Ada luka yang tak mampu dibagi, ada rasa yang hanya ingin dinikmati sendiri. Dan ada pedih yang tak mampu di mengerti.
Begitulah keadaan Ryan sekarang, Fahmi tidak mengusiknya. Dia membiarkan Ryan selesai membalut lukanya sendiri. Fahmi pernah berada di posisinya. Kecewa dan merasa tidak berdaya karena cinta yang bertepuk sebelah tangan. Dia tahu, Ryan butuh waktu untuk sendiri.
Tiba di rumah, Fahmi pin mengetuk pintu. Ibunya dan Fizah segera datang untuk membukakan.
"Syukurlah, kau sudah pulang, Nak." Bu Laksmi lega dan memeluk Fahmi dengan erat.
"Bang Fahmi, kemana saja? Kenapa nggak langsung pulang ke rumah? Abang nggak di apa-apain kan di sana?" tanya Fizah khawatir.
Fahmi mengangguk. Dia kelelahan dan duduk di kursi.
"Ryan dimana Fahmi? Adikmu baik-baik saja, kan?" Bu Laksmi mencari keberadaan putra keduanya.
Tidak menemukan sosoknya membuat Bu Laksmi sangat cemas.
"Fahmi butuh minum, Bu. Tanyanya nanti saja."
Fizah bergegas ke dapur, hati Bu Laksmi tak tenang dan terus menanyakan nasib Ryan.
"Fahmi jawab ibu, dimana adikmu?"
Fizah datang membawakan minum, Fahmi menenggaknya segera. Pemuda itu dengan cepat menghabiskan minumannya.
Glek glek glek.
"Pelan-pelan, jangan sampai tersedak."
"Ach, segarnya "
Fahmi pun menceritakan apa yang terjadi selama dia berada di kampung halaman Fizah. Bagaimana dia disekap dan tidak mendapatkan makan dan minum.
Fizah dan Bu Laksmi saling bertatapan dan menyesal mendorong Fahmi untuk pergi.
"Syukurlah kau bisa selamat," ucap ibunya.
"Semua berkat Ryan, Bu. Andai dia tidak datang entah akan seperti apa nasib Fahmi di sana."
Fizah menangis membayangkan kekejaman Juragan Broto, tangisnya kian menjadi karena hampir saja Fahmi tewas karena dirinya.
"Maafkan aku, sudah ku katakan sebelumnya tapi, kau tidak mendengarkan."
Lelaki itu menggeleng dan tersenyum.
"Sudahlah, Zah. Aku sudah ada di sini. Semuanya sudah baik-baik saja."
Fahmi lalu menceritakan pertemuan Nina dan Ryan pada ibunya. Awalnya Bu Laksmi terlihat bahagia. Namun, perlahan wajah ibunya menjadi murung.
Bu Laksmi tak percaya jika hubungan Nina dan Ryan tidak bisa lagi di satukan
"Ibu akan menemuinya, Ryan pasti sangat sedih saat ini."
Fahmi menolak dengan tegas keinginan ibunya itu,
"Jangan. Malam sudah larut, ibu akan kesusahan menapaki gunung. Biarkan, Ryan sendiri dulu, Bu. Besok, aku akan melakukan perjalanan untuk menemuinya. Ibu tenang saja,"
"Lalu bagaimana dengan adikmu, dia sendirian, ibu sangat khawatir jangan sampai dia akan bertindak yang tidak-tidak."
"Percaya sama Fahmi, Bu, Ryan akan baik-baik saja."
Fizah masih menangis tersedu di tempatnya. Fahmi yang melihatnya menghela napas panjang.
"Fizah, berhentilah menangis atau ibu akan ikut nangis sepertimu."
"Kau, nggak tahu bagaimana kita kebingungan karena Abang nggak pulang. Abang nggak mau dengerin Fizah, kalau Ryan tidak datang. Abang akan pulang tinggal nama," ucap Fizah kesal.
Bu Laksmi tidak tahu bagaimana menyikapi ucapan Fizah, antara senang melihat perhatian gadis itu. Dan, gemas mendengar ucapannya.
"Iya, abang lain kali dengar Fizah. Kalau Fizah larang, aku akan lebih berhati-hati lagi."
Tangis Fizah mulai reda, diapun menyeka airmatanya.
"Ya sudah, kamu mandi dulu, ibu akan siapkan makanan untukmu."
"Baik, Bu." Fahmi melenggang pergi meninggalkan ruang tengah.
Tiba di kamarnya, pemuda itu langsung berbaring di atas tempat tidur.
"Hanya berapa hari aku meninggalkan kamar ini, rasanya seperti berbulan-bulan lamanya," lelaki itu berguling-guling tidak jelas dan bangkit memasuki kamar mandi.
Suara lolongan yang terdengar di gudang penyekapan sangat berbeda dengan suara lolongan Ryan, Fahmi baru tersadar dan memikirkannya.
"Apa ada serigala yang lain bersama Ryan, ya." Tebaknya.
Pemuda itu terus mengingat sambil mengguyur kepalanya dengan air.
