Malam berganti begitu cepat, Fizah dan Bu Laksmi terlelap di kamar Fahmi sedang lelaki itu memilih keluar mengunjungi Ryan. Zean masih bertahan dan terjaga hingga pagi tiba. Fahmi yang melihatnya semakin yakin dengan asumsinya.
“Kau tidak istrahat, jika kau begini terus nanti bisa-bisa kau yang sakit.”
Zean menatap Fahmi sejenak.
“Kau mencintainya, kan?”
Fahmi menatapnya lurus, Zean terkejut mendengar kata-kata itu keluar dari mulut calon pengantinnya.
“Kau bicara apa?”
Fahmi tersenyum seolah mengejek, dia tahu betul jika Zean sangat mencintai adiknya.
“Apa kau yakin ingin menikah denganku? Hati tidak bisa se bercanda itu, kau tahu ada hal yang tidak bisa di lewati dengan berkompromi. Ryan memiliki perasaan yang sama terhadapmu. Kalian hanya akan saling menyiksa nanti.”
Zean terkejut, pupil matanya melebar sempurna.
“Kau bicara apa? Jangan menggangguku, sejak tadi kau berbicara ngelindur. Sepertinya kau masih bermimpi."
“Kau menganggap aku begitu? Baiklah, kurasa tidak ada alasan untuk menunda pernikahan.”
Fahmi memegang tangan Ryan, adiknya masih terkapar. Sejenak dia mengabaikan Zean dan membersihkan tubuh adiknya.
Tidak ada percakapan lagi, Fahmi fokus mengobati luka-luka yang ada di tubuh Ryan. Setelah semuanya selesai, Fahmi pun melangkah keluar.
“Apa Ryan mengatakan itu padamu?” Satu pertanyaan meluncur dari bibir Zean tepat sebelum Fahmi meraih handle pintu.
“Aku tidak tahu kau membahas soal apa?”
Wajah Zean berubah masam, dia merasa Fahmi baru saja mengerjainya.
“Sorot mata kalian tidak bisa berbohong, siapapun bisa mengetahui jika kalian saling mencintai.”
Fahmi bergegas pergi. Meninggalkan Zean terdiam mematung.
Lelaki itu tak kembali ke kamar, dia tak bisa menghadapi ibunya dan juga Fizah. Fahmi memilih menuju ke ruangan Raz.
Sang pemimpin sedang berdiskusi dengan Wa Pasang saat lelaki itu tiba disana.
“Selamat pagi,” salamnya.
“Pagi, masuklah.”
Fahmi duduk di sebelah Wa Pasang.
"Ada apa?" tanya Raz.
“Aku siap dengan ritualnya,” ucap Fahmi.
Raz dan Wa Pasang saling memandang.
“Baiklah, kebetulan kami memang sedang membahas hal itu. Hari ini aku sendiri yang akan memandikan mu.”
Fahmi dan Wa Pasang saling memberi hormat.
“Aku akan menyiapkan Zean. Pernikahan akan di langsungkan, tepat saat purnama tengah malam nanti,” sahut Wa Pasang.
"Dandani dia, agar Fahmi menyadari betapa cantiknya Zean."
"Tentu," seloroh Wa Pasang.
“Apa kau telah mengatakannya pada ibumu?”
Fahmi menggeleng.
“Beliau tidak perlu tahu.”
“Lalu, bagaimana dengan gadis itu?”
Fahmi terdiam di tempatnya.
“Kembali ke sana dan jelaskan semuanya.”
“Tapi,”
Raz menatapnya tegas.
“Ketahuilah, dia telah tahu tentang pernikahanmu. Ritual ini suci, jangan biarkan pikiranmu terganggu karena ini.”
Wa Pasang mengangguk, dia membenarkan usul Raz barusan.
“Baiklah. Kalau begitu aku pamit dulu."
Fahmi keluar dari ruangan itu. Hatinya berdebar tak karuan, teringat saat Fizah mengatakan perasaannya sebelum kembali terlelap semalam.
Lelaki itu mengetuk pintu kamar, Fizah dan Bu Laksmi menoleh bersamaan saat Fahmi muncul.di depan mata.
“Fahmi, anakku.” Bu Laksmi lantas berdiri dan berlari memeluk putranya.
“Kau benar-benar anakku, kan? Kau Fahmi putraku?” Di ciumnya wajah di hadapannya itu bertubi-tubi, tangis rasa syukur mengalir di wajah keriput Bu Laksmi.
“Iya, Bu. Ini aku anak ibu.”
Pelukannya semakin erat.
“Kau darimana saja? Ibu mencarimu kemana-mana. Fizah juga sangat mengkhawatirkanmu.”
