“Fizah mau kah kau menikah denganku?” Lamaran Ryan membuat Fizah terbelalak. Gadis itu menoleh ke arah Bu Laksmi. Dalam pikirannya, dia sangat yakin ini jika Bu Laksmi lah yang telah membujuk Ryan untuk segera menikahinya.
Fizah menarik tangannya, melepaskan genggaman tangan Ryan yang membuatnya sedikit risih.
“Aku janji akan membahagiakanmu. Aku yakin kau bisa membuka hati untukku suatu saat nanti.”
Fizah termenung. Dia tak bisa menerima Ryan sedang di hatinya hanya ada Fahmi seorang.
“Jika kau setuju, maka kita akan menikah saat ini juga. Di sini, bersama Fahmi dan Zean.”
“Aku tidak mencintaimu, membuka hati itu tak mudah. Di hatiku masih setia pada satu nama."
Kali ini Ryan menggenggam bahu Fizah.
“Aku akan menunggumu sampai cinta itu tumbuh untukku,” ucapnya tulus. Walau begitu, Fizah tetap ragu.
Bu Laksmi mendekat, dia merasa bertanggung jawab atas kebahagiaan gadis itu.
“Mungkin Fahmi bukan jodohmu, Nak. Terimalah lamaran Ryan.”
Pergejolak kan batin terjadi. Fizah merasa sesak.
“Beri aku waktu untuk berpikir,” ucap Fizah lemah.
Ryan dan Bu Laksmi tersenyum.
"Tentu, tapi jangan lama-lama," ucap Ryan.
Fizah gugup, dia pun segera membersihkan pecahan kaca yang berserakan.
“Aku akan mengambilkan makanan baru."
Bu Laksmi mengangguk dengan senyum ramah, Fizah pun pergi secepat yang dia mampu.
"Ibu senang kau memikirkan hal ini, Yan." Ryan menggenggam tangan ibunya dan memeluknya dari belakang.
“Aku akan menjaga Fizah untuk ibu, aku tahu ibu sangat menyayanginya."
Wanita tua itu menangis terharu
“Terimakasih, Nak.”
**
Di dapur, Fizah menangis memegang dadanya. Nyeri merambat ke ulu hati membuatnya kesakitan. Sakit yang tidak mampu dilihat oleh orang lain.
Bersamaan dengan itu, Fahmi dan Zean keluar dari ruangan setelah menyelesaikan ritual. Tanpa sengaja, mereka berpapasan dengan Fizah yang baru saja mengambilkan bubur untuk Ryan. Langkah Fahmi terhenti, sedang Fizah mengalihkan wajah. Fahmi dan Zean hanya memakai kain tipis yang melilit tubuh mereka. Ada rasa nyeri di hati gadis itu saat melihat orang yang di cintainya, benar-benar telah berpaling.
“Maaf saya permisi,” ucap Fizah lemah. Dia melangkah pergi, Fahmi merasa sangat bersalah. Dia tahu hal ini akan menyebabkan luka yang teramat untuk kekasihnya.
“Hey, tunggu dulu.” Zean menahan langkah Fizah.
“Apa bubur itu untuk Ryan? Apa dia sudah sadar?”
Fizah mengangguk tanpa menoleh, hatinya terlalu pedih untuk melihat pemandangan yang ada.
Fahmi dan Zean saling menatap, berita baik itu di sambut dengan senyuman.
"Syukurlah, aku senang mendengarnya, ucap Zean.
"Fizah melanjutkan langkahnya, dengan cepat dia menuju ke kamar Ryan.
“Aku akan menemuinya,” ucap Zean pada Fahmi.
"Ya, aku juga akan kesana." Mereka berlalu ke kamar masing-masing.
Fizah menghela napas, hati yang berkecamuk di tepisnya menjauh. Dia tak mau berlarut-larut dalam kesedihan meski menjalaninya tak mudah. Sebelum masuk, Fizah menarik napas panjang lalu membuangnya, dia berusaha terlihat sedang baik-baik saja.
Ceklek.
Pintu di buka.
Ryan dan Bu Laksmi menatapnya.
“Bu, Ryan kali ini saya membawa dua mangkuk bubur. Ayo di makan.” Fizah meletakan makanan itu di atas nakas, kali ini Ryan memakan buburnya dengan usahanya sendiri.
“Terimakasih, emm buburnya sangat enak. Iya kan, Bu?” ucap pemuda itu.
Bu Laksmi mengangguk dengan wajah sumringah.
“Benar, sangat enak.”
Mereka kompak memuji masakan Hafizah.
Ryan diam-diam menatapnya.
Gadis itu kembali termenung, bayangan Fahmi yang baru keluar dari ruangan, terlintas menganggu kedamaian nya.
‘Tidak, kenapa aku masih terus memikirkannya. Aku harus melupakannya, sama seperti yang telah dia lakukan padaku,’ batin gadis itu.
“Ada apa?” tanya Ryan seolah mengerti dengan kegelisahan gadis itu.
“Tidak ada, aku hanya ingin cepat meninggalkan tempat ini.”
