Pertemuan Ketiga

3005 Kata
"Saya akan ke kantor." "Mas yakin?" Ia mengangguk. "Permasalahan ini tak akan selesai, Wir. Yang ada malah terus berputar. Kamu tahu, ini bukan yang pertama." Ya, Wirdan tahu. Tapi omong-omong bagaimana ia bisa mengenal lelaki ini? Ohoo. Sejarahnya sebenarnya tak begitu lama. Beberapa tahun lalu mereka bertemu tanpa sengaja. Lelaki ini memang bekerja untuk negara. Tapi ia hanya melakukan perintah yang menurutnya baik. Ia diminta meretas segala akses Wirdan kala ith agar tak bisa keluar dari Indonesia. Agar terjebak. Agar para pengusaha yang menginginkan berbagai teknologi yang ia kembangkan dapat memilikinya dan mereka dapat memperbaiki kualitas produk mereka. Ah lebih tepatnya mencuri dari Wirdan. Wirdan dan perusahaannya memang sedang maju. Sebagai perusahaan baru dan pencapaiannya bahkan diluar ekspektasi, wajar kalau banyak yang merasa tersaingi. Bahkan produk yang mereka jual sebagian besar mati. Beberapa perusahaan sudah bangkrut karens tak bisa menyaingi produknya. Lalu bukannya sibuk memperbaiki kualitas, mereka malah sibuk mencari cara untuk menghancurkan Wirdan. Sejauh ini sudah banyak hal yang dilakukan. Tapi bukannya hancur, nama Wirdan justru baru saja dirilis sebagai orang terkaya nomor 10 di dunia. Bukan lebel Asia lagi. Namanya benar-benar naik pesat. Pertemuan tak sengaja dengan lelaki ini tentunya bukan benar-benar kebetulan bukan? Karena lelaki ini malah meloloskan Wirdan dari berbagai usaha timnya sendiri untuk melenyapkan Wirdan. Ia hanya berpikir di mana salahnya orang yang berusaha untuk menjadi sukses? Tak ada yang salah kan? Tapi begitu lah pola pikir manusia yang sulit dimengerti. Karena hanya tak mau tersaingi. Rasanya bodoh sekali ya? "Kalau mereka mengetahui semua gerak mas--" "Aku sudah siap dengan segala resikonya, Wir. Lagi pula, tujuanku bergsbung di BIN adalah untuk negaraku bukannya kepentingan pribadi mereka." Mereka yang dimaksud adalah para pengusaha dan pejabat yang dengan kompaknya bekerja sama demi menyingkirkan semua penganggu. Ya segila itu orang-orang yang selalu serakah. Padahal rezeki Wirdan lancar justru karena ia terus memberi. Ya kan? "Mas, kalau ada apa-apa, harus kontak aku." Ia terkekeh. "Tapi saranku, untuk sementara waktu memang jauh lebih baik ke negara lain. Tinggalkan negara ini hingga beberapa tahun lagi. Aku yakin, seiring berjalannya waktu, mereka juga akan lelah. Habis uang, habis tenaga, dan habis waktu. Mereka akan merasakan itu semua. Pada akhirnya akan berhenti." Ya. Memang benar. Ia juga yakin. Apalagi kalau bisnis mereka semakin terperosok. Persaingan binis itu memang hal biasa. Tapi kalau sampai ada yang berlaku picik, itu ya g sulit dimaafkan sih. "Akan dibawa juga?" Mereka menatap ke arah anak laki-laki yang tampak pulas. Ia tersenyum kecil. "Aku ingin dia merekam semua apa yang aku hadapi. Suatu saat nanti, ia akan lebih tangguh." Itu gaya mendidiknya. Wirdan mengangguk. Ya masing-masing orang punya gaya kan ya? "Aku akan menginap di tempat temanku. Kalau butuh sesuatu, kamu tahu akan ke mana mencariku kan?" Wirdan mengangguk. Lelaki ini memang agak-agak misterius. Tapi entah kenapa, ia suka. Justru itu yang membuat penasaran. Ya kan? "Siapa namanya ini, mas?" Lelaki itu tersenyum kecil. Ia menatap anaknya yang masih belum ingin bangun. "Ahmad, Wir. Aku berharap ia memiliki