat diawal mengenal. Mungkin tertipu. Itu bisa jadi kan? Karena banyak juga yang berpura-pura alim agar bisa menggaet hati sangat caloj. Eeh malah jatuh cinta sebelum menikah dan hasolnya? Setelah menikah, semuanya terbaca dengan jelas. Kaget mungkin. Kecewa apalagi. Mungkin tidak bisa menerima hal itu. Ada yang awalnya mungkkn bisa menerima namun ternyata tak ada perubahan sama sekali. Memang yang namanya mengubah watak itu kan susah ya? Jadi jangan mencoba-coba beroikir akan bisa mengubah watak seseorang setelah menikah.
"Oke? Cari gadis lain saja. Aku yakin yang kredibel banyak, Mir. Teman-teman S2-mu juga kan banyak tuh yang belum menikah."
Mira mengerucutkan bibirnya. Ya sedih sih tapi ia juga tak bisa memaksa kan? Hak Khayra juga untuk menolak. Ia tak bisa apa-apa.
"Ya udah deeeeh. Tapi yakin gak nyesel nih? Mayan loh orangnya."
Khayra tertawa. Masih saja promosi si bumil satu ini. Ya namanya juga Mira. Kalau bukan Mira, pasti sudah menyerah tuh.
"Enggak. Kan gak suka juga."
Lihat fotonya aja gak pernah. Namanya juga baru ia dengar. Ya seperti yang Amira dan Wirdan tahu kalau ia jarang berkumpul dengan warga Aceh di sini. Hanya beberapa yang memang sudah lama dikenalnya.
@@@
Bertahun-tahun lalu.....
Ia nyaris terperosok ke tanah kalau saja seseorang tak menahan tubuhnya dari belakang. Ia berupaya bangkit namun karena kedua tangannya masih menjinjing dua plastik besar, membuatnya kepayahan. Sadar akan kondisi perempuan yang tak sengaja dipeluknya, Adam menarik bahu gadis itu hingga gadis itu bisa berdiri tegak. Namun iba langsung menyapa ketika wajah itu berlumuran ludah dan khimarnya tak kalah riuh dengan liur menjijikan itu.
Bukan bertanya. Adam malah menyodorkan sapu tangan miliknya dan tak sengaja menahan tangan wanita itu agar tak menyentuh ludah yang menempel. Sementara pengemudi motor sebagai pelaku peludah sudah kabur dengan motornya. Diiringi tawa dan cacian kebencian pada wanita-wanita yang menutup auratnya secara utuh. Dicaci maki, dibilang sok suci, yah begitu lah. Hijrah tak ada yang mudah.
"Makasih, Mas." Suara lembut itu menyadarkan ketermenungan Adam. Lelaki itu baru sadar jika di negerinya sendiri, diskriminasi terhadap perempuan berjilbab lebar masih merebak. Ia kira hanya terjadi di luar negeri saja. Tapi ternyata?
"Bersihkan dengan ini." Segera ia sodorkan antis yang selalu ia kantongi kemana-mana. Gadis itu menerima dengan senyuman tipis tanpa berani memandang si penolong. "Rumah kamu dimana? Biar saya antar saja." Rasa iba membuatnya berani menawarkan diri. Tapi wanita itu hanya menggeleng lemah.
"Sudah biasa kok."
Hanya itu jawabannya. Tangannya lihai membersihkan ludah-ludah itu dengan antis dan dijejali sapu tangan. Ia terburu-buru kesini hingga lupa membawa payung yang biasanya menjadi penangkal setiap ia melewati jalanan kecil ini. Baginya sudah biasa. Para lelaki itu memang membencinya. Bukan hanya karena jilbabnya tapi karena kegiatan yang ia bangun disini. Mendidik anak-anak jalanan yang tidak mudah. Membangun rumah untuk mereka. Melindungi hak mereka untuk belajar sama dengan anak-anak lain. Apa itu salah?
Pemikiran sempit orang-orang inilah yang selalu menganggap orang lain telah merenggut haknya. Padahal setiap nyawa berhak kehidupan yang sejahtera. Tapi kekuatan dan kekuasaan mendominasi. Namun ia tak pernah takut. Ia yakin jika kekuatan mereka tak seberapa jika dibanding dengan kekuatan milik-Nya.
"Sapu tangannya saya ganti aja dengan jilbab ini gimana?" Tawarnya sambil menunjuk jilbab-jilbab yang ia bawa.
Adam mengikuti arah telunjuk itu. Menatap jilbab-jilbab yang memenuhi dua plastik besar itu. "Tidak perlu. Dibuang saja. Saya bisa beli lagi nanti." Tuturnya lalu melirik jam tangan. Telat! Dumelnya dalam hati. "Kalau gitu saya duluan!" Ucapnya lalu berlari setelah sesaat memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja.
Gadis itu mengangguk. Senyum yang ia tahan-tahan sedari tadi terbit. Saat tak sengaja menatap wajah utuh Adam saat melihat jilbab-jilbabnya, tiba-tiba jantungnya berdebar. Dan rasa berdebar itu muncul. Hingga kesadaran menghantamnya. Ia lupa menanyakan namanya! Sial!
Dengan berlari kecil demi menggapai punggung lebar itu, ia berteriak, "MAS, NAMANYA SIAPA?"
"ADAM!"
Adam, ulangnya dalam hati. Tuhan pun seakan tersenyum. Tapi sayang, kejadian singkat itu tak terlalu melekat dihati Adam. Pahitnya, ia bahkan lupa pada wanita itu. Wanita yang diam-diam mencatat namanya dalam doa. Sebab saat itu, bagi Adam, semua berlalu begitu saja. Baik masa lalu maupun masa depan yang tak pernah ia kira dimulai dari jalanan sempit ini.
Ini bukan cinta. Gadis itu hanya terpesona saja pada akhlaknya........
Mas Adam.....
@@@