Pintu ruangan itu terbuka dari luar, Fahmi dan Zean muncul dari sana.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Zean yang langsung menghampiri Ryan.
Wajah wanita itu begitu cerah. Dengan wangi tubuh yang semerbak. Mereka baru saja berendam dengan kembang aneka rupa.
“Aku baik,” ucap Ryan.
Fahmi mendekat, Bu Laksmi berubah jadi pendiam setelah kedatangan putra kandungnya.
“Ibu makan apa?” tanya Fahmi berbasa-basi.
“Bubur, Fizah membuatkan kami bubur." Hanya itu dan Bu Laksmi kembali mengaduk makanannya.
Sikap yang mereka pamerkan membuat Fahmi dan Zean terusik. Mereka seolah tak senang melihat kedatangan keduanya.
“Biar aku bantu suap kan,” ucap Zean meminta mangkuk bubur yang ada di tangan Ryan.
Hubungan mereka memang se akrab itu. Zean menawarkan diri tanpa berpikir bahwa dia akan ditolak.
Ryan berdehem, demi menetralkan perasaannya. Dia ingin wanita itu mulai menjaga jarak. Walau bagaimanapun juga, kelak dia akan menjadi kakak iparnya.
“Ehm, tidak perlu. Jangan buat calon pengantin saya cemburu" ucap Ryan terkekeh.
Fahmi dan Zean menatapnya bingung.
"Oh aku lupa aku belum mengatakannya pada kalian." Ryan menggenggam tangan Fizah di depan semua orang.
Fahmi, Zean dan Fizah sendiri terkejut melihat apa yang baru dia lakukan.
"Aku telah melamarnya, dia akan menjadi istriku."
“Calon pe-pengantin?” Zean sampai terbata-bata mendengarnya.
“Ya, calon pengantin. Kami akan menikah di waktu yang sama seperti kalian.”
Fahmi menahan gejolak cemburu yang ada di hatinya. Fizah menunggu reaksi Fahmi, dia ingin mendengar lelaki itu keberatan. Tapi, malangnya. Fahmi tidak mengatakan apa-apa.
“Apa kau mencintainya?” tanya Zean hati-hati.
Ryan menatap Fizah yang begitu terpuruk.
“Dia wanita terbaik yang pernah ku temui, dia begitu sabar dan merawat ku dengan tulus. Aku jatuh cinta kepadanya.”
Netra Fahmi melebar sempurna. Wanita yang harusnya menjadi miliknya kini akan lepas dari genggamannya.
“Aku akan membawanya pergi setelah pernikahan kita malam ini.”
“Kau mau membawanya kemana?” tanya Fahmi pada akhirnya.
Jelas terlihat jika hal itu membuat Fahmi keberatan.
Fizah mendongak menatap Ryan.
“Ibu dan Fizah ingin tinggal di desa, mungkin aku akan membawanya keluar dari pemantauan Tuan Raz demi memulai hidup yang baru," ucap Ryan asal.
“Jangan lancang kamu, kau tidak tahu bahaya apa yang sedang menantimu! Kau hanya akan membuat ibu dan Fizah dalam bahaya.”
Fizah menoleh, sesaat pandangan mereka bertemu. Fizah masih melihat cinta untuknya di mata Fahmi.
“Jika kami sudah berkeluarga, aku rasa keputusan Bang Ryan benar. Aku dan Ibu akan ikut kemana pun dia akan membawa kami.”
Hati Fahmi bagai tersayat.
“Kau memanggil dia dengan sebutan, Bang?”
Fizah sedikit salah tingkah. Sedang Zean tak mengalihkan pandangannya dari Ryan.
“Apa yang salah, Bang. Aku tidak keberatan jika dia memanggilku dengan sebutan itu.”
Fahmi mengepalkan tangan, dia
memilih pergi, kini dia merasakan apa yang dirasakan Fizah sebelumnya. Di depan pintu ruangan, salah satu pelayan menahan langkah lelaki itu.
“Tuan, waktunya bersiap.”
Fahmi tersentak, dia tak dapat mundur, semuanya sudah terlanjur.
"Baik, aku akan menyusul nanti."
Zean menatap kecewa, walau perasaannya belum terungkapkan. Dia merasa menyesal karena Ryan tak dapat mengerti akan sikapnya.
“Baiklah, sampai jumpa nanti. Kurasa kalian juga harus segera bersiap.”
“Tentu, Zean. Terimakasih sudah mengingatkan,” ucap Ryan.
Zeana berlalu meninggalkan ruangan itu. Setelah pintu tertutup rapat. Fizah segera menarik tangannya.
“Maafkan aku,” Ryan merasa bersalah.
"Tidak apa-apa. Lagi pula hubungan kami sudah sirna semenjak berita pernikahannya akan dilangsungkan."
Bu Laksmi dan Ryan hanya bisa mendengarkan.
"Aku permisi dulu."
Fizah berlari keluar, dia menuju ke kamar, tempat dimana dia dan Bu Laksmi tidur semalam. Tangisnya luruh, dia menyesal membuat Fahmi kecewa.
Pintu di buka dengan kasar, gadis itu berlari ke atas ranjang dan membenamkan tangisnya disana.