akhlak yang terpuji seperti Rasulullah." "Amin, mas." Tak ada salahnya kan berharap? Apalagi melalui nama yang semoga bisa menjadi doa. Nama yang baik juga hak anak. Lelaki itu berpamitan. Wirdan mencarikannya taksi sekaligus langsung membayarnya biar ia tak bisa menolak. Ia salut saja dengan pola pikirnya yang berbeda. Ia benar-benar tak takut apapun, kecuali Allah. Itu juga keyakinan yang sama yang dipegang Wirdan. Itu mengapa ia bisa sampai di titik ini sekarang. Ia tak takut meski ada banyak orang yang mengincar nyawanya. Karena apa? Bukan kah hidup dan matinya manusia itu berada di tangan Allah bukan di tangan manusia? Jadi untuk apa takut pada mereka? Ya kan? Lelaki itu tersenyum. Ia menikmati perjalanan. Sengaja meminta jalan memutar bahkan. Untuk apa? Mampir ke sebuah komplek yang dulu ia pernah singgahi. Bertemu bocah-bocah yang sekarang mungkin sudah besar ya? Walau ketika lewat, ia tak melihat mereka main di sekitar taman itu lagi. Namun rumah-rumah orangtua mereka tampaknya masih sama. Hanya ya memang ada beberapa perubahan kecil tapi tak banyak lah. Ia hanya tersenyum kecil. Hahya merasa senang sih ketika lewat di sini. "Anak-anak bawel itu...," gumamnya. Ia memang tak melihat mereka ada di taman. Eeh ternyata di persimpangan rumahnya dulu ketika mengontrak di sana. Ya dengan mengaku kalau ia adalah keponakan sang pemilik. Padahal ia mengontrak. Ia hanya tak mau dikenal. Hanya itu. Tapi ia tersenyum melihat mereka berjalan bersama. Ya tak semuanya. Hanya beberapa yang masih ia kenal dan tahu namanya. Siapa? Ada Ardan dan Dina. Beberapa bocah lainnya tampak asing. Karena ia tak pernah melihat sebelumnya. Mobil kembali masuk Jakarta. Ia akhirnya tiba di sebuah rumah yang yah masih sederhana untuk di daerah ini. Mobil berhenti di sana. Lalu segera turun sembari menggendong anak lelakinya. Kedatangannya langsung disambut oleh rekan BIN-nya yang bisa ia percaya. "Ayo masuk-masuk. Walah Ahmad tidur ya?" Ia terkekeh. "Istriku masih di perjalanan." "Ya. Tapi jadi menginap di sini kan?" "Jadi. Kamu benar. Lebih baik di sini." "Ya, mas. Lebih baik begitu. Ayo masuk." Ia mengangguk. Ia dibawa ke kamar dulu agar bisa menidurkan Ahmad di sana. Baru kemudian keluar dari sana dan diajak makan siang. "Said mana?" Ia tak melihat anak lelaki yang seumuran dengan anaknya. Mumpung ia membawa anaknya ke sini. Ya siapa tahu bisa bertemu. Kalau di kantor kan, mereka sering bertukar cerita soal anak. Ya maklum sih namanya juga orangtua baru. "Said lagi ikut neneknya. Eh iya, istrimu hamil lagi gak? Istriku hamil lagi." Ia tertawa. Ternyata ada kabar gembira toh. "Udah berapa bulan?" "Baru sih, mas. Masuk 4 bulanan lah. Ya semoga saja lancar nanti sampai kelahiran." "Amiiin. Kepengennya cewek apa cowok?" "Cewek lah." Mereka tertawa. Kalau ia? Ia sudah cukup kok. Lagi pula, ada sesuatu yang memang membuatnya was-was kalau harus punya anak lagi. Keadaan sedang genting. Usai makan siang dan berbasa-basi, mereka akhirnya masuk ke sebuah ruangan dan mulai serius di sana. @@@ "Mooooom!" Si anak super bawel persis bapaknya. Hahaha. Tapi setidaknya secara fisik, mirip dengannya tulen. Bahkan seperti kembaran. Ya masih ada hal yang harus disyukuri. "Where is papiii?" Ia bertanya-tanya papinya di mana? "Kan belum pulang ke sini." "Iiiih." Padahal baru satu minggu yang lalu, Regan pulang ke