"Tidak mungkin, hanya ada aku dan Ryan sebagai manusia serigala. Itu pasti hanya perasaanku saja. Mungkin karena terlalu lemah makanya aku berhalusinasi."
Fahmi selesai dengan rutinitasnya dan keluar makan malam bersama ibunya.
**
Pagi ini di Kampung Gunung Serigala, Fahmi memutuskan ke tempat Ryan lebih awal. Jika berangkat saat pagi buta. Suasana masih dingin dan masih sedikit gelap. Fahmi bisa melewati gunung dengan cepat. Tentu dengan wujud berbeda.
Tap
Tap
Tap
Auww
Terdengar lolongan balasan dari atas gunung saat serigala putih itu melolong.
Auuw.
Dalam sekejap manusia jelmaan itu tiba di lereng gunung. Ryan di kejauhan melihat serigala putih itu mahir melompat dari batu ke batu yang lain.
Serigala jelmaan itu sangat bersemangat dan tiba di gubuk Ryan
"Selamat pagi," ucap Fahmi setelah merubah dirinya sebagai manusia.
"Pagi, Bang. Wow, tadinya aku nggak yakin jika Abang yang berlari dari bawah sana."
Fahmi menatapnya aneh
"Kenapa bisa nggak yakin?" tanya Fahmi penasaran.
Ini memang pertama kali bagi Fahmi mengunjunginya.
"Abang, nekat. Abang tahu itu, warna bulu Abang abu abu cenderung putih, gimana kalau ada petani yang lihat? Jangan samakan Abang dengan aku. Aku bisa tidak terlihat karena buluku yang gelap,"
"Iya, bawel."
"Abang ngapain, sih, kesini. Subuh-subuh lagi,"
"Pagi ini, kalau Abang berangkat tunggu matahari terbit, Abang capek jalan kaki," ucapnya jujur.
"Bukanya Abang sangat menjaga diri. Kenapa sekarang Abang seperti tidak peduli?"
Fahmi menelaah kata-kata Ryan.
"Entahlah, Abang juga nggak terlalu takut lagi. Semenjak Fizah mau menerima Abang apa adanya mungkin,"
"Huwek, lebay." Ryan seolah ingin muntah dan Fahmi memukul kepala adiknya itu.
Plak.
"Ah, sakit tahu, Bang." Ryan mengusap kepalanya.
"Abang kesini karena ingin memintamu pulang, ibu sangat khawatir sama kamu. Lagian kan Abang mau nikah, masa iya kamu tinggal di sini nggak bantuin Abang menyiapkan acaranya."
Ryan menghela napas, dia belum siap untuk kembali.
"Abang ngerti kamu mau sendiri dulu. Hanya saja ibu tidak berhenti tanyain keadaan kamu terus. Kalau nanti kamu udah mendingan. Pulanglah, demi Ibu kita." Ryan sedikit tak tega mendengarnya.
Angin berhembus ringan, Fahmi dan Ryan sontak berdiri menikmati udara pagi ini di atas gunung di tepi tebing.
Rasanya benar-benar berbeda,
"Apa kau nyaman disini?" tanya Fahmi.
Melihat keadaan di sekitar memang sangat sejuk dan hijau. Hanya saja tidak siapapun di sana. Hanya sepi yang bisa menggambarkan
"Nyaman, kok, Bang. Oh iya, aku lupa cerita. Di sini aku tidak sendiri. Di atas tebing sana ada serigala yang lain," ucap Ryan antusias.
Ryan harus membawa Fahmi pada Raz.
"Maksud kamu apa? Hewan?" tanya Fahmi bingung.
Ryan menggeleng.
"Nggak, Bang. Mereka sama seperti kita. Mereka leluhur kita yang tersisa." Ryan lega akhirnya bisa mengatakan semuanya.
"Tidak mungkin, kau sudah gila."
"Gini aja, Bang. Abang nggak usah pulang malam ini. Kita akan menemui mereka. Gimana?" ajaknya
Fahmi langsung menolak keinginan adiknya itu.
"Nggak bisa lah. Aku tidak bilang pada orang rumah jika aku akan bermalam. Bagaimana jika kamu yang ikut dengan Abang turun, ntar malam kita berangkat bersama menuju tempat serigala yang kau maksud,"
"Oke, aku setuju. Dibantah pun kau selalu menang." Fahmi menertawakannya.
"Anak pintar,"
Sesuai rencana Fahmi, mereka pun bergegas turun. Hari sudah siang dan mereka harus berjalan kaki.
Raz terus memantau dan bersiap menyambut tamu kehormatannya.
Karena melewati kebun, mereka singgah untuk memetik sayuran.
"Usul Abang yang nggak enak kayak gini, ini. Capek," keluhnya
"Sekali-kali, Yan. Olahraga,"
Hari sudah sore perjalanan yang ditempuh sangat melelahkan. Fahmi sangat penasaran dengan serigala putih yang Ryan ceritakan.
Sebagian dari dirinya tidak percaya jika masih ada yang tersisa.