Fahmi menjalani ritual khusus bersama Zean di sebuah ruangan. Raz dan Wa Pasang mengawasi mereka. Bayangan akan Fizah terus terlintas di pandangan Fahmi, betapa semuanya begitu berat untuk di jalani.
“Kalian akan berendam dalam air khusus yang di ambil dari tujuh sumber mata air. Jernih kan pikiran kalian, setelah ini kalian akan di bawah ke kamar yang berbeda.”
Fahmi dan Zean mengangguk bersamaan.
Zean tampak bercahaya dengan kain yang melilit tubuh rampingnya. Rambutnya tergerai dan memakai hiasan bunga melati. Di kolam yang berbeda, Fahmi hanya memakai kain yang menutupi tubuh bagian bawahnya. Tubuhnya yang gagah, serta otot-otot yang menyembul membuat konsentrasi Zean sedikit terganggu.
“Aku akan kembali dua jam lagi. Nikmati waktu kalian,” ucap Raz membuat kening Zean berkerut.
“Uwa juga akan keluar?" tanya Zean terpaku.
“Wa, apa Uwa akan meninggalkan aku disini hanya bersamanya?” sahut wanita itu.
Raz dan Wa Pasang tersenyum mendengarnya.
“Para dayang masih di sini, kami ingin melihat kondisi Ryan lalu kembali melanjutkan ritual.”
Zean dan Fahmi saling menatap lalu segera membuang pandangan.
“Oh, kalau begitu jangan lama-lama.”
Raz dan Wa Pasang meninggalkan ruangan. Suasana menjadi hening, Fahmi memilih berendam dan memejamkan mata. Zean yang melihatnya hanya bisa menghela napas, sikap Fahmi membuatnya berpikir tentang bagaimana kelak pernikahan yang akan di jalani. Tidak akan ada sikap hangat atau saling mengasihi, jelas di hati calon suaminya dia tak akan di anggap.
**
Di kamar Ryan saat ini.
Bu Laksmi termenung, sesekali airmatanya berderai. Dia tak memiliki keberanian untuk menatap Fizah. Setelah mendengar keputusan Fahmi, Bu Laksmi begitu terluka dan merasa sungkan pada Fizah.
“Bu, jika Ryan sudah sadar, Fizah izin pergi.”
Wajah tua itu menatap lusuh. Keputusan Fizah yang tiba-tiba membuatnya tak berdaya.
“Aku memikirkan kembali untuk pulang ke rumah Bibi,”
Napas Bu Laksmi serasa tercekat.
“Tapi, Nak.”
Fizah berusaha tegar, cukup sudah menyusahkan keluarga itu. Fizah tidak ingin menjadi beban lebih lama lagi.
“Aku merasa ini semua teguran untukku, Bu. Aku harusnya berada di rumah, sikap bude masih bisa ku tahan.”
Bu Laksmi akan bicara. Namun, belum sempat dia bersuara. Tangan Ryan bergerak, perlahan lelaki itu membuka matanya.
“Fizah, lihat dia sudah siuman. Anak ibu sudah bangun.”
Bu Laksmi sangat senang lalu menghampiri Ryan.
“Kau butuh apa, Nak? Ibu akan membawakannya untukmu.”
Ryan menggeleng, perlahan kesadarannya pulih. Lelaki itu terkejut saat menyadari dirinya berada dimana.
“Ibu kita dimana? Fizah.”
Bu Laksmi membantu Ryan bersandar di ranjangnya.
“Kata Fahmi kita berada di istana.”
Ryan memegang kepala yang begitu pusing.
“Bang Fahmi dimana, Bu?” tanya lelaki itu.
Fizah dan Bu Laksmi salin berpandangan.
“Eh, hari ini adalah pernikahannya. Dia sedang menjalani ritual. Orang-orang tampak sibuk menyiapkan acara.”
Wajah Ryan berubah sendu, perlahan dia menatap Fizah di sampingnya. Keadaannya tidak jauh beda dengan suasana hati gadis itu.
“Ibu tidak menyangka hal ini akan terjadi, ibu tak percaya jika kalian anak yang aku besarkan sendiri adalah titisan keturunan manusia serigala.”
Ryan shock, lelaki itu mematung.
“Fahmi telah menceritakan semuanya, dia telah menyianyiakan Fizah,” Bu Laksmi terisak.
“Bu, sudah lah. Bang Ryan butuh istrahat, aku akan membuat makanan yang lembut. Dia pasti lapar.” Fizah menyela permbicaraan mereka.
Baik Ryan mau pun Bu Laksmi sama-sama diam.
“Aku akan keluar untuk membuatkan bubur.”
Fizah tak sanggup berada di ruangan itu terlalu lama, dia pun memilih keluar untuk menenangkan diri.
“Ryan,” Bu Laksmi menggengam tangan putranya, saat Fizah sudah tak terlihat.
“Ibu berat mengatakan ini. Tapi, ibu memiliki satu permintaan.”
Ryan hanya diam. Namun, tatapannya tak lepas dari sosok yang sangat dia hormati itu.