Singapura untuk bertemu mereka. Kini suaminya pasti sibuk. Ya mau bagaimana lagi? Namanya juga pekerjaan. Apa boleh buat lah ya? Walau kini anaknya yang super tidak sabar itu sudah menelepon papinya. Sudah pasti disuruh pulang tuh. Vanessa hanya terkekeh. Ya biarkan saja. Gadis kecilnya sedang bosan. Tadi sih tidak sekolah. Sudah dibujuk-bujuk tapi tetap tidak mau. Ya sudah lah. Ia juga sudah pasrah kok. Terserah anak maunya. "Kenapa gak pulang-pulang?"kesalnya ditelepon. Regan hanya bisa menghela nafas. Yang mendengar bersamanya kompak terbahak. Paling senang melihat Regan direcoki anaknya yang super bawel. Feri terkekeh. Kalau melihat Viania, ia jadi kangen anak bungsu perempuannya di rumah yang juga sudah mulai masuk sekolah dasar. Pagi tadi? Ya menangis kencang lah. Untuk ke sekian kalinya menangis kalau ditinggalkan di sekolah. Karena sekolah baru. Ia masih belum terbiasa. Yang repot sih jelas bukan hanya Feri tapi juga Sara. Walau ya menyenangkan. Mengingat anak sulungnya sudah tumbuh dewasa, memiliki anak sekecil Anne ya sangat menghibur. "Yang paling anteng Farras noh kalo diantar ke sekolaj gak pernah nangis." "Tapi gue tetep dibawelin juga." Yang lain tertawa. Semenjak semuanya menikah dan memiliki anak, ya ada saja hal mengenai anak-anak yang mereka bahas. Mereka sedang di basecamp. Ya sedang membahas sesuatu yang penting juga sebenarnya. Tapi ya berhubung masih menunggu Regan akhirnya santai dulu. Meski tak lama terdengar suara alarm. Bukan alarm kebakaran rumah. Tapi alarm dari senhah laptop. Ada panggilan video dari kantor pusat, ya kantornya Regan. Terutama dari ruangan intel. Para staf menghubungi mereka dan mengabarkan kalau ada sinyal dari salah satu organisasi hitam. Ada apakah? Mendadak sekali? Mereka buru-buru berlari ke sana. Duduk di depan komputer dan menerima panggilan itu dengan segera. Tak banyak staf intel yang ada di basecamp. Fungsi mereka pun hanya untuk menyambung komunikasi. Karena kan Fadlan dan yang lain juga tak selalu ada di tempat. "Sinyal itu kami dapatkan di sekitar Aceh, pak." Mereka saling bersitatap. Apa mereka datang kembali setelah sekian lama? Tapi belum tentu juga itu adalah musuh bebuyutan mereka yang sering mereka recoki. "Berangkat?" "Ada pesan ini, pak. Tapi kami belum bisa memecahkannya." "Coba perlihatkan?" Tak ada yang bisa membaca. Itu bukan tulisan Arab gundul. Bukan. Jauh dari situ. Gak-agak mirip India tapi bisa juga Sansekerta. Sungguh ambigu. Ya banyak yang multilingual di sini. Tapi tak ada satu pun yang bisa mengerti. Ya karena memang itu di luar bahasa yang bisa mereka kuasai. Kalau bahasa Inggris? Semua dari mereka juga tahu. Feri. Selain bahasa Inggris, ia bisa Perancis dan Jerman. Fadlan. Yaaa Inggris rasanya memang tak perlu dihitung. Ia jago Jerman, Italia, Mandarin hingga Jepang. Baru satu tahun belakangan ia bisa menguasai Spanyol. Itu juga gara-gara ia mendengar mereka berbahasa asing yang ternyata adalah Spanyol. Kenapa ia termotivasi untuk mempelajarinya? Ohoo. Ia hanya merasa kalau harus tahu. Mungkin akan berguna kalau bertemu mereka lagi dan ia bisa mendengar apa yang mereka katakan bukan? Fadli, Wira, Akib, dan Regan.menguasai bahasa yang sama, yaitu Inggris, Belanda, dan Jerman. @@@ Khayra baru saja turun dari angkutan umum, saat Titin menyapanya dengan wajah sendu. Gadis itu malah girang bukan kepalang