Bu Laksmi terus bicara, sedang Fizah dan Fahmi saling berpandangan dengan jarak yang lumayan.
Fizah sangat kecewa, tapi dia cukup sadar diri.
“Ngomong-ngomong dimana ini? Apa kita masih di desa?”
Fahmi menuntun ibunya kembali ke ranjang.
“Iya, Bu. Masih dalam kawasan tebing itu. Ibu ingat, ibu sering menceritakan tentang manusia serigala di zaman dulu.”
Bu Laksmi mengangguk.
“Apa yang di katakan oleh para leluhur itu benar, Bu. Kita sedang berada di istana milik sang pemimpin manusia serigala yang dulu ibu dongeng kan pada Fahmi dan Ryan.”
Bu Laksmi menyentuh mulutnya dengan tangan kiri.
“Itu tidak mungkin.”
Fizah masih berdiri mematung, dia hanya mendengarkan apa yang di sampaikan Fahmi pada ibunya. Hatinya seolah mati, dia merasa perasaannya tidak berarti di hadapan Fahmi.
“Yang menyerang Ryan tempo hari, adalah jelmaan manusia serigala. Mereka dari kelompok yang jahat, Bu. Maka dari itu, demi melindungi Ryan dan Ibu. Sang Pemimpin manusia serigala menjemput ibu dan Fizah.”
Fahmi menjelaskan semuanya, hingga dimana dia dengan terpaksa jujur di hadapan ibunya.
“Bu, maafkan Fahmi dan Ryan.” Fahmi tertunduk karena tak mampu mengungkap kebenaran.
“Kau meminta maaf untuk apa, Nak?”
Tangis Fahmi luruh di hadapan ibunya.
“Kami lah sang pemiliki darah keturunan manusia serigala, itu.”
Fizah tidak percaya, Fahmi mengakui dirinya di hadapan wanita tercintanya.
“Tidak, kalian adalah anak ibu. Tidak mungkin kalian seperti itu. Tidak! Semua itu tidak benar!” Bu Laksmi histeris membuat hati Fahmi terpukul.
Fizah mendekat dan memeluk wanita itu.
“Bu, tenanglah. Dia masih Fahmi yang sama. Dia tetap anak ibu.”
Tangis Bu Laksmi kian menjadi.
“Fizah, apa kau tidak kaget, Nak? Dia baru saja mengatakan jika dirinya seorang manusia serigala.”
Fizah memeluk Bu Laksmi untuk menenangkannya.
“Bagaimana pun wujudnya, dia adalah anak ibu. Fizah nggak kaget karena Fizah udah tahu siapa dia, serigala putih yang menolong kita di tebing kemarin, dia adalah Fahmi, Bu.”
“Ibu tidak akan menjodohkan kalian jika tahu kebenaran ini, Fizah. Maafkan ibu, Nak.”
Airmata Fizah ikut luruh, bukan itu yang menjadi penghalang bersatunya mereka tapi karena hal yang lain. Dia telah bersedia menerima kenyataan, tapi ujian cintanya tidak sampai di situ.
“Dia tidak akan menikahi ku, Bu. Dia akan menikahi gadis yang lain.” Bergetar suara Fizah mengatakan kebenarannya.
Fahmi mengalihkan pandangan, dia tidak kuat menahan perih di batinnya.
“Apa maksudmu? Siapa gadis itu?”
Kejutan demi kejutan menghampiri Bu Laksmi.
“Lelaki yang membawa kita kemari yang mengatakan semuanya. Benarkan, Mas? Kau tidak kembali ke desa karen memilih untuk menikah dengannya.”
Netra Fahmi memerah, dia merasa tak berdaya.
“Fahmi, jelaskan ke ibu. Bilang jika semua itu hanyalah kebohongan. Kau hanya akan menikah dengan Fizah, Kau tidak akan menikah dengan orang lain.”
Bu Laksmi mengguncang tubuh putranya, tangis yang terus mengalir membuat Fahmi sangat tersiksa melihat itu.
“Maaf, Bu. Tapi itulah kenyataannya. Fahmi tidak bisa menolak pernikahan ini.”
Wanita itu jatuh tersungkur. Dia memohon dan merengkuh kaki putranya.
“Demi ibu, tolong jangan lakukan itu. Kita kembali saja ke desa, Nak. Jangan buat dirimu terjebak dalam rupa dan wujud mereka.”
Fahmi mengepalkan tangan. Andai saja dia bisa menjelaskan kenapa dia melakukan itu semua.
“Pernikahanku akan berlangsung malam ini, aku harus bergegas untuk melakukan ritual khusus. Tolong jangan membuat masalahku semaki runyam, Bu.”