Tanpa sepengetahuan Fizah, Fahmi juga berada di ruangan itu, tepatnya di balik pintu ruangan itu.
Melihat Fizah menangis, Fahmi sadar jika mereka sama-sama terluka. Tangan Fahmi terulur dan mengunci pintu, Fizah yang mendengarnya spontan menoleh dengan wajah yang basah dengan air mata.
"Kau, kau di sini?" tunjuknya.
Fahmi melangkah mendekat, tidak ada keraguan dalam sorot matanya. Dia terbakar cemburu dan tidak terima Ryan akan memilikinya. Perlahan Fahmi menyeka airmatanya. Gadis itu menangis bukan karena orang lain melainkan karena dirinya.
Cup.
Fahmi menciumnya tepat di bibir, Fizah terkejut dan berusaha mendorong tubuh lelaki itu. Pangutan di bibir yang mulanya hanya kecupan kecil kini semakin kuat. Napas Fahmi memburu dan dia tak dapat menahan hasratnya.
"Apa yang kau lakukan?" Fizah berusaha menyadarkannya.
"Kau milikku, dari awal kau adalah milikku. Bukan kemauanku menikah dengan Zean," bisik Fahmi di telinga gadisnya.
Fizah yang tak mampu menahan kerinduan, melayani apa yang baru di mulai oleh Fahmi. Dua raga itu menyatu, tak peduli dengan resiko yang akan di tempuh. Fizah sesekali terpejam, sentuhan yang di berikan Fahmi membuatnya menegang, kenikmatan yang harusnya tak dilakukan membuat keduanya terlena.
Mereka memadu kasih layaknya seorang pasangan suami istri.
"Jangan menikah dengan Ryan, aku mohon," rintihnya
Pangutan di bibir terlepas, tangan Fahmi merambat ke tempat lain.
"Kau egois," ucap Fizah.
Fahmi membenamkan wajahnya di atas lekukan indah di bawah dagu gadis itu.
"Kau tahu, andai aku bisa lari membawamu pergi bersamaku. Maka aku akan melakukannya. Kemarin Ryan di ambang kematian, sukma Wa Pasang di berikan padanya demi menyelamatkan nyawanya. Aku harus membayarnya dengan duduk di atas altar pernikahan. Darah suci yang melekat di tubuhku menuntut seorang pewaris dari kalangan klan mereka. Aku tidak pernah mengkhianatimu asal kau tahu itu."
Tangis Fizah luruh, Fahmi yang melihat itu kembali menciumnya.
"Sekarang nyawa Ryan dalam bahaya. Aku tidak boleh membiarkannya keluar. Mungkin malam ini pertempuran akan terjadi."
Fahmi merasa dia perlu menceritakan semuanya pada Fizah.
"Pertempuran?"
"Pertempuran dengan orang yang telah membunuh Bapak."
Fizah terkejut.
"Baiklah, aku percaya padamu."
Mereka melanjutkan memadu kasih, lalu kembali bersikap seolah tidak terjadi apapun.
"Para pelayan akan segera kembali, aku harus bersiap untuk acara malam ini."
Fizah termenung, Fahmi kembali mengecup keningnya.
"Dia tidak akan memiliki ku, aku janji."
Entah apa yang membuat Fizah begitu percaya pada Fahmi. Dia menerima perlakuannya tanpa merasa keberatan.
Fahmi kembali mengenakan pakaiannya, lalu membantu Fizah dengan pakaiannya. Pemuda itu tersenyum, dia merasa malu sesaat lalu merasa senang karena Fizah masih miliknya.
"Aku mencintaimu, Fizah."
Tak ada jawaban dari gadis itu melainkan hanya ciuman sebagai balasan. Fizah seperti candu membuat Fahmi tak bisa berpaling.
**
Rogiles dan Raksana telah siap dengan pasukannya. Malam ini mereka akan berangkat menuju istana milik Raz. Raksana sempat kalang kabut saat tak menemukan Ryan di tebing.
“Sebentar lagi purnama bersinar terang, kita akan melangkah masuk saat waktunya telah tiba.”
Raksana menunggu dengan sabar, ya lelaki itu akhirnya berhasil di bujuk oleh Rogiles saat dia mengetahui serigala hitam itu berada di istana.
“Aku ingin, serigala hitam itu menjadi milikku. Tidak ada yang boleh mencelakainya.”
Rogiles sepakat, dia tahu Raksana akan memberontak jika keinginannya tidak di penuhi.
“Tentu, semua terserah padamu. Asal, kau harus berada di atas mimbar saat waktunya tiba.”
“Aku hanya datang untuk serigala itu,” ucap Raksana. Hal itu membuat amarah Rogiles terpancing.
“Jika kau mengabaikan perintahku, maka jangan berpikir kau akan mampu bertemu dengan serigala hitam itu.”
Waktu berlalu, detik berganti menit dan menit berganti dengan jam, Matahari telah tenggelam sejak tadi, kini pasukan Raksana bergerak menuju ke istana.
“Ingat pesanku jika kau ingin tahu informasi lengkap mengenai siapa serigala itu.”