karena lama tak berjumpa dengan Titin. Sahabatnya dari SMA yang hampir enam tahun ini tinggal dirantau karena ikut suami bekerja. Ya menginjak usia yang katanya tak lagi muda ini, membuatnya semakin jarang bertemu dengan teman-teman seangkatan. Ya kan sebagian besar dari mereka sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Urusan keluarga sih kebanyakan. Berbeda dengannya yang masih sendiri ini. Yang lebih suka di rumah terkadang. Ya tergantung badan dan kesibukan. Tapi akhir-akhir ini ia lebih banyak keluar sih. Bukan untuk melarikan diri dari omongan orang. Namun ya menenangkan diri jauh lebih baik dengan menambah kesibukan. "Tumben kau pulang. Biasanya balik kalau lebaran aja?!" Khayra bertanya riang usai memeluk wanita yang masih secantik dulu itu. Ya masih cantik. Perempuan kalau masih cantik bahkan setelah menikah itu sungguh luar biasa. Karena ada juga yang bahkan sudah tak sempat mengurus diri saking banyak yang harus diurus. Yang namanya mengurus anak dan suami kan memang tak mudah ya? Titin membalas senyum tipis. Senyum yang menyimpan pilu. "Kau dari mana?" "Biasa, dari yayasan." Ia bukan dari yayasan Mira sih. Tapi dari yayasan yang lain. Mira mungkin di rumah juga akrena harus mempersiapkan banyak hal sebelum keberangkatan. Aah ia tak bisa membayangkan bagaimana kehidupan Mira tapi ia salut karena perempuan itu sekarang selalu bisa berpikir positif. Tidak seperti dulu. Mungkin karena ujian ya? "Kehilangan orangtua membuatku kuat, Ra. Sebagai gantinya, Allah kirimkan Wirdan untukku. Juga ada Mysha. Aku yang sempat kehilangan segalanya kini malah punya segalanya. Aku gak tahu lagi bagaimana harus bilang ke Allah atas segala nikmat yang telah diberikan. Ya saking hanyaknya. Dan kau, Ra. Aku percaya deh, penantianmu gak akan pernah sia-sia. Apapun yang kau usahakan sekarang juga sama." Ya ia sangat berterima kasuh. Banyak hal yang mereka lalui bersama dulu. Tapi setidaknya semua sudah berlalu. Mereka masih bisa bertahan hingga sekarang. Itu yang paling penting ya kan? "Ku pikir dari rumah calon mertua," candanya yang membuat Khayra spontan terbahak. "Aku duluan kalau begitu, Ra. Buru-buru," tuturnya sambil menepuk bahu Khayra. "Jangan lupa mampir ke rumah!" Pesannya yang dibalas anggukan. Khayra berjalan lagi menuji rumah, menerobos gang sempit. Beberapa ibu menggodanya yang sedang melintas sendirian tanpa kehadiran lelaki atau pun buah hati. Ia hanya balas tersenyum. Sudah biasa menanggapi. Mereka memang selalu begitu namun ia tak pernah memasuki ke hati. Omongan orang biar lah tetap menjadi omongan. Sebab yang menjalani hidup adalah dirinya sendiri. Mereka hanya menonton bukan? Dan berbeda rasanya menonton dengan memerankannya sendiri. Jadi tak perlu lah Khayta bercapek-capek ria membual sana sini untuk memperbaiki citranya di hadapan mereka. Sebab baginya, berbaik ria dan mencari muka di depan Allah yang lebih penting. "Assalamualaikum, Ummi." Ia menyapa ketika tiba di teras rumah. Wanita paruh baya itu menghela nafas usai menjawab salamnya dalam hati lalu berjalan masuk ke dalam rumah. Menguntit langkah lunglai Khayra yang masih lemas namun memaksa diri untuk pulang. Saat pulang dari rumah mereka, ia juga tetap pulang dengan motornya dan menolak mentah-mentah tawaran Wirdan untuk mengantarnya pulang. Ya bukan apa-apa sih. Ia memang bukan tipe orang