“Fizah ingin meninggalkan desa, dia sangat kecewa pada Fahmi dan memilih ingin pulang ke rumah budenya.” Bu Laksmi se suguhkan membuat hati Ryan terenyuh.
“Ibu tahu kau tidak mencintainya, tapi tanpa hubungan yang jelas dia takkan mau tinggal bersama kita, Nak. Tolong nikahi Fizah.”
Tangan Ryan gemetar, airmatanya jatuh berlinang tanpa suara. Walau bagaimanapun juga, Ryan sadar jika apa yang dilakukan Fahmi semua itu karenanya.
Ryan tidak menjawab keinginan ibunya, tapi jauh di dalam lubuk hatinya Ryan pasrah demi kembalinya senyum sang ibunda.
Wa Pasang dan Raz masuk ke ruangan itu, seketika Bu Laksmi menyeka airmatanya.
“Syukurlah kau sudah sadar, bagaimana keadaanmu?” tanya Raz dan berdiri di hadapan pemuda itu.
Ryan tidak menjawabnya, kebencian tersemat dalam diri pemuda itu. Dia merasa ditipu. Andai saja dia tidak menuruti ucapan Raz untuk membawa Fahmi ke gunung sebelum hari pernikahannya. Maka hal ini tidak akan terjadi, abangnya bisa hidup bahagia dengan Fizah. Kebahagian akan terpatri di wajah ibunya. Namun, semuanya sudah terlambat.
“Kau sadar di waktu yang tepat, sebentar lagi upacara pernikahan. Setelah ritual nanti, Fahmi dan Zean akan mengikrarkan janji mereka di bawah bulan purnama.” Kali ini Wa Pasang yang berbicara.
Bu Laksmi gemetar menahan keperihan. Ryan yang melihat itu meraih tangan ibunya dan mengenggam nya.
“Aku akan pulang, aku akan membawa ibuku juga Fizah kembali ke desa.”
Raz dan Wa Pasang saling menatap.
“Tentu, kalian bisa pulang saat kondisimu telah kembali bugar.”
“Aku dan keluargaku tidak ingin menyaksikan pernikahan, titip salam saja untuk kedua mempelai.”
Ryan menyibak selimutnya dan berusaha bangkit, baru dua langkah dia berpijak. Ryan hampir jatuh mencium lantai. Beruntung Wa Pasang menangkapnya.
“Jangan bersikap keras kepala, lihat untuk berjalan saja kau belum mampu. Lagi pula, anak buah Raksana kini sedang mengincar mu. Kau tidak mau kan, jika ibumu dan gadis itu menjadi santapan empuk untuk mereka.”
Bu Laksmi tercengang mendengar itu.
“Ayo, Pasang. Dia butuh istrahat.” Raz melihat gelagat aneh dari ekspresi wajah Ryan.
Akhirnya diapun memutuskan untuk keluar. Saat akan melangkah keluar, mereka berpapasan dengan Hafizah yang membawa semangkuk bubur.
Gadis itu tertunduk, dia tidak berani menatap wajah kedua lelaki itu. Raz dan Wa Pasang menatapnya sekilas dan melanjutkan perjalanan.
Di samping Ryan, Bu Laksmi kehilangan kata-katanya. Lututnya gemetar mendengar percakapan tadi.
“Mas, makan bubur dulu.”
Fizah menyimpan mangkuk itu di atas nakas.
“Masih panas, akan saya kipas dulu lalu memberikannya pada Mas Ryan.”
Apa yang dilakukan Fizah menyentuh hati pemuda itu. Dia sangat baik dan begitu menyayangi ibunya, tidak mudah mencari gadis baik sepertinya. Yang masih rela bertahan walau telah mengetahui kenyataannya.
“Ini, makanlah.”
Fizah menyerahkan mangkuk itu, berharap Ryan akan makan sendiri. Namun, kondisi yang begitu lemah membuat Ryan hanya bisa menatap Fizah.
“Saya bantu suapin, ya. Bang Fahmi buka mulut, aa.”
Ryan dengan polosnya membuka mulut dan si suapi oleh Fizah. Tanpa sadar, Fizah menyebut nama Fahmi tapi Ryan tidak memprotesnya.
“Bagaimana rasanya?”
Suasana menjadi canggung, Fizah menoleh menatap Bu Laksmi yang tertunduk sedih.
“Ibu kenapa?” Fizah khawatir, sebelum di tinggalkan, Bu Laksmi tadi masih baik-baik saja.
Ryan tiba-tiba saja memegang tangan Hafizah, gadis itu terkejut dengan sentuhannya membuat mangkuk bubur yang ada di tangannya jatuh ke lantai.
“Braak”
Bu Laksmi dan Fizah sendiri terkejut.
“Buburnya, maafkan saya Mas Ryan. Saya akan segera menggantinya.”
Fizah panik dan akan membersihkan makanan yang berceceran , tapi sekali lagi tangannya di genggam oleh Ryan.
“Fizah, maukah kau menikah denganku?”
Gadis itu terbelalak, Bu Laksmi pun terkejut mendengarnya.