yang akan menyusahkan orang lain. Ia tak suka itu. "Terkadang benar kata orang. Masa depan adalah rahasia," tutur Umminya tiba-tiba. Walau sudah biasa menanggapi anehnya cara Ummi-nya berbicara atau mengungkapkan sesuatu, Khayra selalu dibuat terheran-heran dan bingung karenanya. Ya kadang takut juga. Karena tak semua hal yang ia dengar itu benar-benar menjadi hal yang baik. "Kenapa, ummi?" Ibunya itu malah menghela nafas lalu duduk di kursi goyang. "Kau tahu, kenapa dulu ummi-mu ini sempat menentang hubunganmu dengan Farhan?" Khayra meneguk ludah susah payah. Tak jadi melempar tanya. Ia dibuat bisu ketika nama lelaki di masa lalunya itu kembali diungkit. Ada apa dengan Farhan? Kenapa tiba-tiba dibawa? Ia bahkan sudah lama melupakan nama itu. Kenapa dibahas lagi? "Inilah penyebabnya, Ra. Kau tahu Titin? Teman kau dari SMA itu? Anaknya mantan Lurah tahun lalu?" Khayra menghela nafas. Memilih duduk di sofa. Ibunya memang begitu, senang sekali berbicara meloncat-loncat macam katak. Khayra memilih menggeleng dari pada buka suara. Sebab bibirnya mendadak kelu. Padahal baru saja tadi kok ia bertemu Titin. Aah jangan aneh sih kalau ibunya suka berubah suasana hati. Dari dulu juga begitu. Ia sudah mulai terbiasa dengan keanehannya bahkan sejak kecil. Pernah ia pergi dari rumah dengan riang untuk bermain. Begitu pulang, umminya mengomel tak henti. Padahal ia main tak terlalu jauh. Seperti janji juga, ia tak bermain dengan orang asing apakagi menanggapi mereka. Ia juga pulang ke rumah tepat waktu. Lalu apa salahnya? Tak ada. Memang pembawaan ibunya yang suka berubah seperti itu. Yang paham? Hanya ayahnya mungkin. "Ibunya datang pagi tadi. Mengadu. Menangis pada ummi." Wanita itu menarik nafas dengan pandangan ke depan dan menerawang. Khayra hanya diam menyimak. Ia kenal benar ibu dari Titin. Sudah seperti ibunya sendiri. Wanita setegar itu sampai menangis pasti karena sesuatu telah terjadi bukan? Apakah yang terjadi? Karena tadi ia bertemu Titin, Titin tampak baik-baik saja. Tak ada yang berbeda baginya. "Sudah delapan bulan Titin memendam." Kalimat itu menggantung. Khayra sudah tak sabar mendengar kelanjutan. Apa? Ia lelah dan ingin sekali beristirahat sebenarnya. "Dia terus bertengkar dengan suaminya hanya karena hal sepele. Suaminya tak pernah mau solat. Kalau Titin sudah menyuruh, yang ada dibentak, marah lalu ditinggal." Kali ini merahlah wajah ummi Khayra. Terlihat memendam emosi. "Tak peduli secantik apa si Titin, secerdas apapun dia, sebaik apapun dia, yang namanya ketentuan-Nya tak bisa dihindari." Khayra menarik nafas. Bisa menyimpulkan sendiri apa akhir ceritanya. Ya takdir memiliki jodoh seperti itu? Menurut Khayra, tetap masih ada andil dari Titin. Karena sebelum memutuskan menikah, Titin bisa memilih. Namun ya karena cinta sih. Titin girang karena cowok itu adalah pacar pertamanya lalu langsung dilamar pula. Siapa yang gak girang? Semua hal diabaikan. Ia tak mendengar ucapan orabg akrena terbuai dengan cinta itu. Yabg menjadi landasan ia menyebutnya cinta. Tapi kalau orang lain? Cinta tidak pernah menjerumuskan seseorang. Ya kan? Kalau menjerumuskan itu namanua nafsu. "Ditambah pula, suami si Titin itu sekantor dengan mantan pacarnya. Walau sudah sama-sama menikah, namun siapa yang tahu kalau cinta itu masih ada?" Khayra menggaruk-garuk tengkuk. Makin paham. Ternyata masalahnya tak semudah yang ia bayangkan. Kalau sudah menyangkut masa lalu, memang sulit dianalogikan pada kenyataan dimasa kini. Karena terkadang, orang lebih senang larut dalam masa lalu yang jelas-jelas tak kan terulang. Ah sudah banyak sih yang begitu. Goyah begitu bertemu mantan. Meski sudah menikah dan akhirnya malah memilih kembali bersama mantan. Lucu sekali memang. Ya dunia memang begitu. Tak bisa dipahami dengan mudah. "Cinta, Ra. Sebegitu dahsyatnya. Namun ia salah menerapkan cinta." Ummi menarik nafas. Kali ini tatapannya tertuju pada Khayra. "Itu lah sebabnya ummi tak setuju kau pacaran dengan si Farhan dulu. Tampang boleh saja. Baik tak masalah. Tapi kalau malas solat apa ujungnya? Allah saja ditinggalkan apalagi kau?" Ya. Mau sebaik apapun pacarmu kalau titelnya pacar itu tidak baik. Karena yang baik pasti lebih takut pada Tuhannya bukannya menuruti nafsu. Ya kan? @@@ "Sebetulnya yang ingin diketahui itu adalah asal muasal pasien HIV ini. Ya oke, kita tahu kalau salah satu sumbernya memang PSK. Tapi kita perlu memastikan kalau kasus HIV di sana memang banyak. Bukti ini bisa kita bawa ke Kemenkes untuk ditindaklanjuti secepat. Yang paling penting, ini juga akan mempengaruhi kebijakan pemerintah soal perluasan wilayah bar itu. Ssperti yang kita tahu, diam-diam mereka sedang melakukan perluasan untuk menambah pendapatan daerah. Tapi bukan itu yang sebenarnya menjadi fojus kita. Kita hanha fokus untuk meneliti ini di sana. Sesuai dengan kerja sama kita juga dengan mereka." Adam menyimak. Ia bergabung dalam salah satu kelompok penelitian yang sebenarnya dari sebuah LSM. Ya kan berkat Wirdan juga yang memasukkannya ke sini. Wirdan ingin memastikan kalau apa yang ia dengar itu tak salah. Ya berharap sih salah. Itu jauh lebih baik. Penelitian bagi Adam juga sangat menarik. Bukan persoalan uang. Tapi apa yang ia dapatkan ini akan jauh lebih kaya dibandingkan aktvitas monotonnya di rumah sakit. Karena latar belakang pasien yang mungkin saja jauh lebih beragam dengan berbagai status ekonomi dan kelas sosial. "Brruntung kita memiliki orang yang akan membantu akses kita ke sana." Ia menoleh ke arah salah satu rekannya yang berdiri di dekat pintu. "Orangnya udah datang?" "Bentar, kak, saya lihat dulu. Ia membuka pintu lalu bertanya pada salah satu taf di bawah melalui sambungan telepon. "Udah, mbak. Mungkin masih di lift. Barusan aja datang." Ia menghembuskan nafas. Sejak beberapa minggu lalu, ia sudah memastikan kedatangan orang ini. Pasalnya, Wirdan juga berpesan padanya untuk memastikan kehadiran perempuan inj. Ia akan sangat membantu proyek penelitian ini. Proyek penelitian yang sebenarnya kerja sama dengan LSM lain. Wirdan hanya menyalurkan dana. Ini namanya bukan pesana tapi bantuan. Ia sengaja meminta bantu karena LSM-nya tak mungkin turun sendiri. "Mbak Khayra!" Matanya tampak berbinar melihat kemunculan Khayra. Gadis itu baru saja keluar dari lift. Lalu mengajaknya untuk masuk ke dalam ruangan karena semua orang sudah menunggu kedatangannya. Pintu dibuka. Kehadiran Khayra adalah hal baru bagi orang-orang di dalam sana. Karena wajahnya memang sangat asing. Walau tidak bagi Adam. Ini adalah kali ketiga pertemuan mereka yang yaaa agak-agak tak sengaja. Adam menatapnya dari bangku paling pojok dan paling belakang. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN